Minggu, 16 Desember 2018

(45)

Deraz jarang mengiyakan bila diajak ke bioskop, apalagi pergi atas inisiatif sendiri. Namun kali ini gagasan anak-anak mengajak Zahra menonton film terdengar bagus. Mengingat tumpukan DVD bajakan yang Deraz lihat di rumah Zahra tempo hari—yang tidak hanya terdiri dari drama Korea—kemungkinan gadis itu akan senang bila ditraktir di bioskop.

Memang Zahra mengiyakan ketika Deraz mengajaknya menonton bioskop di Bandung Super Mall pada akhir pekan.

“Mau nonton film apa?” tanya Zahra.

“Enggak tahu. Milih di sana aja entar,” sahut Deraz. “Aku jemput, ya.”

“Kita ketemu di sana aja,” tegas Zahra.

“Ya udah,” Deraz mengalah.

Mereka bertemu di XXI. Deraz menunjuk film horor—mengikuti saran anak-anak—namun Zahra menggeleng kuat-kuat. Deraz membiarkan Zahra memilih film sekalian bangku. Zahra memilih film bukan horor yang tidak lama lagi akan diputar. Setelah Deraz membayar tiket dan membeli nyamikan, mereka langsung duduk di dekat pintu teater.

Deraz membuka percakapan. “Sayang, ya, stan kita enggak menang, padahal bagus.”

Memang pada upacara Senin kemarin pemenang lomba stan kelas dan ekskul telah diumumkan.

“Memangnya kamu lihat?” Zahra masih cemberut.

“Aku lihat.” Deraz mengeluarkan ponsel. Lalu ia menunjukkan pada Zahra foto tampak depan stan kelas mereka.

“Kapan kamu ngambilnya?”

“Pagi-pagi pas Hari H.”

Sepertinya saat itu Zahra belum datang. Zahra mengembalikan ponsel Deraz tanpa menoleh. Deraz memerhatikan raut Zahra. Kalau gadis itu hendak menangis terharu, saputangan Opa Buyut selalu siap di saku celana Deraz. Namun Zahra tidak mau mengangkat wajah.

“Kamu tuh kayak barang pecah belah. Jangan dibanting,” ucap Deraz.

“Kamu nyamain aku kayak barang,” sahut Zahra tetap menunduk.

“Kalau orang, ya, harus tahan banting. Kan bukan dari kaca. Ada otot dan tulang.”

“Jadi aku bukan orang?”

“Orang yang enggak tahan banting.”

Zahra diam saja.

“Coba deh kamu sering olahraga,” kata Deraz lagi.

“Kenapa?”

“Biar tahan banting.”

Zahra menyahut dengan gumaman.

“Nih, ngemil dulu,” Deraz menawarkan pop corn di tangannya.

Zahra menggeleng.

Pintu teater telah dibuka. Mereka masuk. Rupanya Zahra memilih bangku di daerah tengah. Setelah setengah jam pemutaran film, pop corn habis dimakan Deraz yang lantas ketiduran. Ketika terbangun, Deraz hendak mengubah posisi duduk. Ia meletakkan sebelah tangannya pada pegangan kursi tanpa melihat tangan Zahra sedang bertengger di situ. Zahra memekik. Deraz terkejut. Beberapa penonton berdesis menyuruh hening. Deraz tidak tidur lagi hingga film berakhir.

Setelah keluar dari XXI, barulah Deraz berkata lagi. “Filmnya rame enggak?”

“Hm.”

“Mau jajan?”

“Enggak.”

Deraz berpaling seraya berdesah. This is lame. Zahra manyun maksimal sehingga tidak enak dilihat sama sekali. Deraz memerhatikan pasangan-pasangan lain yang ada di sekitarnya. Mereka tampak menikmati keberadaan satu sama lain: mengobrol, bercanda, tertawa, bergandeng tangan, dan sebagainya. Kenapa ia dan Zahra tidak bisa begitu? Padahal sewaktu terakhir kali jalan—di BIP—mereka sudah hampir menyerupai pasangan-pasangan itu. Kenapa sekarang jadi mundur? Seandainya saja Deraz bisa menggaet lengan Zahra dan merangkulnya supaya tidak menjaga jarak begitu.

“Aku mau pulang aja,” ucap Zahra.

Nah, apa lagi ini? Padahal Deraz baru mendapat gagasan untuk mengajak Zahra bermain di Kota Fantasi: naik jet coaster dan ontang-anting, mengumpulkan tiket lalu menukarkannya dengan boneka, apalah.

“Ya udah,” Deraz memendam kecewa. “Jalan yuk sampai rumah kamu.” Jarak dari BSM ke rumah Zahra paling-paling hanya setengah jam berjalan kaki. Deraz berharap mengobrol santai sambil berjalan kaki pada sore yang teduh dapat mencairkan kebekuan gadis itu.

“Enggak. Naik angkot aja,” tegas Zahra.

Deraz menahan diri supaya tidak berdecak. Apa lagi yang mesti ia lakukan?

Ketika melewati Heartwarmer, tiba-tiba ada yang menghampiri Zahra dan menyapanya. Deraz serta-merta ikut menoleh dan mendapati wajah-wajah yang dikenalinya sebagai akhwat DKM. Mereka bertatapan. Deraz tersenyum sekadarnya pada Ria, Muti, dan Anisa. Ia menahan tangannya supaya tidak menyeret Zahra dari situ seketika itu juga. “Yuk, Zahra,” ucap Deraz.

Zahra mengangguk kepada para akhwat lalu mengikuti Deraz menjauh. Deraz memerhatikan Zahra yang terus menunduk, tetapi kini raut gadis itu telah berubah.

Setelah naik angkot sekali dari BSM, mereka turun ketika ada belokan kedua. Zahra cepat-cepat menyerahkan ongkos pada sopir sebelum Deraz sempat membayari. Jarak dari titik itu ke rumah Zahra tanggung jika naik angkot lagi, sehingga mereka berjalan kaki. Namun sekalipun ada kesempatan bagi Deraz untuk mengobrol barang beberapa menit dengan Zahra, mereka tidak bercakap-cakap lagi. Ketika tiba di belokan yang memasuki perumahannya, tahu-tahu Zahra menyodorkan beberapa lembar uang pada Deraz dengan kedua tangan sembari membungkuk.

“Apa ini?”

“Buat bayar bioskop.” Zahra terus menatap permukaan jalan di bawahnya.

“Enggak usah.”

Zahra bergeming. Deraz merasa konyol jika saling mengotot dengan gadis itu di persimpangan begini. Begitu Deraz mengambil uang dari tangan Zahra, gadis itu serta-merta berbalik dan berjalan cepat-cepat memasuki jalan perumahan seakan-akan tidak ingin disusul. Deraz sendiri jadi malas. Begitu ada angkot hijau muda yang menjelang, ia menyetopnya untuk melanjutkan perjalanan pulang.

 

Wajah Zahra setelah melihat akhwat-akhwat DKM terus membayang di benak Deraz. Ia merasa benar-benar sudah satu hati dengan gadis itu, tetapi ini bukan perasaan yang enak. Pada waktu yang biasanya saat malam ia menelepon Zahra. Betapa kagetnya ia ketika Zahra mengatakan, “Deraz … kayaknya kita enggak usah berhubungan lagi.”

“Pakai ‘kayaknya’, berarti kamu enggak yakin.”

“Kita enggak usah jalan lagi,” tegas Zahra.

“Oke, kamu takut ketemu sama anak DKM lagi.”

“Aku takut sama Allah.”

“Anak DKM bukan Allah.”

“Tapi ….” Zahra terdiam. “Kita harus menjaga perasaan.”

“Terus?”

“Jangan sampai rasa suka kita mengalahkan rasa cinta kita sama Allah.”

“Terus?”

Zahra tidak bersuara.

“Aku enggak ngerti kenapa kamu mesti ngait-ngaitin perasaan suka sama makhluk dengan perasaan cinta sama Allah. Udah jelas itu beda tempat, bukan untuk dibanding-bandingin. Kalau aku suka sama kamu, apa aku sampai nyembah kamu, muja kamu? Enggak, kan? Aku suka sama kamu, tapi aku juga tetap beribadah sama Tuhan. Aku enggak menggantikan posisi Tuhan dengan kamu,” cecar Deraz.

Zahra tidak kunjung menyahut. Deraz berkata lagi, “Memangnya kita ngapain sih? Kita enggak pernah sengaja sentuhan. Kita enggak pernah berduaan aja di tempat sepi. Terus, kalau kita ngobrol, memangnya kita ngobrolin apa? Sewajarnya aja, kan? Kenapa kamu harus terganggu sama itu? Kamu terpengaruh sama cerita-cerita orang pacaran yang orientasinya berahi? Enggak. Kita enggak akan seperti itu. Kita orang baik-baik, Zahra. Kita bertindak pakai otak. Kita bukan orang yang suka berprasangka tanpa bukti. Kita tahu batasan dan bisa menjaga diri. Kamu harus yakin sama diri kamu sendiri. Kamu harus percaya sama aku. Kita harus yakin bisa jaga hubungan kita secara sehat dan positif, membuktikan sama diri kita sendiri, sama mereka.Mendadak Deraz menjadi orator.

“Tapi …” suara Zahra mulai parau, “kamu nyadar enggak sih, pas kita jalan, kadang ….”

“Kadang apa?” desak Deraz.

“Deraz … kayaknya kita harus belajar untuk mencintai Allah dulu sebelum mencintai makhluk.”

Deraz mengernyit. “Berapa lama waktu yang kamu butuhin buat belajar mencintai Allah?”

“Mmm—“

“Kalau kamu butuh sampai seumur hidup gimana? Kita enggak jadi-jadi dong. Memang enggak bisa sejalan seiring, ya?”

“Lagian,” tukas Zahra, “yang kita rasain ini cuma di dunia.”

“Apa maksud kamu ‘cuma di dunia’?”

“Karena kalau kita mencintai Allah di atas segala-galanya, berarti di akhirat kita lebih mengharapkan pertemuan dengan Allah daripada dengan orang yang kita suka. Kalau di akhirat kita lebih mengharapkan pertemuan dengan orang yang kita suka, apa itu bukan syirik? Jadi, enggak ada gunanya juga kita suka-sukaan kalau bukan karena Allah.”

“Kamu ngomong apa sih?!”

“Deraz, mending kita enggak usah berhubungan lagi,” Zahra terisak.

“Kenapa?”

“Mereka pasti tahu. Allah pasti tahu.”

“Allah pasti tahu, tapi mereka enggak perlu tahu. Oke, kita enggak usah jalan lagi …. Lagian entar lagi aku ke Jerman, terus kamu lulus. Pas kuliah kita bisa jalan lagi tanpa mesti berurusan dengan mereka.”

“Enggak ….”

“Mau aku bilangin ke mereka, kalau kamu enggak kayak mereka? Kalau kamu bukan mereka?”

“Deraz ….”

“Kamu enggak perlu ikut-ikutan mereka kalau kamu tersiksa. Mereka bukan Allah. Mereka enggak benar-benar tahu kita ngapain aja. Mereka cuma suuzan, padahal suuzan itu juga dosa. Kalau mereka suka menggunjingkan kitahubungan kitamereka sama aja kayak makan bangkai saudara sendiri, kan?”

Yang terdengar cuma isak Zahra.

“Lagian … kamu juga enggak alim-alim amat—” Deraz ingat segala drama Korea dan aktor Jepang yang dinikmati Zahra sampai ditulis berlembar-lembar di diary. Belum lagi Kang Hilman, yang sampai sekarang masih misteri.

Zahra malah memutus sambungan. Deraz memanggil lagi berkali-kali namun tidak diangkat. Lama kemudian barulah Zahra mengirim SMS berisi permintaan maaf. “Aku enggak bisa ngomong,” jelasnya. Deraz berdesah, betapapun ia tahu sulitnya berbicara sambil menangis.

Deraz merasa sebaiknya ia tidur saja. Sembari merebahkan diri, ia merengkuh guling dan mendekapkannya erat-erat ke dada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain