Kamis, 06 Desember 2018

(35)

Bukan sekali ini Deraz kebablasan mengantar Zahra sampai ke rumahnya, yang ternyata tidak jauh dari sekolah atau hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Tetapi biasanya Zahra terlalu malu untuk menawari Deraz mampir. Deraz sendiri selalu sudah ditunggu agendanya. Hari ini urusan Deraz sepulang sekolah hanya latihan band dan setelah itu tidak ada agenda hingga kursus bahasa Jerman nanti malam. Maka ketika akhirnya Zahra berani menawarkan, “Mau mampir dulu?” Deraz mengiyakan. Ia melewati pagar rumah Zahra: pencapaian baru dalam hubungannya dengan gadis itu dalam beberapa bulan ini.

“Deraz mau salat zuhur dulu?” tawar Zahra lagi.

“Oh, iya,” sahut Deraz.

Setelah salat zuhur di musala kecil di rumah itu, Zahra mengarahkan Deraz untuk naik ke ruang tengah. Ruang yang dimaksud Zahra di lantai dua itu cukup luas. Di seberang kiri tangga ada dua kamar yang dari salah satunya terdengar suara beberapa cowok. Sepertinya itu kamar salah satu kakak Zahra dan sedang ada teman-temannya. Pintunya sedikit terbuka. Di pojok seberang tangga sepintas tidak ada siapa-siapa, tetapi rupanya ada satu lagi kakak Zahra yang sedang bermain komputer dengan headset menancap di telinga. Tampaknya ia sama berbakat dalam menyembunyikan diri seperti Zahra.

Zahra mengajak Deraz duduk di sofa di seberang televisi. Begitu duduk, Deraz menyadari ada gumpalan merah dari benang wol di pojok sofa. Ia menariknya dan mendapati rajutan berbentuk jajar genjang lengkap dengan sepasang jarum besar.

“Ini apa?”

Zahra yang sedang menyalakan televisi serta-merta mengambil rajutan itu dan menaruhnya jauh dari jangkauan Deraz.

“Kamu udah mulai belajar ngerajut, ya?”

“Iya sih,” aku Zahra malu-malu.

“Itu kamu bikin apa? Kok bentuknya jajar genjang?”

Zahra merajuk. “Ih, aku tuh baru nyobain.”

Deraz mengikik.

Setelah duduk, Zahra memperkenalkan abang-abangnya dari jauh. Yang berada di pojok itu kakak Zahra nomor dua. Zahra menyebutnya Mas Ardi. Mas Ardi juga bersekolah di SMANSON, kelas XII. Deraz memerhatikan lagi Mas Ardi. Memang ia merasa pernah melihat wajah itu di sekolah. Yang berada di kamar bersama teman-temannya itu kakak sulung Zahra, Mas Imin. Mas Imin juga dulu bersekolah di SMANSON, tetapi sekarang sudah jadi mahasiswa Teknik Elektro ITB. Zahra punya satu saudara laki-laki lagi yang duduk di kelas sembilan, tetapi saat itu tidak berada di rumah.

“Jadi kamu satu-satunya anak perempuan?”

“Iya. Kadang Mbak Zia suka nginep, bawa teman ke sini juga. Dia juga anak SMANSON, kelas XII.”

“Rame juga, ya,” komentar Deraz.

“Iya.”

“Tapi kamu ngumpet sendiri di kamar,” tebak Deraz.

“Enggak juga.” Zahra berlagak cemberut.

“Kalau orang tua kamu?”

“Mama aku ngajar sekolah full day, kadang habis magrib baru nyampe rumah. Papa aku di rumah, udah enggak kerja,” ucap Zahra pelan.

“Oh.”

Sementara Zahra memutar DVD drama Korea yang dibelinya di Kota Kembang beberapa waktu lalu, Deraz menyadari stoples kue kering cokelat membatasi mereka berdua di tengah-tengah sofa.

“Ini buatan kamu?” tanya Deraz sembari mengangkat stoples itu.

“Iya.”

“Coba, ya?”

“Iya.”

Deraz memasukkan sepotong kue ke mulutnya. Zahra memerhatikan ekspresi Deraz selagi mengunyah.

“Enak?” tanya Zahra.

Deraz menyeringai memperlihatkan giginya yang jadi bebercak hitam. Zahra menjadi geli. Ia mengambilkan segelas air putih untuk Deraz.

“Sekarang udah lebih enak, lo,” ujar Deraz setelah minum.

Zahra tersenyum.

“Kamu bisa mulai jualan.”

Zahra menggeleng.

Selagi mendampingi Zahra menonton, yang Deraz lihat bukan televisi, melainkan gadis itu. Ketika Zahra menyadari itu, ia mendorong pipi Deraz dengan remote control supaya melihat ke arah lain. Kalaupun Deraz memerhatikan tayangan, itu malah dijadikan bahan untuk dia meledek atau mengganggu Zahra dengan menanyakan hal-hal yang tidak penting: kenapa alurnya begitu dan kenapa karakternya begini, itu konyol dan ini tidak masuk akal. Zahra menjadi cemberut.

“Kalau cemberut, kamu kayak bunga bangkai. Tiap kali kamu cemberut, ada satu bunga bangkau yang mekar. Kalau kamu cemberut terus, lama-lama dunia jadi bau bangkai terus orang-orang pada muntah.”

“Kamu juga muntah.”

“Enggak. Aku kan pakai masker gas. Biarpun bau bangkai, dia tetap bunga.”

Zahra terperangah dan menunduk.

Deraz menyadari bahwa ia telah keceplosan. Ia lekas-lekas menimpali, “Aku suka bunga. Oma dulu suka nanam bunga.” Deraz suka menemani ketika Oma Buyut merawat bunga-bunganya di kebun. Sembari mengikuti Oma Buyut yang beringsut perlahan dari satu jenis bunga ke jenis yang lain, Deraz menunjuk tiap-tiapnya sembari menyebutkan namanya keras-keras dalam berbagai bahasa yang ia pelajari, termasuk nama latinnya. Kadang ia membantu Oma Buyut memetiki bunga-bunga itu untuk mengganti yang lama di jambangan. Oma Buyut gemar menaruh jambangan berisi bunga wangi hampir di semua ruangan di rumah itu. “Kamu coba deh nanam bunga juga.”

“Iya …. Nanti deh satu-satu.”

“Oh, iya, rajutan kamu kan masih jajar genjang, ya. Terus nanti bikin trapesium, segitiga …. Kapan jadi sweternya, ya?”

“Ih ….” Lagi-lagi Zahra mendorong muka Deraz dengan remote control. Deraz menahan geli.

“Oh! Aku lupa. Aku harusnya masak …” ujar Zahra tiba-tiba.

“Masak apa?”

“Aku udah mulai disuruh masak sama mama aku,” gerutu Zahra. “Apa, ya? Paling-paling sayur asem, yang ada bahannya di kulkas.”

“Mau aku bantuin?”

“Enggak usah. Kamu di sini aja.”

“Kenapa?”

“Enggak ah. Aku baru belajar, jadi … risi kalau ada orang.”

Deraz maklum. Zahra menawari Deraz untuk menonton televisi saja. Ia menunjuk tumpukan DVD bajakan di rak bufet kalau-kalau Deraz ingin memutarnya.

“Iya, iya, santai aja,” sahut Deraz.

Begitu Zahra pergi, Deraz mengeluarkan ponsel dan mendapati beberapa panggilan tidak terjawab dari Ipong. Deraz mengirim SMS berisi permintaan maaf karena tidak bisa menghadiri latihan band hari itu. Selanjutnya ia menyetel saluran nasional yang menayangkan berita. Sebentar kemudian ia ketiduran.

Ketika dibangunkan oleh Zahra, Deraz menyadari bahwa hari sudah hampir magrib. Dari kamar Mas Imin sudah tidak ada suara, sedang di pojok Mas Ardi sudah tidak ada. Zahra sudah mengganti seragamnya dengan pakaian bebas.

“Maaf, ya, baru bangunin kamu sekarang. Tadi aku nyapu-nyapu sama nyiram-nyiram dulu. Kamu salat asar dulu gih, keburu magrib.”

Baru saja Deraz menyelesaikan salat asar, mulai terdengar suara dari masjid. Sepertinya sebentar lagi azan magrib berkumandang. Deraz memutuskan untuk menunggu waktu salat magrib sekalian. Setelah salat magrib, dari suara-suara yang dibuat Zahra, tampaknya gadis itu masih sibuk sendiri, jadi Deraz mengambil Alquran terjemahan di dekatnya dan membaca sampai dipanggil untuk makan malam.

Deraz kaget ketika mendapati Dean di ruang makan sedang makan duluan.

“Hai!” sapa Dean.

“Deraz, ini piringnya.” Lalu Zahra menyodorkan sendok nasi. Deraz menyendok sedikit nasi ke piringnya. Zahra telah menyiapkan semangkuk kecil sayur asem yang masih mengepul untuk Deraz. “Maaf, ya, lauknya seadanya.” Deraz menatap piring-piring lonjong berisi aneka gorengan di meja.

Sementara Zahra wira-wiri entah ke mana lagi, Deraz mengambil kursi di hadapan Dean. Ia menatap Dean dengan curiga sekaligus heran. “Kenapa kamu di sini?”

“Habis dari Kakek,” sahut Dean dengan pipi kembung.

“Kakek?”

“Kakeknya Zahra. Tinggal di sebelah. Mau ke sana? Banyak musik bagus lo. Kakeknya Zahra kan punya koleksi piringan hitam. Kamu pasti suka. Musik instrumental gitulah.”

“Kenapa kamu kenal kakeknya Zahra?”

“Waktu kelas X kan aku suka minta les sama Zahra ke sini, terus dikenalin ke Kakek sama kakaknya Zahra. Kakeknya Zahra asyik lo, enggak kayak kakek-kakek.”

Zahra kembali. “Maaf, ya, ditinggal-tinggal.”

“Tumben ramah, Zahra.”

Zahra membalas Dean dengan cemberut maksimal. Dean tersenyum semanis-manisnya.

Zahra duduk di kepala meja dengan piring yang sudah berisi nasi, sayur, dan lauk.

“Sekarang udah lebih enak lo, Zahra. Sayurnya lebih mateng, bumbunya lebih kerasa,” puji Dean.

Namun Zahra menatap Dean dengan muram. Ia telah merasai masakannya sendiri. Ia berpaling pada Deraz dan berkata disertai senyum miris, “Maaf, ya, kalau enggak enak.”

No, this is … perfect,” sahut Deraz. Kali ini ia yang berpipi kembung. Ia sampai lupa berbahasa Indonesia. “Sayurnya enggak kematangan, bumbunya juga enggak … macam-macam.”

Dean menatap Deraz dengan heran. Zahra juga.

“Deraz tuh sukanya makan lalap sama salad,” terang Dean, “enggak suka rempah-rempah.”

“Oh,” sahut Zahra.

Deraz tidak tahu Dean memaksudkan apa.

Setelah makan malam, Dean langsung mengacir ke paviliun Kakek di samping rumah sementara Deraz merasa sebaiknya ia pamit. Ketika Deraz sedang memasang tali sepatunya ditemani Zahra di teras rumah, terdengar gerincing gerobak tukang sate mendekat. Serta-merta Dean keluar dari paviliun. “Mang, sate …!” panggil Dean.

Deraz berdiri. “Terima kasih, ya,” ucapnya pada Zahra.

“Terima kasih kembali.” Zahra tersenyum manis.

Di pagar Dean mengadang Deraz. “Yaz, bayarin sate.”

Deraz mengeluarkan selembar dua puluh ribu dari saku kemeja seragam.

“Terima kasih. Eh, Zahra, pinjam piring, ya!” ucap Dean tiba-tiba. Pandangan Deraz mengikuti Dean yang meluncur ke dalam rumah. Ia baru menyadari bahwa Zahra masih berdiri di tempatnya sedari tadi. Kali ini Zahra kembali cemberut maksimal, tetapi memandang ke arahnya. Deraz mengikik saja. Ia melambaikan tangan pada Zahra. Zahra membalasnya dengan cemberut yang sedikit memudar.

Di jalan menuju sekolah untuk mengambil sepeda, Deraz mengenang kunjunganya barusan. Zahra suka membersihkan rumah, membuat kue kering, memasak sayur asem, dan menonton drama Korea … ah, dan sedang belajar merajut—benar-benar calon ibu rumah tangga yang sempurna. Ia tersenyum memandang langit gelap yang dihiasi titik-titik cahaya. Hari apa sekarang? Ia menengok arloji yang dilengkapi tanggal hari itu. Jam masuk kursus bahasa Jerman sudah lewat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain