Program kerja Deraz untuk memperbaiki hubungan antara OSIS dan DKM berupa
rangkaian acara yang dijadwalkan pada sekitar pergantian tahun ajaran: tausiyah
dan istigasah bersama Aa Gym sebagai persiapan UN dan UAS, bazar produk islami
dan festival nasyid pada hari pembagian rapor, bakti sosial dan outbond bersama anak-anak panti asuhan
saat liburan sekolah yang diharapkan menjadi puncak keakraban antara kedua
organisasi, lalu ditutup dengan seminar remaja islami yang disisipkan ke agenda
MOS. Pengurus dari kedua organisasi tersebut akan berpadu menjadi Steering Committee yang memimpin
adik-adik kelas sebagai Organizing
Committee. Penanggung jawab tausiyah-istigasah serta bakti sosial-outbond berasal dari OSIS sedang
bazar-festival nasyid serta seminar remaja islami dari DKM. Tentu saja semua
itu bukan semata ide Deraz, melainkan juga masukan dari OSIS dan DKM sendiri.
Anak-anak OSIS bersemangat menghadirkan Aa Gym. Anak-anak DKM hendak mengadakan
seminar remaja islami.
Pada awalnya semua tampak positif. Anak-anak DKM menanggapi
dengan baik rencana ini. Anak-anak OSIS juga memahami maksud misi titipan ini.
Sungguhpun demikian, baik OSIS apalagi DKM mengelak dengan sejuta alasan ketika
ditunjuk menjadi ketua panitia, tanpa mengacuhkan Deraz yang tegas-tegas menyatakan,
“tidak menerima penolakan.” Mendadak tidak ada satu pun dari muka-muka itu yang
dapat dipercaya sebagai pemimpin, sehingga Deraz mau tidak mau terus memberikan
arahan.
Setelah rapat pertama di sekretariat OSIS, Deraz sulit
mempertemukan kedua belah pihak lagi. Padahal Deraz menjadwalkan rapat paling
tidak sebulan sekali, namun ada saja alasan dari kedua belah pihak untuk
menangguhkannya dan akibatnya masing-masing bergerak lebih pelan daripada
bekicot kelengar. Sekalinya rapat efektif, itu dilangsungkan dengan tiap-tiap
pihak secara terpisah. Padahal Deraz mengarahkan baik SC maupun OC untuk
tiap-tiap acara merupakan campuran dari kedua organisasi, tetapi jadinya
anak-anak OSIS mengurus acara dengan Aa Gym dan panti asuhan saja sementara
anak-anak OSIS menyiapkan yang lainnya. Padahal Deraz mengharapkan OSIS dan DKM
proaktif mengakrabkan diri sedari awal dengan penggalangan dana bersama, tetapi
sepertinya tiap-tiap pihak punya cara sendiri untuk mengakali anggaran asal ia
tahu beres saja. Padahal OH Bazar melibatkan lebih banyak perkumpulan
siswa—malah hampir semuanya—dan anak-anak OSIS luwes saja bekerja sama dengan
mereka, terlepas dari berbagai masalah yang pasti ada. Tetapi, dengan anak-anak
DKM mereka ogah-ogahan bukan kepalang. Anak-anak DKM juga tidak kalah sungkan
terhadap anak-anak OSIS.
Kini Deraz mengerti yang dimaksud Kang Ega.
Setelah bernapas sebentar dari OH Bazar, Deraz mengajak
anak-anak OSIS berkumpul lagi dengan anak-anak DKM.
“Anak-anak DKM pengin kali ini rapatnya di sekre mereka.”
Anak-anak mengerang.
“Ayo, dong! Kapan lagi kita mau kumpul bareng? Waktunya udah
semakin dekat. Kita tuntasin ini sebelum MOS dan ganti kepengurusan!” dorong
Deraz.
Sekretariat DKM berada di lantai dua masjid. Rupanya ada
tangga berbeda untuk laki-laki dan perempuan. “Laki-laki lewat sini!” tegur
Deraz pada beberapa cowok OSIS yang mengikuti cewek-cewek OSIS menaiki tangga
untuk perempuan setelah membuka sepatu.
Begitu memasuki sekretariat DKM yang berupa separuh lantai
dua, anak-anak OSIS takjub mendapati tabir abu-abu membelah ruangan. Dengan
rikuh cowok-cowok OSIS mengikuti Deraz ke sisi sebelah dalam tabir. Begitu
duduk di lantai pada sisi lain tabir, para cewek OSIS yang tidak berjilbab
serta-merta menarik rok mereka ke depan agar menutupi lutut walaupun sia-sia.
Lantai sekretariat DKM begitu dingin menghunjam betis mereka. Anak-anak DKM
sendiri telah lengkap sedari tadi duduk menunggu kedatangan mereka.
“Kita kan kan sekolah di SMA negeri, bukan di pesantren,”
bisik-bisik para anak OSIS.
Deraz membuka rapat dengan salam dan selawat. Ia benar-benar
sudah hafal protokol DKM.
Anak-anak OSIS merasa segan hendak bertingkah di sekitar
anak-anak DKM yang pada kalem dan menjaga sikap, sehingga rapat bermula dengan
amat lancar. Anak-anak OSIS berkata yang penting saja sesuai dengan yang
diminta Deraz. Walaupun selama ini kemajuan mereka dalam proker tersebut penuh
selubung, ternyata anak-anak OSIS telah berbuat dengan sebaik-baiknya. Aa Gym
sudah menyatakan kesediaannya untuk memberi tausiyah berikut istigasah di
SMANSON. Anak-anak OSIS tinggal membuat publikasi dan menyiapkan tempat pada
tanggal yang ditetapkan. Mereka juga telah menyurvei beberapa panti asuhan dan
selebihnya hendak merundingkannya bersama anak-anak DKM.
“Baik.” Deraz mencentang poin masing-masing untuk
tausiyah-istigasah serta bakti sosial-outbond
pada papan tulis di belakangnya, dengan membubuhkan catatan pada yang kedua. Ia
merasa puas karena OSIS telah bersikap begitu penuh sopan santun lagi serius,
di samping menyatakan iktikad terhadap DKM. Timbul pengharapannya bahwa kerja
sama dengan DKM memang dapat mengembuskan hawa positif ke tubuh OSIS.
“Sekarang, dari DKM?”
“Bismillahirahmanirrahim. Alhamdulillah …“
“Tadi gue ngucapin bimillah sama alhamdulillah enggak, ya?”
bisik anak OSIS yang barusan menyampaikan laporan kepada sesamanya dengan
waswas.
“… untuk bazar, hampir semua stan sudah ada yang mau
menempati. Tinggal satu stan yang kosong. Barangkali dari OSIS ada kenalan yang
berjualan produk islami, bisa menghubungi kami.”
“Baik. Untuk OSIS yang punya kenalan, sehabis ini harap
memberi tahu DKM,” Deraz menanggapi dengan senang karena DKM juga memberi umpan
balik pada OSIS.
“Alf, mama lu jualan pempek lagi, gih,” bisik Gilang pada
Mitratama yang duduk di sampingnya. Kalau bukan bersama anak-anak DKM, ia sudah
akan menceletuk saja keras-keras. “Kasih label halal, Alf, biar kesannya
islami, gitu.”
“Lu kira pempek bikinnya pakai babi …” bisik Alf tidak kalah
pelan.
“Untuk festival nasyid, kami sedang mempertimbangkan untuk
tidak mengadakannya,” lanjut perwakilan dari DKM.
“Kenapa?” tanya Deraz dilatari bisik-bisik serupa dari para
anak OSIS yang enggan menyatakan langsung pada anak-anak DKM yang padahal duduk
berdekatan dengan mereka.
“Karena musik itu haram?” Ipong tidak tahan untuk menceletuk.
“Bukannya MQ FM juga siarannya nasyid, ya?”
“Pong, angkat tangan dulu, ih. Ngomong kalau udah
dipersilakan. Malu-maluin aja lu!” tegur Jati berbisik-bisik seraya menundukkan
kepala. Ipong buru-buru mengangkat tangan. Dengan tampang malas, Deraz
mengibas-ngibaskan tangan menyuruh Ipong menurunkan tangan.
“Afwan, bukan
begitu. Kami tidak biasa mengadakan acara musik,” kali ini suara akhwat yang
menyahut.
Ipong buru-buru mengangkat tangannya lagi.
“Silakan, Ipong,” ucap Deraz.
“Gampang itu mah. Lewat KOMBAS aja. Semua band di SMANSON ngumpulnya di situ, dan
mereka biasa gercep buat gig. Tahun
lalu aja, pas hari pembagian rapor juga kita ngadain Jazz After UAS, kan. Festival nasyid ini biar jadi kayak
pertunjukan tematik lagi buat mereka,” ujar Ipong. Memang sejak menjadi
pentolan di KOMBAS sekaligus Kabid VIII di OSIS, ia menguasai konser
kecil-kecilan komunitas tersebut yang diadakan setiap hari pada jam istirahat
serta sepulang sekolah di Kabita.
“Bagaimana, DKM?”
“Kalau begitu, kami menyerahkan ini kepada OSIS,” sambut
akhwat yang tadi.
Deraz menanggapi, “Untuk festival nasyid, kita akan bekerja
sama. Saya anjurkan setelah ini Ipong dengan perwakilan DKM rapat bersama
KOMBAS. DKM juga sebaiknya mempersiapkan kelompok-kelompok nasyid untuk
meramaikan.”
“Wah, seru tuh!” Jati tidak tahan untuk menceletuk juga
dilatari gumam-gumam mendukung dari anak-anak OSIS yang lain.
“Mohon dikondisikan lagi supaya tetap tenang. DKM, setuju,
ya?” sahut Deraz.
“Insya Allah.”
“Alhamdulllah.” Titik terang yang dilihat Deraz di kejauhan
mulai membesar sedikit. Coba sedari awal mereka mengakui kebutuhan untuk saling
membantu, pikir Deraz, bukannya ketika waktu mulai mepet begini. Ternyata
memang banyak kans untuk OSIS dan DKM bekerja sama. Deraz mencentang poin
festival nasyid pada papan tulis. “Baiklah. Sekarang, bagaimana dengan
seminar?”
Terdengar akhwat yang sama. Tampaknya ia paling vokal di DKM.
“Untuk seminar remaja islami, kami akan mengangkat judul ‘Pacaran Islami:
Adakah?’ Seminar ini bertujuan untuk memahamkan adab-adab pergaulan antara
laki-laki dan perempuan. Selain ustaz yang akan menyampaikan perspektif Islam,
kami juga mengundang dokter yang akan memberikan edukasi tentang kesehatan
reproduksi remaja, serta psikolog yang akan membahas tentang seksualitas remaja
….” Sementara akhwat tersebut membacakan rangkuman kegiatan, anak-anak OSIS
yang tadinya mulai santai menjadi tegak kembali. Tidak seorang pun di antara
mereka yang berbisik-bisik lagi.
Setelah pembacaan rangkuman kegiatan selesai, Deraz berujar,
“Terima kasih. Konsepnya sangat terperinci dan matang. Mmm, OSIS, ada masukan?”
Ia menatap cowok-cowok OSIS. Ia tidak duduk tepat di hadapan garis tabir yang
memisahkan laki-laki dengan perempuan, tetapi di tengah-tengah hadapan barisan
laki-laki—di ujung papan tulis. Ia tidak bisa melihat para perempuan kecuali
dengan jelas-jelas menjulurkan kepala, dan itu bukan perbuatan patut. Meski
begitu, dari suaranya ia mengenali akhwat yang paling vokal itu.
Cowok-cowok yang ditatap Deraz pada menunduk. Mereka tahu
arti tatapannya: “Ayolah, masak wawasan Islam kalian sesempit itu?!”
Yoga mengacung.
“Silakan, Yoga.”
“Bagaimana kalau temanya jihad? Bentuk-bentuk jihad pemuda
muslim di era modern? Sekarang ini jihad tidak harus dengan mengangkat pedang
seperti pada masa Rasulullah SAW, tetapi bisa dengan cara-cara lain yang
mengangkat citra positif Islam di mata dunia. Untuk pembicara, kita bisa
menghadirkan tokoh atau alumni yang sukses dalam profesinya tapi religius.”
“Setuju!” serta-merta ada laki-laki yang berseru.
“Allahuakbar!” namun bukan dari DKM.
“Allahuakbar!” gelegar cowok-cowok OSIS yang lain seraya
mengepalkan tangan kanan ke atas.
Deraz berdeham sampai cowok-cowok OSIS tenang kembali dan
anak-anak DKM pulih dari kekagetan. “Bagaimana, DKM?”
Ria berkata lagi, “Kami semua dari DKM sudah bersepakat untuk
mengadakan seminar dengan tema pacaran islami sedari awal. Malah sebenarnya
ini merupakan program kerja intra-DKM. Tapi, dengan adanya tawaran kerja sama
dari OSIS, kami mengikutkannya sebagai usulan. Kami sudah menghubungi semua
pembicara, tinggal menunggu kepastian waktu karena menyesuaikan dengan agenda
MOS.”
Tentu saja Ria tidak memerhatikan perubahan raut anak-anak
OSIS, yang menjadi amat gatal untuk menimpali.
“Gue enggak yakin bakal ada yang mau nonton seminar tentang
pacaran di awal tahun ajaran.”
“Acaranya bagian dari MOS, kan?” sela Ria.
“Kayaknya itu malah bakal menurunkan semangat belajar siswa
baru deh. Kalau gue sih setuju sama ide jihad, apalagi momennya pas awal tahun
ajaran. Pas banget tuh! Semangat jihad bisa dikaitkan dengan prestasi di
sekolah.”
“Allahuakbar!”
“ALLAHUAKBAR!”
“Pacaran itu hak segala bangsa!”
“Pacaran itu tidak sesuai dengan tuntunan Islam!” Ria
menyengat.
“Islam yang mana dulu nih?”
“Islam yang lurus!”
“Anak DKM enggak usah munafiklah! Kalian juga pasti ada yang
suka-sukaan, kan?!”
“Memang kalian bukan manusia, ya, enggak pernah
suka-sukaan?!”
“Iyalah, anak DKM kan pintar mengendalikan diri.”
“Justru itu, kami hendak mengajak semua untuk sama-sama
belajar!”
“Kalau pengin dakwah tuh, temanya yang santai sedikit,
kenapa? Yang semua orang bisa relate,
gitu?”
“Kami bukan mau menghakimi!”
“Tapi tetap aja dari judulnya aja orang pasti tahu arahnya ke
mana ….”
Deraz menggedor papan tulis dengan penghapus sampai semuanya
terdiam. “Tolong fokus, ya,” tandasnya. “Ini proker kita bersama. Kita wujudkan
bersama, dan itu harus ada kata mufakat,” tegas Deraz penuh tekad. “Kita kerja
sama mulai dari rapat. Saya mohon kerja sama kalian supaya rapat ini bisa
berlangsung dengan tertib!”
Tidak ada yang menanggapi.
“Jangan aja yang bicara sebelum ditunjuk,” ujar Deraz lagi.
“Oke. Sekarang siapa yang mau mengajukan pendapat?”
Ipong mengacung.
“Silakan, Ipong.”
“Mungkin dari DKM bisa lebih terbuka ….”
“Terbuka apanya, Pong?”
“Aaa, Ipong udah buka-bukaan aja. Dek Ipong udah gede, ya?”
“Dek Ipong udah buluan belum?”
“Eh, ini lagi di masjid,” tegur Yoga.
“Iya tuh. Kalau mau buka-bukaan jangan di masjid,” Jati
mengompori, padahal tadi termasuk yang menggoda Ipong.
Alf mendesis-desis, sembari mengarahkan cowok-cowok itu agar
kembali memerhatikan Deraz, yang mendelik tajam pada mereka. Mereka terdiam.
Sebentar kemudian ada yang menceletuk, “Terbuka apanya,
Pong?”
Ipong yang menyadari Deraz memerhatikannya lantas meneguk
ludah. “Saya boleh lanjut?”
“Silakan,” sahut Deraz pelan.
“Terbuka …” mendadak buyar kata-kata yang hendak Ipong
ucapkan, “… pikirannya, gitu? Maksudnya …. Ngertilah!” Ipong mencari dukungan
dari anak-anak yang menanti di sekitarnya.
“Izin bicara!” suara Soraya.
“Silakan.”
“Gue ngerti, Pong. Oke, kita ngerti kalau anak-anak DKM punya
misi mensaleh-dan-salehahkan semua anak SMANSON. Tapi, yaa, ngertilah, berapa
banyak sih anak SMANSON yang enggak pacaran? Terus, kalian ujug-ujug mau ngelarang anak-anak yang pacaran, gitu?”
“Kami hanya ingin memahamkan adab pergaulan dengan lawan
jenis dalam Islam. Kami yakin ini adalah tema yang sangat relevan buat remaja
seusia kita,” suara Ria.
“Eh, siapa tuh enggak minta izin dulu buat ngomong?!” sergah
Ipong, yang kalaupun bisa melihat orang tersebut, yang dikenalnya cuma wajah
bukan nama.
“Kalau lu pengin ngelarang orang pacaran, sidangin aja
satu-satu, enggak usah pakai seminar segala!”
“Si TOA ikut-ikutan lagi.” Ipong kenal betul suara Soraya.
Deraz memutuskan, “Kita akan ganti tema. Kita harus cari tema
yang bisa masuk ke semua siswa. Jadi, bagaimana dengan tema jihad?”
“Allahuakbar!” teriak seorang cowok OSIS.
“ALLAHUAKBAR!” timpal cowok-cowok OSIS yang lain tanpa lupa
mengepalkan tangan kanan ke atas.
“Izin bicara,” suara Ria.
“Silakan.”
“Baiklah kalau OSIS tidak setuju dengan tema yang kami
usulkan. Kami tidak akan memasukkan ini ke agenda kerja sama dengan OSIS. Kami
bisa menyelenggarakan acara ini sebagai agenda kami sendiri. Kalau OSIS tetap
ingin mengadakan seminar remaja islami dengan tema lain, insya Allah kami akan
membantu.”
“Justru itu masalahnya!” tukas Jati. “Kita pengin OSIS dan
DKM mulai bekerja sama, enggak jalan sendiri-sendiri kayak biasanya!”
“Lagian,” sela Gilang dengan suara tidak kalah keras, “tiap
kali DKM mau ngadain acara tuh seharusnya dengan persetujuan OSIS, kan?”
“Kalau kalian keukeuh
ngadain acara kayak gitu, paling juga yang datang anak-anak DKM doang. Padahal
kalian pasti pengin kan ada sebanyak-banyaknya anak yang datang?” timpal Ipong.
“Insya Allah akan banyak datang.” Kali ini ikhwan yang urun
suara. “Kami akan menjadikan ini sebagai tugas mentoring, sehingga kehadiran di
seminar dapat memengaruhi nilai agama. Ini tema yang penting—“
Tabir tersibak. Para ikhwan seketika memalingkan wajah dari
cewek-cewek OSIS yang pamer rambut dan betis, sementara cowok-cowok OSIS
semringah mendapati akhwat-akhwat putih berbibir merah yang pada kompak
menunduk ke arah lain.
“Sekalian aja kita minta Aa Gym ngisi tausiyahnya tentang
bahaya pacaran. Biar sebelum UN dan UAS, anak-anak pada mutusin pacarnya. Biar
pada fokus belajar! Dijamin deh semua pada dapat sembilan di rapor!” seru
Soraya sarkastis. “Terus pas istigasah biar Aa Gym memintakan ampun buat kita
dari dosa-dosa pacaran!”
Seketika ruangan menjadi ricuh. Beberapa anak DKM berusaha
memasang tabir kembali, namun Soraya bersikeras menghalangi. Anak-anak OSIS
terus mengoarkan ketidaksetujuan mereka, sementara anak-anak DKM selebihnya
kukuh mempertahankan kesepakatan mereka. Deraz membanting penghapus papan tulis
ke dinding di seberangnya. Namun anak-anak OSIS hanya memandangnya sekilas lalu
melanjutkan serbuan, toh bukan sekali ini mereka menyaksikan Deraz mengambek di
rapat.
Kini rapat OSIS-DKM telah menjadi kontes debat—bukan. Kontes
debat masih menuruti peraturan. Pertentangan ini lebih menyerupai medan perang
antarsuku barbar yang sama-sama ekstrem dengan keyakinan masing-masing. Namun,
di mata Deraz, ia seolah-olah duduk di meja adjudicator
bersama Alf dan … Zahra? Sedari tadi ia tidak memerhatikan ada Zahra di ruangan
ini. Keduanya tengah mengisi lembar penilaian. Zahra memberikan nilai penuh
untuk tim DKM dan kosong untuk tim OSIS. Alf memberikan nilai penuh bagi kedua
tim. Mereka menoleh dan memandangi Deraz yang belum mengisikan apa-apa pada
lembar penilaian. Deraz harus mengisikan apa? Ia memindai setiap aspek
penilaian. Matter. Manner. Method.
Bagaimana mereka bisa memberi nilai penuh atau kosong pada semuanya? Deraz
tidak bisa menentukan berapa angka yang harus ia isikan. Ia memilih untuk
meninggalkan arena daripada berubah menjadi Hulk.
Deraz berjongkok di depan keran di samping sekretariat OSIS. Ia membasuh
muka lalu seluruh kepalanya sekalian. Ia membiarkan air dari keran mengaliri
kepalanya sampai terdengar Alf memanggil. Dengan pundak kuyup Deraz bergeming
memandangi Alf yang terengah-engah menghampiri.
Sementara Alf meredakan napasnya, Deraz tidak bereaksi.
Ia baru tertegun ketika Alf yang sudah tenang mengatakan,
“Kamu keluar dari kepanitiaan. Kamu bantuin aja nanti pas bikin LPJ dan
sebagainya.”
Namun Deraz masih belum mampu untuk mengatakan apa pun. Ia
kembali memandang ke depan dan berpikir: Apa lagi yang ia gagalkan kali ini?
WSDC, Zahra, dan kini proker—agenda besar OSIS-DKM, misi yang dipercayakan
ketua OSIS angkatan sebelum ini serta yang sekarang kepadanya …?
Deraz berdiri.
“Jangan balik ke sana, Deraz.” Alf menahan langkahnya.
“Anak-anak—enggak OSIS enggak DKM—udah terlalu personal sama kamu. Kamu ngerti
sendiri situasinya kayak gimana.”
“Tanggung jawab saya mengurus acara ini sampai selesai,”
tegas Deraz sembari mendahului Alf.
Namun Alf mengadangnya lagi. “Kamu nyadar enggak sih alasan
kamu diangkat jadi Kabid I?” Alf menjurus matanya. Deraz terdiam. “Karena
tadinya kamu enggak pacaran. Iya sih, kita tahu kamu enggak pacaran sama Zahra.
Tapi kamu tahu sendiri kan anak-anak DKM strict
banget soal hubungan cowok-cewek, sementara hubungan kamu sama Zahra udah kayak
pacaran. Kita enggak nyalahin kamu. Kita justru seneng kalau kamu bisa sama
orang yang kamu suka. Kita mendukung hubungan kamu sama Zahra. Tapi dengan DKM
kita harus bijaksana, Raz.”
“Ini bukan tentang saya!” Deraz bersikeras.
“Ini memang tentang kamu! Hubungan kamu dengan DKM lebih dari
yang kamu tahu. Kalau kamu ngotot kembali ke sana, mereka akan terus menyidang kamu di depan semua anak DKM
dan OSIS. Itu tujuan mereka, sampai kamu menyetujui
bahwa hubungan kalian itu salah.
Rapat enggak akan ke mana-mana.”
Enggak OSIS, enggak DKM. Orang di
mana-mana sama saja!
“Biar kami aja yang
nyelesein ini. Percaya sama kami. Tugas kamu cukup sampai di sini.
Ini perintah dari ketua OSIS! Dewan penasihat juga sudah memaklumi.”
Deraz memandang Alf yang menatapnya dengan serius. Tubuhnya
gemetar. Namun ia juga merasakan keletihan sekonyong-konyong menguasai. Deraz
menunduk. “Saya pulang,” ucapnya, sembari berganti haluan menuju sekretariat
OSIS untuk mengambil ransel. Ia tidak melihat Alf yang mengembuskan napas
sembari membungkuk lemas. Ketika Deraz keluar dari sekretariat OSIS sembari
menggendong ransel, Alf buru-buru menegakkan badan. Ia melambai pada Deraz yang
berlalu setelah mengunci lagi pintu ruangan.
Sementara Deraz bersepeda menjauh dari sekolah dan
mengacungkan jari tengah pada angkot yang mengklakson dan nyaris
menyerempetnya, Alf kembali ke masjid. Anak-anak OSIS tengah mengenakan kembali
sepatu di muka tangga.
“Siapa yang ngebubarin rapat?” tegur Alf.
“Apa lagi yang mau diomongin?”
“Lah, ketuanya aja hilang!”
“Lu mau ngapain, Alf?” Mereka melihat Alf duduk di beton
mencopot sepatu.
“Mau membereskan kekacauan yang kalian buat!” sahut Alf
dengan judes. “Yoga, Bram, ikut, ya!” nadanya memerintah. “Yang lain enggak
usah ikut-ikutan!” Ia meniru gaya Deraz, biarpun dikatai sok galak.
“Siapa juga yang mau dikhotbahin terus sama DKM?” balas yang
lain.
Yoga dan Bram melepas lagi sepatu mereka lalu mengikuti Alf
melangkah gagah ke sekretariat DKM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar