Hubungan Deraz dan
Zahra tercium oleh Kang Ega, yang sekarang menjadi ketua dewan penasihat OSIS.
Ia mengajak Alf bertemu pada jam istirahat di teras rumah penjaga sekolah, yang
memang jarang menjadi tongkrongan anak-anak.
“Si Deraz teh bener pacaran?”
tanya Kang Ega.
“Katanya sih enggak, Kang. Cuma memang sih lagi deket sama cewek. Enggak
tahu tah hubungannya apaan. Yang
pasti mah HTS-an.”
Kang Ega berdecak. “Kamu tahu kan misi titipan kita apaan?”
“Memberantas aliran sesat, Kang.”
“Kamu tahu kan kenapa kita ngerekomendasiin banget Deraz jadi Kabid I?” Kang Ega memperbaiki pertanyaannya.
“Karena Deraz suka 20th
Century Boys makanya tahu cara mengatasi anak-anak yang ikut aliran sesat.”
Menangkap raut Kang Ega, Alf buru-buru meralat, “Karena hubungan dia sama DKM.”
Kang Ega mengangguk. “Sejak DKM makin strict
dan nganggep OSIS isinya cuma anak-anak hedon, acaranya hura-hura doang, suka
korupsi dana sekolah biar bisa makan-makan di tempat mahal …“ Kang Ega
menjelaskan secara panjang lebar perang dingin di antara OSIS dan DKM, “… Deraz
tuh kesempatan buat OSIS sama DKM memperbaiki hubungan ….”
“Ya … masak juga sih, Kang, kita mau ngelarang orang suka-sukaan,” Alf
membela Deraz.
“Masalahnya ini Deraz, Alf ….” Kang Ega berdeham. “Sebenarnya, ya,” ia
merendahkan suara, “di DKM sendiri pernah ada beberapa kasus pacaran. Pas lagi
ramai-ramainya sidang DKM sama anak-anak yang ketahuan pacaran itulah, LEMPERs
nerbitin majalah semesteran yang isinya wawancara Deraz. Kamu tahu sendiri,
kan, dari awal masuknya aja si Deraz udah banyak penggemar, enggak terkecuali
anak-anak DKM, apalagi yang cewek-cewek. Ditambah lagi, orangnya kalem, suka salat
di masjid. Terus pengurus nu basa urang
tea yang harusnya berhubungan sama anak-anak DKM malah suka nyuruh-nyuruh
si Deraz. Jadi we dia deket sama
anak-anak DKM. Matak, pas di wawancara itu
dia bilang bahwa dia enggak pacaran karena beginilah begitulah—kamu tahu
sendiri Deraz orangnya gimana—di DKM tuh dia jadi kayak semacam role model bahwa berprestasi itu enggak
harus dengan pacaran. Nah, kalau Deraz yang asalnya
murid-teladan-enggak-pacaran terus tersiar dekat sama cewek—anak DKM pula—itu
seakan-akan malah jadi ngasih kesan yang salah, bahwa berprestasi itu bisa
sejalan dengan pacaran, apalagi kalau
pacarnya akhwat. Maneh bayangin
sendirilah, sesaat DKM mulai aman dari pacaran dengan role model-nya si Deraz. Eh, enggak tahunya Deraz sendiri pacaran.”
“Eh, memangnya iya, Kang, di DKM banyak yang pacaran?”
“Tapi maneh tong bacot nya,” Kang Ega semakin memelankan suara
walaupun di sekitar mereka tidak ada siapa-siapa. Orang yang berada paling
dekat dengan mereka hanya istri penjaga sekolah yang sedang menggoreng jengkol
di dalam rumah.
“Moal atuh, Kang. Apan urang ketua OSIS. Integritas,
integritas,” Alf meyakinkan Kang Ega sembari menepuk dada dengan kepalan tangan
kanan.
“Urang ge HTS-an sama mantan
sekretaris DKM,” bisik Kang Ega
“Astagfirullah,” ucap Alf. “Dari kapan, Kang? Kok Akang mah enggak
ketahuan sih?” Alf antusias mendengar lebih banyak.
“Da urang mah jarang ketemuan
sama cewek urang. Paling SMS,
telepon. Da cewek urang menjaga pisan, enggak mau kalau diajak jalan teh. Entar aja pas kuliah, ceunah. Urang rencana bareng manehna daftar
ke UGM sekalian, biar jauh. Enggak tahu tah
si Deraz hubungannya kayak gimana sama ceweknya sampai tersebar gitu. Padahal
kita tuh penginnya mengakhiri kesalahpahaman antara OSIS dan DKM dan mulai
bersinergi. Kita enggak mau, kan, lembaga-lembaga siswa di sekolah pada
tercerai-berai. Kita pengin bisa kerja sama dan ngasih nilai positif ke satu
sama lain ….”
Sementara Kang Ega mengungkapkan kekhawatirannya bila DKM menjadi sarang
radikalisasi, Alf terdiam menyadari peran anak-anak buahnya dalam
mengompor-ngompori hubungan kedua orang itu bahkan meluapkannya ke permukaan.
Ketika beberapa anak OSIS berinisiatif mengirimkan request untuk Deraz dan Zahra ke radio, ia bersama mereka. Ketika
sebagian anak OSIS mulai beramah-tamah pada Zahra, ia termasuk di antara
mereka. Terpikir oleh Alf untuk segera memberi tahu Deraz secara personal di
samping menyampaikan kepada anak-anak OSIS: Kalem
we, anjing, tong gandeng bebeja!
“Baik, Kang. Saya mengerti,” desah Alf seraya mengeluarkan ponsel. Ia
mengirim SMS pada Deraz menanyakan waktu kosong, lalu kepada segenap pengurus
inti OSIS selebihnya ia mengetik: “Rapat pulang sekolah hari ini di sekre.
URGEN!!!”
Seusai sekolah, Alf
menunggu di sekretariat OSIS.
“Ada apa sih, Alf?” tanya anak-anak yang berdatangan sedikit demi sedikit.
“Nanti saya terangkan,” begitu saja jawab Alf.
Melihat sebagian besar pengurus inti OSIS telah berada di ruangan, Alf
berdiri. “Kita mulai aja, ya. Yang deket jendela, tolong tutup gordennya. Yang
deket pintu, tolong tutup pintunya, Manis.”
“Bapak Jenderal belum datang, Bos,” sahut Gilang, merujuk pada Deraz.
“Friska sama Nuri mau salat dulu,” lapor Soraya.
“Enggak apa-apa. Memang ada yang izin enggak bisa datang juga. Maaf, ya,
dadakan. Sebenarnya, ini penting enggak penting sih. Enggak penting karena
sebenarnya ini urusan pribadi. Penting karena ini menyangkut hubungan
OSIS-DKM,” Alf membuka rapat.
“Bikin ulah apa lagi DKM?” sambut Jati, yang agak kesal mengingat mereka
telah mengalihkan sebagian pengunjung potensial OH Bazar ke MABIT.
Alf diam sejenak sembari menunduk, sebelum melanjutkan dengan mengangkat
kepalanya pelan-pelan, “Kayaknya kita udah berbuat kesalahan fatal.”
“Sok dramatis banget lu, Alf!” seru anak-anak. Kepala Alf kena renyukan
kertas.
“Serius, guys. Ini bukan hanya
menyangkut citra personal, melainkan juga citra OSIS. Kalian nyadar enggak sih
kalau selama ini anak-anak OSIS tuh dianggap—“
Pintu terbuka. Muncul Friska dan Nuri membawa tas mukena masing-masing.
“Yang baru datang, silakan duduk,” ucap Alf. “Sampai di mana tadi? Sampai
lupa saya, aduh.” Alf memegangi jidatnya
“Anak OSIS dianggap apaan, Alf?” sambung Ipong.
Alf menjadi ingat. Setelah mengucapkan terima kasih pada Ipong, ia
menyampaikan kembali visi dan misi Kang Ega akan hubungan OSIS-DKM dengan
menunda bagian tentang Deraz. Anak-anak OSIS menjadi gerah mendengarnya.
“Normal kali pacaran, makan-makan, nonton. Gitu aja dibilang hedon?”
protes Soraya.
“Anak OSIS mana sih yang enggak pacaran?” tanya Jati.
Alf mengangkat tangan, disusul beberapa anak lain yang jumlahnya tidak
seberapa dibandingkan dengan anak-anak yang bergeming.
“Heh, Pong, lu enggak ngangkat tangan?” tegur Gilang.
“Gue punya cewek kali,” sahut Ipong.
“Jangan bilang lu pacaran sama anak SD.”
“Enak aja. Cewek gue anak SMA—” Ipong menyebut SMA negeri paling favorit
di Kota Bandung.
“Berarti dia lebih pinter daripada lu, dong, Pong?”
Alf berdeham. “Rapat ini bukan untuk membahas hubungan Ipong dengan
ceweknya, melainkan—“
Pintu terbuka. Muncul Deraz yang menggendong ransel. Ia kaget mendapati
pengurus inti OSIS hampir lengkap berkumpul tanpa dirinya. Alf juga kaget
mendapati tamu yang sengaja tidak diundang.
“Ada rapat apa, ya?” tanya Deraz.
Anak-anak menatap Alf penuh tanya.
“Kamu ngapain, Raz, ke sini?” Alf malah balik bertanya.
“Mau cari kamu. Sori belum balas SMS. Belum sempat isi pulsa.”
Alf mengembuskan napas. “Sou desu
….” Ia menunduk lemas. “Baiklah. Kamu mungkin enggak bakal suka dengerin ini,
Raz. Yang mau kita omongin terkait kamu sama Zahra.”
Anak-anak ikut kaget.
“Terusin aja. Saya mau nerusin laporan,” sahut Deraz acuh tak acuh seraya
meneruskan langkah ke komputer.
“Baiklah. Mmm, teman-teman OSIS sekalian, mohon perhatiannya.” Anak-anak
kembali menghadapkan muka pada Alf. “Kita lanjutkan. Jadi, seperti yang sudah
disampaikan tadi, kita dalam misi memperbaiki hubungan dengan DKM,” Alf berkata
lambat-lambat seraya memilih kata.
“Terus, bukan berarti kita enggak boleh pacaran, kan?” Soraya melanjukan
protesnya.
“Pacaran itu hak segala bangsa,” dukung Jati.
“Terus apa hubungannya dengan Zahra?” tanya Ipong.
Alf menggaruk-garuk kepala. Ia sulit membeberkan persoalan ini dengan
objek pelaku berada bersama mereka. Ia membiarkan desas-desus mengemuka ke
seantero ruangan. Friska, Nuri, dan Soraya berbisik-bisik. Lalu Soraya menepuk
punggung Friska, memberinya dorongan untuk berbicara. Ia juga mendelik pada
Nuri sembari mengangguk. Alf yang memerhatikan itu sengaja menyinggung mereka
untuk mengalihkan perhatian. “Geng AADC lagi diskusi apa?”
Friska dan Nuri berpandangan. Lalu Friska memberanikan diri membuka suara,
“Tadi kita lihat Zahra nangis di tempat wudu, dikerumunin anak-anak DKM.”
“Denger-dengar, anak DKM yang ketahuan pacaran suka disidang gitu, ya?“
timpal Ipong.
“Deraz sama Zahra kan enggak pacaran, cuma HTS-an,” Jati meralat.
“Definisinya beda. Kalau pacaran ada ijab kabulnya, kalau HTS-an kan enggak.”
“Ijab kabul gimana?”
“Dengan ini saya nyatakan saya cinta kamu. Kamu mau enggak jadi pacar
saya.” Jati membacakan ijab kabul pacaran dengan nada datar. “Saya terima jadi
pacar kamu, dengan mas jadian seloyang piza Domino dibayar TU-NAI. Sah? Sah!
Saksinya temen-temen. Udah gitu, traktiran.”
Anak-anak mengernyit.
“Kesannya kok kayak pacaran itu sah, sementara HTS itu gelap-gelapan, ya?”
Yoga urun suara.
“Hubungan gelap. Kekasih gelap.” Bram berpikir-pikir. “Kayak lagunya
Sheila On 7.”
“Pacaran. HTS-an. Sama aja. Kalian enggak usah dibelenggu istilah gitu
deh,” ungkap Gilang.
“Lah, kalau gitu Deraz sama Zahra bisa disebut pacaran dong?” sambut
Soraya.
“Jadi apakah sebenarnya Deraz sama Zahra bisa dibilang pacaran?” suara
Jati.
Kesepuluh jemari tangan Deraz menyentuh papan tombol komputer namun tidak
mengetikkan apa-apa sedari tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar