Jumat, 21 Desember 2018

(50)

Perkataan Renata terus mengiang di benak Deraz. It’s not gonna work. Zahra hanya membenarkan perkataan Renata! Female intuition apaan?! Dasar cewek lemah! Rapuh! Pengecut!

Sekali lagi wasit meniup peluit panjang dan melambaikan kartu kuning. Deraz mengangkat kedua tangannya.

Apa yang salah?!

Deraz tidak melihat pemain lawan yang berjalan terseret-seret setelah kena jegalannya.

Pelatih tim sepak bola SMANSON meminta time out kepada wasit. Anak-anak berkumpul mengitarinya.

“Deraz, kamu diganti Bidin.”

Setelah ISDC tidak meloloskannya ke tim WSDC, Zahra memutus hubungan dengannya, anak-anak DKM mempermalukannya di depan anak-anak OSIS, dan Alf mengeluarkannya dari kepanitiaan, sekarang pelatih hendak menyepaknya dari tim? Enak saja! Deraz tidak akan kalah lagi!

“Saya bisa bermain dengan baik, Pak!” tandas Deraz. “Satu-satunya gol SMANSON tadi saya yang masukin, Pak!”

“Kamu udah dua kali kena kartu kuning. Sekali lagi kamu kena, kita enggak bisa ganti pemain,” tegas pelatih.

“Jujur aja, Raz, performance kamu jelek kali ini,” timpal kapten. “Enggak usah ngambil risikolah. SMANSON udah sampai final. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan ini. Kita kan bermain sebagai kesatuan—“

You’re playing with fire, Renata kembali berbisik di benaknya.

“Enggak, saya enggak akan mengulangi kesalahan yang sama,” Deraz bersikeras. Seiring dengan habisnya time out, ia mundur ke lapangan mendahului rekan-rekannya. Mereka hanya dapat mengembuskan napas dengan waswas dan berharap Deraz benar-benar membuktikan perkataannya. Memang biasanya Deraz dapat diandalkan, tetapi emosinya kali ini berlebihan.

Pertandingan dilanjutkan.

Dengan segera Deraz menguasai bola. Para pemain lawan menyergap dan berusaha merebut bola dari dia.

Tidak bisa diajak bekerja sama! Tidak bisa menjaga hubungan!

Seorang pemain lawan mencoba menjatuhkannya.

Semuanya berantakan gara-gara kamu!

Lawan tersebut begitu gigih. Kepalanya menghalangi pandangan Deraz ke bola. Deraz berusaha menyingkirkannya. Lawan itu balas menyikutnya. Keduanya bergelut.

Peluit wasit berbunyi.

Rekan-rekan Deraz berikut pelatih mereka berdesah lemas. Para suporter SMANSON menyuarakan kelesuan dari tribune.

Kartu yang diacungkan wasit padanya semerah darah yang mengalir dari hidung si pemain lawan. Deraz memandang kepalan tangannya. Bukankah ia telah berjanji pada dirinya untuk tidak menonjok orang di luar gelanggang?

 

Deraz membaca ulang diary Zahra. Padahal itu kata-kata yang sama dengan yang dibacanya lebih dari satu semester lalu, tetapi kali ini Deraz merasakannya berbeda. Dalam kata-kata tersebut ia bukan lagi cinta terpendam Zahra, melainkan hanya perintang bagi gadis itu untuk menjadi religius. Sedari awal semuanya sudah jelas. Gadis itu telah menyatakan dirinya tidak mau pacaran, Deraz juga. Apakah arti pacaran itu? Pacaran itu bukan sekadar status, melainkan juga tingkah laku. Padahal Deraz bisa menghentikannya sedari awal. Ia bisa pindah ke bangku paling belakang. Ia bisa mengusulkan pengaturan bangku seperti Ria. Kenapa ia tidak melakukannya? Oh, iya, ia tetap bisa melihat Zahra. Kenapa ia tidak menjaga pandangan dan perasaannya dengan lebih kuat, seperti ia tidak akan membiarkan lawan mengambil bola dari dia saat pertandingan? Kenapa ia membiarkan semua ini terjadi? Kenapa? Berengsek. Berengsek. Berengsek! Dasar laki-laki lemah! Kalah oleh perasaan! Lebih goblok dari sopir angkot!

Tidak ada gunanya lagi Deraz menyimpan diary ini. Kalau Zahra mengembalikan semua barangnya, ia juga bisa! Ia juga pasti bisa melupakan manisnya kue kering buatan gadis itu, berikut tingkat kematangan dan takaran bumbu sayur masakannya yang hanya pas di lidah Deraz seorang.

Deraz ingin mengembalikan diary Zahra sesegera mungkin, tetapi menunggu hingga keesokan hari. Ia ingin menunggu kelas sepi total pada jam istirahat, tetapi ada perlu di sekretariat OSIS. Ia ingin mengembalikan diary Zahra secara sembunyi-sembunyi, tetapi menunggu kesempatan itu sama saja dengan terus mengulur waktu. Padahal ketika pulang dengan ransel yang masih berisi diary itu, Deraz merasa seperti menggendong jin biarpun belum pernah. Terasa pula bahwa gadis itu sendiri yang masih mendekam di ranselnya.

Deraz ingin nekat saja, asal bukan ketika Zahra bersama akhwat-akhwat.

Begitu sekolah usai, sebagaimana hari-hari sebelumnya, Deraz memantau Zahra keluar dari kelas. Akhwat-akhwat membersamai gadis itu—sialan! Tetapi, kemudian mereka saling melambaikan tangan. Akhwat-akhwat berbelok ke masjid sementara Zahra terus menuju gerbang. Inilah kesempatan itu!

“Zahra!” panggil Deraz.

Zahra menoleh, tetapi buru-buru berbalik lagi begitu menyadari itu siapa. Ia mempercepat langkah. Namun Deraz dengan kaki-kakinya yang panjang mudah saja menyusul. Ia menyodok lengan Zahra dengan diary, berkali-kali dan cukup keras. Mau tidak mau gadis itu menoleh. Karena menghindari muka Deraz, mata Zahra langsung mengarah pada benda yang disodokkan padanya. Zahra mengambil buku yang terlihat familier itu. Lalu Deraz berbalik tanpa berkata apa-apa lagi. Ia selalu punya urusan di sekretariat OSIS.

Deraz sama sekali tidak mengantisipasi akan terjadi tubrukan kencang dari belakang. Ia tersungkur ke permukaan aspal yang berbatu-batu kecil. Begitu ia berbalik, tahu-tahu sebutir kerikil memantul di dadanya dengan kekuatan seribu tenaga jemaah haji yang benar-benar melihat setan pada tugu jamrah. Deraz terbatuk. Ia masih sempat melihat raut Zahra yang berusaha keras menahan tangis sebelum gadis itu berlari ke gerbang.

Yeah, make a scene di pinggir jalan menjadi tontonan seperti orang pacaran. Centang. Sesaat Deraz terkapar saja menatap langit cerah dengan dada nyut-nyutan.

 

Pada awalnya Deraz rajin mengganti air di jambangan bunga lili. Ia mengira bahwa dengan begitu bunga tersebut akan selalu segar. Namun lama-kelamaan ia mendapati bunga itu mulai layu. Terlebih, belakangan ia keasyikan berburu serangga dan mengamati burung di bukit bersama Opa Buyut dan Bruno. Tahu-tahu ia mendapati bunga itu layu sama sekali. Kelopaknya telah cokelat berjatuhan ke permukaan bufet. Tangkainya yang bergeming di air membusuk. Tidak terselamatkan lagi.

“Oma, bunganya mati,” ucap Deraz murung. Ia membawa jambangan pada Oma Buyut hendak memperlihatkan yang tersisa.

“Ambil saja lagi,” kata Oma Buyut.

Deraz mendatangi kebun, namun tidak mendapati bunga lili barang setangkai pun.

 

Bungaku hilang melayang pergi

Bungaku hilang terempas angin

 

Deraz melapor pada Oma Buyut.

“Oh, Oma lupa. Kemarin semuanya Oma ambil buat pemakaman Tante Gretchen,” tetangga mereka yang sahabat Oma Buyut. “Tante Gretchen suka sekali bunga itu. Deraz ambil saja bunga yang lain.”

“Yaaah.” Deraz kecewa. Ia tidak mau bunga yang lain.

Melihat paras Deraz, Oma Buyut berkata lagi, “Ya sudah. Nanti kita tanam lagi, ya?”

“Benar, Oma?”

Namun tidak lama kemudian Oma Buyut jatuh sakit. Tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari hingga ia meninggalkan Deraz untuk selama-lamanya.

 

Ku tak mengerti,

masihkah ada waktu yang menuntunmu kembali

tumbuh dan bersemi mengisi relung hati

putih dan terus mewangi[1]



[1] “Bungaku Hilang” - Pay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain