Di balik deretan buku teks
kedokteran, ensiklopedia, jurnal, dan berbagai terbitan ilmiah lain di lemari
ruang tengah, Deraz menemukan novel-novel Marga T. dan Mira W. yang telah
menguning. Ia baru tahu Bunda punya novel-novel begini. Membaca sinopsis novel-novel
tersebut, ia berpikir Zahra mestilah menyukai yang semacam ini juga. Ia menjadi
tertarik untuk turut membacanya, khususnya ketika rumah sedang sepi. Sementara
ini ia baru selesai membaca Bukan Impian
Semusim dan Merpati Tak Pernah Ingkar
Janji. Protagonis perempuan dalam kedua novel itu lagi-lagi mengingatkan
Deraz pada Zahra. Seandainya Zahra Katolik, tentu gadis itu hendak menjadi
biarawati juga.
Saat itu tengah malam. Deraz yang
tidak bisa tidur baru memulai membaca Karmila
ketika Bunda memasuki ruang tengah. Deraz buru-buru menurunkan novel tersebut
tetapi Bunda hanya tersenyum mendapatinya.
Telanjur basah, mereka malah
membincangkan arti novel-novel itu bagi Bunda. Rupanya Karmila salah satu sumber motivasi Bunda kala mengikuti kuliah
kedokteran. Bunda juga merasa dirinya semasa muda persis seperti protagonis
perempuan dalam dua novel yang telah dibaca Deraz. Deraz tidak mengerti sebab
Bunda tidak tampak religius. Bunda tidak berjilbab. Bunda juga bukan Katolik.
Rupanya Bunda merasa terkait karena ia dan protagonis perempuan dalam kedua
novel tersebut sama-sama kurang berminat untuk menikah. Sementara kedua
protagonis perempuan itu bercita-cita menjadi biarawati, Bunda ingin berfokus
pada karier.
Namun rencana hidup Bunda berubah
ketika bertemu lagi dengan Ayah, temannya semasa kecil. Padahal Bunda sudah
punya karier yang menjanjikan di Amerika Serikat, tetapi Ayah terus membujuknya
untuk kembali ke Indonesia. Ketika Ayah mendapat panggilan untuk menjadi PNS di
usia yang sudah mendekati ambang batas, bujukan itu menjadi keputusan.
“Bu …. Apa Ibu tahu Ayah punya istri
lain?” Deraz menyela.
Bunda mengerutkan kening. Deraz
menyadari bahwa kemungkinan ia salah mengajukan pertanyaan.
“Yang
dulu … kata Ayah. Ayah punya anak lain ….” Deraz terbata-bata.
“Della, maksud Deraz?”
“Iya.”
“Tahu ….
“Malah, sebetulnya waktu itu Opa dan
Oma enggak setuju Bunda menikah dengan Ayah: duda cerai, belum punya pekerjaan
tetap, kuliahnya enggak tamat-tamat, bukan dari keluarga berpunya ….
“Enin itu dulunya kerja di rumah Oma.
Terus Ayah suka nyamperin Enin ke rumah, minta uang buat beli makan.” Mata
Bunda menyorotkan senyum nostalgia. “Dari situ Bunda kenal sama Ayah. Kadang
Oma nyuruh Ayah ngajak Bunda main ke luar, tapi harus sembunyi-sembunyi.
Soalnya kalau ketahuan sama Oma Buyut, pasti dimarahin. Tapi biarpun Oma baik
sama Ayah, terus berteman sama Enin, pas Bunda mau nikah sama Ayah, Oma
khawatir juga.”
“Terus kenapa … Bunda mau menikah
sama Ayah?”
Bunda menopang dagunya dengan sebelah
tangan sementara berpangku kaki. “Mmm, kenapa, ya?” Matanya memandang
langit-langit dan ia tersenyum. “Kalau orang bilang, jodoh dan rezeki itu udah
ada yang mengatur—enggak akan ke mana-mana. Tak akan lari, gunung dikejar.”
Deraz ingin menanyakan apakah Bunda
menyesal menikah dengan Ayah, tetapi ditahannya. Berapa sih gaji Ayah sebagai
PNS dibandingkan dengan penghasilan Bunda yang doktor lulusan universitas
ternama di luar negeri—yang aktif mengadakan penelitian, menerbitkan jurnal,
dan mengikuti simposium? Gaji Ayah paling-paling cuma cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok. Kalau anak-anak ingin bergaya, mereka mesti meminta pada
Bunda. Malah kerap kali Ayah menunjukkan ketidaksenangannya ketika Bunda
membelikan anak-anak barang yang kemahalan dan berlebihan. Misalnya sewaktu
Dean dan Zara punya tas baru, Ayah menegur, “Beli lagi? Itu yang numpuk di
lemari apaan?” Biaya AFS Deraz yang sampai ribuan dolar itu pun Bunda yang
membayari. Ketika Bunda memasakkan lobster, Ayah malah meminta lalap. Ketika
Bunda sudah menyetop tukang sayur dan menghidangkan sepiring lalap, Ayah malah
pergi dari rumah.
“Waktu Ayah cerai … udah ketemu sama
Ibu lagi?”
“Mmm, enggak. Waktu itu Bunda masih
di luar negeri. Malah Bunda sebenarnya udah lama enggak dengar kabar tentang
Ayah, pas kuliah udah jarang ketemu. Apalagi setelah Bunda ke Amerika. Waktu
Bunda liburan ke Indonesia, baru dengar lagi kabar tentang Ayah. Tahu-tahu Ayah
udah cerai aja. Udah rada lama juga kok cerainya, mungkin lima tahun. Nikahnya
juga cuma—mungkin—sekitar dua tahun.”
“Berarti, Ayah masih muda banget, ya,
waktu nikah sama yang dulu?”
“Iya,” ujar Bunda. “Waktu itu usia
Ayah mungkin baru awal dua puluhan tahun.”
“Kenapa Ayah nikahnya muda banget?”
“Ya, mungkin karena ngerasa udah
cukup umur. Lagian waktu itu kan udah ada penghasilan dari balapan. Ayah juga
punya usaha kecil-kecilan.”
Seketika itu, Deraz teringat pada
percakapan anak-anak OSIS selepas rapat dengan anak-anak DKM yang berakhir
kisruh itu.
“Ceuk
DKM mah, lamun rek pacaran, kawin
heula.”
“Kalau enggak pacaran dulu, gimana
kita bisa tahu kalau orang yang mau kita kawinin itu baik atau enggak?”
“Matak
aya taaruf tea, geuningan,”
timpal Alf. “Kenalan dulu sama orang yang mau dinikahin.”
“Lah, terus gimana kita nentuin kita
mau nikahin seseorang atau enggak kalau enggak lewat pacaran dulu? Memang bisa,
ya, kita main tunjuk aja gitu orang di jalan terus langsung mutusin kita mau
nikah sama dia? Mau secakep apa pun juga orangnya, kan kita mesti kenal dulu
kepribadiannya.”
“Memangnya pacaran bukannya proses
berkenalan juga, ya?”
“Caranya beda meureun.”
“Kalau pacarannya ngobrol doang,
enggak pakai pegang-pegangan, apa bedanya sama taaruf?”
“Memangnya lu tahan pacaran enggak
pegang-pegangan?”
“Ih, lu suka grepe-grepe cewek lu,
ya?”
“Ya, enggak gitu juga kali. Pacaran
kan enggak mesti yang sampai berhubungan intim atau gimana, gitu.”
Tiba-tiba Adip melempar buku ke
hadapan anak-anak. Judulnya Izinkan Aku
Menikah tanpa Pacaran. “Urang
nyolong eta dari lemari DKM.”
“Balikin siah, anjir!”
Tetapi mereka mengambil juga buku itu
dan membaca isinya sepintas-sepintas.
“Enya,
engke we sekalian urang salat,”
sahut Adip tenang.
Anak-anak melempar buku itu kembali
pada Adip dengan tampang malas. “Naon sih eta.”
Deraz tidak ikut mengintip isi buku
itu, tetapi memerhatikan saja dari jarak tertentu seperti biasa. Pantas saja
ketika Deraz menyatakan perasaannya Zahra langsung berpikiran soal menikah.
Masak ketika suka pada seseorang, kita mesti langsung mengajaknya menikah?
Tebersit di pikiran Deraz kemungkinan itu. Namun serta-merta ia merasa jatuh.
Ia sendiri masih sangat bergantung pada Bunda. Segala barang bermerek yang
dimilikinya, buah-buah impor yang disenanginya, terbitan yang dilangganinya,
apa pun yang memenuhi seleranya dibeli dengan uang Bunda. Kapan ia bisa punya
penghasilan sebesar Bunda?
Apakah Ayah sepemikiran dengan
anak-anak DKM sehingga menikah muda? Tetapi bukankah dengar-dengar Ayah dulu
punya banyak pacar? Jadi Ayah saleh atau playboy?
Memang ada playboy saleh? Deraz belum
pernah menonton Catatan Si Boy. Deraz
menanyakan selentingan itu pada Bunda, yang membenarkan dengan geli. “Uh, iya.
Semuanya cantik dan kaya. Tapi sepertinya ada satu yang serius, sehingga Ayah
ngajak nikah.”
“Ibu enggak cemburu?”
Bunda tersenyum lagi sembari
berdesah. “Yah, sudah jalan hidup.” Bunda mengatakannya seakan-akan tidak punya
kemampuan mengelak. Padahal, dengan segala prestasinya, Bunda mestilah memiliki
daya juang yang hebat. Kalau Bunda bertekad, ia bisa saja menolak Ayah. Tetapi,
bukankah pada awalnya Deraz juga menyangkal perasaannya pada Zahra? Kenapa
Deraz malah menyerah? Begitukah yang dinamakan jodoh?
“Ayah cerainya kenapa?”
Bunda berdesah. “Yah …. Mungkin
karena ternyata enggak cocok.”
Deraz termenung. Dua orang menikah
itu karena saling mencintai dan meyakini, bukan? Lantas, ketika mereka
bercerai, berarti mereka sudah tidak lagi saling mencintai dan meyakini?
Berarti perasaan itu bukanlah sesuatu yang langgeng? Kenapa? Padahal awalnya
terasa begitu meyakinkan. Berarti jodoh itu bukan cuma seorang? Cinta itu bisa
berganti—berpaling ke lain hati? Lalu, apakah cinta sejati itu?
“Deraz tahu, Oma Buyut dan Opa Buyut
itu sempat berpisah puluhan tahun?” ucap Bunda tiba-tiba.
“Gimana ceritanya, Bu?” Deraz
tertarik.
Bunda memulai ceritanya dari awal
pertemuan Opa Buyut dengan Oma Buyut. Saat itu Indonesia masih Hindia Belanda.
Paman Opa Buyut yang orang Belanda punya peternakan sapi perah di suatu daerah
di Jawa Barat, yang wedananya ayah Oma Buyut. Opa Buyut kerap kali berlibur ke
tempat pamannya itu. Dalam kesempatan itulah ia bertemu dengan Oma Buyut,
ketika diajak pamannya bertamu ke rumah wedana. Mereka saling jatuh cinta dan
bertukar surat. Setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran hewan di negaranya,
Opa Buyut mencari pekerjaan di Hindia Belanda agar dapat berdekatan dengan Oma Buyut.
Opa Buyut pandai mengambil hati ayah Oma Buyut. Sebagai dokter hewan muda yang
idealis, ia bersukarela memeriksa ternak warga di kewedanaan itu. Bahkan ia
bersedia masuk Islam agar dapat menikahi Oma Buyut.
Namun keadaan berangsur-angsur
menjadi sulit. Jepang datang menguasai Hindia Belanda. Banyak orang Belanda
dijebloskan ke kamp interniran. Saat itu, Opa Buyut dapat terhindar berkat
perlindungan ayah Oma Buyut. Rakyat kemudian menyatakan kemerdekaan dan
Indonesia lahir. Jepang pergi namun keadaan tidak menjadi lebih baik bagi
orang-orang Eropa. Kali ini rakyat Indonesia sendiri yang bertindak. Mereka
hendak membalas dendam setelah diskriminasi sekian lama. Banyak orang Belanda
yang diculik dan dibantai. Opa Buyut tidak terkecuali karena serupa dengan
mereka, betapapun ia berkebangsaan Jerman. Seiring dengan kepergian Jepang dari
Indonesia, ayah Oma Buyut juga meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Tidak
ada lagi perlindungan bagi Opa Buyut.
Saat itu telah malam. Opa Buyut
tengah berada di ruang depan rumahnya bersama Oma Anna yang masih kecil. Lalu
tahu-tahu gerombolan pemuda masuk begitu saja. Mereka menyeret Opa Buyut ke
luar. Mereka juga hendak mengambil Oma Anna. Tetapi Oma Anna menggigit lengan
orang yang mengambilnya, sehingga ia dilempar sampai membentur meja. Seketika
itu muncul Oma Buyut yang tadinya sedang menyiapkan makanan di dapur.
Bagaimanapun ia memohon pada gerombolan penculik itu, mereka tidak
menggubrisnya. Setelah Opa Buyut dibawa paksa, Oma Buyut berlari ke rumah
saudaranya dengan menggendong Oma Anna yang pingsan serta membawa kedua anaknya
yang lain. Sementara Oma Buyut dan anak-anaknya tinggal di sana hingga suasana
tenang.
Opa Buyut disiksa sampai nyaris mati,
tetapi keburu diselamatkan oleh kakak Oma Buyut. Ketika sadar, ia telah berada
di kapal yang tengah membawanya ke Belanda. Sementara itu, Oma Buyut disuruh
menikah lagi oleh kakaknya. Kakak Oma Buyut menyatakan bahwa pernikahan Oma Buyut
dengan Opa Buyut tidak sah. Opa Buyut masuk Islam agar dapat menikahi Oma Buyut,
tetapi tidak pernah mengamalkan ajarannya sehingga ia bukan benar-benar muslim.
Ia tidak akan bisa menjadi imam yang baik. Memang kakak Oma Buyut itu haji yang
pernah tinggal di Mekah beberapa tahun. Sedari awal ia tidak menyetujui
pernikahan Oma Buyut dengan Opa Buyut namun mendiang ayah mereka sangat
mendukung dan optimistis.
Oma Buyut menolak untuk menikah lagi.
Namun Opa Buyut tidak kunjung kembali. Karena tekanan keluarga, Oma Buyut
memutuskan untuk memisahkan diri. Ia membawa anak-anaknya pergi dari rumah
keluarga besar dan memulai usaha sendiri. Bisa dibayangkan beratnya perjuangan
Oma Buyut.
Kondisi yang serbasusah
berangsur-angsur membaik dengan kerja keras dan keberuntungan. Kendati keluarga
mereka hidup sederhana, putra-putra Oma Buyut dapat bersekolah di luar negeri
sedangkan putrinya semata wayang berjodoh dengan dokter bedah.
Oma Anna dan Opa Andre memiliki
kisahnya sendiri. Di usianya yang belum dua puluh tahun, Oma Anna yang cantik
jelita telah diajak kawin lari oleh banyak pemuda sebab Oma Buyut sangat
protektif padanya. Sementara itu, di usianya yang mendekati kepala empat, Opa
Andre yang telah memiliki karier mapan masih melajang. Orang tua Opa Andre dan
Oma Buyut merupakan rekan bisnis. Ketika bertamu ke rumah Oma Buyut, orang tua
Opa Andre melihat Oma Anna yang membawakan minuman dan langsung jatuh hati. Kemudian
timbul gagasan untuk menjodohkan Opa Andre dan Oma Anna. Setelah keduanya
menikah, Oma Buyut tinggal bersama mereka. Di samping turut mengurus Bunda dan
adiknya, Oma Buyut terus membesarkan usahanya.
Di usianya yang mulai lanjut, Oma Buyut
telah memiliki usaha perkebunan yang sukses. Ia sedang berjalan-jalan di
kebunnya ketika dari kejauhan muncul satu sosok yang samar-samar dikenalinya:
Opa Buyut.
Ketika Oma Buyut dan Opa Buyut
bertemu kembali, Bunda sudah duduk di bangku SMA. Ia menyaksikan Oma Anna
memeluk ayahnya yang telah lama menghilang sembari menangis seperti anak kecil.
Ia juga mendengar Opa Buyut menceritakan kisah hidupnya.
Setelah kembali ke Jerman dari
pembantaian itu, Opa Buyut menghabiskan bertahun-tahun untuk mengobati luka dan
trauma. Betapapun ia selamat, tidak terdengar kabar dari kerabatnya yang
sama-sama diculik. Di samping itu, Jerman sendiri baru berbenah setelah
dihancurkan oleh perang. Opa Buyut juga mesti memulai segalanya dari nol. Seiring
dengan berlalunya waktu, Opa Buyut mulai pulih dan mapan. Barulah ia memantau
perkembangan Indonesia. Setelah meyakinkan diri bahwa keadaan di sana sudah
aman, ia mulai mencari kabar tentang keluarganya. Ia mendatangi alamat-alamat
yang diketahuinya, tetapi rumah mereka dulu telah berganti pemilik sementara
keluarga besar Oma Buyut menolaknya. Opa Buyut terus berusaha sampai takdir
mempertemukan kembali dirinya dengan Oma Buyut dan anak-anak mereka. Sejak itu,
Opa Buyut dan Oma Buyut tidak hendak berpisah lagi. Oma Buyut menjual usahanya
dan mengikuti Opa Buyut tinggal di Jerman.
Deraz terpukau mendengar cerita
Bunda. Ia tidak pernah menemukan di buku pelajaran sejarah tentang pembantaian
orang-orang Eropa di Indonesia pada masa seputar kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar