Jerih payah Deraz terbayarkan. Memang sudah sepantasnya kali
ini ia lolos seleksi debat tingkat regional ke ISDC. Deraz optimistis ia bisa
lolos sampai ke WSDC.
Selama delapan hari Deraz menjalani
kehidupan yang sibuk di hotel dekat Taman Safari. Bersama kedua rekannya
sebagai tim dari Jawa Barat, setiap hari ia melalui tiga kali penyisihan,
mengalahkan tim demi tim dari berbagai provinsi di Indonesia, menembus enam
belas besar, perdelapan final, perempat final, semifinal, ….
Walaupun tak terhitung jam yang ia
habiskan untuk membahas mosi demi mosi bersama timnya sampai rasanya mau jadi
gila. Walaupun para perwakilan dari Bali dan DKI Jakarta sungguh tak boleh
dipandang sebelah mata. Walaupun tiap hari ia mendapat menu yang nyaris sama:
teh atau kopi tiga kali sehari, nasi goreng tiap pagi, puding tiap malam.
Walaupun seiring dengan berlalunya hari bekalnya niscaya menipis hingga sama
sekali habis, namun tidak ada banyak waktu untuk berburu makanan lain yang
layak di lidahnya sehingga ia harus menerima apa adanya sajian yang sudah
disediakan. Walaupun hujan kerap turun dan ia mesti lari-lari dari gedung ke
gedung, ruangan ke ruangan. Walaupun ia mesti begadang terus-terusan dan hanya
dapat terkapar barang beberapa jam hingga subuh kembali menjelang. Walaupun
seragam yang dibawanya hanya dua setel hingga pada hari-hari terakhir ia sudah
tidak betah mengenakannya. Walaupun wajahnya yang kesal, letih, mengantuk, atau
mumet kerap menjadi sasaran para juru foto.
Namun ia menikmati semua itu. Ia
berkenalan dengan banyak orang dari seantero Indonesia. Ia sekamar dengan
perwakilan dari Kalimantan. Anak-anak Papua sangat ramah. Yang berasal dari
Sumatra pada seru. Lucu mendapati sebagian peserta mencoba memanfaatkan
kesempatan ini untuk menanam bibit-bibit asmara.
Ada juga cewek-cewek yang tampaknya
mencoba menarik perhatian Deraz. Tetapi Deraz lebih tertarik untuk mengecek
ponselnya, tiap kali ada kesempatan dan terutama ketika sedang merasa suntuk.
Sekarang Deraz sudah biasa mengirim SMS yang isinya sekadar, “Lagi apa?” Jika
belum ada SMS baru dari Zahra, ia membaca ulang kiriman gadis itu yang
disimpannya di kotak draf. Zahra sepertinya punya koleksi SMS bergambar lucu
dan mengirimkannya satu per satu, selalu tepat ketika Deraz sedang membutuhkan
semangat. Contohnya:
Happiness, Zahra.
Tetapi tidak apa-apa. Mungkin
saking mengantuk, Zahra tidak sempat mengedit. Memang Zahra kerap menemaninya
begadang, walaupun dari kejauhan dan Deraz tidak selalu sempat membalas.
Di mata Deraz, SMS semacam itu hanya
berupa susunan karakter dan simbol yang entah bagaimana dianggap sebagai gambar
beruang, bintang, orang, dan sebagainya dengan beragam ekspresi. Yang ditangkap
oleh Deraz hanya kata-katanya. Itu, dan yang penting niatnya.
Menerima SMS saja sudah meresapkan
sedikit hepines—happiness, apalagi ketika menelepon si dia. Zahra sudah membeli
nomor baru dari provider yang sama
dengan milik Deraz. Jika ada waktu sedikit lapang, Deraz menyempatkan untuk
menelepon Zahra walau hanya beberapa menit dan sambil sesekali mengecek arloji.
Jika diakumulasikan, selama delapan hari itu ia menelepon Zahra hanya sekitar
lima belas menit. Namun lima belas menit itu cukup untuk mengembuskan tim Jawa
Barat ke grand final melawan tim dari
Bali, yang tak terkalahkan.
Zahra begitu perasa hingga kerap
meminta maaf jika SMS kirimannya mengganggu Deraz. Tentu saja tidak, Zahra.
Deraz pandai membagi fokus dan waktu. Setidaknya, Deraz terus mengupayakannya
hingga momen ini tiba. Ia sudah bertekad bahwa antara prestasi dan hubungannya
dengan Zahra mesti dapat berjalan beriringan, bahkan saling mendukung. Selain
itu, sebelum menutup telepon, Zahra selalu mengingatkan Deraz untuk memohon
kelancaran kepada Allah dan bertawakal. Kurang apa lagi, coba?
Tibalah malam ketika semua orang
berpakaian formal dan berada di ruangan besar yang megah. Lima belas pembicara
terbaik akan diumumkan. Walaupun Deraz tahu bahwa namanya akan disebut
belakangan, namun setiap nama baru diumumkan dan urutan pembicara terbaik
semakin naik ke nomor yang lebih kecil, jantungnya berdebar. Ia tersenyum
menyaksikan teman-teman barunya satu per satu naik ke panggung dan menerima
penghargaan.
“The ninth best speaker.”
Deraz tengah berbincang dengan
orang di sampingnya.
“Congratulations.”
Lalu anak-anak yang duduk di
belakangnya menimbrung.
“From Jawa Barat.”
Delapan hari kebersamaan telah
menjadikan mereka begitu akrab.
“Arderaz Haekal.”
Anak-anak di sekitar Deraz serempak
menganga. Mereka menepuk-nepuk pundak Deraz agar segera maju. Serta-merta Deraz
berdiri, menyambut jabatan tangan mereka, dan tersenyum. Namun, sementara
berjalan ke panggung, ia linglung.
Apa barusan tadi? The ninth best speaker? The NINTH?!
Ia kembali ke tempat duduknya
dengan mengalungi medali dan mengapit map.
“Selamat, ya, Arderaz!” Anak-anak
yang belum sempat menyelamati menyambutnya.
Deraz menerima semua itu diriingi
senyum lebar dan ucapan terima kasih.
Malam semakin larut. Sebagian anak
masih bersukaria. Ada yang jajan sate. Ada pasangan yang jadian. Mereka tampak
tak memusingkan hasil yang telah diumumkan. Malah sebagian sudah bersyukur
hanya dengan mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam ISDC. Persiapan
mereka pun seadanya.
Deraz duduk membungkuk di tepi
kasur, membelakangi teman sekamarnya yang sudah terkapar. Ia masih bertanya-tanya
apakah gerangan yang salah. Jangankan menjadi delegasi Indonesia ke WSDC
berikutnya, masuk ke daftar delapan pembicara terbaik saja tidak! The ninth best speaker?! The NINTH?! Why not eight, at least?! Setidaknya, beri ia kesempatan untuk
bersaing dalam seleksi menuju WSDC dan meningkatkan posisinya dari kedelapan
menjadi yang pertama!
Kalau anak-anak OSIS akan bilang, Nanggung pisan, anjir!
Padahal sudah berkali-kali ia
mendapatkan predikat Best Speaker
dari lomba-lomba debat yang pernah diikutinya. Segala usaha dan prestasinya di
dunia debat selama bertahun-tahun ini seolah-olah tidak ada artinya.
Ia tidak segetol Renata yang gemar
membawa handycam ke setiap lomba,
sehingga tidak ada rekaman yang bisa diamatinya benar-benar. Ia hanya dapat
mengandalkan memorinya, mengingat-ingat penampilannya sendiri serta penampilan
orang lain. Ia bahkan meragukan para juri. Ia mengingat-ingat kedelapan
pembicara terbaik yang mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi ke WSDC.
Mereka rata-rata berasal dari Bali dan DKI Jakarta, dan ada satu rekannya dari
Jawa Barat yang termasuk. Memang penampilan mereka outstanding. Percaya diri. Penguasaan bahasa Inggris yang sempurna.
Penuturan argumen yang rapi dan telak. Deraz harus mengakui itu.
Tetapi ia juga merasa telah berusaha
semaksimal mungkin.
Am I not good enough yet for international level? Deraz menangkupkan wajahnya pada kedua belah tangan.
Getaran ponsel mengusiknya. Ia
menoleh pada benda yang menggeletak di sampingnya itu dan mendapati pesan baru.
Zahra? Pukul dua pagi begini?
Lagi-lagi gadis itu mengirim SMS
dengan gambar yang entah apa, tetapi kali ini diiringi kalimat:
“Dengan nama Allah aku bertawakal kepada-Nya dan tiada daya serta upaya
kecuali dengan izin Allah.”
Tawakal? Deraz mengingat-ingat arti
kata tersebut.
Masakkah memang ini yang terbaik
untuknya?
Ia sadar belum memberitakan apa pun
tentang malam ini pada Zahra.
“Belum tidur?” Ia membalas SMS
Zahra.
Tidak lama kemudian, “Belum.”
“Boleh telepon?”
“Boleh.”
Deraz keluar dari kamar. Ia
melewati Pintu Darurat lalu duduk di tangga.
“Hei,” sapanya begitu Zahra
mengangkat telepon.
“Halo,” suara Zahra pelan.
“Aku enggak lolos,” sahut Deraz.
“Oh.”
“Tapi enggak apa-apa. Aku udah
bikin kemajuan dari tahun kemarin,” Deraz memasang nada tegar. Ia melanjutkan
dengan berbagai pengalaman positif yang diperolehnya selama hari-hari ini.
Secara keseluruhan, ia baik-baik saja. Begitulah yang ingin ditampakkannya pada
Zahra.
Baru disadarinya kemudian bahwa
sedari tadi cuma ia yang bersuara. “Kamu … belum tidur?” akhirnya ia berujar.
“Belum. Enggak bisa tidur.”
“Tumben. Biasanya kamu nempel
langsung molor.”
“Ih, kamu ….”
Terlintas oleh Deraz bahwa
mungkinkah Zahra tidak bisa tidur karena memikirkannya? Toh Deraz sudah memberi
tahu Zahra sebelumnya bahwa malam ini ada pengumuman penting.
Tetapi itu sudah tidak penting lagi
kini.
Sesaat kemudian Deraz menjadi
bagian dari anak-anak yang bersukaria dan penuh syukur. Ia bercakap dengan
Zahra hingga menjelang subuh. Definisi tentang si dia pun berkembang.
Dia bukan hanya yang menemani dalam perjalanan terjal menuju puncak,
melainkan juga yang hadir ketika terjatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar