Kamis, 27 Desember 2018

Epilog

Deraz terus memikirkan Bruno sejak di pesawat yang membawanya ke Jerman. Begitu menjejakkan kaki di Jerman, Deraz sudah tidak sabar untuk menghubungi nomor rumah Günther yang diperolehnya dari Oma Anna. Günther satu-satunya kerabat Opa Buyut yang Deraz kenal betul, yang mudah-mudahan masih tinggal di desanya dulu. Namun tentu saja prioritas yang pertama-tama adalah membangun hubungan baik dengan keluarga asuh.

Deraz mendapatkan penempatan di Bonn, salah satu kota tertua di Jerman yang dibelah Sungai Rhein. Keluarga asuhnya terdiri dari suami-istri paruh baya beserta kedua putra mereka yang berusia beberapa tahun di atas Deraz.

Keluarga itu sering sekali berlibur di Indonesia. Pembicaraan Deraz dengan mereka kerap kali diisi oleh berbagai hal tentang Indonesia. Sembari memperlihatkan album berisi foto-foto mereka sewaktu berada di Indonesia, keluarga itu menceritakan pengalaman saat mengunjungi Tesso Nilo, Wakatobi, Raja Ampat, dan sebagainya, juga pertemuan dengan Suku Baduy, Suku Toraja, Suku Asmat, dan seterusnya.

Ketika Deraz berkeliling kota bersama saudara-saudara asuhnya, mereka menceritakan tentang serunya bersepeda di Baluran yang suasananya seperti Afrika padahal Jawa. Ketika Deraz menyampaikan cita-citanya untuk kuliah kedokteran di Jerman, orang tua asuhnya malah menanggapi, “Memangnya di Indonesia tidak ada sekolah kedokteran yang bagus? Kamu tahu, di Indonesia banyak daerah terpencil yang penduduknya belum mendapat akses kesehatan memadai. Kalau kamu sekolah kedokteran di negerimu sendiri, tentu kamu akan sedikit lebih mudah untuk berhubungan dengan mereka.”

Onkel Berthold mendeklamasikan puisi-puisi Chairil Anwar seluwes Ayah mendendangkan tembang-tembang Bungsu Bandung. Tante Toni punya lebih banyak koleksi batik daripada Bunda. Jacob dan Wilhelm sudah berkali-kali bertualang sendiri ke taman-taman nasional di Indonesia tanpa ditemani orang tua mereka. Sementara Deraz hendak mempraktikkan bahasa Jerman, mereka justru ingin mempraktikkan bahasa Indonesia. Mereka tahu lebih banyak tentang Indonesia daripada Deraz. Deraz sampai mual terus-menerus dicekoki cerita tentang Indonesia yang belum pernah disaksikannya sendiri.

Di samping itu, Deraz ditaksir oleh anak tetangga yang sekaligus teman sekelas di sekolah. Cewek berambut pendek pirang itu dipanggil Momo oleh anak-anak. Momo suka mengajak Deraz berjalan-jalan berdua atau sekadar duduk-duduk di teras belakang rumah dengan alasan ingin belajar bahasa Indonesia. Pada awalnya Deraz menanggapi setiap ajakan Momo sekadar untuk bersopan santun. Tetapi ketika Momo tahu-tahu mengecup bibirnya lalu mengajak ke kamar, Deraz mundur teratur. Momo menyadari bahwa Deraz mulai menghindari dirinya. Lalu tiba-tiba saja Deraz menjadi bahan gunjingan cewek-cewek di kelas. Cowok-cowok ikut meledeknya karena menampik cewek semenarik Momo. Ditambah lagi, Deraz menolak menenggak bir di pesta-pesta mereka. Padahal awalnya Deraz diterima dengan baik oleh anak-anak karena sudah pandai berbahasa Jerman dan sama jangkung dengan mereka, biarpun kulitnya agak cokelat dan wajahnya tidak kaukasoid amat.

Ketika mulai merasakan stres akibat polah tingkah orang-orang Jerman itu, Deraz mampir ke kafe internet. Adakalanya Deraz login bertepatan dengan Bunda atau Ipong online.

Bunda mengabarkan bahwa sepertinya Dean mantap hendak menembus Berklee College of Music. Sejak sebelum pergi ke Jerman, Deraz tahu bahwa Dean melanjutkan kursus piano serta mengambil kursus bahasa Inggris. Malah pada liburan pergantian tahun ajaran kemarin Bunda mengambil cuti untuk menemani Dean melihat-lihat kampus yang bertempat di Boston, Amerika Serikat, tersebut. Ayah terlihat keberatan walaupun membiarkan. Deraz sendiri tidak mengira bahwa Dean juga berminat sekolah di luar negeri. Bunda bilang, “Syukur sejak ada Rika, Dean jadi punya tujuan, mulai mikir masa depan. Cuma Bunda khawatir Dean enggak bisa jaga diri. Dean kan begitu anaknya. Ayah juga belum dikasih tahu lagi. Siapa tahu aja Dean nanti berubah pikiran.”

Sementara itu, Ipong menceritakan tentang band mereka yang sama sekali bubar tanpa sempat diberi nama, anak-anak OSIS yang pada mulai rajin belajar karena rata-rata mengincar ITB, UGM, dan UNPAD, serta kenorakan Alf saat menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepengurusan OSIS yang padahal dihadiri guru-guru beserta perwakilan ekskul termasuk DKM.

“Masak di akhir dia bilang gini, coba, ‘Ria-chan, daisuki! Tapi dijawabnya nanti aja, ya, kalau aku udah jadi ilmuwan!’”

Deraz terkekeh sendiri di depan layar komputer membaca pesan Ipong. “Reaksi yang lain gimana?” ketiknya.

“Si Ria cemberut lah, sok enggak mau ngelihat ke si Alf. Anak-anak mah pada ngeaminin aja.”

Tanpa diminta, Ipong juga mengabarkan, “Si Zahra mulai kelihatan sama anak-anak DKM lagi, Raz. Kerudungnya asa tambah panjang.”

Zahra.

Kalau tidak diingatkan Ipong, Deraz sudah hampir melupakan nama itu. Tebersit lagi dalam bayangannya untuk menyamperi rumah gadis itu setelah pulang dari Jerman nanti. Jadikah? Ah, urusan nanti!

 

Setelah berbulan-bulan berusaha mengakrabi lingkungannya yang baru, Deraz menghubungi nomor rumah Günther. Betapa harunya Deraz ketika panggilannya berujung suara yang ia kenal. Sudah tentu Günther pangling karena suara Deraz yang bukan lagi bocah. Deraz menceritakan bahwa ia dapat kembali ke Jerman dan tinggal selama setahun berkat program AFS. Ketika ia menanyakan kabar Günther dan keadaan desa tempat tinggalnya dulu, lelaki itu mengatakan, “Du musst selbst hierher kommen.” Tentu saja Deraz mau datang ke sana, tetapi ia harus minta izin pada orang tua asuhnya dulu.

Wie geht es Bruno?” tanya Deraz akhirnya, sembari berdebar-debar. “Er lebt noch, richtig?”

Ach …” suara Günther. “Er ist sehr alt. Du musst wirklich hierher kommen, so bald wie möglich.”

So bald wie möglich. Deraz berdesah. Ia tahu. “Ich werde es versuchen.”

Deraz menyampaikan keinginannya untuk mengunjungi desa tempat tinggalnya semasa kecil kepada orang tua asuhnya. Mereka sudah tahu bahwa Deraz pernah tinggal beberapa tahun di Jerman dan karena itu kemampuannya berbahasa Jerman cukup mengesankan. Tetapi kali ini Deraz melengkapinya dengan cerita tentang Bruno yang mestilah sudah sangat tua. Ia juga sudah tahu kendaraan apa saja yang mesti dinaikinya. Günther memberinya petunjuk dan ia sendiri sudah melakukan survei dengan menghubungi perusahaan transportasi terkait. Ia sudah menyiapkan ongkos. Ia sudah menyediakan waktu kosong. Ia sudah menyiapkan segala-galanya. Ia ingin segera pergi ke sana, namun orang tua asuhnya menganjurkan untuk menunggu sampai musim dingin berlalu.

Waktu yang dinanti-nanti tiba. Orang tua asuh Deraz mengantarnya sampai ke stasiun. “Janji, ya, kamu harus sering-sering mengabari kami,” kata Tante Toni ketika melepas Deraz. Deraz mengiyakan. Dengan menggendong ransel besar, ia berangkat dengan kereta paling pagi kemudian melanjutkan dengan bis. Di pemberhentian bis pada tengah hari Günther telah menunggu dengan mobil bak yang sama dengan yang terakhir kali dilihat Deraz hampir sepuluh tahun lalu.

Sekali lagi, Günther pangling. Kali ini karena ia mendapati tinggi Deraz yang hampir menyamai dirinya. Deraz sendiri mengamati Günther mulai menua, dengan kerut-kerut pada wajah dan pirang rambut yang memudar. Namun badannya masih amat tegap. Deraz baru menyadari bahwa kemungkinan Günther seusia dengan orang tuanya.

Sepanjang jalan, Deraz memerhatikan pemandangan yang sebagiannya masih tertutup oleh lumpur salju, sembari menggali-gali ingatan hendak membandingkan. Di Bonn yang letaknya lebih selatan cuaca sudah mulai agak hangat, sementara di sini musim dingin seperti hendak tinggal lebih lama. Tengah hari saja langit masih agak redup. Begitu memasuki jalan menuju desa—yang diingatnya betul—Deraz serta-merta berkata, “Ich möchte Opas Haus sehen.”

OK,” Günther menuruti. Ia menjalankan mobilnya menuju bukit. Sementara jalan mulai menanjak landai, Deraz menyadari betapa kuatnya Opa-Oma Buyut dulu pada usia lanjut. Sebentar kemudian, mobil memasuki pelataran rumah yang sungguh akrab di benak Deraz. Deraz merasa sesak mendapati kondisinya yang bobrok. Malah pintu depannya tidak dikunci. “Kalaupun ada yang mau mencuri, mereka sudah pada pindah ke kota,” gurau Günther.

Rumah itu kini dihuni keluarga laba-laba. Perabot seperti bufet, kursi, lemari, dan meja masih ada, sementara barang-barang berharga telah berganti pemilik. Kenangan Deraz berkeliaran. Ketika membuka pintu kamar Opa Buyut dan mendapati ranjang besi itu masih ada di sana, ia melihat dirinya pada malam-malam ketika baru tinggal di rumah itu tengah dikeloni Oma Buyut sementara di sisinya yang lain Opa Buyut membacakan buku cerita. Ketika memasuki ruang perpustakaan, ia melihat dirinya duduk belajar membaca bersama Opa Buyut. Ketika melewati ruang keluarga, ia melihat dirinya berlatih piano—yang tinggal bekasnya tercetak pada dinding—sementara Oma Buyut menemaninya sembari merajut. Ketika berakhir di dapur, ia melihat dirinya mengganggu Olga—yang kata Günther sudah pulang ke kampungnya di Rumania tidak lama sepeninggal Opa Buyut—yang sedang menyiapkan makanan. Ketika melalui pintu dapur yang menuju ke halaman samping-belakang, ia melihat dirinya melempar ranting yang telah dibersihkan dan dipotong pendek pada Bruno, yang sontak meloncat dan menangkapnya dengan mulut. Kandang besar itu kini kosong-melompong, hanya menyisakan wadah makanan yang berkerak.

Willst du Bruno sehen?”

Deraz mengikuti Günther kembali ke mobil. Ketika melihat kotak pos di halaman depan, ia menyimpang. Ia membuka kotak pos dan mendapati surat-suratnya telah menguning. Bodohnya ia waktu itu. Ia hanya hafal alamat Opa Buyut dan berpikiran bahwa Olga terus tinggal di sana. Sama sekali tidak terpikir olehnya untuk mengirim ke alamat Günther, padahal ia bisa saja menanyakannya pada Bunda yang akan menanyakannya pada Oma Anna.

Dari rumah Opa Buyut ke rumah Günther yang terletak lebih rendah, Deraz tidak melewatkan pemandangan di sekitarnya. Jumlah orang yang dilihatnya sepanjang jalan sedari pemberhentian bis tadi bisa dihitung dengan jari. Menurut Günther, selain bukit, gereja kayu, hutan, ladang, padang penggembalaan, peternakan, serta rumah-rumah tua berbata merah, orang-orang tidak melihat daya tarik pada desa itu. Desa yang di mata Deraz dulu begitu indah—malah ia ingat Oma-Opa Buyut mengatakannya sebagai “tempat terbaik untuk membesarkan anak” pada Bunda dan Ayah—kini menyerupai desa hantu.

Mobil melewati gerbang peternakan. Begitu Deraz turun dari mobil, Günther berkata, “Geh einfach züruck. Er wartet auf dich.” Deraz menurut. Ia masih ingat tempat Günther mengandangkan anjing-anjingnya, yang berada di depan bangunan untuk sapi. Günther menghalau dengan suara keras beberapa anjing herder yang menggonggongi Deraz, seiring dengan langkahnya yang mendekat dengan gamang. Ada satu anjing terpisah dari kumpulan itu berbaring dengan perut naik-turun yang kentara.

Padahal Deraz masih agak jauh di depan anjing itu. Tetapi Bruno seperti mengenali aroma dan langkah Deraz. Anjing itu serta-merta berdiri dan terengah-engah menjulurkan lidah. Kakinya gemetar menahan beban tubuhnya yang padahal tinggal tulang.

Lalu Bruno goyah dan terjatuh. Deraz tersengat. “Sieh mal, er ist krank,” terdengar Günther sementara Deraz berlari menghampiri anjing itu sembari mengusap kedua matanya bergantian. Ia tahu benar Günther menyaksikannya tetapi ia seperti bocah usia delapan tahun saja. Ia tidak dapat menahannya. “Bruno, ich bin’s ….” Ia terduduk di samping Bruno.

Mata kebiruan anjing itu bergerak menatapnya diiringi suara memilukan. Untuk bernapas saja tampaknya ia sulit. Mulutnya yang membuka memperlihatkan gigi yang sudah tidak utuh. Rambutnya tidak selebat dulu dan begitu kusam.

Sembari menarik ingusnya yang mulai turun, Deraz membelai kepala anjing itu. “Es tut mir leid … es tut mir so leid.” Baunya sungguh menusuk. Bruno bahkan sudah tidak bisa buang air dengan benar. Deraz tidak berani berpaling ke arah Günther, yang padahal sudah beranjak dari situ membiarkan dirinya.

 

Sore itu, Deraz membantu Günther membersihkan pembaringan Bruno yang berlumuran kotoran dan rontokan rambut. Ia ingin sekali membersihkan Bruno juga: mengelapnya dengan air hangat, mengeringkannya, dan menyelimutinya dengan handuk tebal. Namun hari mulai gelap dan udara semakin dingin. Menurut Günther, walaupun ditaruh di depan perapian, Bruno tidak akan segera kering dan bisa-bisa bertambah menderita. Lebih baik menunggu cuaca cerah dan matahari hangat sehingga Bruno bisa sekalian berjemur.

Namun Günther mengizinkan Deraz menyikat gigi Bruno. “Sei vorsichtig. Manchmal hat er gebissen,” Günther memperingati. Dengan hati-hati, Deraz membersihkan gigi Bruno yang tinggal beberapa dan malah sebagian sudah busuk. Sesekali Bruno mendengking ketika gusinya kena dan Deraz segera berdesis menenangkan. Terlepas dari itu, Bruno lemah tidak berdaya.

Setelah membersihkan gigi Bruno, Deraz menyuapi anjing itu dengan bubur sayur-telur yang telah dibuatkan Günther. Tetapi makanan tersebut tidak masuk ke mulutnya. Malah Bruno tahu-tahu bangkit dan memuntahkan busa kekuningan, sebelum terkulai lagi. Deraz tidak putus asa. Namun setelah beberapa lama, Günther menyuruh Deraz untuk menyudahi. “Taruh saja makanannya di situ!”

 

Ketika hendak membersihkan diri, Deraz bingung mengatasi najis berat di pakaian dan tubuhnya tanpa menghabiskan air serta mengotori kamar mandi Günther dengan tanah yang dikeruknya diam-diam dari halaman. Memang, begitu keluar dari kamar mandi, Günther menanyakan sebabnya Deraz begitu lama, yang cuma dijawab dengan cengar-cengir. Deraz mengatakan hendak menumpang menjemur pakaian.

Günther telah menghangatkan segelas besar susu segar untuk Deraz. “Aku paling ingat kamu suka sekali susu. Kamu minum terus sampai omamu melarang karena takut kamu mencret.” Deraz tersenyum mendengarnya. Ia ingat benar ketika Oma Buyut melarangnya demikian.

Günther menuang segelas bir buatannya sendiri. Ia menawari Deraz sebelum meneguknya. Deraz menggeleng sopan seraya menyadari bahwa setiap perabot makan di rumah ini bisa jadi telah bercampur dengan alkohol, lemak babi, dan liur anjing. Keluarga asuhnya sendiri cukup peka dengan keadaan Deraz sebagai muslim, dan menyiapkan perabot khusus untuknya. Mereka juga tidak memelihara hewan apa pun. Namun Günther tampak cuek. Ketika melihat Deraz menggelar sajadah di samping tempat tidur saja, Günther menanyakan yang hendak dilakukannya, yang dijawab dengan “berdoa”, lalu tidak berkata apa-apa lagi. Deraz memenungkan betapa sederhana masa keclnya dulu, tidak pernah memikirkan perkara begini. Sekarang setelah ia besar, mengenal Islam, hendak merengkuh masa lalunya sekalian memperluas dunia, baru terasa olehnya. Deraz meneguk lagi susu sajian Günther sembari berucap bismillah dalam hati. Bisakah ini dikatakan sebagai darurat?

Sembari minum, mulailah Günther menceritakan desa yang semakin sepi. Sebenarnya sebelum Deraz tinggal di situ belasan tahun lalu, desa itu sudah mulai ditinggalkan penghuninya. Kebanyakan yang pergi anak-anak muda yang hendak mencari penghidupan lebih baik, terpikat oleh daya tarik barat. Kebanyakan yang tinggal warga senior. Sampai-sampai pada waktu itu Deraz tidak punya teman sebaya. “Omamu saja tidak kerasan,” ujar Günther, yang dibantah oleh Deraz. Menurut kenangan Deraz, Oma Buyut penuh senyum dan memiliki banyak kegemaran sehingga mestilah ia menikmati hidupnya di sini. Günther menatap Deraz geli. “Itu karena ada kamu.”

Günther melanjutkan bahwa Oma Buyut sering meminta Opa Buyut membawanya berjalan-jalan ke luar desa. Günther mendengar bahwa di negara asalnya Oma Buyut tinggal di kota besar bersama anak, menantu, dan cucu, serta memiliki usaha dengan banyak karyawan. Günther maklum bahwa Oma Buyut yang biasa mengurus banyak hal sendirian dalam kehidupan di Indonesia—yang dibayangkannya jauh lebih padat daripada kota-kota besar di Jerman—lantas merasa kesepian begitu diajak tinggal di desa yang terlalu tenang ini.

Günther sendiri dibesarkan di kota. Setelah lulus sekolah dan bekerja beberapa lama sekadar untuk mengumpulkan modal, ia memutuskan untuk pindah ke desa ini dan menjalankan kehidupan swadaya: berkebun, beternak, dan belajar aneka keterampilan dasar lainnya untuk mengatasi kerasnya alam. Sejak kecil memang ia memiliki minat yang besar terhadap alam dan hewan-hewan. Ia mendambakan kehidupan sunyi yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Opa Buyut memiliki kecintaan yang sama. Malah Günther mendapatkan inspirasinya dari Opa Buyut yang dokter hewan. Sejak kecil, ia dekat dengan Opa Buyut yang merupakan adik opanya. Bahkan ia lebih akrab dengan Opa Buyut daripada dengan opanya sendiri. Setelah pensiun, Opa Buyut menyusul Günther tinggal di desa itu dan membantunya mengurus ternak.

Di desa itu pula Günther bertemu dengan Ute, yang kemudian menjadi istrinya. Padahal tadinya Ute hendak mencari pekerjaan di kota juga, namun Günther mengajaknya menikah dan dengan begitu menahannya untuk tetap tinggal. Namun Ute meninggal beberapa tahun lalu. Mereka tidak punya anak. Ketika Günther menyebut nama mendiang istrinya, barulah Deraz teringat pada wanita itu. Ute selalu sedang sibuk bekerja ketika dulu Deraz mengunjungi tempat Günther. Mereka tidak begitu dekat. Sebenarnya, yang paling Deraz ingat dari tempat Günther hanya susunya yang super segar. Deraz segan menanggapi kematian Ute. Günther juga tidak melanjutkan.

Günther mengungkapkan angan-angannya untuk menghidupkan desa dengan menarik anak-anak muda dari berbagai tempat untuk mempelajari keterampilan-keterampilan tradisional. Ia mendengar ada komunitas semacam itu di luar negeri. “Lagi pula tanah di desa ini sebenarnya subur, murah pula. Sebenarnya pekerjaan ada saja kalau mereka mau mengolah tanah.”

Deraz mengusulkan supaya Günther memasang iklan di internet.

Günther tercenung. “Bagaimana kalau kamu mengajari aku internet, dan sebagai gantinya aku mengajarimu menguliti babi?” guraunya.

Nein,” tolak Deraz. “Aku bisa mengajarimu gratis. Hast du einen Computer?”

Günther tergelak. “Na ja, komputer saja aku tidak punya! Akan kukabari kalau sudah beli. Nanti kamu yang ajari, ya.”

Deraz menyanggupi untuk kembali lagi ke desa itu sebelum pulang ke Indonesia. Ia ingin mengajak keluarga Indonesianisnya serta. Mungkin Jacob dan Wilhelm akan tertarik belajar menguliti babi.

Seketika Deraz merasa lucu memahami betapa rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput sendiri, dan betapa dunia terus menyibakkan sisi-sisi yang berlainan seiring ia bertambah usia. Jerman yang dalam benak Deraz selama ini desanya begitu indah dan kotanya demikian canggih ternyata dapat terlihat berbeda.

Obrolan mereka ditingkahi gonggongan dari samping rumah. “Itu Bruno.” Günther terdiam. Deraz terkejut ketika Günther mengungkapkan bahwa tadinya ia hendak mengakhiri sendiri nyawa anjing itu. “Aku mau menguburnya di kaki bukit. Aku sudah menaruh sekop, senapan, dan kantong di bak, tinggal mengangkat Bruno. Lalu tiba-tiba telepon berdering. Ternyata itu dari kamu.”

“Kenapa Bruno tidak dibiarkan mati alami saja?"

“Sebenarnya aku sendiri merasa dilema. Aku kasihan melihat dia kesakitan. Ia sering tiba-tiba meraung sendiri. Apalagi ia sulit makan. Aku jadi frustrasi. Aku sendiri tidak punya banyak waktu untuk merawat dia. Biasanya Ute yang mengurus anjing-anjing tua.”

Beberapa lama keduanya sama hening, hingga Günther mengatakan, “Na ja, aku sampai lupa menawarimu makan. Kemarin aku baru potong babi dan membuat bratwurst. Kamu mau, kan?”

Deraz memikirkan penolakan yang sopan.

 

Keesokan subuh, ketika Deraz bangun hendak salat, ternyata Günther sudah terjaga. Günther hendak memerah sapi untuk para pelanggannya. Setelah salat, Deraz menawarkan diri untuk membantu Günther. Namun Günther malah menyuruh Deraz mendaki bukit, mengejar matahari terbit. Deraz menurut.

Deraz tiba di puncak bukit ketika setitik cahaya lembut tampak di ufuk memudarkan kegelapan di seluruh langit. Di bawah pohon ia duduk memandangi lingkaran itu naik perlahan hingga benderang. Sebelum udara hangat benar, Deraz turun dengan kegirangan bahwa ini akan jadi hari yang bagus untuk membersihkan dan menjemur Bruno. Ia tidak lupa memetiki bunga-bunga liar yang ditemuinya di jalan. Bruno suka mengendusi bunga.

Begitu Günther melihat Deraz kembali, ia langsung menugaskannya untuk memberi makan anjing-anjing. “Setelah itu baru kita sarapan.” Deraz menyanggupi. Günther telah menyiapkan mangkuk khusus untuk Bruno.

Anjing-anjing menyalak begitu Deraz menghampiri mereka. Namun kali ini mereka tidak hendak menakut-nakutinya. Dengan lahap mereka menyambut potongan daging babi rebus yang dibawakan Deraz. Setelah semua anjing yang lain itu kebagian makanan, barulah Deraz menyamperi Bruno dengan membawa mangkuk khusus untuknya. Anjing itu berbaring diam dengan mata terpejam. Deraz berjongkok seraya meletakkan piring di lantai dan membelai Bruno.

Günther lewat sembari kedua tangannya menjinjing ember berisi pakan sapi. Melihat Deraz yang mematung, Günther bertanya, “Was ist passiert?”

Deraz menoleh pada Günther.

Er ist tot.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain