Ketika mereka bertemu lagi di bangku kelas, Deraz menanyai
Zahra ulang tahunnya. Ternyata ulang tahun Zahra sudah lewat, pada natal
kemarin. Deraz memenungkannya. Pada natal kemarin berarti setelah ISDC ketika
ia dan Zahra sudah dekat. Bahkan saat itu Deraz telah menyerahkan bundel
novelnya!
“Kenapa waktu itu kamu enggak kasih
tahu?” Deraz menunjukkan tampang mengambek.
Zahra terkesima. “Eh … da enggak penting.”
Deraz mengerutkan kening, sehabis
itu tidak berkata-kata apa lagi kecuali ketika ditegur Zahra.
“Kalau Deraz kapan?”
“Agustus.”
“Oh.”
Memang ketika Agustus mereka belum
dekat, malah mungkin sewaktu Deraz sedang sebal-sebalnya pada Zahra. Zahra
merasa tidak enak. Apalagi ketika malamnya Deraz tidak menelepon seperti biasa.
Memang Deraz tidak menelepon setiap malam. Tetapi kali ini itu membesarkan
prasangka Zahra.
Apalagi ketika keesokan paginya
mereka bertemu lagi di bangku kelas, Deraz berpesan pada Zahra, “Entar pas
istirahat kamu jangan langsung salat duha, ya,” dengan raut datar.
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan.”
Zahra bergumam muram seraya
menunduk.
Ketika Muti dan Ria mengajak Zahra
ke masjid begitu jam istirahat tiba, gadis itu menolak dengan halus. “Entar aku
nyusul.”
“Oh, ya udah. Kita duluan, ya,”
sambut Muti ramah sementara Ria melirik Deraz dengan dingin.
Begitu kedua akhwat DKM itu pergi,
Deraz mengeluarkan kotak bekal dari ranselnya.
“Roti sobek?” Zahra melongok isi
kotak itu.
“Roti keset. Ambil.”
Zahra menyobek sepotong roti itu.
Deraz mengamati ekspresi Zahra saat mengunyah dan merasai potongan dalam
mulutnya. “Enak. Gurih. Lembut.” Zahra tersenyum.
“Aku bikin sendiri lo.”
Zahra membelalak. “Masak?”
“Iya.” Makanya semalam Deraz baru
tidur sekitar pukul dua sampai-sampai Dean menjilati pipinya pada pukul
setengah enam pagi saking sulitnya ia dibangunkan. Deraz malah memimpikan
Bruno, tetapi kok suaranya Dean.
“Enggak nyangka kamu bisa bikin
roti.”
Deraz sendiri tidak menyangka akan
tertarik membuat roti kalau bukan karena insiden kickboxing kapan itu. Baru kali itu Bunda memarahi Deraz—habis-habisan
pula—sampai-sampai mengatakan, “Ikut klub olahraga cuma untuk berantem konyol!”
lengkap dengan larangan untuk melanjutkan klub kickboxing. Akibatnya, Deraz balik marah pada Bunda tetapi dengan
mendiamkannya. Sampai suatu ketika tercium aroma wangi dari dapur. Saat itu
Deraz sedang berada di kamar, mencoretkan novelnya pada buku tulis. Aroma
tersebut membangkitkan kenangan Deraz sewaktu tinggal bersama Oma-Opa Buyut,
sangat familier. Ia tergugah untuk mengecek ke dapur, namun gengsi menjaganya
tetap di meja belajar. Adegan jotos-jotosan yang tengah dikarangnya mendadak
berubah haluan menjadi melankolis. Deraz menuliskannya dengan amat lambat
hingga berangsur-angsur kehilangan minat. Aroma itu telah menguasai otaknya
sampai tidak mampu memikirkan apa-apa lagi. Deraz tengah mempertimbangkan untuk
mengintip ke dapur ketika melihat kepala Bunda nongol di balik pintu kamar.
“Boleh masuk?” Bunda tersenyum.
“Ya,” sahut Deraz kaku.
Bunda meletakkan piring berisi
beberapa potong roti kekuningan di meja belajar Deraz.
“Coba dicicipi. Mumpung masih
hangat.”
Deraz menurut sementara Bunda duduk
di sofa. Ia ingin menangis merasai roti itu, tetapi tentu saja ditahannya.
“Gimana?” tanya Bunda.
“Persis kayak buatan Oma,” suara
Deraz tersendat.
“Memang resepnya Oma,” sahut Bunda.
Bunda lalu menceritakan
pengalamannya saat diajari memasak oleh Oma Buyut sedari ia beranjak remaja.
Waktu itu Bunda jauh dari menikmati karena hasilnya tidak pernah sesuai dengan
yang diinginkan Oma Buyut. Tetapi kini rasanya indah. Bunda masih menyimpan
buku kumpulan resep warisan Oma Buyut. Deraz tercenung mendengarkannya. Kenapa
Bunda baru mengungkapkannya sekarang? Seandainya sedari awal Deraz tahu bahwa
Bunda mewarisi keterampilan Oma Buyut …. Deraz mengerti Bunda tidak punya
banyak waktu. Bunda akan kerepotan jika Deraz ingin minta dibuatkan penganan
ala Oma Buyut lagi, dan lagi.
Deraz meminta Bunda mengajarinya
resep warisan Oma Buyut.
Bunda baru sempat mengajari Deraz
roti yang satu itu. Tentu saja Deraz juga tidak menceritakan pada Zahra bagian
ketika ia membanting oven yang masih panas-panasnya setelah sekian kali
percobaan rotinya bantat melulu. Ternyata oven kompor itu juga warisan Oma Buyut
yang lalu dimiliki Oma Anna. Deraz menyesal telah membuatnya penyok, tetapi
kini setidaknya di rumah ada oven listrik.
“Aku pengin nunjukkin kamu cara
bikinnya. Ke rumahku, yuk.”
Zahra geragapan.
“Ayolah. Kan aku udah ke rumah
kamu,” kata Deraz lagi.
“Di rumah kamu ada orangnya?” Zahra
berucap rikuh setelah lama dipandangi Deraz.
“Biasanya ada si Bibi. Dean juga
kadang pulang cepat.”
Deraz melihat PDA dan mencari hari
kosong dalam waktu dekat. “Kalau Rabu, kamu ada kumpul DKM, enggak?”
Zahra membuka notes lalu
menggeleng.
“Mudah-mudahan enggak ada kumpul
dadakan, ya.” Deraz tersenyum.
Tibalah hari yang dijanjikan.
Karena permintaan Zahra, Deraz mesti memastikan bahwa di rumah sedang ada orang
sehingga nanti tidak hanya ada mereka berdua. Deraz menelepon rumah dan
berbicara dengan Bi Odah. Bi Odah mau pulang karena pekerjaannya sudah selesai,
tetapi ada Dean.
“Ada Dean.”
“Yah, Dean lagi,” mata Zahra
berbicara. Namun Deraz tidak mengacuhkan.
Dari SMANSON mereka berjalan
beberapa menit hingga sampai di belokan tempat munculnya angkot hijau muda yang
akan melewati jalan menuju rumah Deraz. Setelah beberapa lama memasuki bypass Zahra melihat sekilas hamparan
sawah di pinggir jalan. Matanya berbinar. “Baru kali ini lihat sawah di
Bandung,” ucap Zahra.
“Kamu aja kali yang kurang
jalan-jalan.”
Melihat Zahra merajuk selalu
membuat Deraz geli.
“Mau ke sana nanti?” tawar Deraz.
“Eh?”
Deraz keburu memberhentikan angkot.
Dari jalan besar mereka berjalan
sampai ke rumah Deraz. Deraz mempersilakan Zahra duduk di ruang tamu sementara
ia masuk ke ruang tengah. Zahra merasa tegang ketika mendapati bahwa sepertinya
tidak ada orang lagi selain mereka berdua di rumah itu, walaupun tadi pintu
depan tidak dikunci. Deraz membawa baki berisi teko serta sepasang cangkir
besar dengan sendok masing-masing. Zahra buru-buru membantu meletakkan isi baki
di meja. Teko berisi koktail buah yang baru dikeluarkan dari kulkas.
“Mau dituangin?” tawar Deraz
sembari mengangkat teko.
“Enggak usah. Sendiri aja.” Zahra
tersipu.
Deraz menuangkan isi teko ke gelas
untuk dirinya sendiri.
“Kok sepi, ya?” tanya Zahra menahan
waswas sementara gilirannya menuangkan minuman.
“Ada Dean,” ulang Deraz.
“Enggak kedengaran apa-apa.”
“Benar juga sih,” sahut Deraz
seakan-akan itu bukan masalah.
Zahra menjadi salah tingkah.
Setelah beberapa kali suapan, Zahra
merasa amat canggung. “Boleh numpang ke kamar mandi?”
“Boleh.” Tangan Deraz mengarahkan
Zahra untuk memasuki ruang tengah. “Keluar dari situ, di sebelah kanan ada
pintu yang dekat wastafel. Di situ kamar mandinya.”
Zahra melewati ruang tengah dengan
deg-degan. Ia menemukan pintu yang dimaksud, membukanya, dan berteriak.
Cepat-cepat ia menutup pintu tersebut lalu mengacir kembali duduk di sebelah
Deraz di ruang tamu.
“Kenapa?” Deraz keheranan.
Zahra cuma menggeleng-geleng
sembari menunduk. Ia mengambil gelas koktail dan mengudapnya lagi seakan-akan
barusan tidak terjadi apa-apa. Tidak lama kemudian terdengar kloset digelontor, pintu dibuka,
dan muncul Dean di ambang pintu yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu.
Sebelah tangannya menyandar pada kosen sedang yang sebelah lagi berkacak
pinggang. “Hei!” sapanya.
Deraz memandang Dean dan Zahra
berganti-ganti. Zahra terus saja menunduk.
“Jadi ke kamar mandi?” tegur Dean
pada Zahra.
Zahra menggeleng-geleng.
Dean bergabung bersama mereka di
ruang tamu. Sembari melahap koktail buah, ia menceritakan sebabnya tiba di
rumah lebih awal. “Tadi aku diare. Terus aku izin pulang.”
“Kok boleh?” tanya Deraz.
“Sebetulnya enggak boleh sih. Malah
sama Pak Acep disuruh ngala daun
jambu di pohon belakang sekolah. Terus aku beli Diapet we di kios. Tapi diarenya makin parah, anjir. Pas pelajaran sebelum
istirahat orang mah pada belajar di kelas, aku jongkok we terus di WC. Aku lapor aja ke Pak Acep. Malah disuruh beli popok
di Griya.”
Pak Acep itu guru yang piket pada
hari itu.
“Kamu sih, segala dimakan,”
komentar Deraz dengan nada datar.
“Aku enggak inget siah habis makan apaan. Da asa biasa we makan mah. Terus Pak Acep kasihan meureun sama aku, bisi busiat
di kelas, mending keneh busiat di
angkot. Jadi aja boleh pulang.”
“Kamu mah meni ngomongin itu pas orang lagi makan ih,” protes Zahra yang
sedari tadi cuma memegangi gelasnya di pangkuan, tidak kunjung dicicipi lagi.
“Sori-sori.” Dean cengar-cengir.
Kemudian Zahra minta izin karena
belum menunaikan salat zuhur.
“Oh, iya, ya,” Deraz sampai lupa.
“Di mana, ya?”
“Di kamar si Dede we,” sahut Dean.
“Enggak dikunci, gitu?”
“Enggak. Da si eta mah pohoeun wae, anjir, jiga nini-nini. Puguh menta konci teh ambeh teu diobrak-abrik. Pas
udah dikasih kunci, malah lupa ngunci. Anjir, goblok,” Dean menertawakan
adiknya. “Zahra, maaf, ya, da rumah
kita mah kecil, enggak kayak rumah kamu, gede, ada musalanya.”
“Ih, itu mah rumah kakek aku,
tahu,” protes Zahra lagi.
“Terus kenapa kakek kamu tinggalnya
malah di paviliun?”
“Penginnya Kakek gitu.”
Zahra lalu menumpang salat di kamar
adik si kembar. Baru saja ia melipat mukena, terdengar motor-motor berhenti di
depan rumah. Zahra mengintip melalui jendela kamar itu. Ia terkejut melihat
cowok-cowok berseragam SMA. Ada di antaranya yang ia kenali sebagai anak
SMANSON. Mereka memanggil Dean. Padahal tadi Zahra mengharapkan rumah itu tidak
sepi-sepi amat, tetapi sekarang jadinya malah terlalu ramai! Oleh anak-anak
SMANSON pula! Bagaimana kalau ia sampai terlihat berada di rumah ini, bersama
Deraz, kemudian beritanya menyebar di sekolah, apalagi terdengar oleh anak-anak
DKM?! Zahra tidak berani keluar dari kamar itu sampai Deraz memanggilnya dari
balik pintu yang terbuka sedikit.
“Kenapa?” Deraz melihat kecemasan
Zahra.
“Aku enggak mau dilihat sama
mereka. Aduh! Tas aku masih di ruang tamu!”
Memang anak-anak itu kini telah
mengisi ruang tamu.
“Langsung ke dapur aja. Aku ambilin
tas kamu.” Deraz menunjukkan arah ke dapur yang ternyata tepat berada di
samping ruang tamu. Begitu Deraz memasuki ruang tamu, Zahra mengucap bismillah
lalu cepat-cepat berpindah sembari menundukkan kepala dalam-dalam dari kamar
tersebut ke dapur. Ia langsung menempatkan diri di samping kosen supaya tidak
terlihat dari ambang pintu. Ruangan itu ternyata lebih luas daripada ruang tamu
dan sekaligus merupakan ruang makan.
“Zahra?” Deraz mencari di dapur
lalu mendapati Zahra tengah menempelkan telunjuknya ke bibir. Ia terheran-heran
mendapati tingkah Zahra seraya meletakkan ransel gadis itu di salah satu kursi
makan. Zahra segera mengambil tas tersebut dan menempatkannya di lantai yang
jauh dari kosen. Deraz menangkap gelagat Zahra. “So …. Mau jadi bikin roti?”
Zahra sebetulnya mau saja, tetapi
situasinya kini menjadi riskan. Ketika mendengar ada anak yang hendak menumpang
ke kamar mandi, Zahra mundur lagi semakin menjauhi ambang pintu yang dapat
membuatnya terlihat dari sisi sebelah.
Deraz menghela napas. “Lain kali
aja?” Ia tersenyum, mencoba maklum.
“Maaf, ya,” sahut Zahra waswas.
“Tapi, jadi, ya, ke sawah?” ucap
Deraz penuh harap.
“Mmm …. Boleh deh.”
“Sebentar, ya.” Deraz meninggalkan
ruangan lalu terdengar suaranya dari ruang tamu, “Dean, pinjam helm, ya!” Tidak
lama kemudian, Deraz muncul membawakan helm full
face.
Begitu sampai di tangannya, Zahra
mengendus helm itu. “Bau Dean,” keluhnya, namun dalam hati. Eh, tunggu. “Kita
naik motor?” Zahra terkejut. Ia mengamati Deraz membuka pintu dapur yang menuju
carport lalu menghidupkan motor bebek
yang berdiam di situ. Zahra merasa tidak enak hendak menolak lagi. Ia
mengenakan helm Dean dan menurunkan penutupnya rapat-rapat. Deraz sendiri
mengenakan helm biasa.
Mereka berboncengan keluar dari
perumahan. Jarak menuju sawah memang cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan
kaki, namun dekat bila menggunakan motor. Zahra takjub ketika melihat sawah
yang mereka tuju ternyata lebih luas daripada yang terlihat dari angkot. Deraz
menghentikan motor di tempat yang dapat terawasi dari berbagai penjuru sawah.
“Yuk,” ajaknya setelah menyimpan kunci motor dalam saku celana.
Deraz mengawasi Zahra yang turun
dengan berhati-hati dari tepi jalan ke sawah, menahan tangannya supaya tidak
terulur memegangi gadis itu. Ia menikmati paras Zahra yang takjub memandangi
hamparan sawah di bagian kota yang tidak terlalu terpencil ataupun menyisi itu.
Ia membiarkan Zahra berjalan-jalan lebih dulu di depannya menapaki pematang. Ke
mana Zahra menjelajah, Deraz mengikuti saja sembari sesekali menengok ke arah
motor.
Angin berembus pelan menyejukkan
pada udara menjelang asar yang cerah lagi cukup panas itu. Zahra berhenti dan
memandangi helai-helai tanaman padi yang bergoyang anggun. Barangkali Zahra
begitu menikmati pemandangan itu sampai tidak sadar telah memulas senyum lebar.
Tidak ada Zahra yang sehari-hari—apalagi tadi—tampak bingung, gelisah, takut,
dan semacamnya. Seakan-akan segala kengerian dunia yang biasa menghantui
dirinya sirna selama sesaat itu saja. Tentu saja Deraz tidak meluputkan itu.
“Tiap kali kamu senyum, ada satu
bunga yang mekar,” ucap Deraz. Kali ini ia tidak merasa harus menahannya lagi.
Toh ia sudah menyatakan perasaannya pada Zahra. Ia merasa sah-sah saja jika
hendak menyuarakan hatinya. Begitu leluasa.
“Hah?” Zahra menoleh.
“Aku pengin bisa mengharumkan
dunia.”
Zahra berusaha mencerna kata-kata
Deraz tersebut.
“Tapi kamu jangan sering-sering
senyum. Nanti banyak cowok yang ngedeketin kamu.”
Zahra terperangah. “Kamu
ngegombal?”
Deraz mengernyit. “Gombal itu
artinya bohong dan omong kosong, kan?”
Zahra tergugu.
“Kalaupun iya, aku enggak biasa
ngegombal. Tergantung ceweknya.”
Ketika Deraz hendak berkata-kata
lagi, Zahra cepat-cepat menyanggah, “Ah, Deraz, udah dong …” tetapi suaranya
terdengar manja. Ia beranjak memunggungi Deraz dan melangkah lagi.
Deraz tersenyum maklum. Ia
mengikuti gadisnya melanjutkan susur pematang.
Tahu-tahu melintas gagasan iseng di
benak Deraz. Ia mengguncang ransel Zahra kuat-kuat sambil bersuara mengagetkan.
Ia bermaksud seolah-olah hendak menjatuhkan Zahra ke sawah, tetapi tentu saja
ia akan menahannya. Namun Zahra malah nyaris terpeleset betulan ke sawah,
sehingga Deraz serta-merta menangkapnya. Zahra sendiri otomatis memegang lengan
Deraz.
Ya ampun, sinetron apa lagi ini?
Bayangkan sendiri kelanjutannya, ya.
Begitu mendapatkan kembali
keseimbangannya, Zahra menjauh. Deraz yang merah mukanya berkata, “Sori.”
“Pulang aja yuk,” sahut Zahra yang
deg-degan hebat.
Deraz mengiyakan.
Zahra melihat di seberang sawah ada
belokan memasuki jalan besar. “Naik angkot ke situ, kan?”
“Aku anterin sampai rumah.”
“Eh, enggak usah.” Berboncengan
sampai sawah tadi saja sudah membuat Zahra malu tidak keruan. Sekarang mereka
akan berboncengan ke rumah? Nanti kalau ada anak SMANSON yang melihat,
bagaimana? Uh, kenapa juga ia mengiyakan ikut ke rumah Deraz dari awal? Mungkin
saja tadi ada yang sudah melihat mereka berdua sewaktu menaiki angkot! Zahra
galau.
Deraz menyerahkan lagi helm full face Dean pada Zahra. Seperti
sebelumnya, Zahra mengenakan helm itu tanpa lupa menurunkan penutupnya
rapat-rapat. Lalu ia memindahkan ranselnya ke depan, menaiki bagian belakang
motor dengan menyamping sembari menjaga jarak serenggang mungkin dari Deraz,
serta mencengkam pegangan besi di sisi kiri. Ia memekik ketika Deraz mengegas
terlalu kencang. Nyaris saja tangannya menyentuh Deraz lagi. “Sori,” kata
Deraz, yang pengalamannya mengendarai motor bisa dihitung dengan jari-jari
sebelah tangan.
Deraz bermaksud mencari jalan
pintas dari sawah ke daerah rumah Zahra. Alih-alih langsung menuju jalan besar,
ia mengambil jalan perumahan dan memasuki gang yang serupa labirin. Bukannya ia
hafal lika-liku kawasan itu. Ia mengandalkan insting saja. Setelah beberapa
lama tidak kunjung menemukan jalan raya, Deraz menyadari bahwa memasuki jalan
besar yang di dekat sawah tadi akan jauh mempersingkat perjalanan. Tetapi
setidaknya kebersamaan dengan Zahra menjadi lebih lama.
Azan asar sudah lama berlalu ketika
mereka sampai di depan rumah Zahra. Begitu turun, Zahra menyampaikan
keheranannya. “Kalau kamu bisa bawa motor, kenapa kamu enggak momotoran aja ke
sekolah?”
“Soalnya belum ada KTP,” ujar Deraz
enteng seraya menerima helm dari Zahra.
Zahra kaget. “Hati-hati di jalan, bisi ditilang!” serunya sembari melepas
kepergian Deraz.
“Enggak bakal!” Mendadak Deraz jadi
cenayang.
Sampai di rumah, Deraz
terbayang-bayang kejadian di sawah tadi. Bukan saja wajahnya, melainkan juga
badannya menjadi panas. Kejadian itu berputar berulang-ulang seperti pita kaset
yang rusak. Kini ia memahami betapa guling itu tidak ada lekuknya.
Malam-malam, ketika masuk kamar,
Dean heran melihat Deraz sedang melakukan push
up.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar