Zahra mengira sepulang sekolah hari
itu hanya akan ada rapat biasa di sekretariat DKM. Tetapi yang hadir cuma Ria,
Muti, Anisa, dan … teteh mentor? Zahra bersimpuh di lingkaran itu tanpa
prasangka apa-apa. Ketika Muti mengatakan, “Sebelumnya kami mohon maaf sama Ukhti
Zahra. Di sini kami hanya ingin bertabayun tentang hubungan Ukhti sama … Deraz,” barulah Zahra berdebar keras.
“Sebenarnya … selama ini kami
mengamati interaksi Ukhti dengan
beliau,” sambung Ria.
Zahra tertunduk. Badannya terasa kaku
dan dingin. Tentu saja. Semuanya kentara: dari kebiasaan Deraz mencolek pipinya
dan mengantarnya sampai ke gerbang, cara Deraz memandang dan tersenyum padanya,
anak-anak OSIS yang SKSD padanya padahal ia tidak aktif di mana pun selain di
DKM, usulan Deraz supaya ia menjadi penanggung jawab stan kelas, sampai
tepergoknya mereka di BSM. Zahra sudah tahu para akhwat itu dapat menyimpulkan
bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan Deraz. Anak-anak OSIS saja tahu. Semua
orang sudah tahu. Air mata Zahra mulai menggenang.
“Kami enggak menuduh kalau Ukhti pacaran. Kami tahu bahwa Ukhti bisa menjaga diri. Tapi kalau
hubungan Ukhti dengan beliau diteruskan, kami khawatir lama-lama akan, maaf,
menjerumuskan. Bukannya kami suuzan sama Ukhti.
Tapi dalam Islam kan memang sudah ditegaskan hubungan dengan lawan jenis. Kami
mengerti Ukhti sendiri mungkin
kesulitan untuk menghindari beliau. Karena itu, kami di sini untuk mengingatkan
dan mendukung Ukhti. Kita saling
menasihati dalam kebaikan, ya?”
Zahra mengusap wajahnya dengan lengan
biarpun air matanya sudah keburu mendarat ke pangkuan satu demi satu.
“Kalau Zahra bingung karena Deraz,
kalau Zahra jengkel, nangis, sedih karena dia, Zahra enggak akan dapat pahala
apa-apa,” kata teteh mentor dengan lembut, “Lagian, hubungan seperti itu bisa menggiring kepada perbuatan dosa. Belum
tentu nikmat melulu, malah dapat siksa di akhirat.”
“Maaf, ya, Zahra. Ini demi kebaikan
kamu juga,” ucap Muti dengan nada prihatin.
Sebelum pulang, Zahra hendak mencuci
muka dulu di tempat wudu disusul Ria, Muti, dan Anisa. Tetapi bekas air keran
segera terguyur lagi oleh air mata. Ketiga akhwat itu sampai mengantar Zahra ke
rumah. Begitu tiba di rumah, air mata Zahra justru mengalir lebih deras.
Sepanjang sisa hari ia mengurung diri saja di kamar, bergelut dengan perasaan
dan pikiran yang bercampuk aduk tidak keruan.
Ketika Deraz mulai memberikan
perhatiannya di awal mereka duduk sebangku, Zahra tidak bisa tidak gede rasa.
Tetapi Zahra terus menekan perasaan itu dengan merendahkan diri serta
mengingatkan bahwa ia tidak mau seperti cewek-cewek berjilbab lain yang
pacaran. Semakin besar, Zahra mulai berpikir bahwa ia berjilbab bukan sekadar
karena disekolahkan di yayasan Islam dari TK sampai SMP, melainkan juga untuk
menjilbabi hati. Berjilbab itu bukan sekadar untuk menutupi rambut, melainkan
juga untuk menjaga dirinya dari apa pun yang dapat mengarahkan pada maksiat
yang salah satunya lewat bersuka-sukaan dengan lawan jenis.
Ketika Deraz mengatakan bahwa mereka
bersahabat, sesaat Zahra lega. Malah ia senang karena setelah satu tahun lebih
bersekolah di SMA ada yang menganggapnya sebagai sahabat. Memang itulah yang
dilakukan dengan sahabat: bertukar SMS, belajar bersama, dan seterusnya.
Bersahabat tidak mesti dengan sesama jenis, kan?
Namun, seiring dengan berjalannya
waktu dan intensnya perhatian Deraz, Zahra tidak bisa tidak GR lagi. Ia merekam
setiap perkataan Deraz yang berkesan dan menyiratkan adanya perhatian khusus
untuknya di diary—yang tidak pernah
dibawanya lagi ke sekolah sejak yang sebelumnya hilang—betapapun ia terus
mencamkan bahwa mereka cuma bersahabat—Deraz bilang begitu. Seandainya Deraz
perempuan, tentu segala yang mereka lakukan itu wajar saja: berbagi bekal,
bertelepon, jalan bareng, main ke rumah, saling memuji atau meledek, dan
seterusnya. Zahra tidak berhak cemburu bila Deraz berdekatan dengan cewek lain.
Malah, sebagai sahabat, mungkin semestinya Zahra mendukung Deraz bila cowok itu
menemukan cewek yang sesuai.
Tetapi, bagaimanapun Deraz itu
laki-laki. Ia juga bukan laki-laki biasa, melainkan pujaan banyak cewek.
Perhatian sekecil apa pun yang diberikan Deraz pasti menerbitkan perasaan yang
bukan-bukan pada cewek yang mendapatkannya. Sementara itu, Zahra cuma cewek
biasa yang tidak setangguh akhwat-akhwat DKM. Ia tidak terhindar dari
mengkhayalkan bahwa Deraz menyukainya lebih dari sekadar sebagai sahabat.
Tetapi, kalaupun itu benar, Zahra mau apa? Ia kan tidak mau pacaran. Ia terus
mengingatkan dirinya akan arti berjilbab.
Zahra sendiri heran akan dirinya.
Padahal ia semakin dekat dengan anak-anak DKM. Ia mengikuti mentoring, MABIT,
dan membantu pelaksanaan acara-acara DKM lainnya, tetapi di luar itu ia sering
bertukar SMS dan bertelepon dengan cowok yang bukan muhrim diiringi hati yang
berdebar-debar dan mau diajak jalan bareng.
Lebih-lebih lagi, ketika tidak lama
setelah Ria menyertakan Zahra dalam bidang kaderisasi—di mana nilai-nilai Islam
paling kuat ditanamkan—Deraz malah mengakui perasaan khusus itu kepadanya! Saat
itu, Zahra merasa dirinya begitu berharga sampai-sampai menangis. Ia yang
selama ini merasa berdiam di dasar jurang kehinaan, mendadak diangkat ke langit
ketujuh, didudukkan di singgasana, dan dimahkotai. Padahal Deraz bisa saja
memilih di antara sekian banyak cewek lain yang punya kelebihan dalam segi apa
pun dibandingkan dengan Zahra, tetapi cowok itu memilihnya!
Deraz juga tidak memaksa untuk
pacaran. Ia hanya ingin Zahra tahu. Betapa manisnya itu. Zahra ingin
mengungkapkan perasaan yang sama, tetapi tertahan—tidak berani. Jauh di sudut
otaknya masih ada ingatan pada anak-anak DKM.
Betapapun Deraz bilang hubungan
mereka akan biasa-biasa saja kendati telah menyatakan perasaannya, namun Zahra
tidak bisa biasa-biasa saja. Ia semakin giat mempelajari berbagai keterampilan
supaya dapat membuat ini-itu untuk Deraz sehingga selalu diingat cowok itu,
tanpa ingat bahwa Allah lebih patut untuk diingat. Ia lebih mencemaskan apakah
Deraz akan menyukai syal rajutannya daripada merenungkan apakah Allah menerima
salatnya. Ia lebih mudah mengabaikan perintah Allah untuk tidak mendekati zina
ketimbang menolak ajakan Deraz ke rumahnya yang kemungkinan sedang sepi
(kecuali Dean tidak dianggap sebagai jin), berboncengan, … kejadian di sawah
itu—aduh!, sampai bergelap-gelap di bioskop …. Ia ketakutan ketika Deraz
bernada sengit padanya, tetapi tidak pernah memikirkan bagaimana kalau Allah
yang marah padanya.
Ia jadi merasa ibadahnya tidak
berarti. Betapapun ia berjilbab, mengaji, selalu memenuhi salat wajib dan mulai
memperbanyak salat sunah, mencoba puasa Senin-Kamis, dan lain-lain, tetapi itu
lebih karena terbiasa dan anak-anak DKM pada melakukannya. Ia tidak pernah
memikirkan arti perbuatannya itu bagi dirinya dan bagi Allah, tetapi begitu
peka akan tindak-tanduknya kepada Deraz: apakah begini atau begitu akan
menyenangkan cowok itu, atau memalukan, atau malah tidak mengenakkan?
Ia jadi mempertanyakan: memangnya
siapakah Allah itu yang lebih pantas untuk dicintai—malahan di atas
segala-galanya? Ia membaca dan mendengar bahwa Allah Yang Menciptakan, Yang
Maha Pemberi—Yang Segala-galanya! Tetapi hatinya lebih merasakan kehadiran si
dia daripada Dia. Betapapun banyaknya kata-kata dari Alquran dan hadis yang
diindra mata dan telinganya, tetapi tidak mendapat tempat leluasa di hatinya
yang sudah penuh oleh Deraz. Apakah itu tandanya Allah tidak lebih berarti ketimbang
Deraz? Astagfirullah! Ia lebih terpikat pada “kesempurnaan” Deraz, daripada
kesempurnaan Yang Maha Sempurna. Padahal Deraz sebenarnya tidak sempurna amat.
Ia juga bisa sombong, terlalu optimistis, terlampau percaya diri—menyebalkan
dan meremehkan. Tetapi, semua-mua itu tidak menjadikan Zahra berhenti
memikirkan Deraz. Memangnya bagaimanakah kesempurnaan Yang Maha Sempurna itu?
Hatinya yang sibuk oleh Deraz tidak sempat memikirkannya.
Ia juga jadi mempertanyakan:
memangnya kenapa kalau pacaran? Jangan-jangan benar yang dikatakan Deraz bahwa
antara beribadah kepada Allah dan berpacaran itu memang bisa berjalan
beriringan. Zahra saja yang tidak menguasai caranya, tidak mampu mengendalikan
perasaannya. Siapa tahu, seiring dengan berjalannya waktu, Zahra bisa
mengatasinya. Kalau mereka pacaran, tentu Zahra berhak untuk mengungkapkan
kecemburuannya.
Tidak, tidak. Zahra tidak mau
tenggelam dalam kecemburuan akibat berhubungan dengan Deraz. Kecemburuan itu
sangat menyesakkan. Kalau sewaktu-waktu Zahra berbuat salah atau tidak
menyenangkan bagi Deraz sampai-sampai cowok itu kehilangan rasa terhadap
dirinya—siapa tahu saja—ia bisa dengan mudah mencari cewek lain sebagai
penggantinya. Apalagi di Jerman nanti Deraz tentu bertemu dengan cewek-cewek
bule yang pastinya jauh lebih cantik, cerdas, menarik, dan sebagainya.
Lagi pula, kalau Zahra meneruskan
hubungan dengan Deraz, bisa-bisa kontak fisik juga terus terjadi. Bagaimana
kalau lama-kelamaan itu menjadi biasa—dari tidak sengaja menjadi sengaja—dan
bertambah jauh? Eh—benarkah Deraz tidak sengaja? Ketika mereka jalan untuk
pertama kali lalu menyeberang dari trotoar di tepi taman balai kota, bukankah
Deraz yang lebih dulu menggamit tangannya? Ketika mereka menyusuri pematang
sawah, tidakkah, uh, adegan sinetron itu terjadi karena Deraz tahu-tahu
menggoyang ranselnya? Ketika mereka hendak berboncengan dan Zahra nyaris
memegang cowok lagi, bukankah itu gara-gara Deraz mengegas kekencangan? Ketika
mereka bersentuhan tangan selagi menonton bioskop, bukankah Deraz yang
mengajaknya ke tempat yang gelap itu? Mungkinkah sebenarnya selama ini Deraz
memang mencuri-curi kesempatan? Walaupun mereka berada di tempat umum, tetap
saja itu bukan perbuatan itu tidak bisa dihalalkan! Kalaupun mereka berhasil
untuk tidak pernah bersentuhan lagi, siapa yang tidak tahan untuk tidak
berpandangan? Zahra tahu Deraz diam-diam suka memandanginya. Tidakkah itu
sebetulnya menyeramkan? Deraz sendiri tampannya minta ampun, bagaimana Zahra
tidak jelalatan? Kalau hubungan itu diteruskan, bisa-bisa mereka terus menjadi
sumber maksiat bagi satu sama lain. Di akhirat semua pandangan dan sentuhan itu
akan diganjar dengan besi panas!
Mungkinkah peringatan dari anak-anak
DKM sebenarnya teguran dari Allah? Mungkinkah Deraz hanya cobaan dari Allah
untuk menguji cinta Zahra kepada-Nya? Air mata Zahra luruh lagi membayangkan
itu sebagai kebenaran. Di dunia ini tidak ada yang abadi. Perasaan Deraz
padanya juga tidak akan abadi, Zahra mencoba meyakini. Cinta Allah yang
langgengnya sampai akhirat lebih pantas untuk diharapkan.
Zahra mengambil ponsel. Ia mengetik
lalu menghapus, berkali-kali, sampai dapat membuat pernyataan utuh: “Deraz, jangan deketin aku lagi. Ini salah aku juga karena
kurang menjaga diri. Kalau kita tetap berhubungan, gimanapun hubungan itu, perasaan
kita bakal terus tumbuh. Mending kita enggak usah kontak sama sekali. Lagian Deraz mau pergi. Itu
kesempatan kita buat saling melupakan.”
Tetapi ia menghapus lagi draf
tersebut. Ia bisa membayangkan Deraz bakal langsung meneleponnya begitu
menerima SMS itu. Deraz bakal membantah dan tidak mau kalah. Bagaimana Zahra
bisa melawan juara debat tingkat nasional?
Zahra malah mematikan ponsel. Ia
mencopot casing lalu mencabut simcard. Ia merasa menyesal telah
mengiyakan Deraz untuk mengganti provider,
padahal nomornya yang sebelum ini cantik—mudah dihafal. Lalu ia menggunting simcard. Ia juga mengurai syal rajutan
yang tadinya hendak ia berikan pada Deraz sebelum keberangkatan cowok itu ke
Jerman.
Ia membenamkan wajahnya pada gumpalan
benang wol yang semrawut itu dan tersengguk-sengguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar