Deraz jarang mengiyakan bila diajak
ke bioskop, apalagi pergi atas inisiatif sendiri. Namun kali ini gagasan
anak-anak mengajak Zahra menonton film terdengar bagus. Mengingat tumpukan DVD
bajakan yang Deraz lihat di rumah Zahra tempo hari—yang tidak hanya terdiri
dari drama Korea—kemungkinan gadis itu akan senang bila ditraktir di bioskop.
Memang Zahra mengiyakan ketika Deraz
mengajaknya menonton bioskop di Bandung Super Mall pada akhir pekan.
“Mau nonton film apa?” tanya Zahra.
“Enggak tahu. Milih di sana aja
entar,” sahut Deraz. “Aku jemput, ya.”
“Kita ketemu di sana aja,” tegas
Zahra.
“Ya udah,” Deraz mengalah.
Mereka bertemu di XXI. Deraz menunjuk
film horor—mengikuti saran anak-anak—namun Zahra menggeleng kuat-kuat. Deraz
membiarkan Zahra memilih film sekalian bangku. Zahra memilih film bukan horor
yang tidak lama lagi akan diputar. Setelah Deraz membayar tiket dan membeli
nyamikan, mereka langsung duduk di dekat pintu teater.
Deraz membuka percakapan. “Sayang,
ya, stan kita enggak menang, padahal bagus.”
Memang pada upacara Senin kemarin
pemenang lomba stan kelas dan ekskul telah diumumkan.
“Memangnya kamu lihat?” Zahra masih
cemberut.
“Aku lihat.” Deraz mengeluarkan
ponsel. Lalu ia menunjukkan pada Zahra foto tampak depan stan kelas mereka.
“Kapan kamu ngambilnya?”
“Pagi-pagi pas Hari H.”
Sepertinya saat itu Zahra belum
datang. Zahra mengembalikan ponsel Deraz tanpa menoleh. Deraz memerhatikan raut
Zahra. Kalau gadis itu hendak menangis terharu, saputangan Opa Buyut selalu
siap di saku celana Deraz. Namun Zahra tidak mau mengangkat wajah.
“Kamu tuh kayak barang pecah belah.
Jangan dibanting,” ucap Deraz.
“Kamu nyamain aku kayak barang,”
sahut Zahra tetap menunduk.
“Kalau orang, ya, harus tahan
banting. Kan bukan dari kaca. Ada otot dan tulang.”
“Jadi aku bukan orang?”
“Orang yang enggak tahan banting.”
Zahra diam saja.
“Coba deh kamu sering olahraga,” kata
Deraz lagi.
“Kenapa?”
“Biar tahan banting.”
Zahra menyahut dengan gumaman.
“Nih, ngemil dulu,” Deraz menawarkan pop corn di tangannya.
Zahra menggeleng.
Pintu teater telah dibuka. Mereka
masuk. Rupanya Zahra memilih bangku di daerah tengah. Setelah setengah jam
pemutaran film, pop corn habis
dimakan Deraz yang lantas ketiduran. Ketika terbangun, Deraz hendak mengubah
posisi duduk. Ia meletakkan sebelah tangannya pada pegangan kursi tanpa melihat
tangan Zahra sedang bertengger di situ. Zahra memekik. Deraz terkejut. Beberapa
penonton berdesis menyuruh hening. Deraz tidak tidur lagi hingga film berakhir.
Setelah keluar dari XXI, barulah
Deraz berkata lagi. “Filmnya rame enggak?”
“Hm.”
“Mau jajan?”
“Enggak.”
Deraz berpaling seraya berdesah. This is lame. Zahra manyun maksimal
sehingga tidak enak dilihat sama sekali. Deraz memerhatikan pasangan-pasangan
lain yang ada di sekitarnya. Mereka tampak menikmati keberadaan satu sama lain:
mengobrol, bercanda, tertawa, bergandeng tangan, dan sebagainya. Kenapa ia dan
Zahra tidak bisa begitu? Padahal sewaktu terakhir kali jalan—di BIP—mereka
sudah hampir menyerupai pasangan-pasangan itu. Kenapa sekarang jadi mundur?
Seandainya saja Deraz bisa menggaet lengan Zahra dan merangkulnya supaya tidak
menjaga jarak begitu.
“Aku mau pulang aja,” ucap Zahra.
Nah, apa lagi ini? Padahal Deraz baru
mendapat gagasan untuk mengajak Zahra bermain di Kota Fantasi: naik jet coaster dan ontang-anting,
mengumpulkan tiket lalu menukarkannya dengan boneka, apalah.
“Ya udah,” Deraz memendam kecewa.
“Jalan yuk sampai rumah kamu.” Jarak dari BSM ke rumah Zahra paling-paling
hanya setengah jam berjalan kaki. Deraz berharap mengobrol santai sambil
berjalan kaki pada sore yang teduh dapat mencairkan kebekuan gadis itu.
“Enggak. Naik angkot aja,” tegas
Zahra.
Deraz menahan diri supaya tidak
berdecak. Apa lagi yang mesti ia lakukan?
Ketika melewati Heartwarmer,
tiba-tiba ada yang menghampiri Zahra dan menyapanya. Deraz serta-merta ikut
menoleh dan mendapati wajah-wajah yang dikenalinya sebagai akhwat DKM. Mereka
bertatapan. Deraz tersenyum sekadarnya pada Ria, Muti, dan Anisa. Ia menahan
tangannya supaya tidak menyeret Zahra dari situ seketika itu juga. “Yuk,
Zahra,” ucap Deraz.
Zahra mengangguk kepada para akhwat
lalu mengikuti Deraz menjauh. Deraz memerhatikan Zahra yang terus menunduk,
tetapi kini raut gadis itu telah berubah.
Setelah naik angkot sekali dari BSM,
mereka turun ketika ada belokan kedua. Zahra cepat-cepat menyerahkan ongkos
pada sopir sebelum Deraz sempat membayari. Jarak dari titik itu ke rumah Zahra
tanggung jika naik angkot lagi, sehingga mereka berjalan kaki. Namun sekalipun
ada kesempatan bagi Deraz untuk mengobrol barang beberapa menit dengan Zahra,
mereka tidak bercakap-cakap lagi. Ketika tiba di belokan yang memasuki
perumahannya, tahu-tahu Zahra menyodorkan beberapa lembar uang pada Deraz
dengan kedua tangan sembari membungkuk.
“Apa ini?”
“Buat bayar bioskop.” Zahra terus menatap
permukaan jalan di bawahnya.
“Enggak usah.”
Zahra bergeming. Deraz merasa konyol
jika saling mengotot dengan gadis itu di persimpangan begini. Begitu Deraz
mengambil uang dari tangan Zahra, gadis itu serta-merta berbalik dan berjalan
cepat-cepat memasuki jalan perumahan seakan-akan tidak ingin disusul. Deraz
sendiri jadi malas. Begitu ada angkot hijau muda yang menjelang, ia menyetopnya
untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Wajah Zahra setelah melihat
akhwat-akhwat DKM terus membayang di benak Deraz. Ia merasa benar-benar sudah
satu hati dengan gadis itu, tetapi ini bukan perasaan yang enak. Pada waktu
yang biasanya saat malam ia menelepon Zahra. Betapa kagetnya ia ketika Zahra
mengatakan, “Deraz … kayaknya kita enggak usah berhubungan lagi.”
“Pakai ‘kayaknya’, berarti kamu
enggak yakin.”
“Kita enggak usah jalan lagi,”
tegas Zahra.
“Oke, kamu takut ketemu sama anak
DKM lagi.”
“Aku takut sama Allah.”
“Anak DKM bukan Allah.”
“Tapi ….” Zahra terdiam. “Kita
harus menjaga perasaan.”
“Terus?”
“Jangan sampai rasa suka kita
mengalahkan rasa cinta kita sama Allah.”
“Terus?”
Zahra tidak bersuara.
“Aku enggak ngerti kenapa kamu
mesti ngait-ngaitin perasaan suka sama makhluk dengan perasaan cinta sama
Allah. Udah jelas itu beda tempat, bukan untuk dibanding-bandingin. Kalau aku
suka sama kamu, apa aku sampai nyembah kamu, muja kamu? Enggak, kan? Aku suka
sama kamu, tapi aku juga tetap beribadah sama Tuhan. Aku enggak menggantikan
posisi Tuhan dengan kamu,” cecar Deraz.
Zahra tidak kunjung menyahut. Deraz berkata lagi,
“Memangnya kita ngapain sih? Kita enggak pernah sengaja sentuhan. Kita enggak pernah berduaan aja di tempat
sepi. Terus, kalau kita ngobrol, memangnya kita ngobrolin apa? Sewajarnya aja, kan? Kenapa kamu harus
terganggu sama itu? Kamu terpengaruh sama cerita-cerita orang pacaran yang
orientasinya berahi? Enggak. Kita enggak akan seperti itu. Kita orang
baik-baik, Zahra. Kita bertindak pakai otak. Kita bukan orang yang suka
berprasangka tanpa bukti. Kita tahu batasan dan bisa menjaga diri. Kamu harus yakin
sama diri kamu sendiri. Kamu harus percaya sama aku. Kita harus yakin bisa jaga
hubungan kita secara sehat dan positif, membuktikan sama diri kita sendiri,
sama mereka.” Mendadak Deraz menjadi orator.
“Tapi …” suara Zahra mulai parau,
“kamu nyadar enggak sih, pas kita jalan, kadang ….”
“Kadang apa?” desak Deraz.
“Deraz … kayaknya kita harus belajar
untuk mencintai Allah dulu sebelum mencintai makhluk.”
Deraz mengernyit. “Berapa lama waktu
yang kamu butuhin buat belajar mencintai Allah?”
“Mmm—“
“Kalau kamu butuh sampai seumur hidup
gimana? Kita enggak jadi-jadi dong. Memang enggak bisa sejalan seiring, ya?”
“Lagian,” tukas Zahra, “yang kita
rasain ini cuma di dunia.”
“Apa maksud kamu ‘cuma di dunia’?”
“Karena kalau kita mencintai Allah di
atas segala-galanya, berarti di akhirat kita lebih mengharapkan pertemuan
dengan Allah daripada dengan orang yang kita suka. Kalau di akhirat kita lebih
mengharapkan pertemuan dengan orang yang kita suka, apa itu bukan syirik? Jadi,
enggak ada gunanya juga kita suka-sukaan kalau bukan karena Allah.”
“Kamu ngomong apa sih?!”
“Deraz, mending kita enggak usah
berhubungan lagi,” Zahra terisak.
“Kenapa?”
“Mereka pasti tahu. Allah pasti
tahu.”
“Allah pasti tahu, tapi mereka
enggak perlu tahu. Oke, kita enggak usah jalan lagi …. Lagian entar lagi aku ke
Jerman, terus kamu lulus. Pas kuliah
kita bisa jalan lagi tanpa mesti berurusan dengan mereka.”
“Enggak ….”
“Mau aku bilangin ke mereka, kalau kamu
enggak kayak mereka? Kalau kamu bukan mereka?”
“Deraz ….”
“Kamu enggak perlu ikut-ikutan
mereka kalau kamu tersiksa. Mereka bukan Allah. Mereka enggak benar-benar tahu
kita ngapain aja. Mereka cuma suuzan, padahal suuzan itu juga dosa. Kalau
mereka suka menggunjingkan kita—hubungan kita—mereka sama aja kayak makan bangkai saudara sendiri, kan?”
Yang terdengar cuma isak Zahra.
“Lagian … kamu juga enggak
alim-alim amat—” Deraz ingat segala drama Korea dan aktor Jepang yang dinikmati Zahra sampai ditulis
berlembar-lembar di diary. Belum lagi Kang Hilman, yang sampai sekarang masih
misteri.
Zahra malah memutus sambungan. Deraz memanggil lagi berkali-kali
namun tidak diangkat. Lama kemudian barulah Zahra mengirim SMS berisi permintaan maaf. “Aku enggak bisa ngomong,”
jelasnya. Deraz berdesah, betapapun ia tahu sulitnya berbicara sambil menangis.
Deraz merasa sebaiknya ia tidur
saja. Sembari merebahkan diri, ia merengkuh guling dan mendekapkannya erat-erat
ke dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar