Selasa, 25 Desember 2018

(54)

Di samping rangkaian acara bersama DKM, anak-anak OSIS mulai mempersiapkan MOS. Kali ini Jati yang menjadi ketua panitia. Deraz ditunjuknya menjadi ketua SADIS.

“Kamu enggak usah acting lagi, Raz. Kamu diem aja tampang kamu udah sadis,” Jati membeberkan alasannya.

“Sadis tapi tampan, heu euh,” Alf menceletuk.

“Tampan tapi sadis,” Jati membetulkan. “Ini proker terakhir kita sebelum ganti kepengurusan. Beri penampilan terbaik kamu, ya, Raz.”

“Ya udah,” Deraz menyanggupi. Anak emas pengurus OSIS tahun sebelumnya memang siap mengemban amanah apa saja.

Tercetus gagasan untuk menghadirkan SIMBA gadungan seperti pada MOS-MOS sebelumnya. Anak-anak kontan memikirkan Ipong.

Embung!” tolak Ipong.

“Aaah, Ipong jangan gitu. Siapa lagi kalau bukan kamu?”

“Banyak kali anak lain,” tanggap Ipong.

“Tapi kamu satu-satunya kandidat yang memenuhi syarat, Pong.”

“Enggak mau tahu. Pokoknya Ipong,” Jati menuliskan nama Ipong pada rumusan panitia.

“Hidup Ipong!”

“HIDUP IPONG!” Anak-anak mengepalkan tangan ke atas.

“Namanya siapa, ya?” tanya Jati.

“Fernando! Fernando!”

“Fernando Jose!”

“Fernando,” tulis Jati. “Ceritanya kamu siswa baru dari Meksiko, ya. Bapak kamu diplomat di sana.”

Embung, anjir!” Ipong terus merajuk.

“Ibu kamu namanya Soraya Velasquez. Bapaknya Arderaz Haekal.”

Anak-anak mengakak.

“Bapaknya SADIS, anjir, diplomat Indonesia tapi diam-diam gabung sama kartel narkoba,” Gilang mulai mengarang bebas. “Ibunya punya pabrik TOA di Meksiko buat diekspor ke Indonesia.”

Naon sih, bawa-bawa TOA wae,” protes Soraya. “Mending gue punya pabrik fashion!”

“Lu mau jadi juragan sombrero, Ya?”

“Biarin aja lagi, sombrero kan bentuknya kayak TOA!”

“Ih, fashion kan enggak cuma TOA—eh, topi!” balas Soraya.

“Kalau buat lu mah TOA bagian dari fashion, Ya! Nempel di bibir tiap hari, dibawa ke mana-mana.”

Deraz menggeleng-geleng saja menyimak candaan anak-anak sembari mesem. Sejenak ia melupakan kegundahannya belakangan ini.

Liburan pergantian tahun ajaran diisi oleh persiapan MOS. Anak-anak mempertanyakan Ipong yang sejak hari terakhir tahun ajaran kemarin belum kunjung terlihat.

“Ditelepon enggak diangkat. Balasnya lewat SMS doang. Lagi sakit ceunah,” kata Jati. “Kalau radang tenggorokan tuh sakitnya berapa lama sih?”

“Lagi sibuk pendaftaran siswa baru, meureun,” canda anak-anak.

“Beli seragam SMA.”

“Penghayatan peran.”

“Mentang-mentang jadi SIMBA gadungan, anjir,” keluh Jati.

“Ngambek, meureun, enggak mau jadi SIMBA gadungan.”

“Aaah, enggak profesional!”

Ipong baru nongol pada penghujung liburan, koordinasi terakhir sebelum besoknya MOS dimulai. Anak-anak menyambutnya dengan tegur sapa dan canda ria. Namun Ipong menanggapi mereka dengan dingin, tanpa suara. Ia cuma menjawab dengan ekspresi wajah, gerakan kepala atau bahu. Biarpun dikata-katai, ia bergeming. Koordinasi dimulai.

“Ipong, gimana kesiapan kamu sebagai Fernando? Seragam SMP kamu masih muat, kan?” tanya Jati ketika sampai pada giliran Ipong.

Ipong mengangguk.

Anak-anak memandanginya dengan gemas.

“Biasanya maneh cerewet, Pong.”

Ipong mengangkat bahu, yang malah membikin anak-anak bertambah gemas.

“Pong,” Alf yang duduk di seberang Ipong dalam lingkaran tiba-tiba berkata, yang turut menarik perhatian anak-anak. “Si Rika katanya mau bikin pengakuan.”

“Eh, apa, Alf?” tegur Rieka, si kembang SMANSON yang telah berhasil mengubah pacarnya—cowok paling cantik satu sekolah—menjadi tampan akhir-akhir ini.

“Oh, enggak?” sahut Alf pura-pura bodoh. “Ya udah, atuh. Si Ipong yang mau bikin pengakuan, ceunah. Kemarin SMS ke aing,” dustanya. ”Katanya, dia bogoh sama kamu udah lama, Rika, dari SMP. Tapi malu mau bilang—”

Gandeng, anjing!” salak Ipong.

Anak-anak terperangah.

“Pong, ngomong deui lah, Pong!”

Meni sok jaim, ih! Geuleuh, anjir!”

Ipong menggeleng.

Adip yang duduk di samping Ipong serta-merta menggelitiki anak itu tanpa ampun sampai terlontar sumpah serapah dari mulutnya. Anak-anak ikut kegelian. Suara Ipong bukan lagi suara bocah SD, ataupun Michael Jackson ketika masih bersama Jackson 5! Suara Ipong kini rendah! Mereka pada menyelamati Ipong tanpa lupa mencuri kesempatan untuk menepuk-nepuk kepalanya, atau menyalami tangannya dan menempelkan punggung tangan ke jidat anak yang kini dianggap sudah beranjak remaja itu.

“Entar lagi kumisan, berewokan. Ih, macho!”

“Entar lagi setinggi Papa Deraz, ya.”

“Besok masuk SMP, eh, SMA, ya, Dek Ipong.”

“Stop dedek-dekekin gue, anjir!” Memang sudah tidak berguna bagi Ipong menyembunyikan suaranya yang baru di depan anak-anak.

“Wooo, mentang-mentang udah gede …!”

“Pong, Ipong,” tiba-tiba Deraz memanggil, sembari menepuk-nepuk pahanya, “sini, dipangku sama Papa.”

Anak-anak meledak. Mereka sama sekali tidak menyangka Deraz mendadak kocak!

Moal dipinjemin kaset deui, siah!” Ipong menunjuk Deraz penuh ancaman. Yang ditunjuk cuma ikut tertawa bersama anak-anak lain.

“Kasih Ipong hadiah, yuk!” ada yang berseru

“Oh, iya. Kita kan punya kado kedewasaan. Biar cepet tumbuh bulu!”

Ipong tahu yang akan terjadi. Tetapi tubuhnya masih kalah besar dibandingkan dengan cowok-cowok OSIS yang lain.

Nanaonan ari sia, anjing …!” teriak Ipong begitu mereka mengangkatnya. Ia hampir berhasil melepaskan diri, namun anak-anak segera menangkapnya lagi sambil tertawa-tawa penuh horor.

Tah, di ditu!” Alf menunjung sebatang besi hitam yang tegak menantang. Semakin Ipong meronta, semakin kuat anak-anak memeganginya.

“Satu …!” anak-anak mulai menghitung.

“Allahuakbar!” sahut Ipong.

“Dua …!”

“Aaa …!”

“Tiga …!”

“Cukup, anjeeeeng!”

“Eh, si Ipong teh berapa usianya sekarang?”

“Tujuh belas tahun April kemarin!” seru Rieka.

“Ooo …” anak-anak bersorak.

“Empat …!”

“Aaa ….!”

Sudah jelas, koordinasi pagi itu kacau-balau. Tetapi kali ini Deraz tidak mangkel. Malah ia turut memegangi kaki Ipong yang histeris.

Setelah hitungan ketujuh belas, mereka serempak menjatuhkan Ipong lalu berlari sejauh-jauhnya sambil tertawa puas.

 

Walaupun sudah dicopot dari jabatan ketua panitia, Deraz diizinkan Alf membantu pelaksanaan acara OSIS-DKM. Pada saat inilah Deraz tersentuh karena menyadari bahwa walaupun rapat kerap kali berjalan dengan kacau, tidak serius, dan diwarnai banyak candaan garing, namun anak-anak OSIS benar-benar sigap ketika bekerja. Tidak terkecuali dalam kepanitiaan bersama DKM. Walaupun rapat diisi banyak perbedaan pendapat, namun dalam pelaksanaan di lapangan anak-anak OSIS dan anak-anak DKM menunjukkan bahwa mereka dapat bekerja sama. Setiap kali hendak bertemu anak-anak DKM dan memulai pekerjaan, anak-anak OSIS melingkar dulu untuk menyatukan hati dan pikiran serta berdoa. Alf mengajak anak-anak berangkulan dalam lingkaran itu dan menambahkan, “Kita lakukan ini untuk saudara kita tersayang dan tertampan, Arderaz Haekal.”

“Yeah!” seru anak-anak.

Acara bersama Aa Gym berlangsung dengan lancar. 

Saat festival nasyid, tidak hanya anak-anak KOMBAS dan kelompok nasyid DKM yang unjuk gigi, tetapi juga cowok-cowok OSIS membentuk tim akapela dengan tentu saja Ipong menjadi pelatihnya sedang Deraz dikecualikan dengan alasan dapat mengganggu keharmonisan suara. Deraz tidak tersinggung karena memang tidak hendak mempermalukan diri bersama anak-anak itu. Ia malah menikmati mereka berlatih keras membawakan “Kasih Putih” dari Snada secara dadakan ketika waktu sudah begitu mepet.

Saat outbond, tiap pos dijaga oleh tim yang masing-masing terdiri dari satu wakil OSIS beserta satu wakil DKM dengan jenis kelamin yang sama. Deraz menyaksikan sendiri kekompakan setiap tim dalam membuat permainan untuk anak-anak panti asuhan yang menjadi peserta, sebab ia menjadi pemandu salah satu kelompok berpasangan dengan seorang akhwat.

Namun sampai sejauh itu Deraz tidak kunjung melihat Zahra di antara anak-anak DKM. Apakah gadis itu tidak meneruskan niatnya untuk bergabung bersama DKM? Tentu saja Deraz segan menanyakannya pada anak-anak DKM, pada siapa pun. Ia sempat berpikiran bahwa jika Zahra sudah tidak bergabung bersama DKM lagi, apakah artinya gadis itu diam-diam memihak Deraz? Namun Deraz terus menahan keinginan untuk mencari nomor baru Zahra ataupun menyamperinya ke rumah. Masih hangat di benak Deraz paras Zahra yang berusaha keras menahan tangis ketika ia mengembalikan diary gadis itu, juga dadanya sendiri yang membiru. Benar-benar akhir yang mantap untuk menyudahi hubungan. Kau yang memulai, kau yang mengakhiri.

Mungkin nanti saja setelah pulang dari Jerman, pikir Deraz.

 

Sejak penampilan pertamanya di MOS, Deraz mengerahkan kemampuan terbaiknya sebagai ketua SADIS. Para SIMBA putri yang tadinya hendak mengeceng “akang yang itu” jadi pada mengurungkan niat. Ironisnya, Fernando kerap kali mendapat sangsi, yang menjadi perkara begitu acara MOS hari itu diakhiri dan panitia berkumpul untuk rapat.

“Raz, kok gue kena melulu sih? Kalau ngasih hukuman jangan sadis-sadis dong! Mentang-mentang SADIS!” protes Ipong yang lengan dan perutnya mulai sakit akibat kebanyakan push up.

“Soalnya kamu tuh sedikit-sedikit tidur, sedikit-sedikit ngobrol. Kalau kamu dikecualikan, nanti SIMBA-SIMBA pada curiga,” Deraz mengemukakan alasannya dengan tenang.

Puguh gue teh ngobrol biar enggak ketiduran. Panitia kalau bikin acara yang rame dong!” tuding Ipong.

“Dek Ipong nakal sih, jadi dihukum Papa,” balas anak-anak dengan kompor.

“Enggak apa-apa, Pong. Biar kelar MOS badan kamu jadi kekar—six pack kayak Papa Deraz!” Jati meredakan Ipong dengan cara yang tidak berhasil.

Seminar remaja islami jadi disisipkan ke agenda MOS, dengan SIMBA-SIMBA nonmuslim diberikan acara sendiri bersama ekskul kerohanian masing-masing. Entah bagaimana, anak-anak OSIS berhasil melobi anak-anak DKM hingga mereka setuju untuk mengubah tema menjadi “Jihad Pemuda di Era Modern”. Sudah begitu, ustaznya ternyata paman Alf sendiri yang memang biasa menjadi khatib di masjid-masjid besar di Kota Bandung—yang tentu saja menjadi bahan olokan baru bagi anak-anak OSIS.

“Anjir, parah lu, Alf. Durhaka lu sama uak lu!” kata anak-anak dengan nada geli.

“Alf, kapan mau nampilin kakek lu di SMANSON, Alf? Kakek Sugiono?”

“Kakek kamu orang Jawa, Alf? Namanya Sugiono?” tanya cewek-cewek.

Cowok-cowok menjawabnya dengan mengakak.

“Yang penting dapat pembicara!” kilah Alf.

Tentu saja Deraz ikut menghadiri seminar itu. Sebagai bagian dari seksi SADIS, tugasnya menandai SIMBA-SIMBA yang mengobrol atau tertidur untuk nantinya dijatuhi sangsi.

Dengan sendirinya isi seminar itu sedikit-sedikit masuk ke kepala Deraz. Paman Alf mengatakan bahwa jihad yang paling besar itu adalah jihad melawan hawa nafsu, apalagi bagi pemuda yang sudah memasuki usia akil balig. Masa muda adalah masa ketika syahwat mulai bergejolak. Maka jihad pemuda adalah perjuangan menundukkan hawa nafsunya justru ketika tarikannya sedang begitu hebat. Malah pemuda yang mengisi masa muda dengan kegiatan-kegiatan yang diridai Allah merupakan salah satu di antara tujuh golongan yang akan dinaungi oleh-Nya pada hari ketika tidak ada naungan sama sekali.

Paman Alf yang bisa dibilang hampir kakek itu sama sekali tidak menyebut kata “pacaran” dan semacamnya, malah menganjurkan anak-anak supaya berfokus pada menuntut ilmu yang sesungguhnya berkaitan erat dengan keimanan. “Nah, ini juga masukan bagi bapak-bapak dan ibu-ibu pendidik sekalian …” ujar Paman Alf pada guru-guru yang juga ikut menghadiri seminar tersebut.

Sesaat Deraz teralihkan dari mengawasi para SIMBA. Semua yang dikatakan Paman Alf itu telah disampaikan Pak Karman padanya. Orang yang kuat itu yang dapat mengendalikan hawa nafsunya. Tetapi, bagaimanakah mengendalikan kekhilafan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain