SMANSON termasuk salah satu SMA
negeri di Kota Bandung yang terkenal akan pagelaran Bazar yang habis-habisan.
Mereka mengundang para penampil yang sedang kondang baik di seputar Bandung
maupun se-Indonesia, malah pernah ada yang dari luar negeri. Bazar sekolah
tidak ubahnya konser dengan panitianya menjelma event organizer profesional.
Maka Bazar SMANSON merupakan acara
tahunan terbesar OSIS. Adakalanya kinerja suatu kepengurusan OSIS dilihat dari
kesuksesannya menyelenggarakan Bazar. Tentu saja kepengurusan Alf ingin supaya
Bazar tahun ini lebih baik daripada tahun sebelumnya. Setelah proker-proker
ditetapkan pada awal kepengurusan, konsep Bazar segera dirumuskan. Menimbang
banyaknya pengunjung yang akan datang dari luar sekolah, timbul gagasan untuk
menyatukan Bazar kali ini dengan Open
House SMANSON. Bazar bukan saja konser dan tempat berjualan, melainkan juga
ajang bagi setiap kelas dan ekskul untuk memamerkan kreativitas masing-masing. Area SMANSON akan dibagi menjadi empat: Stan Kelas dan Stan
Ekskul untuk OH, sedang Panggung dan Stan Vendor
disatukan ke dalam satu area. Bazar akan
benar-benar all out, melibatkan
sebanyak-banyaknya siswa melalui MPK dan ekskul-ekskul serta membuka akses
publik terhadap berbagai fasilitas SMANSON. Mereka ingin menampilkan citra
SMANSON yang kompak, kreatif, meriah, dan sebagainya yang akan menakjubkan para
pengunjung.
Rumusan konsep OH Bazar oleh OSIS
kemudian dibicarakan dengan MPK dan perwakilan dari segenap ekskul. Mereka
menyambut gagasan untuk menyajikan Bazar sekalian OH yang all out ini dengan antusias. SMANSON Raya bersatu! Anak-anak dari
berbagai ekskul bela diri yang ada di SMANSON menyatakan kesiapan mereka untuk
bergabung di bawah Seksi Keamanan, apalagi yang bertenaga dalam menyanggupi
dapat menjadi pawang hujan di samping membangun pagar gaib supaya copet tidak
bisa kabur.
Deraz ditunjuk sebagai ketua panitia,
dengan Steering Committe merupakan
gabungan antara anak-anak OSIS dan perwakilan dari bidang-bidang ekskul
tertentu. Dengan kecakapannya mematangkan dan mempresentasikan proposal yang
didukung SC, Deraz berhasil meyakinkan pihak sekolah agar menyetujui rancangan
acara serta memberikan izin untuk menggunakan sebagian besar fasilitas SMANSON.
Begitu proposal gol, Organizing Committe
dibentuk dengan tidak saja merekrut anak-anak ekskul tetapi juga membuka
pendaftaran sukarelawan—kalau-kalau ada anak yang tidak bergabung dengan ekskul
mana pun tetapi ingin berpartisipasi dalam OH Bazar.
Mereka bergerak cepat: menentukan timeline dan target, membuat dan
menyebarkan proposal untuk pengisi acara dan sponsor, aktif menghubungi
pihak-pihak yang hendak diajak bekerja sama, dan seterusnya. Dua minggu sekali rapat diadakan. Deraz memastikan mereka selalu membuat kemajuan dan hambatan dapat segera diatasi.
“Raz, manajemennya Agnes Monica
baru ngehubungin gue. Katanya Maret udah ada yang nge-booking dia,” Ipong menyebut SMA negeri lain di Kota Bandung yang
rupanya akan menyelenggarakan Bazar juga dalam waktu berdekatan.
“Coba hubungin Tompi, Maliq, atau …
Sherina lah.”
“Mama gue tahunya cuma penyanyi
dangdut,” Ipong menyesali mamanya yang bekerja sebagai penyiar paruh waktu di
radio swasta tetapi bukan radio anak muda.
“Band papa kamu aja, Pong,” canda Adip, atlet aikido yang akan
bergabung dengan Seksi Keamanan.
“Yeee, mau minta papa gue manggilin
Koes Plus? Lu kira sekarang tahun tujuh puluhan?”
“Mungkin papa atau mama kamu kenal
orang yang kenal band-band anak muda yang lagi hip. Tanya dulu!” perintah Deraz. Bukan
tanpa alasan Ipong ditunjuk sebagai Koordinator Acara. Papanya juga bekerja di radio,
biarpun Radio Republik Indonesia.
“Iyaaa.” Ipong sudah tahu, tetapi
bagaimanapun harus ada yang dilaporkan dalam setiap pertemuan.
“Sebenarnya Deraz pengin kamu
ngehubungin Kings of Convenience, Pong,” Bram yang membantu Seksi Logistik
menyebut grup kesukaan Deraz.
“Lu kira gue kenal orang Norwegia?”
“Kali aja orang tua kamu kenal orang
yang kenal orang Norwegia yang kenal Kings of Convenience.”
“Anjir, pusing.”
“Mesin Tempur bisa kan, Pong?” pinta
Deraz, yang memendam keinginan menggoblok-goblokkan sopir angkot bersama band tersebut.
“Insya Allah bisa, Raz, mereka mah.”
Pada pertemuan lain,
“Raz, ada dua sponsor yang
mengundurkan diri,” lapor anak CEO atau Creativepreneur of SMANSON yang menjadi
Koordinator Dana Usaha.
“Solusi kamu apa?”
“CEO sama K3 dan AFS udah rembukan
mau buka stan di Kabita mulai minggu depan. Sekarang kita lagi kerja sama dengan MPK buat mendata
anak-anak di kelas yang bisa produksi dan menyumbang sebagian keuntungan
produknya buat dana usaha.” K3 itu Komite Kesejahteraan Koperasi sedang AFS
yang ini Asosiasi Filantropis SMANSON—kumpulan anak yang punya hobi mengadakan
bakti sosial.
Deraz mengangguk-angguk. “Keren.
Lanjutkan!”
Pada pertemuan berikutnya,
“Raz, DKM katanya enggak akan
ngambil stan, soalnya pas OH Bazar mereka mau ngadain MABIT atau kaderisasi apa gitulah,” lapor Jati, Penanggung Jawab Stan Ekskul. Memang sedari perumusan awal OH Bazar DKM tidak urun banyak
suara.
“MABIT di mana? Masjid SMANSON?”
tanya Ipong. Setahu dia, hampir seluruh area SMANSON akan diberdayakan untuk kepentingan OH Bazar, termasuk masjid
yang pasti penuh oleh para pengunjung yang hendak salat. Bahkan lapangan DBD
tidak lagi tepat disebut demikian karena panitia telah bekerja bakti membabat
habis semua ilalang dengan berbekal golok dan berbotol-botol Autan supaya area
tersebut juga bisa difungsikan.
“Mana gue nyaho. Di tempat lain, kali!”
“Pas SMANSON Raya bersatu buat
menyukseskan acara sekolah, ini malah bikin acara sendiri,” komentar Ipong.
“Enggak apa-apa.” Deraz sudah punya
rencana sendiri untuk DKM.
Pada pertemuan lainnya lagi,
“Raz, tantenya Alf katanya enggak
jadi ngisi stan. Tapi mamanya sih jadi,” lapor Soraya, PJ Stan Vendor.
“Cari gantinya dong,” tanggap
Deraz.
“Siap! Eh, stan yang buat DKM bisa
dipindahin aja enggak sih ke Area C biar vendor
nambah satu, kan lumayan tuh.”
“Ide bagus. Yoga, tolong
dikondisikan, ya!”
“Oke,” sambut Koordinator Logistik.
Maka Deraz kaget ketika mengetahui
bahwa XI IPA 9 belum melakukan apa-apa untuk menyiapkan stan kelas. Saat itu
satu bulan sebelum Hari H OH Bazar. Setidaknya, Zahra tidak mengetahui apa-apa
tentang itu. Mereka membicarakannya pada jam istirahat. Saat itu Zahra sedang
tidak salat sehingga ia berdiam di kelas sementara akhwat-akhwat pada ke
masjid. Deraz duduk di kursi di samping Zahra sembari membawa bekal roti
buatannya sendiri—mumpung tidak ada siapa-siapa lagi di kelas.
“Enggak pernah ada rapat, gitu?”
Zahra menggeleng.
“Semestinya MPK udah kasih tahu,”
Deraz bergumam sendiri. Ekskul debat dan ekskul sepak bola saja sudah mulai
bersiap-siap. “Kamunya aja kali, yang kuper. Jadi aja enggak tahu.”
“Deraz kok gitu sih?” Zahra cemberut.
Deraz mesem. “Bercanda.” Melihat
Zahra yang menjadi murung, ia berkata, “Kalau kamu yang jadi penanggung jawab
stan kelas, mau enggak? Kegiatan kamu cuma
DKM, kan? Bisalah. Kamu kan rajin. Bikin rangkuman dihias-hias aja bisa,
apalagi ngehias stan kelas.” Deraz membesarkan hati Zahra.
“Cuma
…” Zahra mendongkol, namun Deraz tidak mengacuhkan.
“Lagian, kamu di DKM cuma
bantu-bantu, kan? Jadi bawahan. Ini saatnya buat kamu belajar jadi pemimpin,
nambah pengalaman.”
Zahra menggumam tidak yakin. Anak
lain keburu memasuki kelas sehingga Deraz beranjak dari tempat duduknya. Begitu
ketua kelas muncul, Deraz mengajaknya bicara.
Sepulang sekolah hari itu, ketua kelas menahan anak-anak
supaya tidak langsung keluar. Ia memberi pengumuman tentang stan kelas pada OH Bazar yang akan diadakan
sebulan lagi. Deraz ikut maju untuk membeberkan bahwa stan kelas akan
diperlombakan berikut berbagai hal teknis seperti waktu, tempat, dana, aspek
penilaian, dan lain-lain.
“Jadi kita sekarang butuh penanggung
jawab stan kelas. Siapa yang mau mengajukan diri?” ujar ketua kelas.
“Kamu aja lagi,” todong anak-anak.
“Enggak enak, ah, merangkap banyak
jabatan,” elak ketua kelas, yang sekaligus ketua salah satu ekskul bela diri
bertenaga dalam di SMANSON, “lagian di acara nanti saya udah jadi seksi
keamanan sekalian pawang hujan. Saya butuh konsentrasi besar untuk memecah
awan.”
Anak-anak terlihat enggan mengajukan
diri. Ketua kelas menunjuk beberapa anak yang serta-merta menolak. Mereka
beralasan sudah sibuk dengan persiapan stan ekskul masing-masing. Sebagian anak
sudah menjadi SC atau OC. Anak-anak DKM berdalih memiliki acara lain sehingga
tidak akan berada di sekolah sama sekali pada hari tersebut. Ketua kelas
mengalihkan sasaran pada anak-anak yang kelihatannya tidak aktif di ekskul mana
pun apalagi dalam pagelaran mendatang. Namun mereka pada menggeleng dan
mengangkat bahu, biarpun ketua kelas sudah memelas. Karena wajah mereka memang tidak
meyakinkan untuk dapat dimintai pertanggungjawaban, ketua kelas tidak terus
memaksa.
Malah anak-anak yang terus memaksa
ketua kelas agar mengambil satu jabatan lagi. Ketua kelas mengerang.
“Zahra,” ucap Deraz tiba-tiba.
Suaranya cukup keras untuk meredakan keriuhan anak-anak. Serta-merta mereka
menoleh pada Zahra, yang seketika merasa tubuhnya kaku dan berkeringat dingin
seolah-olah baru didakwa melakukan kesalahan.
“Mau coba?” tawar Deraz
“Ah … belum pernah.” Zahra menggeleng
dan menunduk.
“Tenang, nanti kan sama-sama,” kata
Deraz.
“Iya, pasti banyak yang bantu kok,”
ketua kelas menimpali.
Zahra tampak berpikir.
“Ya?” mereka menanti jawaban.
“Yang penting ada nama dululah,” kata
ketua kelas. “Entar juga kerjanya keroyokan.”
“Iya, kita belajar sama-sama,” suara
Deraz.
“Saya mau bantu tapi enggak jadi
ketua—eh, penanggung jawab,” sahut Zahra.
“Zahra,” ucap ketua kelas sembari
menuliskan namanya pada papan tulis.
“Ih, enggak jadi penanggung jawab!”
seru Zahra panik.
Deraz memandang Zahra dengan geli sementara
ketua kelas tidak menggubris sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar