Minggu, 09 Desember 2018

(38)

Ketika mereka bertemu lagi di bangku kelas, Deraz menanyai Zahra ulang tahunnya. Ternyata ulang tahun Zahra sudah lewat, pada natal kemarin. Deraz memenungkannya. Pada natal kemarin berarti setelah ISDC ketika ia dan Zahra sudah dekat. Bahkan saat itu Deraz telah menyerahkan bundel novelnya!

“Kenapa waktu itu kamu enggak kasih tahu?” Deraz menunjukkan tampang mengambek.

Zahra terkesima. “Eh … da enggak penting.”

Deraz mengerutkan kening, sehabis itu tidak berkata-kata apa lagi kecuali ketika ditegur Zahra.

“Kalau Deraz kapan?”

“Agustus.”

“Oh.”

Memang ketika Agustus mereka belum dekat, malah mungkin sewaktu Deraz sedang sebal-sebalnya pada Zahra. Zahra merasa tidak enak. Apalagi ketika malamnya Deraz tidak menelepon seperti biasa. Memang Deraz tidak menelepon setiap malam. Tetapi kali ini itu membesarkan prasangka Zahra.

Apalagi ketika keesokan paginya mereka bertemu lagi di bangku kelas, Deraz berpesan pada Zahra, “Entar pas istirahat kamu jangan langsung salat duha, ya,” dengan raut datar.

“Kenapa?”

“Pokoknya jangan.”

Zahra bergumam muram seraya menunduk.

Ketika Muti dan Ria mengajak Zahra ke masjid begitu jam istirahat tiba, gadis itu menolak dengan halus. “Entar aku nyusul.”

“Oh, ya udah. Kita duluan, ya,” sambut Muti ramah sementara Ria melirik Deraz dengan dingin.

Begitu kedua akhwat DKM itu pergi, Deraz mengeluarkan kotak bekal dari ranselnya.

“Roti sobek?” Zahra melongok isi kotak itu.

“Roti keset. Ambil.”

Zahra menyobek sepotong roti itu. Deraz mengamati ekspresi Zahra saat mengunyah dan merasai potongan dalam mulutnya. “Enak. Gurih. Lembut.” Zahra tersenyum.

“Aku bikin sendiri lo.”

Zahra membelalak. “Masak?”

“Iya.” Makanya semalam Deraz baru tidur sekitar pukul dua sampai-sampai Dean menjilati pipinya pada pukul setengah enam pagi saking sulitnya ia dibangunkan. Deraz malah memimpikan Bruno, tetapi kok suaranya Dean.

“Enggak nyangka kamu bisa bikin roti.”

Deraz sendiri tidak menyangka akan tertarik membuat roti kalau bukan karena insiden kickboxing kapan itu. Baru kali itu Bunda memarahi Deraz—habis-habisan pula—sampai-sampai mengatakan, “Ikut klub olahraga cuma untuk berantem konyol!” lengkap dengan larangan untuk melanjutkan klub kickboxing. Akibatnya, Deraz balik marah pada Bunda tetapi dengan mendiamkannya. Sampai suatu ketika tercium aroma wangi dari dapur. Saat itu Deraz sedang berada di kamar, mencoretkan novelnya pada buku tulis. Aroma tersebut membangkitkan kenangan Deraz sewaktu tinggal bersama Oma-Opa Buyut, sangat familier. Ia tergugah untuk mengecek ke dapur, namun gengsi menjaganya tetap di meja belajar. Adegan jotos-jotosan yang tengah dikarangnya mendadak berubah haluan menjadi melankolis. Deraz menuliskannya dengan amat lambat hingga berangsur-angsur kehilangan minat. Aroma itu telah menguasai otaknya sampai tidak mampu memikirkan apa-apa lagi. Deraz tengah mempertimbangkan untuk mengintip ke dapur ketika melihat kepala Bunda nongol di balik pintu kamar.

“Boleh masuk?” Bunda tersenyum.

“Ya,” sahut Deraz kaku.

Bunda meletakkan piring berisi beberapa potong roti kekuningan di meja belajar Deraz.

“Coba dicicipi. Mumpung masih hangat.”

Deraz menurut sementara Bunda duduk di sofa. Ia ingin menangis merasai roti itu, tetapi tentu saja ditahannya.

“Gimana?” tanya Bunda.

“Persis kayak buatan Oma,” suara Deraz tersendat.

“Memang resepnya Oma,” sahut Bunda.

Bunda lalu menceritakan pengalamannya saat diajari memasak oleh Oma Buyut sedari ia beranjak remaja. Waktu itu Bunda jauh dari menikmati karena hasilnya tidak pernah sesuai dengan yang diinginkan Oma Buyut. Tetapi kini rasanya indah. Bunda masih menyimpan buku kumpulan resep warisan Oma Buyut. Deraz tercenung mendengarkannya. Kenapa Bunda baru mengungkapkannya sekarang? Seandainya sedari awal Deraz tahu bahwa Bunda mewarisi keterampilan Oma Buyut …. Deraz mengerti Bunda tidak punya banyak waktu. Bunda akan kerepotan jika Deraz ingin minta dibuatkan penganan ala Oma Buyut lagi, dan lagi.

Deraz meminta Bunda mengajarinya resep warisan Oma Buyut.

Bunda baru sempat mengajari Deraz roti yang satu itu. Tentu saja Deraz juga tidak menceritakan pada Zahra bagian ketika ia membanting oven yang masih panas-panasnya setelah sekian kali percobaan rotinya bantat melulu. Ternyata oven kompor itu juga warisan Oma Buyut yang lalu dimiliki Oma Anna. Deraz menyesal telah membuatnya penyok, tetapi kini setidaknya di rumah ada oven listrik.

“Aku pengin nunjukkin kamu cara bikinnya. Ke rumahku, yuk.”

Zahra geragapan.

“Ayolah. Kan aku udah ke rumah kamu,” kata Deraz lagi.

“Di rumah kamu ada orangnya?” Zahra berucap rikuh setelah lama dipandangi Deraz.

“Biasanya ada si Bibi. Dean juga kadang pulang cepat.”

Deraz melihat PDA dan mencari hari kosong dalam waktu dekat. “Kalau Rabu, kamu ada kumpul DKM, enggak?”

Zahra membuka notes lalu menggeleng.

“Mudah-mudahan enggak ada kumpul dadakan, ya.” Deraz tersenyum.

Tibalah hari yang dijanjikan. Karena permintaan Zahra, Deraz mesti memastikan bahwa di rumah sedang ada orang sehingga nanti tidak hanya ada mereka berdua. Deraz menelepon rumah dan berbicara dengan Bi Odah. Bi Odah mau pulang karena pekerjaannya sudah selesai, tetapi ada Dean.

“Ada Dean.”

“Yah, Dean lagi,” mata Zahra berbicara. Namun Deraz tidak mengacuhkan.

Dari SMANSON mereka berjalan beberapa menit hingga sampai di belokan tempat munculnya angkot hijau muda yang akan melewati jalan menuju rumah Deraz. Setelah beberapa lama memasuki bypass Zahra melihat sekilas hamparan sawah di pinggir jalan. Matanya berbinar. “Baru kali ini lihat sawah di Bandung,” ucap Zahra.

“Kamu aja kali yang kurang jalan-jalan.”

Melihat Zahra merajuk selalu membuat Deraz geli.

“Mau ke sana nanti?” tawar Deraz.

“Eh?”

Deraz keburu memberhentikan angkot.

Dari jalan besar mereka berjalan sampai ke rumah Deraz. Deraz mempersilakan Zahra duduk di ruang tamu sementara ia masuk ke ruang tengah. Zahra merasa tegang ketika mendapati bahwa sepertinya tidak ada orang lagi selain mereka berdua di rumah itu, walaupun tadi pintu depan tidak dikunci. Deraz membawa baki berisi teko serta sepasang cangkir besar dengan sendok masing-masing. Zahra buru-buru membantu meletakkan isi baki di meja. Teko berisi koktail buah yang baru dikeluarkan dari kulkas.

“Mau dituangin?” tawar Deraz sembari mengangkat teko.

“Enggak usah. Sendiri aja.” Zahra tersipu.

Deraz menuangkan isi teko ke gelas untuk dirinya sendiri.

“Kok sepi, ya?” tanya Zahra menahan waswas sementara gilirannya menuangkan minuman.

“Ada Dean,” ulang Deraz.

“Enggak kedengaran apa-apa.”

“Benar juga sih,” sahut Deraz seakan-akan itu bukan masalah.

Zahra menjadi salah tingkah.

Setelah beberapa kali suapan, Zahra merasa amat canggung. “Boleh numpang ke kamar mandi?”

“Boleh.” Tangan Deraz mengarahkan Zahra untuk memasuki ruang tengah. “Keluar dari situ, di sebelah kanan ada pintu yang dekat wastafel. Di situ kamar mandinya.”

Zahra melewati ruang tengah dengan deg-degan. Ia menemukan pintu yang dimaksud, membukanya, dan berteriak. Cepat-cepat ia menutup pintu tersebut lalu mengacir kembali duduk di sebelah Deraz di ruang tamu.

“Kenapa?” Deraz keheranan.

Zahra cuma menggeleng-geleng sembari menunduk. Ia mengambil gelas koktail dan mengudapnya lagi seakan-akan barusan tidak terjadi apa-apa. Tidak lama kemudian terdengar kloset digelontor, pintu dibuka, dan muncul Dean di ambang pintu yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu. Sebelah tangannya menyandar pada kosen sedang yang sebelah lagi berkacak pinggang. “Hei!” sapanya.

Deraz memandang Dean dan Zahra berganti-ganti. Zahra terus saja menunduk.

“Jadi ke kamar mandi?” tegur Dean pada Zahra.

Zahra menggeleng-geleng.

Dean bergabung bersama mereka di ruang tamu. Sembari melahap koktail buah, ia menceritakan sebabnya tiba di rumah lebih awal. “Tadi aku diare. Terus aku izin pulang.”

“Kok boleh?” tanya Deraz.

“Sebetulnya enggak boleh sih. Malah sama Pak Acep disuruh ngala daun jambu di pohon belakang sekolah. Terus aku beli Diapet we di kios. Tapi diarenya makin parah, anjir. Pas pelajaran sebelum istirahat orang mah pada belajar di kelas, aku jongkok we terus di WC. Aku lapor aja ke Pak Acep. Malah disuruh beli popok di Griya.”

Pak Acep itu guru yang piket pada hari itu.

“Kamu sih, segala dimakan,” komentar Deraz dengan nada datar.

“Aku enggak inget siah habis makan apaan. Da asa biasa we makan mah. Terus Pak Acep kasihan meureun sama aku, bisi busiat di kelas, mending keneh busiat di angkot. Jadi aja boleh pulang.”

“Kamu mah meni ngomongin itu pas orang lagi makan ih,” protes Zahra yang sedari tadi cuma memegangi gelasnya di pangkuan, tidak kunjung dicicipi lagi.

“Sori-sori.” Dean cengar-cengir.

Kemudian Zahra minta izin karena belum menunaikan salat zuhur.

“Oh, iya, ya,” Deraz sampai lupa. “Di mana, ya?”

“Di kamar si Dede we,” sahut Dean.

“Enggak dikunci, gitu?”

“Enggak. Da si eta mah pohoeun wae, anjir, jiga nini-nini. Puguh menta konci teh ambeh teu diobrak-abrik. Pas udah dikasih kunci, malah lupa ngunci. Anjir, goblok,” Dean menertawakan adiknya. “Zahra, maaf, ya, da rumah kita mah kecil, enggak kayak rumah kamu, gede, ada musalanya.”

“Ih, itu mah rumah kakek aku, tahu,” protes Zahra lagi.

“Terus kenapa kakek kamu tinggalnya malah di paviliun?”

“Penginnya Kakek gitu.”

Zahra lalu menumpang salat di kamar adik si kembar. Baru saja ia melipat mukena, terdengar motor-motor berhenti di depan rumah. Zahra mengintip melalui jendela kamar itu. Ia terkejut melihat cowok-cowok berseragam SMA. Ada di antaranya yang ia kenali sebagai anak SMANSON. Mereka memanggil Dean. Padahal tadi Zahra mengharapkan rumah itu tidak sepi-sepi amat, tetapi sekarang jadinya malah terlalu ramai! Oleh anak-anak SMANSON pula! Bagaimana kalau ia sampai terlihat berada di rumah ini, bersama Deraz, kemudian beritanya menyebar di sekolah, apalagi terdengar oleh anak-anak DKM?! Zahra tidak berani keluar dari kamar itu sampai Deraz memanggilnya dari balik pintu yang terbuka sedikit.

“Kenapa?” Deraz melihat kecemasan Zahra.

“Aku enggak mau dilihat sama mereka. Aduh! Tas aku masih di ruang tamu!”

Memang anak-anak itu kini telah mengisi ruang tamu.

“Langsung ke dapur aja. Aku ambilin tas kamu.” Deraz menunjukkan arah ke dapur yang ternyata tepat berada di samping ruang tamu. Begitu Deraz memasuki ruang tamu, Zahra mengucap bismillah lalu cepat-cepat berpindah sembari menundukkan kepala dalam-dalam dari kamar tersebut ke dapur. Ia langsung menempatkan diri di samping kosen supaya tidak terlihat dari ambang pintu. Ruangan itu ternyata lebih luas daripada ruang tamu dan sekaligus merupakan ruang makan.

“Zahra?” Deraz mencari di dapur lalu mendapati Zahra tengah menempelkan telunjuknya ke bibir. Ia terheran-heran mendapati tingkah Zahra seraya meletakkan ransel gadis itu di salah satu kursi makan. Zahra segera mengambil tas tersebut dan menempatkannya di lantai yang jauh dari kosen. Deraz menangkap gelagat Zahra. “So …. Mau jadi bikin roti?”

Zahra sebetulnya mau saja, tetapi situasinya kini menjadi riskan. Ketika mendengar ada anak yang hendak menumpang ke kamar mandi, Zahra mundur lagi semakin menjauhi ambang pintu yang dapat membuatnya terlihat dari sisi sebelah.

Deraz menghela napas. “Lain kali aja?” Ia tersenyum, mencoba maklum.

“Maaf, ya,” sahut Zahra waswas.

“Tapi, jadi, ya, ke sawah?” ucap Deraz penuh harap.

“Mmm …. Boleh deh.”

“Sebentar, ya.” Deraz meninggalkan ruangan lalu terdengar suaranya dari ruang tamu, “Dean, pinjam helm, ya!” Tidak lama kemudian, Deraz muncul membawakan helm full face.

Begitu sampai di tangannya, Zahra mengendus helm itu. “Bau Dean,” keluhnya, namun dalam hati. Eh, tunggu. “Kita naik motor?” Zahra terkejut. Ia mengamati Deraz membuka pintu dapur yang menuju carport lalu menghidupkan motor bebek yang berdiam di situ. Zahra merasa tidak enak hendak menolak lagi. Ia mengenakan helm Dean dan menurunkan penutupnya rapat-rapat. Deraz sendiri mengenakan helm biasa.

Mereka berboncengan keluar dari perumahan. Jarak menuju sawah memang cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki, namun dekat bila menggunakan motor. Zahra takjub ketika melihat sawah yang mereka tuju ternyata lebih luas daripada yang terlihat dari angkot. Deraz menghentikan motor di tempat yang dapat terawasi dari berbagai penjuru sawah. “Yuk,” ajaknya setelah menyimpan kunci motor dalam saku celana.

Deraz mengawasi Zahra yang turun dengan berhati-hati dari tepi jalan ke sawah, menahan tangannya supaya tidak terulur memegangi gadis itu. Ia menikmati paras Zahra yang takjub memandangi hamparan sawah di bagian kota yang tidak terlalu terpencil ataupun menyisi itu. Ia membiarkan Zahra berjalan-jalan lebih dulu di depannya menapaki pematang. Ke mana Zahra menjelajah, Deraz mengikuti saja sembari sesekali menengok ke arah motor.

Angin berembus pelan menyejukkan pada udara menjelang asar yang cerah lagi cukup panas itu. Zahra berhenti dan memandangi helai-helai tanaman padi yang bergoyang anggun. Barangkali Zahra begitu menikmati pemandangan itu sampai tidak sadar telah memulas senyum lebar. Tidak ada Zahra yang sehari-hari—apalagi tadi—tampak bingung, gelisah, takut, dan semacamnya. Seakan-akan segala kengerian dunia yang biasa menghantui dirinya sirna selama sesaat itu saja. Tentu saja Deraz tidak meluputkan itu.

“Tiap kali kamu senyum, ada satu bunga yang mekar,” ucap Deraz. Kali ini ia tidak merasa harus menahannya lagi. Toh ia sudah menyatakan perasaannya pada Zahra. Ia merasa sah-sah saja jika hendak menyuarakan hatinya. Begitu leluasa.

“Hah?” Zahra menoleh.

“Aku pengin bisa mengharumkan dunia.”

Zahra berusaha mencerna kata-kata Deraz tersebut.

“Tapi kamu jangan sering-sering senyum. Nanti banyak cowok yang ngedeketin kamu.”

Zahra terperangah. “Kamu ngegombal?”

Deraz mengernyit. “Gombal itu artinya bohong dan omong kosong, kan?”

Zahra tergugu.

“Kalaupun iya, aku enggak biasa ngegombal. Tergantung ceweknya.”

Ketika Deraz hendak berkata-kata lagi, Zahra cepat-cepat menyanggah, “Ah, Deraz, udah dong …” tetapi suaranya terdengar manja. Ia beranjak memunggungi Deraz dan melangkah lagi.

Deraz tersenyum maklum. Ia mengikuti gadisnya melanjutkan susur pematang.

Tahu-tahu melintas gagasan iseng di benak Deraz. Ia mengguncang ransel Zahra kuat-kuat sambil bersuara mengagetkan. Ia bermaksud seolah-olah hendak menjatuhkan Zahra ke sawah, tetapi tentu saja ia akan menahannya. Namun Zahra malah nyaris terpeleset betulan ke sawah, sehingga Deraz serta-merta menangkapnya. Zahra sendiri otomatis memegang lengan Deraz.

Ya ampun, sinetron apa lagi ini? Bayangkan sendiri kelanjutannya, ya.

Begitu mendapatkan kembali keseimbangannya, Zahra menjauh. Deraz yang merah mukanya berkata, “Sori.”

“Pulang aja yuk,” sahut Zahra yang deg-degan hebat.

Deraz mengiyakan.

Zahra melihat di seberang sawah ada belokan memasuki jalan besar. “Naik angkot ke situ, kan?”

“Aku anterin sampai rumah.”

“Eh, enggak usah.” Berboncengan sampai sawah tadi saja sudah membuat Zahra malu tidak keruan. Sekarang mereka akan berboncengan ke rumah? Nanti kalau ada anak SMANSON yang melihat, bagaimana? Uh, kenapa juga ia mengiyakan ikut ke rumah Deraz dari awal? Mungkin saja tadi ada yang sudah melihat mereka berdua sewaktu menaiki angkot! Zahra galau.

Deraz menyerahkan lagi helm full face Dean pada Zahra. Seperti sebelumnya, Zahra mengenakan helm itu tanpa lupa menurunkan penutupnya rapat-rapat. Lalu ia memindahkan ranselnya ke depan, menaiki bagian belakang motor dengan menyamping sembari menjaga jarak serenggang mungkin dari Deraz, serta mencengkam pegangan besi di sisi kiri. Ia memekik ketika Deraz mengegas terlalu kencang. Nyaris saja tangannya menyentuh Deraz lagi. “Sori,” kata Deraz, yang pengalamannya mengendarai motor bisa dihitung dengan jari-jari sebelah tangan.

Deraz bermaksud mencari jalan pintas dari sawah ke daerah rumah Zahra. Alih-alih langsung menuju jalan besar, ia mengambil jalan perumahan dan memasuki gang yang serupa labirin. Bukannya ia hafal lika-liku kawasan itu. Ia mengandalkan insting saja. Setelah beberapa lama tidak kunjung menemukan jalan raya, Deraz menyadari bahwa memasuki jalan besar yang di dekat sawah tadi akan jauh mempersingkat perjalanan. Tetapi setidaknya kebersamaan dengan Zahra menjadi lebih lama.

Azan asar sudah lama berlalu ketika mereka sampai di depan rumah Zahra. Begitu turun, Zahra menyampaikan keheranannya. “Kalau kamu bisa bawa motor, kenapa kamu enggak momotoran aja ke sekolah?”

“Soalnya belum ada KTP,” ujar Deraz enteng seraya menerima helm dari Zahra. 

Zahra kaget. “Hati-hati di jalan, bisi ditilang!” serunya sembari melepas kepergian Deraz.

“Enggak bakal!” Mendadak Deraz jadi cenayang.

Sampai di rumah, Deraz terbayang-bayang kejadian di sawah tadi. Bukan saja wajahnya, melainkan juga badannya menjadi panas. Kejadian itu berputar berulang-ulang seperti pita kaset yang rusak. Kini ia memahami betapa guling itu tidak ada lekuknya.

Malam-malam, ketika masuk kamar, Dean heran melihat Deraz sedang melakukan push up.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain