Sabtu, 15 Desember 2018

(44)

Kesuksesan OH Bazar menyisakan berbagai masalah, terutama soal aliran dana yang tersesat ke mana-mana sampai ada pengisi acara yang belum dibayar. Hari-hari setelah acara tersebut pikiran Deraz dipenuhi perhitungan dana keluar-masuk yang tidak kunjung cocok. Semua nota dipajang pada papan khusus lengkap dengan penanda alur dan sticky notes. Rapat-rapat diadakan, keganjilan tidak kunjung terurai. Anak-anak telah suntuk mengutak-utik kalkulator.

Memang Deraz ditunjuk sebagai ketua panitia OH Bazar karena sifatnya yang ketat. Namun seiring dengan rapat demi rapat yang menjadikan rapat berikutnya kian intens, nada bicara Deraz mulai memancing ketegangan saraf dan lelehan air mata. Soraya yang bosan, gerah, lagi lelah sampai kelepasan menceletuk, “Enggak cewek orang, enggak ceweknya sendiri, semua aja lu bikin nangis, Raz. Lembut sedikit, kenapa?”

Kesumpekan anak-anak terangkat sedikit.

“Tolong itu dibicarain nanti aja, ya, di luar forum,” ucap Deraz dingin.

Namun anak-anak telanjur tersulut. Mereka melihat kesempatan untuk melunakkan suasana rapat yang sedari tadi berlangsung terlalu alot.

“Deraz bikin Zahra nangis juga?”

“Deraz bikin ceweknya nangis!”

Leuk siah! Leuk siah!”

Bogem Deraz menghantam papan tulis.

Anak-anak terdiam seketika.

“Ini uang orang yang kita omongin,” lanjut Deraz.

Tidak ada lagi yang berani bersuara kecuali diminta Deraz.

Seusai rapat, Soraya mendekati Deraz.

“Raz, saya minta maaf, ya, yang tadi.”

Namun Deraz sudah tenang. Lagi pula gertakannya tadi entah bagaimana memulihkan ingatan anak-anak yang “lupa” sehingga timbul pengakuan-pengakuan yang dinanti. Satu per satu tanda tanya di papan telah dihapus. Deraz hanya menjawab, “Ya udah.” Ia tidak ingin mempersoalkan itu lebih jauh.

Melihat Deraz yang mulai santai, anak-anak memberanikan diri menimbrung.

“Si Zahra apa kabar, Raz?”

“Ajakin Zahra nonton bioskop, Raz. Film horor.”

Zahra.

Benar juga. Apa kabar, ya, gadis itu? Sudah berapa hari Deraz tidak menghubungi Zahra?

Deraz membuka ponselnya lalu memindai pesan-pesan Zahra yang belum dibuka. Astaga. Seandainya Zahra pemberani, mungkin riwayat telepon Deraz akan diisi rentetan missed call juga.

Malam ketika sudah santai di kamar, Deraz menelepon Zahra tetapi tidak diangkat. Ia mengirimkan SMS basa-basi tetapi hingga pagi tidak dibalas.

Di kelas, dengan deretan siswa-siswi lain yang terbentang di antara mereka, Deraz tidak bisa serta-merta mendekati Zahra. Pada jam istirahat, gadis itu dibentengi akhwat-akhwat. Sepulang sekolah, sejak Deraz disibukkan OH Bazar, ia belum mengantar Zahra ke gerbang lagi. Ketika ia hendak melakukannya kini, gadis itu terus bersama anak-anak DKM.

Deraz mengirim SMS dan menelepon lagi, namun Zahra terus membalasnya dengan tidak membalas.

Deraz jadi menyadari betapa susah sebetulnya mendekati gadis itu tanpa mereka duduk sebangku.

Ketika Deraz mengirim SMS berbunyi, “Enggak omongan lebih dari tiga hari itu dosa lo,” barulah Zahra membalasnya dengan, “Makasih udah ngingetin,” yang kalau diucapkan langsung tentunya dengan nada beku.

“Mau teleponan?” balas Deraz.

“Boleh.”

Kali ini panggilan Deraz diangkat.

“Hei.”

“Hm.”

“Kamu kenapa sih?”

“Enggak apa-apa.”

“Lagi dapet? Biasa enggak segitunya.”

“Hm.”

“DVD drama Korea kamu ada yang rusak?”

“Enggak.”

Deraz dibiarkannya terus menebak, sampai, “Kamu marah karena enggak aku perhatiin, ya?”

“Biasa aja,” Zahra ketus.

“Kamu kangen sama perhatian aku.”

Zahra tidak bisa melihat Deraz cengengesan tanpa suara.

Benar. Pasti benar. Kok Deraz malah jadi kegirangan.

“Kenapa juga aku mesti gitu sama kamu? Da aku mah bukan siapa-siapa kamu,” sahut Zahra.

Deraz terdiam. “Kenapa kamu ngerasa bukan siapa-siapa aku? Gara-gara aku cuekin sebentar doang? Oh, buat kamu mah itu lama, ya?” Deraz nyaris tertawa lagi, tetapi Zahra malah terdengar berdesah kesal.

“Zahra,” ucap Deraz lagi. “Sebenarnya aku mau aja nembak kamu. Tapi kan kamu enggak mau pacaran.”

Zahra tidak bersuara.

“Jangan ngambek,” ujar Deraz.

“Memang kamu apanya aku nyuruh-nyuruh jangan ngambek?” suara Zahra serak.

Deraz jadi bingung. Bukankah Deraz telah mengatakan bahwa mereka bersahabat? Biarpun Deraz telah mengatakan perasaannya, bukankah mereka akan menjalani hubungan yang biasa-biasa saja sampai sama-sama telah mewujudkan yang prioritas? Mau Zahra apa sih?

“Kamu mau kita jadi pacar?”

“Mmh, enggak. Kenapa harus jadi pacar?” Zahra berkata cepat-cepat.

“Supaya kamu bisa marah dan kangen sama aku, terus aku bisa nyuruh kamu supaya jangan ngambek.”

“Bukannya kamu juga enggak mau pacaran?”

“Aku mau aja kalau sama kamu,” sahut Deraz. “Kamu mau jadi pacar aku, enggak? Aku serius. Kita enggak usah bilang-bilang.”

Zahra tersentak. “Deraz jangan ngomong gitu …!”

“Kamu belum pacar aku. Jangan nyuruh-nyuruh,” balas Deraz.

Zahra terdiam lagi.

Beberapa saat kemudian Deraz bisa mendengar gadis itu mulai terisak. Deraz berdesah. Lagi-lagi …. Seandainya ia bisa menyodorkan saputangan Opa Buyut pada Zahra. Ia tidak mengetahui Zahra meletakkan ponselnya di tempat yang jauh dari jangkauan. Sementara menunggu Zahra kembali bersuara, ia berpikir betapa tidak romantisnya menembak gadis itu begitu saja di telepon. Semestinya ia sambil menyanyikan lagu diiringi petikan gitar. Setelah memasang headset pada ponsel dan telinga, Deraz melihat-lihat isi rak kaset.

“Halo?” akhirnya terdengar suara Zahra. Sepertinya ia kaget karena Deraz belum mengakhiri panggilan padahal telah cukup lama didiamkan.

“Ya?”

“Udah dulu, ya,” suara Zahra parau.

“Entar dulu.” Deraz memindai daftar lagu di kaset kompilasi Ipong. Memang Ipong gemar merekam lagu-lagu yang sedang populer di radio ke kaset kosong. Deraz menemukan satu lagu yang dirasanya pas. “Jadi kamu mau jadi pacar aku enggak?”

“Enggak,” sahut Zahra tegas walaupun suaranya bertambah serak. “Aku enggak mau pacaran.”

“Tapi kamu jangan ambekan.”

“Aku tutup, ya.”

“Ya udah.”

Deraz mengambil gitar Yamaha akustik dan meletakkannya di pangkuan. Lalu ia memasukkan kaset Ipong ke stereo dan menekan tombol rewind sampai lagu yang dimaksudnya berputar dari awal. Mengalun lagu yang menuai request dari banyak orang di radio saat Deraz duduk di kelas dua atau tiga SMP. Deraz mulai mengulik dentingnya yang begitu syahdu.

 

Kata cinta yang kumiliki

ingin memberi semua yang terbaik

Berharap ku tak berlebih di hatimu

Kau tercantik dalam hatiku

walaupun orang tak berkata begitu

Ku ingin kau di sampingku selamanya

Bila engkau menerima cintaku

aku akan setia kepadamu

karena dirimu yang selama ini kucari

Bila engkau menerima cintaku

aku akan selalu jujur untukmu

karena dirimu yang selama ini di hati[1]

 

Deraz berdeham. Ia tidak tahan mendengar suaranya sendiri, di samping Dean baru masuk ke kamar. Ia perlu meminta bimbingan Ipong lagi, tetapi malu.



[1] “Bila Engkau” - Flanella

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain