Senin, 17 Desember 2018

(46)

Zahra mengira sepulang sekolah hari itu hanya akan ada rapat biasa di sekretariat DKM. Tetapi yang hadir cuma Ria, Muti, Anisa, dan … teteh mentor? Zahra bersimpuh di lingkaran itu tanpa prasangka apa-apa. Ketika Muti mengatakan, “Sebelumnya kami mohon maaf sama Ukhti Zahra. Di sini kami hanya ingin bertabayun tentang hubungan Ukhti sama … Deraz,” barulah Zahra berdebar keras.

“Sebenarnya … selama ini kami mengamati interaksi Ukhti dengan beliau,” sambung Ria.

Zahra tertunduk. Badannya terasa kaku dan dingin. Tentu saja. Semuanya kentara: dari kebiasaan Deraz mencolek pipinya dan mengantarnya sampai ke gerbang, cara Deraz memandang dan tersenyum padanya, anak-anak OSIS yang SKSD padanya padahal ia tidak aktif di mana pun selain di DKM, usulan Deraz supaya ia menjadi penanggung jawab stan kelas, sampai tepergoknya mereka di BSM. Zahra sudah tahu para akhwat itu dapat menyimpulkan bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan Deraz. Anak-anak OSIS saja tahu. Semua orang sudah tahu. Air mata Zahra mulai menggenang.

“Kami enggak menuduh kalau Ukhti pacaran. Kami tahu bahwa Ukhti bisa menjaga diri. Tapi kalau hubungan Ukhti dengan beliau diteruskan, kami khawatir lama-lama akan, maaf, menjerumuskan. Bukannya kami suuzan sama Ukhti. Tapi dalam Islam kan memang sudah ditegaskan hubungan dengan lawan jenis. Kami mengerti Ukhti sendiri mungkin kesulitan untuk menghindari beliau. Karena itu, kami di sini untuk mengingatkan dan mendukung Ukhti. Kita saling menasihati dalam kebaikan, ya?”

Zahra mengusap wajahnya dengan lengan biarpun air matanya sudah keburu mendarat ke pangkuan satu demi satu.

“Kalau Zahra bingung karena Deraz, kalau Zahra jengkel, nangis, sedih karena dia, Zahra enggak akan dapat pahala apa-apa,” kata teteh mentor dengan lembut, “Lagian, hubungan seperti itu bisa menggiring kepada perbuatan dosa. Belum tentu nikmat melulu, malah dapat siksa di akhirat.”

“Maaf, ya, Zahra. Ini demi kebaikan kamu juga,” ucap Muti dengan nada prihatin.

Sebelum pulang, Zahra hendak mencuci muka dulu di tempat wudu disusul Ria, Muti, dan Anisa. Tetapi bekas air keran segera terguyur lagi oleh air mata. Ketiga akhwat itu sampai mengantar Zahra ke rumah. Begitu tiba di rumah, air mata Zahra justru mengalir lebih deras. Sepanjang sisa hari ia mengurung diri saja di kamar, bergelut dengan perasaan dan pikiran yang bercampuk aduk tidak keruan.

Ketika Deraz mulai memberikan perhatiannya di awal mereka duduk sebangku, Zahra tidak bisa tidak gede rasa. Tetapi Zahra terus menekan perasaan itu dengan merendahkan diri serta mengingatkan bahwa ia tidak mau seperti cewek-cewek berjilbab lain yang pacaran. Semakin besar, Zahra mulai berpikir bahwa ia berjilbab bukan sekadar karena disekolahkan di yayasan Islam dari TK sampai SMP, melainkan juga untuk menjilbabi hati. Berjilbab itu bukan sekadar untuk menutupi rambut, melainkan juga untuk menjaga dirinya dari apa pun yang dapat mengarahkan pada maksiat yang salah satunya lewat bersuka-sukaan dengan lawan jenis.

Ketika Deraz mengatakan bahwa mereka bersahabat, sesaat Zahra lega. Malah ia senang karena setelah satu tahun lebih bersekolah di SMA ada yang menganggapnya sebagai sahabat. Memang itulah yang dilakukan dengan sahabat: bertukar SMS, belajar bersama, dan seterusnya. Bersahabat tidak mesti dengan sesama jenis, kan?

Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan intensnya perhatian Deraz, Zahra tidak bisa tidak GR lagi. Ia merekam setiap perkataan Deraz yang berkesan dan menyiratkan adanya perhatian khusus untuknya di diary—yang tidak pernah dibawanya lagi ke sekolah sejak yang sebelumnya hilang—betapapun ia terus mencamkan bahwa mereka cuma bersahabat—Deraz bilang begitu. Seandainya Deraz perempuan, tentu segala yang mereka lakukan itu wajar saja: berbagi bekal, bertelepon, jalan bareng, main ke rumah, saling memuji atau meledek, dan seterusnya. Zahra tidak berhak cemburu bila Deraz berdekatan dengan cewek lain. Malah, sebagai sahabat, mungkin semestinya Zahra mendukung Deraz bila cowok itu menemukan cewek yang sesuai.

Tetapi, bagaimanapun Deraz itu laki-laki. Ia juga bukan laki-laki biasa, melainkan pujaan banyak cewek. Perhatian sekecil apa pun yang diberikan Deraz pasti menerbitkan perasaan yang bukan-bukan pada cewek yang mendapatkannya. Sementara itu, Zahra cuma cewek biasa yang tidak setangguh akhwat-akhwat DKM. Ia tidak terhindar dari mengkhayalkan bahwa Deraz menyukainya lebih dari sekadar sebagai sahabat. Tetapi, kalaupun itu benar, Zahra mau apa? Ia kan tidak mau pacaran. Ia terus mengingatkan dirinya akan arti berjilbab.

Zahra sendiri heran akan dirinya. Padahal ia semakin dekat dengan anak-anak DKM. Ia mengikuti mentoring, MABIT, dan membantu pelaksanaan acara-acara DKM lainnya, tetapi di luar itu ia sering bertukar SMS dan bertelepon dengan cowok yang bukan muhrim diiringi hati yang berdebar-debar dan mau diajak jalan bareng.

Lebih-lebih lagi, ketika tidak lama setelah Ria menyertakan Zahra dalam bidang kaderisasi—di mana nilai-nilai Islam paling kuat ditanamkan—Deraz malah mengakui perasaan khusus itu kepadanya! Saat itu, Zahra merasa dirinya begitu berharga sampai-sampai menangis. Ia yang selama ini merasa berdiam di dasar jurang kehinaan, mendadak diangkat ke langit ketujuh, didudukkan di singgasana, dan dimahkotai. Padahal Deraz bisa saja memilih di antara sekian banyak cewek lain yang punya kelebihan dalam segi apa pun dibandingkan dengan Zahra, tetapi cowok itu memilihnya!

Deraz juga tidak memaksa untuk pacaran. Ia hanya ingin Zahra tahu. Betapa manisnya itu. Zahra ingin mengungkapkan perasaan yang sama, tetapi tertahan—tidak berani. Jauh di sudut otaknya masih ada ingatan pada anak-anak DKM.

Betapapun Deraz bilang hubungan mereka akan biasa-biasa saja kendati telah menyatakan perasaannya, namun Zahra tidak bisa biasa-biasa saja. Ia semakin giat mempelajari berbagai keterampilan supaya dapat membuat ini-itu untuk Deraz sehingga selalu diingat cowok itu, tanpa ingat bahwa Allah lebih patut untuk diingat. Ia lebih mencemaskan apakah Deraz akan menyukai syal rajutannya daripada merenungkan apakah Allah menerima salatnya. Ia lebih mudah mengabaikan perintah Allah untuk tidak mendekati zina ketimbang menolak ajakan Deraz ke rumahnya yang kemungkinan sedang sepi (kecuali Dean tidak dianggap sebagai jin), berboncengan, … kejadian di sawah itu—aduh!, sampai bergelap-gelap di bioskop …. Ia ketakutan ketika Deraz bernada sengit padanya, tetapi tidak pernah memikirkan bagaimana kalau Allah yang marah padanya.

Ia jadi merasa ibadahnya tidak berarti. Betapapun ia berjilbab, mengaji, selalu memenuhi salat wajib dan mulai memperbanyak salat sunah, mencoba puasa Senin-Kamis, dan lain-lain, tetapi itu lebih karena terbiasa dan anak-anak DKM pada melakukannya. Ia tidak pernah memikirkan arti perbuatannya itu bagi dirinya dan bagi Allah, tetapi begitu peka akan tindak-tanduknya kepada Deraz: apakah begini atau begitu akan menyenangkan cowok itu, atau memalukan, atau malah tidak mengenakkan?

Ia jadi mempertanyakan: memangnya siapakah Allah itu yang lebih pantas untuk dicintai—malahan di atas segala-galanya? Ia membaca dan mendengar bahwa Allah Yang Menciptakan, Yang Maha Pemberi—Yang Segala-galanya! Tetapi hatinya lebih merasakan kehadiran si dia daripada Dia. Betapapun banyaknya kata-kata dari Alquran dan hadis yang diindra mata dan telinganya, tetapi tidak mendapat tempat leluasa di hatinya yang sudah penuh oleh Deraz. Apakah itu tandanya Allah tidak lebih berarti ketimbang Deraz? Astagfirullah! Ia lebih terpikat pada “kesempurnaan” Deraz, daripada kesempurnaan Yang Maha Sempurna. Padahal Deraz sebenarnya tidak sempurna amat. Ia juga bisa sombong, terlalu optimistis, terlampau percaya diri—menyebalkan dan meremehkan. Tetapi, semua-mua itu tidak menjadikan Zahra berhenti memikirkan Deraz. Memangnya bagaimanakah kesempurnaan Yang Maha Sempurna itu? Hatinya yang sibuk oleh Deraz tidak sempat memikirkannya.

Ia juga jadi mempertanyakan: memangnya kenapa kalau pacaran? Jangan-jangan benar yang dikatakan Deraz bahwa antara beribadah kepada Allah dan berpacaran itu memang bisa berjalan beriringan. Zahra saja yang tidak menguasai caranya, tidak mampu mengendalikan perasaannya. Siapa tahu, seiring dengan berjalannya waktu, Zahra bisa mengatasinya. Kalau mereka pacaran, tentu Zahra berhak untuk mengungkapkan kecemburuannya.

Tidak, tidak. Zahra tidak mau tenggelam dalam kecemburuan akibat berhubungan dengan Deraz. Kecemburuan itu sangat menyesakkan. Kalau sewaktu-waktu Zahra berbuat salah atau tidak menyenangkan bagi Deraz sampai-sampai cowok itu kehilangan rasa terhadap dirinya—siapa tahu saja—ia bisa dengan mudah mencari cewek lain sebagai penggantinya. Apalagi di Jerman nanti Deraz tentu bertemu dengan cewek-cewek bule yang pastinya jauh lebih cantik, cerdas, menarik, dan sebagainya.

Lagi pula, kalau Zahra meneruskan hubungan dengan Deraz, bisa-bisa kontak fisik juga terus terjadi. Bagaimana kalau lama-kelamaan itu menjadi biasa—dari tidak sengaja menjadi sengaja—dan bertambah jauh? Eh—benarkah Deraz tidak sengaja? Ketika mereka jalan untuk pertama kali lalu menyeberang dari trotoar di tepi taman balai kota, bukankah Deraz yang lebih dulu menggamit tangannya? Ketika mereka menyusuri pematang sawah, tidakkah, uh, adegan sinetron itu terjadi karena Deraz tahu-tahu menggoyang ranselnya? Ketika mereka hendak berboncengan dan Zahra nyaris memegang cowok lagi, bukankah itu gara-gara Deraz mengegas kekencangan? Ketika mereka bersentuhan tangan selagi menonton bioskop, bukankah Deraz yang mengajaknya ke tempat yang gelap itu? Mungkinkah sebenarnya selama ini Deraz memang mencuri-curi kesempatan? Walaupun mereka berada di tempat umum, tetap saja itu bukan perbuatan itu tidak bisa dihalalkan! Kalaupun mereka berhasil untuk tidak pernah bersentuhan lagi, siapa yang tidak tahan untuk tidak berpandangan? Zahra tahu Deraz diam-diam suka memandanginya. Tidakkah itu sebetulnya menyeramkan? Deraz sendiri tampannya minta ampun, bagaimana Zahra tidak jelalatan? Kalau hubungan itu diteruskan, bisa-bisa mereka terus menjadi sumber maksiat bagi satu sama lain. Di akhirat semua pandangan dan sentuhan itu akan diganjar dengan besi panas!

Mungkinkah peringatan dari anak-anak DKM sebenarnya teguran dari Allah? Mungkinkah Deraz hanya cobaan dari Allah untuk menguji cinta Zahra kepada-Nya? Air mata Zahra luruh lagi membayangkan itu sebagai kebenaran. Di dunia ini tidak ada yang abadi. Perasaan Deraz padanya juga tidak akan abadi, Zahra mencoba meyakini. Cinta Allah yang langgengnya sampai akhirat lebih pantas untuk diharapkan.

Zahra mengambil ponsel. Ia mengetik lalu menghapus, berkali-kali, sampai dapat membuat pernyataan utuh: “Deraz, jangan deketin aku lagi. Ini salah aku juga karena kurang menjaga diri. Kalau kita tetap berhubungan, gimanapun hubungan itu, perasaan kita bakal terus tumbuh. Mending kita enggak usah kontak sama sekali. Lagian Deraz mau pergi. Itu kesempatan kita buat saling melupakan.”

Tetapi ia menghapus lagi draf tersebut. Ia bisa membayangkan Deraz bakal langsung meneleponnya begitu menerima SMS itu. Deraz bakal membantah dan tidak mau kalah. Bagaimana Zahra bisa melawan juara debat tingkat nasional?

Zahra malah mematikan ponsel. Ia mencopot casing lalu mencabut simcard. Ia merasa menyesal telah mengiyakan Deraz untuk mengganti provider, padahal nomornya yang sebelum ini cantik—mudah dihafal. Lalu ia menggunting simcard. Ia juga mengurai syal rajutan yang tadinya hendak ia berikan pada Deraz sebelum keberangkatan cowok itu ke Jerman.

Ia membenamkan wajahnya pada gumpalan benang wol yang semrawut itu dan tersengguk-sengguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain