Selasa, 11 Desember 2018

(40)

SMANSON termasuk salah satu SMA negeri di Kota Bandung yang terkenal akan pagelaran Bazar yang habis-habisan. Mereka mengundang para penampil yang sedang kondang baik di seputar Bandung maupun se-Indonesia, malah pernah ada yang dari luar negeri. Bazar sekolah tidak ubahnya konser dengan panitianya menjelma event organizer profesional.

Maka Bazar SMANSON merupakan acara tahunan terbesar OSIS. Adakalanya kinerja suatu kepengurusan OSIS dilihat dari kesuksesannya menyelenggarakan Bazar. Tentu saja kepengurusan Alf ingin supaya Bazar tahun ini lebih baik daripada tahun sebelumnya. Setelah proker-proker ditetapkan pada awal kepengurusan, konsep Bazar segera dirumuskan. Menimbang banyaknya pengunjung yang akan datang dari luar sekolah, timbul gagasan untuk menyatukan Bazar kali ini dengan Open House SMANSON. Bazar bukan saja konser dan tempat berjualan, melainkan juga ajang bagi setiap kelas dan ekskul untuk memamerkan kreativitas masing-masing. Area SMANSON akan dibagi menjadi empat: Stan Kelas dan Stan Ekskul untuk OH, sedang Panggung dan Stan Vendor disatukan ke dalam satu area. Bazar akan benar-benar all out, melibatkan sebanyak-banyaknya siswa melalui MPK dan ekskul-ekskul serta membuka akses publik terhadap berbagai fasilitas SMANSON. Mereka ingin menampilkan citra SMANSON yang kompak, kreatif, meriah, dan sebagainya yang akan menakjubkan para pengunjung.

Rumusan konsep OH Bazar oleh OSIS kemudian dibicarakan dengan MPK dan perwakilan dari segenap ekskul. Mereka menyambut gagasan untuk menyajikan Bazar sekalian OH yang all out ini dengan antusias. SMANSON Raya bersatu! Anak-anak dari berbagai ekskul bela diri yang ada di SMANSON menyatakan kesiapan mereka untuk bergabung di bawah Seksi Keamanan, apalagi yang bertenaga dalam menyanggupi dapat menjadi pawang hujan di samping membangun pagar gaib supaya copet tidak bisa kabur.

Deraz ditunjuk sebagai ketua panitia, dengan Steering Committe merupakan gabungan antara anak-anak OSIS dan perwakilan dari bidang-bidang ekskul tertentu. Dengan kecakapannya mematangkan dan mempresentasikan proposal yang didukung SC, Deraz berhasil meyakinkan pihak sekolah agar menyetujui rancangan acara serta memberikan izin untuk menggunakan sebagian besar fasilitas SMANSON. Begitu proposal gol, Organizing Committe dibentuk dengan tidak saja merekrut anak-anak ekskul tetapi juga membuka pendaftaran sukarelawan—kalau-kalau ada anak yang tidak bergabung dengan ekskul mana pun tetapi ingin berpartisipasi dalam OH Bazar.

Mereka bergerak cepat: menentukan timeline dan target, membuat dan menyebarkan proposal untuk pengisi acara dan sponsor, aktif menghubungi pihak-pihak yang hendak diajak bekerja sama, dan seterusnya. Dua minggu sekali rapat diadakan. Deraz memastikan mereka selalu membuat kemajuan dan hambatan dapat segera diatasi.

“Raz, manajemennya Agnes Monica baru ngehubungin gue. Katanya Maret udah ada yang nge-booking dia,” Ipong menyebut SMA negeri lain di Kota Bandung yang rupanya akan menyelenggarakan Bazar juga dalam waktu berdekatan.

“Coba hubungin Tompi, Maliq, atau … Sherina lah.”

“Mama gue tahunya cuma penyanyi dangdut,” Ipong menyesali mamanya yang bekerja sebagai penyiar paruh waktu di radio swasta tetapi bukan radio anak muda.

Band papa kamu aja, Pong,” canda Adip, atlet aikido yang akan bergabung dengan Seksi Keamanan.

“Yeee, mau minta papa gue manggilin Koes Plus? Lu kira sekarang tahun tujuh puluhan?”

“Mungkin papa atau mama kamu kenal orang yang kenal band-band anak muda yang lagi hip. Tanya dulu!” perintah Deraz. Bukan tanpa alasan Ipong ditunjuk sebagai Koordinator Acara. Papanya juga bekerja di radio, biarpun Radio Republik Indonesia.

“Iyaaa.” Ipong sudah tahu, tetapi bagaimanapun harus ada yang dilaporkan dalam setiap pertemuan.

“Sebenarnya Deraz pengin kamu ngehubungin Kings of Convenience, Pong,” Bram yang membantu Seksi Logistik menyebut grup kesukaan Deraz.

“Lu kira gue kenal orang Norwegia?”

“Kali aja orang tua kamu kenal orang yang kenal orang Norwegia yang kenal Kings of Convenience.”

“Anjir, pusing.”

“Mesin Tempur bisa kan, Pong?” pinta Deraz, yang memendam keinginan menggoblok-goblokkan sopir angkot bersama band tersebut.

“Insya Allah bisa, Raz, mereka mah.”

Pada pertemuan lain,

“Raz, ada dua sponsor yang mengundurkan diri,” lapor anak CEO atau Creativepreneur of SMANSON yang menjadi Koordinator Dana Usaha.

Solusi kamu apa?”

“CEO sama K3 dan AFS udah rembukan mau buka stan di Kabita mulai minggu depan. Sekarang kita lagi kerja sama dengan MPK buat mendata anak-anak di kelas yang bisa produksi dan menyumbang sebagian keuntungan produknya buat dana usaha.” K3 itu Komite Kesejahteraan Koperasi sedang AFS yang ini Asosiasi Filantropis SMANSON—kumpulan anak yang punya hobi mengadakan bakti sosial.

Deraz mengangguk-angguk. “Keren. Lanjutkan!”

Pada pertemuan berikutnya,

“Raz, DKM katanya enggak akan ngambil stan, soalnya pas OH Bazar mereka mau ngadain MABIT atau kaderisasi apa gitulah,” lapor Jati, Penanggung Jawab Stan Ekskul. Memang sedari perumusan awal OH Bazar DKM tidak urun banyak suara.

“MABIT di mana? Masjid SMANSON?” tanya Ipong. Setahu dia, hampir seluruh area SMANSON akan diberdayakan untuk kepentingan OH Bazar, termasuk masjid yang pasti penuh oleh para pengunjung yang hendak salat. Bahkan lapangan DBD tidak lagi tepat disebut demikian karena panitia telah bekerja bakti membabat habis semua ilalang dengan berbekal golok dan berbotol-botol Autan supaya area tersebut juga bisa difungsikan.

“Mana gue nyaho. Di tempat lain, kali!”

“Pas SMANSON Raya bersatu buat menyukseskan acara sekolah, ini malah bikin acara sendiri,” komentar Ipong.

“Enggak apa-apa.” Deraz sudah punya rencana sendiri untuk DKM.

Pada pertemuan lainnya lagi,

“Raz, tantenya Alf katanya enggak jadi ngisi stan. Tapi mamanya sih jadi,” lapor Soraya, PJ Stan Vendor.

“Cari gantinya dong,” tanggap Deraz.

“Siap! Eh, stan yang buat DKM bisa dipindahin aja enggak sih ke Area C biar vendor nambah satu, kan lumayan tuh.”

“Ide bagus. Yoga, tolong dikondisikan, ya!”

“Oke,” sambut Koordinator Logistik.

Maka Deraz kaget ketika mengetahui bahwa XI IPA 9 belum melakukan apa-apa untuk menyiapkan stan kelas. Saat itu satu bulan sebelum Hari H OH Bazar. Setidaknya, Zahra tidak mengetahui apa-apa tentang itu. Mereka membicarakannya pada jam istirahat. Saat itu Zahra sedang tidak salat sehingga ia berdiam di kelas sementara akhwat-akhwat pada ke masjid. Deraz duduk di kursi di samping Zahra sembari membawa bekal roti buatannya sendiri—mumpung tidak ada siapa-siapa lagi di kelas.

“Enggak pernah ada rapat, gitu?”

Zahra menggeleng.

“Semestinya MPK udah kasih tahu,” Deraz bergumam sendiri. Ekskul debat dan ekskul sepak bola saja sudah mulai bersiap-siap. “Kamunya aja kali, yang kuper. Jadi aja enggak tahu.”

“Deraz kok gitu sih?” Zahra cemberut.

Deraz mesem. “Bercanda.” Melihat Zahra yang menjadi murung, ia berkata, “Kalau kamu yang jadi penanggung jawab stan kelas, mau enggak? Kegiatan kamu cuma DKM, kan? Bisalah. Kamu kan rajin. Bikin rangkuman dihias-hias aja bisa, apalagi ngehias stan kelas.” Deraz membesarkan hati Zahra.

Cuma …” Zahra mendongkol, namun Deraz tidak mengacuhkan.

“Lagian, kamu di DKM cuma bantu-bantu, kan? Jadi bawahan. Ini saatnya buat kamu belajar jadi pemimpin, nambah pengalaman.”

Zahra menggumam tidak yakin. Anak lain keburu memasuki kelas sehingga Deraz beranjak dari tempat duduknya. Begitu ketua kelas muncul, Deraz mengajaknya bicara.

 

Sepulang sekolah hari itu, ketua kelas menahan anak-anak supaya tidak langsung keluar. Ia memberi pengumuman tentang stan kelas pada OH Bazar yang akan diadakan sebulan lagi. Deraz ikut maju untuk membeberkan bahwa stan kelas akan diperlombakan berikut berbagai hal teknis seperti waktu, tempat, dana, aspek penilaian, dan lain-lain.

“Jadi kita sekarang butuh penanggung jawab stan kelas. Siapa yang mau mengajukan diri?” ujar ketua kelas.

“Kamu aja lagi,” todong anak-anak.

“Enggak enak, ah, merangkap banyak jabatan,” elak ketua kelas, yang sekaligus ketua salah satu ekskul bela diri bertenaga dalam di SMANSON, “lagian di acara nanti saya udah jadi seksi keamanan sekalian pawang hujan. Saya butuh konsentrasi besar untuk memecah awan.”

Anak-anak terlihat enggan mengajukan diri. Ketua kelas menunjuk beberapa anak yang serta-merta menolak. Mereka beralasan sudah sibuk dengan persiapan stan ekskul masing-masing. Sebagian anak sudah menjadi SC atau OC. Anak-anak DKM berdalih memiliki acara lain sehingga tidak akan berada di sekolah sama sekali pada hari tersebut. Ketua kelas mengalihkan sasaran pada anak-anak yang kelihatannya tidak aktif di ekskul mana pun apalagi dalam pagelaran mendatang. Namun mereka pada menggeleng dan mengangkat bahu, biarpun ketua kelas sudah memelas. Karena wajah mereka memang tidak meyakinkan untuk dapat dimintai pertanggungjawaban, ketua kelas tidak terus memaksa.

Malah anak-anak yang terus memaksa ketua kelas agar mengambil satu jabatan lagi. Ketua kelas mengerang.

“Zahra,” ucap Deraz tiba-tiba. Suaranya cukup keras untuk meredakan keriuhan anak-anak. Serta-merta mereka menoleh pada Zahra, yang seketika merasa tubuhnya kaku dan berkeringat dingin seolah-olah baru didakwa melakukan kesalahan.

“Mau coba?” tawar Deraz

“Ah … belum pernah.” Zahra menggeleng dan menunduk.

“Tenang, nanti kan sama-sama,” kata Deraz.

“Iya, pasti banyak yang bantu kok,” ketua kelas menimpali.

Zahra tampak berpikir.

“Ya?” mereka menanti jawaban.

“Yang penting ada nama dululah,” kata ketua kelas. “Entar juga kerjanya keroyokan.”

“Iya, kita belajar sama-sama,” suara Deraz.

“Saya mau bantu tapi enggak jadi ketua—eh, penanggung jawab,” sahut Zahra.

“Zahra,” ucap ketua kelas sembari menuliskan namanya pada papan tulis.

“Ih, enggak jadi penanggung jawab!” seru Zahra panik.

Deraz memandang Zahra dengan geli sementara ketua kelas tidak menggubris sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain