Kesuksesan OH Bazar menyisakan berbagai masalah, terutama
soal aliran dana yang tersesat ke mana-mana sampai ada pengisi acara yang belum
dibayar. Hari-hari setelah acara tersebut pikiran Deraz dipenuhi perhitungan
dana keluar-masuk yang tidak kunjung cocok. Semua nota dipajang pada papan
khusus lengkap dengan penanda alur dan sticky
notes. Rapat-rapat diadakan, keganjilan tidak kunjung terurai. Anak-anak
telah suntuk mengutak-utik kalkulator.
Memang Deraz ditunjuk sebagai ketua
panitia OH Bazar karena sifatnya yang ketat. Namun seiring dengan rapat demi
rapat yang menjadikan rapat berikutnya kian intens, nada bicara Deraz mulai
memancing ketegangan saraf dan lelehan air mata. Soraya yang bosan, gerah, lagi
lelah sampai kelepasan menceletuk, “Enggak cewek orang, enggak ceweknya
sendiri, semua aja lu bikin nangis, Raz. Lembut sedikit, kenapa?”
Kesumpekan anak-anak terangkat sedikit.
“Tolong itu dibicarain nanti aja,
ya, di luar forum,” ucap Deraz dingin.
Namun anak-anak telanjur tersulut.
Mereka melihat kesempatan untuk melunakkan suasana rapat yang sedari tadi
berlangsung terlalu alot.
“Deraz bikin Zahra nangis juga?”
“Deraz bikin ceweknya nangis!”
“Leuk siah! Leuk siah!”
Bogem Deraz menghantam papan tulis.
Anak-anak terdiam seketika.
“Ini uang orang yang kita omongin,”
lanjut Deraz.
Tidak ada lagi yang berani bersuara
kecuali diminta Deraz.
Seusai rapat, Soraya mendekati Deraz.
“Raz, saya minta maaf, ya, yang
tadi.”
Namun Deraz sudah tenang. Lagi pula
gertakannya tadi entah bagaimana memulihkan ingatan anak-anak yang “lupa”
sehingga timbul pengakuan-pengakuan yang dinanti. Satu per satu tanda tanya di
papan telah dihapus. Deraz hanya menjawab, “Ya udah.” Ia tidak ingin
mempersoalkan itu lebih jauh.
Melihat Deraz yang mulai santai,
anak-anak memberanikan diri menimbrung.
“Si Zahra apa kabar, Raz?”
“Ajakin Zahra nonton bioskop, Raz.
Film horor.”
Zahra.
Benar juga. Apa kabar, ya, gadis
itu? Sudah berapa hari Deraz tidak menghubungi Zahra?
Deraz membuka ponselnya lalu
memindai pesan-pesan Zahra yang belum dibuka. Astaga. Seandainya Zahra
pemberani, mungkin riwayat telepon Deraz akan diisi rentetan missed call juga.
Malam ketika sudah santai di kamar,
Deraz menelepon Zahra tetapi tidak diangkat. Ia mengirimkan SMS basa-basi
tetapi hingga pagi tidak dibalas.
Di kelas, dengan deretan
siswa-siswi lain yang terbentang di antara mereka, Deraz tidak bisa serta-merta
mendekati Zahra. Pada jam istirahat, gadis itu dibentengi akhwat-akhwat.
Sepulang sekolah, sejak Deraz disibukkan OH Bazar, ia belum mengantar Zahra ke
gerbang lagi. Ketika ia hendak melakukannya kini, gadis itu terus bersama
anak-anak DKM.
Deraz mengirim SMS dan menelepon
lagi, namun Zahra terus membalasnya dengan tidak membalas.
Deraz jadi menyadari betapa susah
sebetulnya mendekati gadis itu tanpa mereka duduk sebangku.
Ketika Deraz mengirim SMS berbunyi,
“Enggak omongan lebih dari tiga hari itu dosa lo,” barulah Zahra membalasnya
dengan, “Makasih udah ngingetin,” yang kalau diucapkan langsung tentunya dengan
nada beku.
“Mau teleponan?” balas Deraz.
“Boleh.”
Kali ini panggilan Deraz diangkat.
“Hei.”
“Hm.”
“Kamu kenapa sih?”
“Enggak apa-apa.”
“Lagi dapet? Biasa enggak
segitunya.”
“Hm.”
“DVD drama Korea kamu ada yang
rusak?”
“Enggak.”
Deraz dibiarkannya terus menebak,
sampai, “Kamu marah karena enggak aku perhatiin, ya?”
“Biasa aja,” Zahra ketus.
“Kamu kangen sama perhatian aku.”
Zahra tidak bisa melihat Deraz
cengengesan tanpa suara.
Benar. Pasti benar. Kok Deraz malah
jadi kegirangan.
“Kenapa juga aku mesti gitu sama
kamu? Da aku mah bukan siapa-siapa
kamu,” sahut Zahra.
Deraz terdiam. “Kenapa kamu ngerasa
bukan siapa-siapa aku? Gara-gara aku cuekin sebentar doang? Oh, buat kamu mah
itu lama, ya?” Deraz nyaris tertawa lagi, tetapi Zahra malah terdengar berdesah
kesal.
“Zahra,” ucap Deraz lagi.
“Sebenarnya aku mau aja nembak kamu. Tapi kan kamu enggak mau pacaran.”
Zahra tidak bersuara.
“Jangan ngambek,” ujar Deraz.
“Memang kamu apanya aku
nyuruh-nyuruh jangan ngambek?” suara Zahra serak.
Deraz jadi bingung. Bukankah Deraz
telah mengatakan bahwa mereka bersahabat? Biarpun Deraz telah mengatakan
perasaannya, bukankah mereka akan menjalani hubungan yang biasa-biasa saja
sampai sama-sama telah mewujudkan yang prioritas? Mau Zahra apa sih?
“Kamu mau kita jadi pacar?”
“Mmh, enggak. Kenapa harus jadi
pacar?” Zahra berkata cepat-cepat.
“Supaya kamu bisa marah dan kangen
sama aku, terus aku bisa nyuruh kamu supaya jangan ngambek.”
“Bukannya kamu juga enggak mau
pacaran?”
“Aku mau aja kalau sama kamu,”
sahut Deraz. “Kamu mau jadi pacar aku, enggak? Aku serius. Kita enggak usah
bilang-bilang.”
Zahra tersentak. “Deraz jangan
ngomong gitu …!”
“Kamu belum pacar aku. Jangan
nyuruh-nyuruh,” balas Deraz.
Zahra terdiam lagi.
Beberapa saat kemudian Deraz bisa
mendengar gadis itu mulai terisak. Deraz berdesah. Lagi-lagi …. Seandainya ia bisa menyodorkan saputangan Opa Buyut
pada Zahra. Ia tidak mengetahui Zahra meletakkan ponselnya di tempat yang jauh
dari jangkauan. Sementara menunggu Zahra kembali bersuara, ia berpikir betapa
tidak romantisnya menembak gadis itu begitu saja di telepon. Semestinya ia
sambil menyanyikan lagu diiringi petikan gitar. Setelah memasang headset pada ponsel dan telinga, Deraz
melihat-lihat isi rak kaset.
“Halo?” akhirnya terdengar suara
Zahra. Sepertinya ia kaget karena Deraz belum mengakhiri panggilan padahal
telah cukup lama didiamkan.
“Ya?”
“Udah dulu, ya,” suara Zahra parau.
“Entar dulu.” Deraz memindai daftar
lagu di kaset kompilasi Ipong. Memang Ipong gemar merekam lagu-lagu yang sedang
populer di radio ke kaset kosong. Deraz menemukan satu lagu yang dirasanya pas.
“Jadi kamu mau jadi pacar aku enggak?”
“Enggak,” sahut Zahra tegas
walaupun suaranya bertambah serak. “Aku enggak mau pacaran.”
“Tapi kamu jangan ambekan.”
“Aku tutup, ya.”
“Ya udah.”
Deraz mengambil gitar Yamaha
akustik dan meletakkannya di pangkuan. Lalu ia memasukkan kaset Ipong ke stereo
dan menekan tombol rewind sampai lagu
yang dimaksudnya berputar dari awal. Mengalun lagu yang menuai request dari banyak orang di radio saat
Deraz duduk di kelas dua atau tiga SMP. Deraz mulai mengulik dentingnya yang
begitu syahdu.
Kata cinta yang kumiliki
ingin memberi semua yang terbaik
Berharap ku tak berlebih di hatimu
Kau tercantik dalam hatiku
walaupun orang tak berkata begitu
Ku ingin kau di sampingku selamanya
Bila engkau menerima cintaku
aku akan setia kepadamu
karena dirimu yang selama ini kucari
Bila engkau menerima cintaku
aku akan selalu jujur untukmu
karena dirimu yang selama ini di hati[1]
Deraz berdeham. Ia tidak tahan
mendengar suaranya sendiri, di samping Dean baru masuk ke kamar. Ia perlu
meminta bimbingan Ipong lagi, tetapi malu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar