Di samping rangkaian acara bersama DKM, anak-anak OSIS mulai mempersiapkan
MOS. Kali ini Jati yang menjadi ketua panitia. Deraz ditunjuknya menjadi ketua
SADIS.
“Kamu enggak usah acting
lagi, Raz. Kamu diem aja tampang kamu udah sadis,” Jati membeberkan alasannya.
“Sadis tapi tampan, heu
euh,” Alf menceletuk.
“Tampan tapi sadis,” Jati membetulkan. “Ini proker terakhir
kita sebelum ganti kepengurusan. Beri penampilan terbaik kamu, ya, Raz.”
“Ya udah,” Deraz menyanggupi. Anak emas pengurus OSIS tahun
sebelumnya memang siap mengemban amanah apa saja.
Tercetus gagasan untuk menghadirkan SIMBA gadungan seperti
pada MOS-MOS sebelumnya. Anak-anak kontan memikirkan Ipong.
“Embung!” tolak
Ipong.
“Aaah, Ipong jangan gitu. Siapa lagi kalau bukan kamu?”
“Banyak kali anak lain,” tanggap Ipong.
“Tapi kamu satu-satunya kandidat yang memenuhi syarat, Pong.”
“Enggak mau tahu. Pokoknya Ipong,” Jati menuliskan nama Ipong
pada rumusan panitia.
“Hidup Ipong!”
“HIDUP IPONG!” Anak-anak mengepalkan tangan ke atas.
“Namanya siapa, ya?” tanya Jati.
“Fernando! Fernando!”
“Fernando Jose!”
“Fernando,” tulis Jati. “Ceritanya kamu siswa baru dari
Meksiko, ya. Bapak kamu diplomat di sana.”
“Embung, anjir!”
Ipong terus merajuk.
“Ibu kamu namanya Soraya Velasquez. Bapaknya Arderaz Haekal.”
Anak-anak mengakak.
“Bapaknya SADIS, anjir, diplomat Indonesia tapi diam-diam
gabung sama kartel narkoba,” Gilang mulai mengarang bebas. “Ibunya punya pabrik
TOA di Meksiko buat diekspor ke Indonesia.”
“Naon sih,
bawa-bawa TOA wae,” protes Soraya.
“Mending gue punya pabrik fashion!”
“Lu mau jadi juragan sombrero, Ya?”
“Biarin aja lagi, sombrero kan bentuknya kayak TOA!”
“Ih, fashion kan
enggak cuma TOA—eh, topi!” balas Soraya.
“Kalau buat lu mah TOA bagian dari fashion, Ya! Nempel di bibir tiap hari, dibawa ke mana-mana.”
Deraz menggeleng-geleng saja menyimak candaan anak-anak
sembari mesem. Sejenak ia melupakan kegundahannya belakangan ini.
Liburan pergantian tahun ajaran diisi oleh persiapan MOS.
Anak-anak mempertanyakan Ipong yang sejak hari terakhir tahun ajaran kemarin
belum kunjung terlihat.
“Ditelepon enggak diangkat. Balasnya lewat SMS doang. Lagi
sakit ceunah,” kata Jati. “Kalau
radang tenggorokan tuh sakitnya berapa lama sih?”
“Lagi sibuk pendaftaran siswa baru, meureun,” canda anak-anak.
“Beli seragam SMA.”
“Penghayatan peran.”
“Mentang-mentang jadi SIMBA gadungan, anjir,” keluh Jati.
“Ngambek, meureun,
enggak mau jadi SIMBA gadungan.”
“Aaah, enggak profesional!”
Ipong baru nongol pada penghujung liburan, koordinasi
terakhir sebelum besoknya MOS dimulai. Anak-anak menyambutnya dengan tegur sapa
dan canda ria. Namun Ipong menanggapi mereka dengan dingin, tanpa suara. Ia
cuma menjawab dengan ekspresi wajah, gerakan kepala atau bahu. Biarpun
dikata-katai, ia bergeming. Koordinasi dimulai.
“Ipong, gimana kesiapan kamu sebagai Fernando? Seragam SMP
kamu masih muat, kan?” tanya Jati ketika sampai pada giliran Ipong.
Ipong mengangguk.
Anak-anak memandanginya dengan gemas.
“Biasanya maneh
cerewet, Pong.”
Ipong mengangkat bahu, yang malah membikin anak-anak
bertambah gemas.
“Pong,” Alf yang duduk di seberang Ipong dalam lingkaran
tiba-tiba berkata, yang turut menarik perhatian anak-anak. “Si Rika katanya mau
bikin pengakuan.”
“Eh, apa, Alf?” tegur Rieka, si kembang SMANSON yang telah
berhasil mengubah pacarnya—cowok paling cantik satu sekolah—menjadi tampan
akhir-akhir ini.
“Oh, enggak?” sahut Alf pura-pura bodoh. “Ya udah, atuh. Si Ipong yang mau bikin pengakuan,
ceunah. Kemarin SMS ke aing,” dustanya. ”Katanya, dia bogoh sama kamu udah lama, Rika, dari
SMP. Tapi malu mau bilang—”
“Gandeng, anjing!”
salak Ipong.
Anak-anak terperangah.
“Pong, ngomong deui
lah, Pong!”
“Meni sok jaim, ih!
Geuleuh, anjir!”
Ipong menggeleng.
Adip yang duduk di samping Ipong serta-merta menggelitiki
anak itu tanpa ampun sampai terlontar sumpah serapah dari mulutnya. Anak-anak
ikut kegelian. Suara Ipong bukan lagi suara bocah SD, ataupun Michael Jackson
ketika masih bersama Jackson 5! Suara Ipong kini rendah! Mereka pada
menyelamati Ipong tanpa lupa mencuri kesempatan untuk menepuk-nepuk kepalanya,
atau menyalami tangannya dan menempelkan punggung tangan ke jidat anak yang
kini dianggap sudah beranjak remaja itu.
“Entar lagi kumisan, berewokan. Ih, macho!”
“Entar lagi setinggi Papa Deraz, ya.”
“Besok masuk SMP, eh, SMA, ya, Dek Ipong.”
“Stop dedek-dekekin gue, anjir!” Memang sudah tidak berguna
bagi Ipong menyembunyikan suaranya yang baru di depan anak-anak.
“Wooo, mentang-mentang udah gede …!”
“Pong, Ipong,” tiba-tiba Deraz memanggil, sembari
menepuk-nepuk pahanya, “sini, dipangku sama Papa.”
Anak-anak meledak. Mereka sama sekali tidak menyangka Deraz
mendadak kocak!
“Moal dipinjemin
kaset deui, siah!” Ipong menunjuk
Deraz penuh ancaman. Yang ditunjuk cuma ikut tertawa bersama anak-anak lain.
“Kasih Ipong hadiah, yuk!” ada yang berseru
“Oh, iya. Kita kan punya kado kedewasaan. Biar cepet tumbuh
bulu!”
Ipong tahu yang akan terjadi. Tetapi tubuhnya masih kalah
besar dibandingkan dengan cowok-cowok OSIS yang lain.
“Nanaonan ari sia,
anjing …!” teriak Ipong begitu mereka mengangkatnya. Ia hampir berhasil
melepaskan diri, namun anak-anak segera menangkapnya lagi sambil tertawa-tawa
penuh horor.
“Tah, di ditu!” Alf
menunjung sebatang besi hitam yang tegak menantang. Semakin Ipong meronta,
semakin kuat anak-anak memeganginya.
“Satu …!” anak-anak mulai menghitung.
“Allahuakbar!” sahut Ipong.
“Dua …!”
“Aaa …!”
“Tiga …!”
“Cukup, anjeeeeng!”
“Eh, si Ipong teh berapa
usianya sekarang?”
“Tujuh belas tahun April kemarin!” seru Rieka.
“Ooo …” anak-anak bersorak.
“Empat …!”
“Aaa ….!”
Sudah jelas, koordinasi pagi itu kacau-balau. Tetapi kali ini
Deraz tidak mangkel. Malah ia turut memegangi kaki Ipong yang histeris.
Setelah hitungan ketujuh belas, mereka serempak menjatuhkan
Ipong lalu berlari sejauh-jauhnya sambil tertawa puas.
Walaupun sudah dicopot dari jabatan
ketua panitia, Deraz diizinkan Alf membantu pelaksanaan acara OSIS-DKM. Pada
saat inilah Deraz tersentuh karena menyadari bahwa walaupun rapat kerap kali
berjalan dengan kacau, tidak serius, dan diwarnai banyak candaan garing, namun
anak-anak OSIS benar-benar sigap ketika bekerja. Tidak terkecuali dalam
kepanitiaan bersama DKM. Walaupun rapat diisi banyak perbedaan pendapat, namun
dalam pelaksanaan di lapangan anak-anak OSIS dan anak-anak DKM menunjukkan
bahwa mereka dapat bekerja sama. Setiap kali hendak bertemu anak-anak DKM dan
memulai pekerjaan, anak-anak OSIS melingkar dulu untuk menyatukan hati dan
pikiran serta berdoa. Alf mengajak anak-anak berangkulan dalam lingkaran itu
dan menambahkan, “Kita lakukan ini untuk saudara kita tersayang dan tertampan,
Arderaz Haekal.”
“Yeah!” seru anak-anak.
Acara bersama Aa Gym berlangsung
dengan lancar.
Saat festival nasyid, tidak hanya
anak-anak KOMBAS dan kelompok nasyid DKM yang unjuk gigi, tetapi juga
cowok-cowok OSIS membentuk tim akapela dengan tentu saja Ipong menjadi
pelatihnya sedang Deraz dikecualikan dengan alasan dapat mengganggu
keharmonisan suara. Deraz tidak tersinggung karena memang tidak hendak
mempermalukan diri bersama anak-anak itu. Ia malah menikmati mereka berlatih
keras membawakan “Kasih Putih” dari Snada secara dadakan ketika waktu sudah
begitu mepet.
Saat outbond, tiap pos dijaga oleh tim yang masing-masing terdiri dari
satu wakil OSIS beserta satu wakil DKM dengan jenis kelamin yang sama. Deraz
menyaksikan sendiri kekompakan setiap tim dalam membuat permainan untuk
anak-anak panti asuhan yang menjadi peserta, sebab ia menjadi pemandu salah
satu kelompok berpasangan dengan seorang akhwat.
Namun sampai sejauh itu Deraz tidak
kunjung melihat Zahra di antara anak-anak DKM. Apakah gadis itu tidak
meneruskan niatnya untuk bergabung bersama DKM? Tentu saja Deraz segan
menanyakannya pada anak-anak DKM, pada siapa pun. Ia sempat berpikiran bahwa
jika Zahra sudah tidak bergabung bersama DKM lagi, apakah artinya gadis itu
diam-diam memihak Deraz? Namun Deraz terus menahan keinginan untuk mencari
nomor baru Zahra ataupun menyamperinya ke rumah. Masih hangat di benak Deraz
paras Zahra yang berusaha keras menahan tangis ketika ia mengembalikan diary gadis itu, juga dadanya sendiri
yang membiru. Benar-benar akhir yang mantap untuk menyudahi hubungan. Kau yang memulai, kau yang mengakhiri.
Mungkin nanti saja setelah pulang
dari Jerman, pikir Deraz.
Sejak penampilan pertamanya di MOS,
Deraz mengerahkan kemampuan terbaiknya sebagai ketua SADIS. Para SIMBA putri
yang tadinya hendak mengeceng “akang yang itu” jadi pada mengurungkan niat.
Ironisnya, Fernando kerap kali mendapat sangsi, yang menjadi perkara begitu
acara MOS hari itu diakhiri dan panitia berkumpul untuk rapat.
“Raz, kok gue kena melulu sih? Kalau
ngasih hukuman jangan sadis-sadis dong! Mentang-mentang SADIS!” protes Ipong
yang lengan dan perutnya mulai sakit akibat kebanyakan push up.
“Soalnya kamu tuh sedikit-sedikit
tidur, sedikit-sedikit ngobrol. Kalau kamu dikecualikan, nanti SIMBA-SIMBA pada
curiga,” Deraz mengemukakan alasannya dengan tenang.
“Puguh
gue teh ngobrol biar enggak
ketiduran. Panitia kalau bikin acara yang rame dong!” tuding Ipong.
“Dek Ipong nakal sih, jadi dihukum
Papa,” balas anak-anak dengan kompor.
“Enggak apa-apa, Pong. Biar kelar MOS
badan kamu jadi kekar—six pack kayak
Papa Deraz!” Jati meredakan Ipong dengan cara yang tidak berhasil.
Seminar remaja islami jadi disisipkan
ke agenda MOS, dengan SIMBA-SIMBA nonmuslim diberikan acara sendiri bersama
ekskul kerohanian masing-masing. Entah bagaimana, anak-anak OSIS berhasil
melobi anak-anak DKM hingga mereka setuju untuk mengubah tema menjadi “Jihad
Pemuda di Era Modern”. Sudah begitu, ustaznya ternyata paman Alf sendiri yang
memang biasa menjadi khatib di masjid-masjid besar di Kota Bandung—yang tentu
saja menjadi bahan olokan baru bagi anak-anak OSIS.
“Anjir, parah lu, Alf. Durhaka lu
sama uak lu!” kata anak-anak dengan nada geli.
“Alf, kapan mau nampilin kakek lu di
SMANSON, Alf? Kakek Sugiono?”
“Kakek kamu orang Jawa, Alf? Namanya
Sugiono?” tanya cewek-cewek.
Cowok-cowok menjawabnya dengan
mengakak.
“Yang penting dapat pembicara!” kilah
Alf.
Tentu saja Deraz ikut menghadiri
seminar itu. Sebagai bagian dari seksi SADIS, tugasnya menandai SIMBA-SIMBA
yang mengobrol atau tertidur untuk nantinya dijatuhi sangsi.
Dengan sendirinya isi seminar itu
sedikit-sedikit masuk ke kepala Deraz. Paman Alf mengatakan bahwa jihad yang
paling besar itu adalah jihad melawan hawa nafsu, apalagi bagi pemuda yang
sudah memasuki usia akil balig. Masa muda adalah masa ketika syahwat mulai
bergejolak. Maka jihad pemuda adalah perjuangan menundukkan hawa nafsunya
justru ketika tarikannya sedang begitu hebat. Malah pemuda yang mengisi masa
muda dengan kegiatan-kegiatan yang diridai Allah merupakan salah satu di antara
tujuh golongan yang akan dinaungi oleh-Nya pada hari ketika tidak ada naungan
sama sekali.
Paman Alf yang bisa dibilang hampir
kakek itu sama sekali tidak menyebut kata “pacaran” dan semacamnya, malah
menganjurkan anak-anak supaya berfokus pada menuntut ilmu yang sesungguhnya
berkaitan erat dengan keimanan. “Nah, ini juga masukan bagi bapak-bapak dan
ibu-ibu pendidik sekalian …” ujar Paman Alf pada guru-guru yang juga ikut
menghadiri seminar tersebut.
Sesaat Deraz teralihkan dari
mengawasi para SIMBA. Semua yang dikatakan Paman Alf itu telah disampaikan Pak
Karman padanya. Orang yang kuat itu yang
dapat mengendalikan hawa nafsunya. Tetapi, bagaimanakah mengendalikan
kekhilafan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar