Sabtu, 22 Desember 2018

(51)

Di balik deretan buku teks kedokteran, ensiklopedia, jurnal, dan berbagai terbitan ilmiah lain di lemari ruang tengah, Deraz menemukan novel-novel Marga T. dan Mira W. yang telah menguning. Ia baru tahu Bunda punya novel-novel begini. Membaca sinopsis novel-novel tersebut, ia berpikir Zahra mestilah menyukai yang semacam ini juga. Ia menjadi tertarik untuk turut membacanya, khususnya ketika rumah sedang sepi. Sementara ini ia baru selesai membaca Bukan Impian Semusim dan Merpati Tak Pernah Ingkar Janji. Protagonis perempuan dalam kedua novel itu lagi-lagi mengingatkan Deraz pada Zahra. Seandainya Zahra Katolik, tentu gadis itu hendak menjadi biarawati juga.

Saat itu tengah malam. Deraz yang tidak bisa tidur baru memulai membaca Karmila ketika Bunda memasuki ruang tengah. Deraz buru-buru menurunkan novel tersebut tetapi Bunda hanya tersenyum mendapatinya.

Telanjur basah, mereka malah membincangkan arti novel-novel itu bagi Bunda. Rupanya Karmila salah satu sumber motivasi Bunda kala mengikuti kuliah kedokteran. Bunda juga merasa dirinya semasa muda persis seperti protagonis perempuan dalam dua novel yang telah dibaca Deraz. Deraz tidak mengerti sebab Bunda tidak tampak religius. Bunda tidak berjilbab. Bunda juga bukan Katolik. Rupanya Bunda merasa terkait karena ia dan protagonis perempuan dalam kedua novel tersebut sama-sama kurang berminat untuk menikah. Sementara kedua protagonis perempuan itu bercita-cita menjadi biarawati, Bunda ingin berfokus pada karier.

Namun rencana hidup Bunda berubah ketika bertemu lagi dengan Ayah, temannya semasa kecil. Padahal Bunda sudah punya karier yang menjanjikan di Amerika Serikat, tetapi Ayah terus membujuknya untuk kembali ke Indonesia. Ketika Ayah mendapat panggilan untuk menjadi PNS di usia yang sudah mendekati ambang batas, bujukan itu menjadi keputusan.

“Bu …. Apa Ibu tahu Ayah punya istri lain?” Deraz menyela.

Bunda mengerutkan kening. Deraz menyadari bahwa kemungkinan ia salah mengajukan pertanyaan.

Yang dulu … kata Ayah. Ayah punya anak lain ….” Deraz terbata-bata.

“Della, maksud Deraz?”

“Iya.”

“Tahu ….

“Malah, sebetulnya waktu itu Opa dan Oma enggak setuju Bunda menikah dengan Ayah: duda cerai, belum punya pekerjaan tetap, kuliahnya enggak tamat-tamat, bukan dari keluarga berpunya ….

“Enin itu dulunya kerja di rumah Oma. Terus Ayah suka nyamperin Enin ke rumah, minta uang buat beli makan.” Mata Bunda menyorotkan senyum nostalgia. “Dari situ Bunda kenal sama Ayah. Kadang Oma nyuruh Ayah ngajak Bunda main ke luar, tapi harus sembunyi-sembunyi. Soalnya kalau ketahuan sama Oma Buyut, pasti dimarahin. Tapi biarpun Oma baik sama Ayah, terus berteman sama Enin, pas Bunda mau nikah sama Ayah, Oma khawatir juga.”

“Terus kenapa … Bunda mau menikah sama Ayah?”

Bunda menopang dagunya dengan sebelah tangan sementara berpangku kaki. “Mmm, kenapa, ya?” Matanya memandang langit-langit dan ia tersenyum. “Kalau orang bilang, jodoh dan rezeki itu udah ada yang mengatur—enggak akan ke mana-mana. Tak akan lari, gunung dikejar.”

Deraz ingin menanyakan apakah Bunda menyesal menikah dengan Ayah, tetapi ditahannya. Berapa sih gaji Ayah sebagai PNS dibandingkan dengan penghasilan Bunda yang doktor lulusan universitas ternama di luar negeri—yang aktif mengadakan penelitian, menerbitkan jurnal, dan mengikuti simposium? Gaji Ayah paling-paling cuma cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kalau anak-anak ingin bergaya, mereka mesti meminta pada Bunda. Malah kerap kali Ayah menunjukkan ketidaksenangannya ketika Bunda membelikan anak-anak barang yang kemahalan dan berlebihan. Misalnya sewaktu Dean dan Zara punya tas baru, Ayah menegur, “Beli lagi? Itu yang numpuk di lemari apaan?” Biaya AFS Deraz yang sampai ribuan dolar itu pun Bunda yang membayari. Ketika Bunda memasakkan lobster, Ayah malah meminta lalap. Ketika Bunda sudah menyetop tukang sayur dan menghidangkan sepiring lalap, Ayah malah pergi dari rumah.

“Waktu Ayah cerai … udah ketemu sama Ibu lagi?”

“Mmm, enggak. Waktu itu Bunda masih di luar negeri. Malah Bunda sebenarnya udah lama enggak dengar kabar tentang Ayah, pas kuliah udah jarang ketemu. Apalagi setelah Bunda ke Amerika. Waktu Bunda liburan ke Indonesia, baru dengar lagi kabar tentang Ayah. Tahu-tahu Ayah udah cerai aja. Udah rada lama juga kok cerainya, mungkin lima tahun. Nikahnya juga cuma—mungkin—sekitar dua tahun.”

“Berarti, Ayah masih muda banget, ya, waktu nikah sama yang dulu?”

“Iya,” ujar Bunda. “Waktu itu usia Ayah mungkin baru awal dua puluhan tahun.”

“Kenapa Ayah nikahnya muda banget?”

“Ya, mungkin karena ngerasa udah cukup umur. Lagian waktu itu kan udah ada penghasilan dari balapan. Ayah juga punya usaha kecil-kecilan.”

Seketika itu, Deraz teringat pada percakapan anak-anak OSIS selepas rapat dengan anak-anak DKM yang berakhir kisruh itu.

Ceuk DKM mah, lamun rek pacaran, kawin heula.”

“Kalau enggak pacaran dulu, gimana kita bisa tahu kalau orang yang mau kita kawinin itu baik atau enggak?”

Matak aya taaruf tea, geuningan,” timpal Alf. “Kenalan dulu sama orang yang mau dinikahin.”

“Lah, terus gimana kita nentuin kita mau nikahin seseorang atau enggak kalau enggak lewat pacaran dulu? Memang bisa, ya, kita main tunjuk aja gitu orang di jalan terus langsung mutusin kita mau nikah sama dia? Mau secakep apa pun juga orangnya, kan kita mesti kenal dulu kepribadiannya.”

“Memangnya pacaran bukannya proses berkenalan juga, ya?”

“Caranya beda meureun.”

“Kalau pacarannya ngobrol doang, enggak pakai pegang-pegangan, apa bedanya sama taaruf?”

“Memangnya lu tahan pacaran enggak pegang-pegangan?”

“Ih, lu suka grepe-grepe cewek lu, ya?”

“Ya, enggak gitu juga kali. Pacaran kan enggak mesti yang sampai berhubungan intim atau gimana, gitu.”

Tiba-tiba Adip melempar buku ke hadapan anak-anak. Judulnya Izinkan Aku Menikah tanpa Pacaran. “Urang nyolong eta dari lemari DKM.”

“Balikin siah, anjir!”

Tetapi mereka mengambil juga buku itu dan membaca isinya sepintas-sepintas.

Enya, engke we sekalian urang salat,” sahut Adip tenang.

Anak-anak melempar buku itu kembali pada Adip dengan tampang malas. “Naon sih eta.”

Deraz tidak ikut mengintip isi buku itu, tetapi memerhatikan saja dari jarak tertentu seperti biasa. Pantas saja ketika Deraz menyatakan perasaannya Zahra langsung berpikiran soal menikah. Masak ketika suka pada seseorang, kita mesti langsung mengajaknya menikah? Tebersit di pikiran Deraz kemungkinan itu. Namun serta-merta ia merasa jatuh. Ia sendiri masih sangat bergantung pada Bunda. Segala barang bermerek yang dimilikinya, buah-buah impor yang disenanginya, terbitan yang dilangganinya, apa pun yang memenuhi seleranya dibeli dengan uang Bunda. Kapan ia bisa punya penghasilan sebesar Bunda?

Apakah Ayah sepemikiran dengan anak-anak DKM sehingga menikah muda? Tetapi bukankah dengar-dengar Ayah dulu punya banyak pacar? Jadi Ayah saleh atau playboy? Memang ada playboy saleh? Deraz belum pernah menonton Catatan Si Boy. Deraz menanyakan selentingan itu pada Bunda, yang membenarkan dengan geli. “Uh, iya. Semuanya cantik dan kaya. Tapi sepertinya ada satu yang serius, sehingga Ayah ngajak nikah.”

“Ibu enggak cemburu?”

Bunda tersenyum lagi sembari berdesah. “Yah, sudah jalan hidup.” Bunda mengatakannya seakan-akan tidak punya kemampuan mengelak. Padahal, dengan segala prestasinya, Bunda mestilah memiliki daya juang yang hebat. Kalau Bunda bertekad, ia bisa saja menolak Ayah. Tetapi, bukankah pada awalnya Deraz juga menyangkal perasaannya pada Zahra? Kenapa Deraz malah menyerah? Begitukah yang dinamakan jodoh?

“Ayah cerainya kenapa?”

Bunda berdesah. “Yah …. Mungkin karena ternyata enggak cocok.”

Deraz termenung. Dua orang menikah itu karena saling mencintai dan meyakini, bukan? Lantas, ketika mereka bercerai, berarti mereka sudah tidak lagi saling mencintai dan meyakini? Berarti perasaan itu bukanlah sesuatu yang langgeng? Kenapa? Padahal awalnya terasa begitu meyakinkan. Berarti jodoh itu bukan cuma seorang? Cinta itu bisa berganti—berpaling ke lain hati? Lalu, apakah cinta sejati itu?

“Deraz tahu, Oma Buyut dan Opa Buyut itu sempat berpisah puluhan tahun?” ucap Bunda tiba-tiba.

“Gimana ceritanya, Bu?” Deraz tertarik.

Bunda memulai ceritanya dari awal pertemuan Opa Buyut dengan Oma Buyut. Saat itu Indonesia masih Hindia Belanda. Paman Opa Buyut yang orang Belanda punya peternakan sapi perah di suatu daerah di Jawa Barat, yang wedananya ayah Oma Buyut. Opa Buyut kerap kali berlibur ke tempat pamannya itu. Dalam kesempatan itulah ia bertemu dengan Oma Buyut, ketika diajak pamannya bertamu ke rumah wedana. Mereka saling jatuh cinta dan bertukar surat. Setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran hewan di negaranya, Opa Buyut mencari pekerjaan di Hindia Belanda agar dapat berdekatan dengan Oma Buyut. Opa Buyut pandai mengambil hati ayah Oma Buyut. Sebagai dokter hewan muda yang idealis, ia bersukarela memeriksa ternak warga di kewedanaan itu. Bahkan ia bersedia masuk Islam agar dapat menikahi Oma Buyut.

Namun keadaan berangsur-angsur menjadi sulit. Jepang datang menguasai Hindia Belanda. Banyak orang Belanda dijebloskan ke kamp interniran. Saat itu, Opa Buyut dapat terhindar berkat perlindungan ayah Oma Buyut. Rakyat kemudian menyatakan kemerdekaan dan Indonesia lahir. Jepang pergi namun keadaan tidak menjadi lebih baik bagi orang-orang Eropa. Kali ini rakyat Indonesia sendiri yang bertindak. Mereka hendak membalas dendam setelah diskriminasi sekian lama. Banyak orang Belanda yang diculik dan dibantai. Opa Buyut tidak terkecuali karena serupa dengan mereka, betapapun ia berkebangsaan Jerman. Seiring dengan kepergian Jepang dari Indonesia, ayah Oma Buyut juga meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi perlindungan bagi Opa Buyut.

Saat itu telah malam. Opa Buyut tengah berada di ruang depan rumahnya bersama Oma Anna yang masih kecil. Lalu tahu-tahu gerombolan pemuda masuk begitu saja. Mereka menyeret Opa Buyut ke luar. Mereka juga hendak mengambil Oma Anna. Tetapi Oma Anna menggigit lengan orang yang mengambilnya, sehingga ia dilempar sampai membentur meja. Seketika itu muncul Oma Buyut yang tadinya sedang menyiapkan makanan di dapur. Bagaimanapun ia memohon pada gerombolan penculik itu, mereka tidak menggubrisnya. Setelah Opa Buyut dibawa paksa, Oma Buyut berlari ke rumah saudaranya dengan menggendong Oma Anna yang pingsan serta membawa kedua anaknya yang lain. Sementara Oma Buyut dan anak-anaknya tinggal di sana hingga suasana tenang.

Opa Buyut disiksa sampai nyaris mati, tetapi keburu diselamatkan oleh kakak Oma Buyut. Ketika sadar, ia telah berada di kapal yang tengah membawanya ke Belanda. Sementara itu, Oma Buyut disuruh menikah lagi oleh kakaknya. Kakak Oma Buyut menyatakan bahwa pernikahan Oma Buyut dengan Opa Buyut tidak sah. Opa Buyut masuk Islam agar dapat menikahi Oma Buyut, tetapi tidak pernah mengamalkan ajarannya sehingga ia bukan benar-benar muslim. Ia tidak akan bisa menjadi imam yang baik. Memang kakak Oma Buyut itu haji yang pernah tinggal di Mekah beberapa tahun. Sedari awal ia tidak menyetujui pernikahan Oma Buyut dengan Opa Buyut namun mendiang ayah mereka sangat mendukung dan optimistis.

Oma Buyut menolak untuk menikah lagi. Namun Opa Buyut tidak kunjung kembali. Karena tekanan keluarga, Oma Buyut memutuskan untuk memisahkan diri. Ia membawa anak-anaknya pergi dari rumah keluarga besar dan memulai usaha sendiri. Bisa dibayangkan beratnya perjuangan Oma Buyut.

Kondisi yang serbasusah berangsur-angsur membaik dengan kerja keras dan keberuntungan. Kendati keluarga mereka hidup sederhana, putra-putra Oma Buyut dapat bersekolah di luar negeri sedangkan putrinya semata wayang berjodoh dengan dokter bedah.

Oma Anna dan Opa Andre memiliki kisahnya sendiri. Di usianya yang belum dua puluh tahun, Oma Anna yang cantik jelita telah diajak kawin lari oleh banyak pemuda sebab Oma Buyut sangat protektif padanya. Sementara itu, di usianya yang mendekati kepala empat, Opa Andre yang telah memiliki karier mapan masih melajang. Orang tua Opa Andre dan Oma Buyut merupakan rekan bisnis. Ketika bertamu ke rumah Oma Buyut, orang tua Opa Andre melihat Oma Anna yang membawakan minuman dan langsung jatuh hati. Kemudian timbul gagasan untuk menjodohkan Opa Andre dan Oma Anna. Setelah keduanya menikah, Oma Buyut tinggal bersama mereka. Di samping turut mengurus Bunda dan adiknya, Oma Buyut terus membesarkan usahanya.

Di usianya yang mulai lanjut, Oma Buyut telah memiliki usaha perkebunan yang sukses. Ia sedang berjalan-jalan di kebunnya ketika dari kejauhan muncul satu sosok yang samar-samar dikenalinya: Opa Buyut.

Ketika Oma Buyut dan Opa Buyut bertemu kembali, Bunda sudah duduk di bangku SMA. Ia menyaksikan Oma Anna memeluk ayahnya yang telah lama menghilang sembari menangis seperti anak kecil. Ia juga mendengar Opa Buyut menceritakan kisah hidupnya.

Setelah kembali ke Jerman dari pembantaian itu, Opa Buyut menghabiskan bertahun-tahun untuk mengobati luka dan trauma. Betapapun ia selamat, tidak terdengar kabar dari kerabatnya yang sama-sama diculik. Di samping itu, Jerman sendiri baru berbenah setelah dihancurkan oleh perang. Opa Buyut juga mesti memulai segalanya dari nol. Seiring dengan berlalunya waktu, Opa Buyut mulai pulih dan mapan. Barulah ia memantau perkembangan Indonesia. Setelah meyakinkan diri bahwa keadaan di sana sudah aman, ia mulai mencari kabar tentang keluarganya. Ia mendatangi alamat-alamat yang diketahuinya, tetapi rumah mereka dulu telah berganti pemilik sementara keluarga besar Oma Buyut menolaknya. Opa Buyut terus berusaha sampai takdir mempertemukan kembali dirinya dengan Oma Buyut dan anak-anak mereka. Sejak itu, Opa Buyut dan Oma Buyut tidak hendak berpisah lagi. Oma Buyut menjual usahanya dan mengikuti Opa Buyut tinggal di Jerman.

Deraz terpukau mendengar cerita Bunda. Ia tidak pernah menemukan di buku pelajaran sejarah tentang pembantaian orang-orang Eropa di Indonesia pada masa seputar kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain