Kamis, 20 Desember 2018

(49)

Program kerja Deraz untuk memperbaiki hubungan antara OSIS dan DKM berupa rangkaian acara yang dijadwalkan pada sekitar pergantian tahun ajaran: tausiyah dan istigasah bersama Aa Gym sebagai persiapan UN dan UAS, bazar produk islami dan festival nasyid pada hari pembagian rapor, bakti sosial dan outbond bersama anak-anak panti asuhan saat liburan sekolah yang diharapkan menjadi puncak keakraban antara kedua organisasi, lalu ditutup dengan seminar remaja islami yang disisipkan ke agenda MOS. Pengurus dari kedua organisasi tersebut akan berpadu menjadi Steering Committee yang memimpin adik-adik kelas sebagai Organizing Committee. Penanggung jawab tausiyah-istigasah serta bakti sosial-outbond berasal dari OSIS sedang bazar-festival nasyid serta seminar remaja islami dari DKM. Tentu saja semua itu bukan semata ide Deraz, melainkan juga masukan dari OSIS dan DKM sendiri. Anak-anak OSIS bersemangat menghadirkan Aa Gym. Anak-anak DKM hendak mengadakan seminar remaja islami.

Pada awalnya semua tampak positif. Anak-anak DKM menanggapi dengan baik rencana ini. Anak-anak OSIS juga memahami maksud misi titipan ini. Sungguhpun demikian, baik OSIS apalagi DKM mengelak dengan sejuta alasan ketika ditunjuk menjadi ketua panitia, tanpa mengacuhkan Deraz yang tegas-tegas menyatakan, “tidak menerima penolakan.” Mendadak tidak ada satu pun dari muka-muka itu yang dapat dipercaya sebagai pemimpin, sehingga Deraz mau tidak mau terus memberikan arahan.

Setelah rapat pertama di sekretariat OSIS, Deraz sulit mempertemukan kedua belah pihak lagi. Padahal Deraz menjadwalkan rapat paling tidak sebulan sekali, namun ada saja alasan dari kedua belah pihak untuk menangguhkannya dan akibatnya masing-masing bergerak lebih pelan daripada bekicot kelengar. Sekalinya rapat efektif, itu dilangsungkan dengan tiap-tiap pihak secara terpisah. Padahal Deraz mengarahkan baik SC maupun OC untuk tiap-tiap acara merupakan campuran dari kedua organisasi, tetapi jadinya anak-anak OSIS mengurus acara dengan Aa Gym dan panti asuhan saja sementara anak-anak OSIS menyiapkan yang lainnya. Padahal Deraz mengharapkan OSIS dan DKM proaktif mengakrabkan diri sedari awal dengan penggalangan dana bersama, tetapi sepertinya tiap-tiap pihak punya cara sendiri untuk mengakali anggaran asal ia tahu beres saja. Padahal OH Bazar melibatkan lebih banyak perkumpulan siswa—malah hampir semuanya—dan anak-anak OSIS luwes saja bekerja sama dengan mereka, terlepas dari berbagai masalah yang pasti ada. Tetapi, dengan anak-anak DKM mereka ogah-ogahan bukan kepalang. Anak-anak DKM juga tidak kalah sungkan terhadap anak-anak OSIS.

Kini Deraz mengerti yang dimaksud Kang Ega.

Setelah bernapas sebentar dari OH Bazar, Deraz mengajak anak-anak OSIS berkumpul lagi dengan anak-anak DKM.

“Anak-anak DKM pengin kali ini rapatnya di sekre mereka.”

Anak-anak mengerang.

“Ayo, dong! Kapan lagi kita mau kumpul bareng? Waktunya udah semakin dekat. Kita tuntasin ini sebelum MOS dan ganti kepengurusan!” dorong Deraz.

Sekretariat DKM berada di lantai dua masjid. Rupanya ada tangga berbeda untuk laki-laki dan perempuan. “Laki-laki lewat sini!” tegur Deraz pada beberapa cowok OSIS yang mengikuti cewek-cewek OSIS menaiki tangga untuk perempuan setelah membuka sepatu.

Begitu memasuki sekretariat DKM yang berupa separuh lantai dua, anak-anak OSIS takjub mendapati tabir abu-abu membelah ruangan. Dengan rikuh cowok-cowok OSIS mengikuti Deraz ke sisi sebelah dalam tabir. Begitu duduk di lantai pada sisi lain tabir, para cewek OSIS yang tidak berjilbab serta-merta menarik rok mereka ke depan agar menutupi lutut walaupun sia-sia. Lantai sekretariat DKM begitu dingin menghunjam betis mereka. Anak-anak DKM sendiri telah lengkap sedari tadi duduk menunggu kedatangan mereka.

“Kita kan kan sekolah di SMA negeri, bukan di pesantren,” bisik-bisik para anak OSIS.

Deraz membuka rapat dengan salam dan selawat. Ia benar-benar sudah hafal protokol DKM.

Anak-anak OSIS merasa segan hendak bertingkah di sekitar anak-anak DKM yang pada kalem dan menjaga sikap, sehingga rapat bermula dengan amat lancar. Anak-anak OSIS berkata yang penting saja sesuai dengan yang diminta Deraz. Walaupun selama ini kemajuan mereka dalam proker tersebut penuh selubung, ternyata anak-anak OSIS telah berbuat dengan sebaik-baiknya. Aa Gym sudah menyatakan kesediaannya untuk memberi tausiyah berikut istigasah di SMANSON. Anak-anak OSIS tinggal membuat publikasi dan menyiapkan tempat pada tanggal yang ditetapkan. Mereka juga telah menyurvei beberapa panti asuhan dan selebihnya hendak merundingkannya bersama anak-anak DKM.

“Baik.” Deraz mencentang poin masing-masing untuk tausiyah-istigasah serta bakti sosial-outbond pada papan tulis di belakangnya, dengan membubuhkan catatan pada yang kedua. Ia merasa puas karena OSIS telah bersikap begitu penuh sopan santun lagi serius, di samping menyatakan iktikad terhadap DKM. Timbul pengharapannya bahwa kerja sama dengan DKM memang dapat mengembuskan hawa positif ke tubuh OSIS. “Sekarang, dari DKM?”

“Bismillahirahmanirrahim. Alhamdulillah …“

“Tadi gue ngucapin bimillah sama alhamdulillah enggak, ya?” bisik anak OSIS yang barusan menyampaikan laporan kepada sesamanya dengan waswas.

“… untuk bazar, hampir semua stan sudah ada yang mau menempati. Tinggal satu stan yang kosong. Barangkali dari OSIS ada kenalan yang berjualan produk islami, bisa menghubungi kami.”

“Baik. Untuk OSIS yang punya kenalan, sehabis ini harap memberi tahu DKM,” Deraz menanggapi dengan senang karena DKM juga memberi umpan balik pada OSIS.

“Alf, mama lu jualan pempek lagi, gih,” bisik Gilang pada Mitratama yang duduk di sampingnya. Kalau bukan bersama anak-anak DKM, ia sudah akan menceletuk saja keras-keras. “Kasih label halal, Alf, biar kesannya islami, gitu.”

“Lu kira pempek bikinnya pakai babi …” bisik Alf tidak kalah pelan.

“Untuk festival nasyid, kami sedang mempertimbangkan untuk tidak mengadakannya,” lanjut perwakilan dari DKM.

“Kenapa?” tanya Deraz dilatari bisik-bisik serupa dari para anak OSIS yang enggan menyatakan langsung pada anak-anak DKM yang padahal duduk berdekatan dengan mereka.

“Karena musik itu haram?” Ipong tidak tahan untuk menceletuk. “Bukannya MQ FM juga siarannya nasyid, ya?”

“Pong, angkat tangan dulu, ih. Ngomong kalau udah dipersilakan. Malu-maluin aja lu!” tegur Jati berbisik-bisik seraya menundukkan kepala. Ipong buru-buru mengangkat tangan. Dengan tampang malas, Deraz mengibas-ngibaskan tangan menyuruh Ipong menurunkan tangan.

Afwan, bukan begitu. Kami tidak biasa mengadakan acara musik,” kali ini suara akhwat yang menyahut.

Ipong buru-buru mengangkat tangannya lagi.

“Silakan, Ipong,” ucap Deraz.

“Gampang itu mah. Lewat KOMBAS aja. Semua band di SMANSON ngumpulnya di situ, dan mereka biasa gercep buat gig. Tahun lalu aja, pas hari pembagian rapor juga kita ngadain Jazz After UAS, kan. Festival nasyid ini biar jadi kayak pertunjukan tematik lagi buat mereka,” ujar Ipong. Memang sejak menjadi pentolan di KOMBAS sekaligus Kabid VIII di OSIS, ia menguasai konser kecil-kecilan komunitas tersebut yang diadakan setiap hari pada jam istirahat serta sepulang sekolah di Kabita.

“Bagaimana, DKM?”

“Kalau begitu, kami menyerahkan ini kepada OSIS,” sambut akhwat yang tadi.

Deraz menanggapi, “Untuk festival nasyid, kita akan bekerja sama. Saya anjurkan setelah ini Ipong dengan perwakilan DKM rapat bersama KOMBAS. DKM juga sebaiknya mempersiapkan kelompok-kelompok nasyid untuk meramaikan.”

“Wah, seru tuh!” Jati tidak tahan untuk menceletuk juga dilatari gumam-gumam mendukung dari anak-anak OSIS yang lain.

“Mohon dikondisikan lagi supaya tetap tenang. DKM, setuju, ya?” sahut Deraz.

“Insya Allah.”

“Alhamdulllah.” Titik terang yang dilihat Deraz di kejauhan mulai membesar sedikit. Coba sedari awal mereka mengakui kebutuhan untuk saling membantu, pikir Deraz, bukannya ketika waktu mulai mepet begini. Ternyata memang banyak kans untuk OSIS dan DKM bekerja sama. Deraz mencentang poin festival nasyid pada papan tulis. “Baiklah. Sekarang, bagaimana dengan seminar?”

Terdengar akhwat yang sama. Tampaknya ia paling vokal di DKM. “Untuk seminar remaja islami, kami akan mengangkat judul ‘Pacaran Islami: Adakah?’ Seminar ini bertujuan untuk memahamkan adab-adab pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Selain ustaz yang akan menyampaikan perspektif Islam, kami juga mengundang dokter yang akan memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi remaja, serta psikolog yang akan membahas tentang seksualitas remaja ….” Sementara akhwat tersebut membacakan rangkuman kegiatan, anak-anak OSIS yang tadinya mulai santai menjadi tegak kembali. Tidak seorang pun di antara mereka yang berbisik-bisik lagi.

Setelah pembacaan rangkuman kegiatan selesai, Deraz berujar, “Terima kasih. Konsepnya sangat terperinci dan matang. Mmm, OSIS, ada masukan?” Ia menatap cowok-cowok OSIS. Ia tidak duduk tepat di hadapan garis tabir yang memisahkan laki-laki dengan perempuan, tetapi di tengah-tengah hadapan barisan laki-laki—di ujung papan tulis. Ia tidak bisa melihat para perempuan kecuali dengan jelas-jelas menjulurkan kepala, dan itu bukan perbuatan patut. Meski begitu, dari suaranya ia mengenali akhwat yang paling vokal itu.

Cowok-cowok yang ditatap Deraz pada menunduk. Mereka tahu arti tatapannya: “Ayolah, masak wawasan Islam kalian sesempit itu?!”

Yoga mengacung.

“Silakan, Yoga.”

“Bagaimana kalau temanya jihad? Bentuk-bentuk jihad pemuda muslim di era modern? Sekarang ini jihad tidak harus dengan mengangkat pedang seperti pada masa Rasulullah SAW, tetapi bisa dengan cara-cara lain yang mengangkat citra positif Islam di mata dunia. Untuk pembicara, kita bisa menghadirkan tokoh atau alumni yang sukses dalam profesinya tapi religius.”

“Setuju!” serta-merta ada laki-laki yang berseru.

“Allahuakbar!” namun bukan dari DKM.

“Allahuakbar!” gelegar cowok-cowok OSIS yang lain seraya mengepalkan tangan kanan ke atas.

Deraz berdeham sampai cowok-cowok OSIS tenang kembali dan anak-anak DKM pulih dari kekagetan. “Bagaimana, DKM?”

Ria berkata lagi, “Kami semua dari DKM sudah bersepakat untuk mengadakan seminar dengan tema pacaran islami sedari awal. Malah sebenarnya ini merupakan program kerja intra-DKM. Tapi, dengan adanya tawaran kerja sama dari OSIS, kami mengikutkannya sebagai usulan. Kami sudah menghubungi semua pembicara, tinggal menunggu kepastian waktu karena menyesuaikan dengan agenda MOS.”

Tentu saja Ria tidak memerhatikan perubahan raut anak-anak OSIS, yang menjadi amat gatal untuk menimpali.

“Gue enggak yakin bakal ada yang mau nonton seminar tentang pacaran di awal tahun ajaran.”

“Acaranya bagian dari MOS, kan?” sela Ria.

“Kayaknya itu malah bakal menurunkan semangat belajar siswa baru deh. Kalau gue sih setuju sama ide jihad, apalagi momennya pas awal tahun ajaran. Pas banget tuh! Semangat jihad bisa dikaitkan dengan prestasi di sekolah.”

“Allahuakbar!”

“ALLAHUAKBAR!”

“Pacaran itu hak segala bangsa!”

“Pacaran itu tidak sesuai dengan tuntunan Islam!” Ria menyengat.

“Islam yang mana dulu nih?”

“Islam yang lurus!”

“Anak DKM enggak usah munafiklah! Kalian juga pasti ada yang suka-sukaan, kan?!”

“Memang kalian bukan manusia, ya, enggak pernah suka-sukaan?!”

“Iyalah, anak DKM kan pintar mengendalikan diri.”

“Justru itu, kami hendak mengajak semua untuk sama-sama belajar!”

“Kalau pengin dakwah tuh, temanya yang santai sedikit, kenapa? Yang semua orang bisa relate, gitu?”

“Kami bukan mau menghakimi!”

“Tapi tetap aja dari judulnya aja orang pasti tahu arahnya ke mana ….”

Deraz menggedor papan tulis dengan penghapus sampai semuanya terdiam. “Tolong fokus, ya,” tandasnya. “Ini proker kita bersama. Kita wujudkan bersama, dan itu harus ada kata mufakat,” tegas Deraz penuh tekad. “Kita kerja sama mulai dari rapat. Saya mohon kerja sama kalian supaya rapat ini bisa berlangsung dengan tertib!”

Tidak ada yang menanggapi.

“Jangan aja yang bicara sebelum ditunjuk,” ujar Deraz lagi. “Oke. Sekarang siapa yang mau mengajukan pendapat?”

Ipong mengacung.

“Silakan, Ipong.”

“Mungkin dari DKM bisa lebih terbuka ….”

“Terbuka apanya, Pong?”

“Aaa, Ipong udah buka-bukaan aja. Dek Ipong udah gede, ya?”

“Dek Ipong udah buluan belum?”

“Eh, ini lagi di masjid,” tegur Yoga.

“Iya tuh. Kalau mau buka-bukaan jangan di masjid,” Jati mengompori, padahal tadi termasuk yang menggoda Ipong.

Alf mendesis-desis, sembari mengarahkan cowok-cowok itu agar kembali memerhatikan Deraz, yang mendelik tajam pada mereka. Mereka terdiam.

Sebentar kemudian ada yang menceletuk, “Terbuka apanya, Pong?”

Ipong yang menyadari Deraz memerhatikannya lantas meneguk ludah. “Saya boleh lanjut?”

“Silakan,” sahut Deraz pelan.

“Terbuka …” mendadak buyar kata-kata yang hendak Ipong ucapkan, “… pikirannya, gitu? Maksudnya …. Ngertilah!” Ipong mencari dukungan dari anak-anak yang menanti di sekitarnya.

“Izin bicara!” suara Soraya.

“Silakan.”

“Gue ngerti, Pong. Oke, kita ngerti kalau anak-anak DKM punya misi mensaleh-dan-salehahkan semua anak SMANSON. Tapi, yaa, ngertilah, berapa banyak sih anak SMANSON yang enggak pacaran? Terus, kalian ujug-ujug mau ngelarang anak-anak yang pacaran, gitu?”

“Kami hanya ingin memahamkan adab pergaulan dengan lawan jenis dalam Islam. Kami yakin ini adalah tema yang sangat relevan buat remaja seusia kita,” suara Ria.

“Eh, siapa tuh enggak minta izin dulu buat ngomong?!” sergah Ipong, yang kalaupun bisa melihat orang tersebut, yang dikenalnya cuma wajah bukan nama.

“Kalau lu pengin ngelarang orang pacaran, sidangin aja satu-satu, enggak usah pakai seminar segala!”

“Si TOA ikut-ikutan lagi.” Ipong kenal betul suara Soraya.

Deraz memutuskan, “Kita akan ganti tema. Kita harus cari tema yang bisa masuk ke semua siswa. Jadi, bagaimana dengan tema jihad?”

“Allahuakbar!” teriak seorang cowok OSIS.

“ALLAHUAKBAR!” timpal cowok-cowok OSIS yang lain tanpa lupa mengepalkan tangan kanan ke atas.

“Izin bicara,” suara Ria.

“Silakan.”

“Baiklah kalau OSIS tidak setuju dengan tema yang kami usulkan. Kami tidak akan memasukkan ini ke agenda kerja sama dengan OSIS. Kami bisa menyelenggarakan acara ini sebagai agenda kami sendiri. Kalau OSIS tetap ingin mengadakan seminar remaja islami dengan tema lain, insya Allah kami akan membantu.”

“Justru itu masalahnya!” tukas Jati. “Kita pengin OSIS dan DKM mulai bekerja sama, enggak jalan sendiri-sendiri kayak biasanya!”

“Lagian,” sela Gilang dengan suara tidak kalah keras, “tiap kali DKM mau ngadain acara tuh seharusnya dengan persetujuan OSIS, kan?”

“Kalau kalian keukeuh ngadain acara kayak gitu, paling juga yang datang anak-anak DKM doang. Padahal kalian pasti pengin kan ada sebanyak-banyaknya anak yang datang?” timpal Ipong.

“Insya Allah akan banyak datang.” Kali ini ikhwan yang urun suara. “Kami akan menjadikan ini sebagai tugas mentoring, sehingga kehadiran di seminar dapat memengaruhi nilai agama. Ini tema yang penting—“

Tabir tersibak. Para ikhwan seketika memalingkan wajah dari cewek-cewek OSIS yang pamer rambut dan betis, sementara cowok-cowok OSIS semringah mendapati akhwat-akhwat putih berbibir merah yang pada kompak menunduk ke arah lain.

“Sekalian aja kita minta Aa Gym ngisi tausiyahnya tentang bahaya pacaran. Biar sebelum UN dan UAS, anak-anak pada mutusin pacarnya. Biar pada fokus belajar! Dijamin deh semua pada dapat sembilan di rapor!” seru Soraya sarkastis. “Terus pas istigasah biar Aa Gym memintakan ampun buat kita dari dosa-dosa pacaran!”

Seketika ruangan menjadi ricuh. Beberapa anak DKM berusaha memasang tabir kembali, namun Soraya bersikeras menghalangi. Anak-anak OSIS terus mengoarkan ketidaksetujuan mereka, sementara anak-anak DKM selebihnya kukuh mempertahankan kesepakatan mereka. Deraz membanting penghapus papan tulis ke dinding di seberangnya. Namun anak-anak OSIS hanya memandangnya sekilas lalu melanjutkan serbuan, toh bukan sekali ini mereka menyaksikan Deraz mengambek di rapat.

Kini rapat OSIS-DKM telah menjadi kontes debat—bukan. Kontes debat masih menuruti peraturan. Pertentangan ini lebih menyerupai medan perang antarsuku barbar yang sama-sama ekstrem dengan keyakinan masing-masing. Namun, di mata Deraz, ia seolah-olah duduk di meja adjudicator bersama Alf dan … Zahra? Sedari tadi ia tidak memerhatikan ada Zahra di ruangan ini. Keduanya tengah mengisi lembar penilaian. Zahra memberikan nilai penuh untuk tim DKM dan kosong untuk tim OSIS. Alf memberikan nilai penuh bagi kedua tim. Mereka menoleh dan memandangi Deraz yang belum mengisikan apa-apa pada lembar penilaian. Deraz harus mengisikan apa? Ia memindai setiap aspek penilaian. Matter. Manner. Method. Bagaimana mereka bisa memberi nilai penuh atau kosong pada semuanya? Deraz tidak bisa menentukan berapa angka yang harus ia isikan. Ia memilih untuk meninggalkan arena daripada berubah menjadi Hulk.

 

Deraz berjongkok di depan keran di samping sekretariat OSIS. Ia membasuh muka lalu seluruh kepalanya sekalian. Ia membiarkan air dari keran mengaliri kepalanya sampai terdengar Alf memanggil. Dengan pundak kuyup Deraz bergeming memandangi Alf yang terengah-engah menghampiri.

Sementara Alf meredakan napasnya, Deraz tidak bereaksi.

Ia baru tertegun ketika Alf yang sudah tenang mengatakan, “Kamu keluar dari kepanitiaan. Kamu bantuin aja nanti pas bikin LPJ dan sebagainya.”

Namun Deraz masih belum mampu untuk mengatakan apa pun. Ia kembali memandang ke depan dan berpikir: Apa lagi yang ia gagalkan kali ini? WSDC, Zahra, dan kini proker—agenda besar OSIS-DKM, misi yang dipercayakan ketua OSIS angkatan sebelum ini serta yang sekarang kepadanya …?

Deraz berdiri.

“Jangan balik ke sana, Deraz.” Alf menahan langkahnya. “Anak-anak—enggak OSIS enggak DKM—udah terlalu personal sama kamu. Kamu ngerti sendiri situasinya kayak gimana.”

“Tanggung jawab saya mengurus acara ini sampai selesai,” tegas Deraz sembari mendahului Alf.

Namun Alf mengadangnya lagi. “Kamu nyadar enggak sih alasan kamu diangkat jadi Kabid I?” Alf menjurus matanya. Deraz terdiam. “Karena tadinya kamu enggak pacaran. Iya sih, kita tahu kamu enggak pacaran sama Zahra. Tapi kamu tahu sendiri kan anak-anak DKM strict banget soal hubungan cowok-cewek, sementara hubungan kamu sama Zahra udah kayak pacaran. Kita enggak nyalahin kamu. Kita justru seneng kalau kamu bisa sama orang yang kamu suka. Kita mendukung hubungan kamu sama Zahra. Tapi dengan DKM kita harus bijaksana, Raz.”

“Ini bukan tentang saya!” Deraz bersikeras.

“Ini memang tentang kamu! Hubungan kamu dengan DKM lebih dari yang kamu tahu. Kalau kamu ngotot kembali ke sana, mereka akan terus menyidang kamu di depan semua anak DKM dan OSIS. Itu tujuan mereka, sampai kamu menyetujui bahwa hubungan kalian itu salah. Rapat enggak akan ke mana-mana.”

Enggak OSIS, enggak DKM. Orang di mana-mana sama saja!

“Biar kami aja yang nyelesein ini. Percaya sama kami. Tugas kamu cukup sampai di sini. Ini perintah dari ketua OSIS! Dewan penasihat juga sudah memaklumi.”

Deraz memandang Alf yang menatapnya dengan serius. Tubuhnya gemetar. Namun ia juga merasakan keletihan sekonyong-konyong menguasai. Deraz menunduk. “Saya pulang,” ucapnya, sembari berganti haluan menuju sekretariat OSIS untuk mengambil ransel. Ia tidak melihat Alf yang mengembuskan napas sembari membungkuk lemas. Ketika Deraz keluar dari sekretariat OSIS sembari menggendong ransel, Alf buru-buru menegakkan badan. Ia melambai pada Deraz yang berlalu setelah mengunci lagi pintu ruangan.

Sementara Deraz bersepeda menjauh dari sekolah dan mengacungkan jari tengah pada angkot yang mengklakson dan nyaris menyerempetnya, Alf kembali ke masjid. Anak-anak OSIS tengah mengenakan kembali sepatu di muka tangga.

“Siapa yang ngebubarin rapat?” tegur Alf.

“Apa lagi yang mau diomongin?”

“Lah, ketuanya aja hilang!”

“Lu mau ngapain, Alf?” Mereka melihat Alf duduk di beton mencopot sepatu.

“Mau membereskan kekacauan yang kalian buat!” sahut Alf dengan judes. “Yoga, Bram, ikut, ya!” nadanya memerintah. “Yang lain enggak usah ikut-ikutan!” Ia meniru gaya Deraz, biarpun dikatai sok galak.

“Siapa juga yang mau dikhotbahin terus sama DKM?” balas yang lain.

Yoga dan Bram melepas lagi sepatu mereka lalu mengikuti Alf melangkah gagah ke sekretariat DKM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain