Anak-anak OSIS mulai memerhatikan Zahra. Kalau hanya melihat
sekilas foto dari Ipong, wajah itu sulit dihafal. Maka ketika melihat cewek
berjilbab yang sepertinya Zahra, mereka perlu sambil membandingkannya dengan
foto. Tentu saja ada juga anak-anak OSIS yang sudah mengenal Zahra, entah
karena dulu satu gugus atau satu kelas. Tetapi tidak banyak yang dapat
diceritakan tentang gadis itu. Mereka hanya tahu bahwa ia tidak populer. Ia
selalu menunduk. Gerak-geriknya kikuk.
Anak-anak OSIS yang suka
menongkrong di Kabita—kantin SMANSON—pada jam istirahat tahu bahwa
kadang Zahra terlihat bersama akhwat-akhwat DKM. Di mata mereka Zahra terlihat
seperti cewek berjilbab pada umumnya. Kulitnya tidak putih, tidak gelap.
Badannya tidak gendut, tidak kurus. Mereka berusaha memahami kecantikan Zahra
yang mistis, hingga Deraz tertarik.
“Jelek sih enggak juga. Tapi yang
lebih cantik kan banyak,” kata Ipong.
“Puguh cantikan Dean, asana mah,”
sambung Alf.
“Namanya aja pasaran,” imbuh Jati.
“Memang orang tidak bisa memilih
dengan siapa dia jatuh cinta,” simpul Gilang.
Perhatian cowok-cowok malah teralih
pada dua akhwat yang mengiringi Zahra, yang kulitnya lebih terang, bibirnya
lebih merah, dan badannya lebih tinggi.
“Anak DKM geulis-geulis geuningan nya.”
“Kalau mau kenalan, harus pakai
taaruf,” terang Alf.
“Taaruf?”
“Sama aja sih artinya mah, kenalan.
Cuma kalau pakai bahasa Arab lebih gimana gitu. Lebih makbul jigana mah,” lanjut Alf. “Urang ge engke rek taarufan mun geus siap lahir batin mah.”
Anak-anak menoleh pada Alf. Mereka tidak menyangka bahwa sang otaku ternyata berjiwa alim, padahal di
komputer kamarnya ada video Kakek Sugiono. Malah mereka baru menyadari bahwa
Alf itu jomlo, sejak putus dengan pacarnya semasa SMP. “Mun urang teu kaburu
dapat pacar baru sih,” sambung Alf.
“Anak DKM teh bukannya enggak pacaran, ya. Eh, si Zahra anak DKM, lain?”
“Kalau dilihat sepintas sih gaulnya
sama anak-anak DKM. Pas ketemuan di balkot juga dia pakai rok. Bajunya longgar.
Enggak mau salaman. Tapi kerudungnya sedikit kurang panjang,” Alf membeberkan
hasil pengamatannya. “Jadi sepertinya … belum bisa dipastikan.”
“Lagian, siapa sih yang dapat
menolak pesona Deraz?” ujar Jati. “Blasteran Jerman, gitu. Cicitnya Daendels,
cucunya Hitler. Yang punya Anyer-Panarukan. Soraya ge daek aslina mah, kalau enggak keburu digaet om-om ITB. Iya,
enggak, Sor?”
“Sar-sor-sar-sor,” balas Soraya
ketus.
“Tapi da si Derazna nu teu daekan ka maneh,” ungkap Gilang.
“Tuh kan, mulai deh,” Soraya
mengangkat telunjuk pada Gilang, “tapi bener sih. Kayaknya memang tipe dia
bukan cewek kayak gue.”
“Iya, tipe dia tuh yang alim kalem
kayak Zahra, gitu. Kalau lu kan TOA.”
Bersamaan dengan itu, Zahra dan
akhwat-akhwat menghampiri penjual roti bakar yang berada tidak jauh dari
mereka.
“Eh, itu madu gue!”” ucap Soraya,
sembari sebelah tangannya mengetuk-ngetuk meja menarik perhatian para cowok.
“Kalau dia madu, berarti lu
racunnya dong!” sembur Ipong.
Soraya tidak menggubris. Ia
berteriak memanggil Zahra sambil melambaikan tangan.
“Anjir, enggak tahu malu,”
cowok-cowok mengikik.
“Suara lu TOA pisan, Ya.”
“Emang dia kenal sama lu, Ya?”
“Pura-pura enggak kenal, pura-pura
enggak kenal,” mereka merunduk dan memalingkan kepala.
“Zahra …!”
Setelah beberapa kali panggilan,
Zahra menoleh. Ia terheran-heran mendapati seorang cewek berambut panjang lurus
meneriakkan namanya. Ia mengenali wajah Soraya yang memang termasuk populer di
sekolah, tetapi sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan cewek itu. Begitu
Zahra membalas pandangannya, Soraya mengisyaratkan dengan tangan supaya gadis
itu mendekat. Zahra memberi tahu teman-temannya bahwa ia akan menghampiri
Soraya.
Begitu Zahra mendekat, Soraya
bergeser menepuk-nepuk ruang duduk di sampingnya. Zahra duduk.
“Kamu Zahra, kan, ya?”
“Udah tahu nanya, lagi,” komentar
Adip.
Soraya tidak acuh. Ia menyalami
Zahra. “Gue Soraya.” Lalu ia memperkenalkan satu per satu anak-anak OSIS yang
pada duduk di sekitar mereka. “Kita semua OSIS, temennya Deraz.”
“Oh.” Zahra terkesima. Ia menoleh
pada teman-temannya para akhwat, namun mereka melambaikan tangan padanya hendak
meninggalkan Kabita.
“Zahra, lu deket, ya, sama Deraz?”
tembak Soraya.
“Eh ….” Zahra kaget. Ia mendapati
anak-anak OSIS pada menatapnya. “Mmm, enggak juga sih. Cuma … sebangku.”
“Oh, sebangku,” anak-anak pada
menganggut.
“Memang deket sih kalau sebangku
mah. Enggak sampai satu meter jaraknya.”
“Cinlok berarti.”
“Zahra, Deraz pas nembak pakai
proposal, enggak?” ganti Jati yang menembak.
“Eh ….” Zahra menunduk. Lalu,
jawabnya perlahan-lahan, “Kita enggak … pacaran kok. Cuma … sahabatan.”
“Apa? Enggak kedengeran,” sahut
Bram yang duduk di paling ujung.
“Oh, Hubungan Tapi Sahabat,
berarti,” suara Soraya memang lebih keras.
“Oooh …” sahut Bram.
“Nadanya biasa aja atuh, Ya. Jangan kayak tokoh antagonis
gitu,” celetuk Alf.
“Apa sih?!”
“Iya ih, mentang-mentang Deraz udah
dapet cewek yang lebih baik,” tambah Ipong.
“Gue juga biasa aja kali!”
“Kalau disingkat jadi HTS, ya,”
Jati mengabaikan perselisihan sebagian anak itu.
“Proposalnya belum jadi, berarti,”
simpul Gilang.
“Belum perfect,” tambah Jati.
“Deraz tuh kalau bikin proposal
teliti banget lo, sambil lihat KBBI dan pedoman EyD,” terang Alf.
“Pakai riset juga, biar meyakinkan
gitu, argumentatif sekaligus persuasif. Pakai retorika! Makanya proposal OSIS
banyak yang gol,” sambung Jati.
“Itulah gunanya punya anggota OSIS
yang sekaligus anak ekskul sepak bola,” simpul Gilang.
“Deraz memang striker andal,” Bram
mengiyakan.
“Deraz tuh kesukaannya bikin
proposal, benerin proposal, master proposal, terobsesi sama proposal. Bikin
catatan, bikin daftar, bikin jadwal. Cita-citanya jadi petugas tata usaha,”
Jati mulai mengarang.
“Oh, kirain Deraz mau jadi dokter,”
hanya itu yang terpikirkan oleh Zahra untuk menanggapi.
“Oh,” kompak anak-anak OSIS.
“Tata usaha rumah sakit berarti,”
Jati melengkapi.
Zahra tidak tahu mesti menjawab
apa.
Sejenak semuanya terdiam.
“Kita ini di OSIS udah kayak
keluarga lo,” ujar Alf tiba-tiba.
“Bener!” Jati segera menyambut.
“Soraya ini dulunya istri Deraz, tapi udah dicerai, soalnya ternyata dia cewek
jadi-jadian. Wujud aslinya siluman TOA.”
“Apa sih, lu!” Soraya menyambit
Jati dengan gumpalan bungkus permen.
“Kalau ini Dek Ipong. Dek Ipong
senang katanya punya mama baru. Iya, enggak, Dek?”
Ipong menghindari tangan Gilang
yang hendak menepuk-nepuk kepalanya.
“Udah diajak jalan-jalan ke mana aja
sama Deraz?” tanya Jati pada Zahra.
Yang malah dijawab Ipong, “Entar
minta jalan-jalan ke ‘Bukit Berbunga’ aja, bukit yang indah.”
“Atau ke Jalan Kenangan aja, biar
sepanjang jalan saling bergandeng tangan. Apalagi pas hujan rintik-rintik, di
awal bulan itu, menambah indahnya malam syahdu,” sambung Gilang.
“Bermalamnya di Cianjur, anjir.
‘Semalam di Cianjur’,” lanjut Bram.
“Oh!” Jati mengacungkan telunjuk.
“Terus dari Cianjur, ke Cipanas, terus ke Puncak. Pas tah! Banyak bukit!”
“Entar bukan bukit berbunga atuh namanya, tapi bukit teh!” protes
Ipong.
“Panjangan mana, Cianjur-Puncak apa
‘Antara Anyer dan Jakarta’?” Alf urun suara.
“Panjangan Anyer sampai Panarukan atuh, lagian Deraz yang punya jalan.”
Cowok-cowok terbahak.
“Entar mah mau dipanjangin, tahu, sampai
Papua Nugini,” cetus Adip. “Habis itu rencananya mau bikin jalan tembus ke
Paraguay lewat Samudra Pasifik. Jadi Anyer-Paraguay via Panarukan-Papua
Nugini-Pasifik.”
“Terus lanjut ke Paris, heu euh?” ujar Alf.
“Ke Patagonia heula, cuy. Beli llama buat Lebaran Haji.”
“Dengan mengerahkan tenaga anak
OSIS sedunia, anjir,” sahut Jati.
Zahra bengong.
“Maaf, ya, Zahra. Cowok-cowok ini
tuh kalau ngomong memang suka ngaco,” ujar Soraya.
Tahu-tahu Jati sudah menceletuk
lagi, “Eh, Zahra, kamu ada hubungan kekerabatan sama vokalis Gigi, ya?”
Zahra bingung. Ia tidak menyadari
bahwa kerudungnya tersingkap hingga menampakkan sebagian nama di dadanya, yang
terbaca oleh Jati.
“Kan nama kamu Zahra Maulana. Satu
klan atuh sama Arman Maulana,” jelas
Jati.
Tawa cowok-cowok menimpali.
“Garing, anjir!” seru Soraya.
“Eh, Zahra, kamu kan cewek, jadi
harusnya nama kamu Zahra Maulani,” sambung Gilang.
“Suka-suka yang kasih nama atuh!” malah Soraya yang menanggapi.
“Eh, Zahra, kamu tahu enggak nama
kepanjangannya Soraya apa?” Adip mendapat gagasan.
“Enggak.” Zahra menggeleng
terheran-heran.
“Dengerin baik-baik, ya,” Adip
berdeham, lalu, “Soraya Velasquez de La Fea Chiquiqita Fernando Torres Paraguay
Argentina Burkina Faso Che Guavara Dian Sastrowardoyo!”
Cowok-cowok mengakak. “Meni kuateun anjir maneh ngomongna!”
“Soraya Sandrina!” koreksi Soraya.
“Kamu mah nama teh meni kayak tokoh antagonis di telenovela, anjir. Musuhnya Maria
Mercedes. Bapak kamu Fernando Jose, ya?” cetus Ipong.
“Bukan!”
“Tapi orang Meksiko, kan?” tunjuk
Adip.
“Ngaco!”
“Orang Chicago, ari kamu,” koreksi Gilang. “Dari Cimahi
belok kanan saeutik.”
“Hahahahahaha, anjir, belegug!”
“Cikagok, meureun.”
Sementara anak-anak OSIS malah
sibuk dengan sesamanya, Zahra yang salah tingkah mengedarkan pandang. Matanya
bertemu dengan mata Deraz yang kebetulan saat itu tidak sengaja menoleh
kepadanya. Deraz sedang berdiri agak jauh di ujung Kabita, mendengarkan obrolan
Yoga dengan Kang Ega. Zahra tersenyum agak menunduk, namun matanya tetap
terarah pada Deraz. Anak-anak menyadari arah pandang Zahra dan mengikutinya,
lalu mendapati Deraz yang sedang tersenyum juga. Sontak mereka bersorak dan
bersuit. Zahra langsung menunduk dalam-dalam, menatap punggung tangannya yang
mencengkeram rok. Deraz juga memalingkan wajah, namun senyumnya terus terulas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar