Perkataan Renata terus mengiang di
benak Deraz. It’s not gonna work.
Zahra hanya membenarkan perkataan Renata! Female
intuition apaan?! Dasar cewek lemah! Rapuh! Pengecut!
Sekali lagi wasit meniup peluit
panjang dan melambaikan kartu kuning. Deraz mengangkat kedua tangannya.
Apa yang salah?!
Deraz tidak melihat pemain lawan yang
berjalan terseret-seret setelah kena jegalannya.
Pelatih tim sepak bola SMANSON
meminta time out kepada wasit.
Anak-anak berkumpul mengitarinya.
“Deraz, kamu diganti Bidin.”
Setelah ISDC tidak meloloskannya ke
tim WSDC, Zahra memutus hubungan dengannya, anak-anak DKM mempermalukannya di
depan anak-anak OSIS, dan Alf mengeluarkannya dari kepanitiaan, sekarang
pelatih hendak menyepaknya dari tim? Enak saja! Deraz tidak akan kalah lagi!
“Saya bisa bermain dengan baik, Pak!”
tandas Deraz. “Satu-satunya gol SMANSON tadi saya yang masukin, Pak!”
“Kamu udah dua kali kena kartu
kuning. Sekali lagi kamu kena, kita enggak bisa ganti pemain,” tegas pelatih.
“Jujur aja, Raz, performance kamu jelek kali ini,” timpal kapten. “Enggak usah
ngambil risikolah. SMANSON udah sampai final. Jangan sampai kita kehilangan
kesempatan ini. Kita kan bermain sebagai kesatuan—“
You’re playing with fire, Renata kembali berbisik di benaknya.
“Enggak, saya enggak akan mengulangi
kesalahan yang sama,” Deraz bersikeras. Seiring dengan habisnya time out, ia mundur ke lapangan
mendahului rekan-rekannya. Mereka hanya dapat mengembuskan napas dengan waswas
dan berharap Deraz benar-benar membuktikan perkataannya. Memang biasanya Deraz
dapat diandalkan, tetapi emosinya kali ini berlebihan.
Pertandingan dilanjutkan.
Dengan segera Deraz menguasai bola.
Para pemain lawan menyergap dan berusaha merebut bola dari dia.
Tidak bisa diajak bekerja sama! Tidak
bisa menjaga hubungan!
Seorang pemain lawan mencoba
menjatuhkannya.
Semuanya berantakan gara-gara kamu!
Lawan tersebut begitu gigih.
Kepalanya menghalangi pandangan Deraz ke bola. Deraz berusaha menyingkirkannya.
Lawan itu balas menyikutnya. Keduanya bergelut.
Peluit wasit berbunyi.
Rekan-rekan Deraz berikut pelatih
mereka berdesah lemas. Para suporter SMANSON menyuarakan kelesuan dari tribune.
Kartu yang diacungkan wasit padanya
semerah darah yang mengalir dari hidung si pemain lawan. Deraz memandang
kepalan tangannya. Bukankah ia telah berjanji pada dirinya untuk tidak menonjok
orang di luar gelanggang?
Deraz membaca ulang diary Zahra. Padahal itu kata-kata yang
sama dengan yang dibacanya lebih dari satu semester lalu, tetapi kali ini Deraz
merasakannya berbeda. Dalam kata-kata tersebut ia bukan lagi cinta terpendam
Zahra, melainkan hanya perintang bagi gadis itu untuk menjadi religius. Sedari awal semuanya sudah jelas. Gadis
itu telah menyatakan dirinya tidak mau pacaran, Deraz juga. Apakah arti pacaran
itu? Pacaran itu bukan sekadar status, melainkan juga tingkah laku. Padahal
Deraz bisa menghentikannya sedari awal. Ia bisa pindah ke bangku paling
belakang. Ia bisa mengusulkan pengaturan bangku seperti Ria. Kenapa ia tidak
melakukannya? Oh, iya, ia tetap bisa melihat Zahra. Kenapa ia tidak menjaga
pandangan dan perasaannya dengan lebih kuat, seperti ia tidak akan membiarkan
lawan mengambil bola dari dia saat pertandingan? Kenapa ia membiarkan semua ini
terjadi? Kenapa? Berengsek. Berengsek. Berengsek! Dasar laki-laki lemah! Kalah
oleh perasaan! Lebih goblok dari sopir angkot!
Tidak ada gunanya lagi Deraz
menyimpan diary ini. Kalau Zahra
mengembalikan semua barangnya, ia juga bisa! Ia juga pasti bisa melupakan
manisnya kue kering buatan gadis itu, berikut tingkat kematangan dan takaran
bumbu sayur masakannya yang hanya pas di lidah Deraz seorang.
Deraz ingin mengembalikan diary Zahra sesegera mungkin, tetapi
menunggu hingga keesokan hari. Ia ingin menunggu kelas sepi total pada jam
istirahat, tetapi ada perlu di sekretariat OSIS. Ia ingin mengembalikan diary Zahra secara sembunyi-sembunyi,
tetapi menunggu kesempatan itu sama saja dengan terus mengulur waktu. Padahal
ketika pulang dengan ransel yang masih berisi diary itu, Deraz merasa seperti menggendong jin biarpun belum
pernah. Terasa pula bahwa gadis itu sendiri yang masih mendekam di ranselnya.
Deraz ingin nekat saja, asal bukan
ketika Zahra bersama akhwat-akhwat.
Begitu sekolah usai, sebagaimana hari-hari
sebelumnya, Deraz memantau Zahra keluar dari kelas. Akhwat-akhwat membersamai
gadis itu—sialan! Tetapi, kemudian mereka saling melambaikan tangan.
Akhwat-akhwat berbelok ke masjid sementara Zahra terus menuju gerbang. Inilah
kesempatan itu!
“Zahra!” panggil Deraz.
Zahra menoleh, tetapi buru-buru
berbalik lagi begitu menyadari itu siapa. Ia mempercepat langkah. Namun Deraz
dengan kaki-kakinya yang panjang mudah saja menyusul. Ia menyodok lengan Zahra
dengan diary, berkali-kali dan cukup
keras. Mau tidak mau gadis itu menoleh. Karena menghindari muka Deraz, mata
Zahra langsung mengarah pada benda yang disodokkan padanya. Zahra mengambil
buku yang terlihat familier itu. Lalu Deraz berbalik tanpa berkata apa-apa
lagi. Ia selalu punya urusan di sekretariat OSIS.
Deraz sama sekali tidak
mengantisipasi akan terjadi tubrukan kencang dari belakang. Ia tersungkur ke
permukaan aspal yang berbatu-batu kecil. Begitu ia berbalik, tahu-tahu sebutir
kerikil memantul di dadanya dengan kekuatan seribu tenaga jemaah haji yang
benar-benar melihat setan pada tugu jamrah. Deraz terbatuk. Ia masih sempat
melihat raut Zahra yang berusaha keras menahan tangis sebelum gadis itu berlari
ke gerbang.
Yeah, make a scene di pinggir jalan menjadi tontonan seperti orang pacaran.
Centang. Sesaat Deraz terkapar saja menatap langit cerah dengan dada
nyut-nyutan.
Pada awalnya Deraz rajin mengganti
air di jambangan bunga lili. Ia mengira bahwa dengan begitu bunga tersebut akan
selalu segar. Namun lama-kelamaan ia mendapati bunga itu mulai layu. Terlebih,
belakangan ia keasyikan berburu serangga dan mengamati burung di bukit bersama
Opa Buyut dan Bruno. Tahu-tahu ia mendapati bunga itu layu sama sekali.
Kelopaknya telah cokelat berjatuhan ke permukaan bufet. Tangkainya yang
bergeming di air membusuk. Tidak terselamatkan lagi.
“Oma, bunganya mati,” ucap Deraz
murung. Ia membawa jambangan pada Oma Buyut hendak memperlihatkan yang tersisa.
“Ambil saja lagi,” kata Oma Buyut.
Deraz mendatangi kebun, namun tidak
mendapati bunga lili barang setangkai pun.
Bungaku hilang melayang pergi
Bungaku hilang terempas angin
Deraz melapor pada Oma Buyut.
“Oh, Oma lupa. Kemarin semuanya Oma
ambil buat pemakaman Tante Gretchen,” tetangga mereka yang sahabat Oma Buyut.
“Tante Gretchen suka sekali bunga itu. Deraz ambil saja bunga yang lain.”
“Yaaah.” Deraz kecewa. Ia tidak mau
bunga yang lain.
Melihat paras Deraz, Oma Buyut
berkata lagi, “Ya sudah. Nanti kita tanam lagi, ya?”
“Benar, Oma?”
Namun tidak lama kemudian Oma Buyut
jatuh sakit. Tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari hingga ia meninggalkan
Deraz untuk selama-lamanya.
Ku tak mengerti,
masihkah ada waktu yang menuntunmu kembali
tumbuh dan bersemi mengisi relung hati
putih dan terus mewangi[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar