Bukan sekali ini Deraz kebablasan mengantar Zahra sampai ke
rumahnya, yang ternyata tidak jauh dari sekolah atau hanya sekitar sepuluh
menit berjalan kaki. Tetapi biasanya Zahra terlalu malu untuk menawari Deraz mampir.
Deraz sendiri selalu sudah ditunggu agendanya. Hari ini urusan Deraz sepulang
sekolah hanya latihan band dan
setelah itu tidak ada agenda hingga kursus bahasa Jerman nanti malam. Maka
ketika akhirnya Zahra berani menawarkan, “Mau mampir dulu?” Deraz mengiyakan.
Ia melewati pagar rumah Zahra: pencapaian baru dalam hubungannya dengan gadis
itu dalam beberapa bulan ini.
“Deraz mau salat zuhur dulu?” tawar
Zahra lagi.
“Oh, iya,” sahut Deraz.
Setelah salat zuhur di musala kecil
di rumah itu, Zahra mengarahkan Deraz untuk naik ke ruang tengah. Ruang yang
dimaksud Zahra di lantai dua itu cukup luas. Di seberang kiri tangga ada dua
kamar yang dari salah satunya terdengar suara beberapa cowok. Sepertinya itu
kamar salah satu kakak Zahra dan sedang ada teman-temannya. Pintunya sedikit
terbuka. Di pojok seberang tangga sepintas tidak ada siapa-siapa, tetapi
rupanya ada satu lagi kakak Zahra yang sedang bermain komputer dengan headset menancap di telinga. Tampaknya
ia sama berbakat dalam menyembunyikan diri seperti Zahra.
Zahra mengajak Deraz duduk di sofa
di seberang televisi. Begitu duduk, Deraz menyadari ada gumpalan merah dari
benang wol di pojok sofa. Ia menariknya dan mendapati rajutan berbentuk jajar
genjang lengkap dengan sepasang jarum besar.
“Ini apa?”
Zahra yang sedang menyalakan
televisi serta-merta mengambil rajutan itu dan menaruhnya jauh dari jangkauan
Deraz.
“Kamu udah mulai belajar ngerajut,
ya?”
“Iya sih,” aku Zahra malu-malu.
“Itu kamu bikin apa? Kok bentuknya
jajar genjang?”
Zahra merajuk. “Ih, aku tuh baru
nyobain.”
Deraz mengikik.
Setelah duduk, Zahra memperkenalkan
abang-abangnya dari jauh. Yang berada di pojok itu kakak Zahra nomor dua. Zahra
menyebutnya Mas Ardi. Mas Ardi juga bersekolah di SMANSON, kelas XII. Deraz
memerhatikan lagi Mas Ardi. Memang ia merasa pernah melihat wajah itu di
sekolah. Yang berada di kamar bersama teman-temannya itu kakak sulung Zahra,
Mas Imin. Mas Imin juga dulu bersekolah di SMANSON, tetapi sekarang sudah jadi
mahasiswa Teknik Elektro ITB. Zahra punya satu saudara laki-laki lagi yang
duduk di kelas sembilan, tetapi saat itu tidak berada di rumah.
“Jadi kamu satu-satunya anak
perempuan?”
“Iya. Kadang Mbak Zia suka nginep,
bawa teman ke sini juga. Dia juga anak SMANSON, kelas XII.”
“Rame juga, ya,” komentar Deraz.
“Iya.”
“Tapi kamu ngumpet sendiri di
kamar,” tebak Deraz.
“Enggak juga.” Zahra berlagak
cemberut.
“Kalau orang tua kamu?”
“Mama aku ngajar sekolah full day, kadang habis magrib baru
nyampe rumah. Papa aku di rumah, udah enggak kerja,” ucap Zahra pelan.
“Oh.”
Sementara Zahra memutar DVD drama
Korea yang dibelinya di Kota Kembang beberapa waktu lalu, Deraz menyadari
stoples kue kering cokelat membatasi mereka berdua di tengah-tengah sofa.
“Ini buatan kamu?” tanya Deraz
sembari mengangkat stoples itu.
“Iya.”
“Coba, ya?”
“Iya.”
Deraz memasukkan sepotong kue ke
mulutnya. Zahra memerhatikan ekspresi Deraz selagi mengunyah.
“Enak?” tanya Zahra.
Deraz menyeringai memperlihatkan
giginya yang jadi bebercak hitam. Zahra menjadi geli. Ia mengambilkan segelas
air putih untuk Deraz.
“Sekarang udah lebih enak, lo,”
ujar Deraz setelah minum.
Zahra tersenyum.
“Kamu bisa mulai jualan.”
Zahra menggeleng.
Selagi mendampingi Zahra menonton,
yang Deraz lihat bukan televisi, melainkan gadis itu. Ketika Zahra menyadari
itu, ia mendorong pipi Deraz dengan remote
control supaya melihat ke arah lain. Kalaupun Deraz memerhatikan tayangan,
itu malah dijadikan bahan untuk dia meledek atau mengganggu Zahra dengan
menanyakan hal-hal yang tidak penting: kenapa alurnya begitu dan kenapa karakternya
begini, itu konyol dan ini tidak masuk akal. Zahra menjadi cemberut.
“Kalau cemberut, kamu kayak bunga
bangkai. Tiap kali kamu cemberut, ada satu bunga bangkau yang mekar. Kalau kamu
cemberut terus, lama-lama dunia jadi bau bangkai terus orang-orang pada
muntah.”
“Kamu juga muntah.”
“Enggak. Aku kan pakai masker gas.
Biarpun bau bangkai, dia tetap bunga.”
Zahra terperangah dan menunduk.
Deraz menyadari bahwa ia telah
keceplosan. Ia lekas-lekas menimpali, “Aku suka bunga. Oma dulu suka nanam
bunga.” Deraz suka menemani ketika Oma Buyut merawat bunga-bunganya di kebun.
Sembari mengikuti Oma Buyut yang beringsut perlahan dari satu jenis bunga ke
jenis yang lain, Deraz menunjuk tiap-tiapnya sembari menyebutkan namanya
keras-keras dalam berbagai bahasa yang ia pelajari, termasuk nama latinnya.
Kadang ia membantu Oma Buyut memetiki bunga-bunga itu untuk mengganti yang lama
di jambangan. Oma Buyut gemar menaruh jambangan berisi bunga wangi hampir di
semua ruangan di rumah itu. “Kamu coba deh nanam bunga juga.”
“Iya …. Nanti deh satu-satu.”
“Oh, iya, rajutan kamu kan masih
jajar genjang, ya. Terus nanti bikin trapesium, segitiga …. Kapan jadi
sweternya, ya?”
“Ih ….” Lagi-lagi Zahra mendorong
muka Deraz dengan remote control.
Deraz menahan geli.
“Oh! Aku lupa. Aku harusnya masak
…” ujar Zahra tiba-tiba.
“Masak apa?”
“Aku udah mulai disuruh masak sama
mama aku,” gerutu Zahra. “Apa, ya? Paling-paling sayur asem, yang ada bahannya
di kulkas.”
“Mau aku bantuin?”
“Enggak usah. Kamu di sini aja.”
“Kenapa?”
“Enggak ah. Aku baru belajar, jadi
… risi kalau ada orang.”
Deraz maklum. Zahra menawari Deraz
untuk menonton televisi saja. Ia menunjuk tumpukan DVD bajakan di rak bufet
kalau-kalau Deraz ingin memutarnya.
“Iya, iya, santai aja,” sahut
Deraz.
Begitu Zahra pergi, Deraz
mengeluarkan ponsel dan mendapati beberapa panggilan tidak terjawab dari Ipong.
Deraz mengirim SMS berisi permintaan maaf karena tidak bisa menghadiri latihan band hari itu. Selanjutnya ia menyetel
saluran nasional yang menayangkan berita. Sebentar kemudian ia ketiduran.
Ketika dibangunkan oleh Zahra,
Deraz menyadari bahwa hari sudah hampir magrib. Dari kamar Mas Imin sudah tidak
ada suara, sedang di pojok Mas Ardi sudah tidak ada. Zahra sudah mengganti
seragamnya dengan pakaian bebas.
“Maaf, ya, baru bangunin kamu
sekarang. Tadi aku nyapu-nyapu sama nyiram-nyiram dulu. Kamu salat asar dulu
gih, keburu magrib.”
Baru saja Deraz menyelesaikan salat
asar, mulai terdengar suara dari masjid. Sepertinya sebentar lagi azan magrib
berkumandang. Deraz memutuskan untuk menunggu waktu salat magrib sekalian.
Setelah salat magrib, dari suara-suara yang dibuat Zahra, tampaknya gadis itu
masih sibuk sendiri, jadi Deraz mengambil Alquran terjemahan di dekatnya dan
membaca sampai dipanggil untuk makan malam.
Deraz kaget ketika mendapati Dean
di ruang makan sedang makan duluan.
“Hai!” sapa Dean.
“Deraz, ini piringnya.” Lalu Zahra
menyodorkan sendok nasi. Deraz menyendok sedikit nasi ke piringnya. Zahra telah
menyiapkan semangkuk kecil sayur asem yang masih mengepul untuk Deraz. “Maaf,
ya, lauknya seadanya.” Deraz menatap piring-piring lonjong berisi aneka
gorengan di meja.
Sementara Zahra wira-wiri entah ke
mana lagi, Deraz mengambil kursi di hadapan Dean. Ia menatap Dean dengan curiga
sekaligus heran. “Kenapa kamu di sini?”
“Habis dari Kakek,” sahut Dean
dengan pipi kembung.
“Kakek?”
“Kakeknya Zahra. Tinggal di
sebelah. Mau ke sana? Banyak musik bagus lo. Kakeknya Zahra kan punya koleksi piringan
hitam. Kamu pasti suka. Musik instrumental gitulah.”
“Kenapa kamu kenal kakeknya Zahra?”
“Waktu kelas X kan aku suka minta
les sama Zahra ke sini, terus dikenalin ke Kakek sama kakaknya Zahra. Kakeknya
Zahra asyik lo, enggak kayak kakek-kakek.”
Zahra kembali. “Maaf, ya,
ditinggal-tinggal.”
“Tumben ramah, Zahra.”
Zahra membalas Dean dengan cemberut
maksimal. Dean tersenyum semanis-manisnya.
Zahra duduk di kepala meja dengan
piring yang sudah berisi nasi, sayur, dan lauk.
“Sekarang udah lebih enak lo,
Zahra. Sayurnya lebih mateng, bumbunya lebih kerasa,” puji Dean.
Namun Zahra menatap Dean dengan
muram. Ia telah merasai masakannya sendiri. Ia berpaling pada Deraz dan berkata
disertai senyum miris, “Maaf, ya, kalau enggak enak.”
“No, this is … perfect,” sahut Deraz. Kali ini ia yang berpipi
kembung. Ia sampai lupa berbahasa Indonesia. “Sayurnya enggak kematangan,
bumbunya juga enggak … macam-macam.”
Dean menatap Deraz dengan heran.
Zahra juga.
“Deraz tuh sukanya makan lalap sama
salad,” terang Dean, “enggak suka rempah-rempah.”
“Oh,” sahut Zahra.
Deraz tidak tahu Dean memaksudkan
apa.
Setelah makan malam, Dean langsung
mengacir ke paviliun Kakek di samping rumah sementara Deraz merasa sebaiknya ia
pamit. Ketika Deraz sedang memasang tali sepatunya ditemani Zahra di teras
rumah, terdengar gerincing gerobak tukang sate mendekat. Serta-merta Dean
keluar dari paviliun. “Mang, sate …!” panggil Dean.
Deraz berdiri. “Terima kasih, ya,”
ucapnya pada Zahra.
“Terima kasih kembali.” Zahra
tersenyum manis.
Di pagar Dean mengadang Deraz.
“Yaz, bayarin sate.”
Deraz mengeluarkan selembar dua
puluh ribu dari saku kemeja seragam.
“Terima kasih. Eh, Zahra, pinjam
piring, ya!” ucap Dean tiba-tiba. Pandangan Deraz mengikuti Dean yang meluncur
ke dalam rumah. Ia baru menyadari bahwa Zahra masih berdiri di tempatnya sedari
tadi. Kali ini Zahra kembali cemberut maksimal, tetapi memandang ke arahnya.
Deraz mengikik saja. Ia melambaikan tangan pada Zahra. Zahra membalasnya dengan
cemberut yang sedikit memudar.
Di jalan menuju sekolah untuk
mengambil sepeda, Deraz mengenang kunjunganya barusan. Zahra suka membersihkan
rumah, membuat kue kering, memasak sayur asem, dan menonton drama Korea … ah,
dan sedang belajar merajut—benar-benar calon ibu rumah tangga yang sempurna. Ia
tersenyum memandang langit gelap yang dihiasi titik-titik cahaya. Hari apa sekarang?
Ia menengok arloji yang dilengkapi tanggal hari itu. Jam masuk kursus bahasa
Jerman sudah lewat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar