Jumat, 27 September 2019

Mulai Belajar Menggambar dan Mewarnai dengan Buku untuk Anak TK/PAUD--Berapa Pun Usiamu

Semasa kuliah, saya berpikiran untuk meneruskan berlatih menggambar. Bukan berarti sebelumnya saya pernah rutin berlatih menggambar sih. Cuma sewaktu SMP sepertinya saya cukup sering menggambar, sampai berangan-angan muluk jadi mangka yang bekerja di Jepang.

Tapi rupanya saya enggak punya cukup passion dalam kegiatan ini sehingga bisa konsisten mencoba atau mencari sebanyak-banyaknya referensi. Saya menggambar sesekali atau sesukanya saja.

Ketika kuliah timbul pikiran untuk memulai lagi, saya mencari panduan, mulai dari internet (waktu itu Youtube belum sepopuler sekarang) hingga Buku Besar Menggambar terbitan Erlangga, meniru model di majalah, juga membeli buku gambar A3 beserta berbagai alat mewarnai.

Tapi, panduan yang saya peroleh agaknya kurang menarik atau terlalu kompleks. Saya pikir saya bisa mulai menggambar dan mewarnai asal saja. Saya pun mencoba. Karena hasilnya jelek, saya tidak tertarik untuk meneruskan.

Di samping itu, sepertinya saya enggak memiliki tujuan yang cukup kuat untuk menjaga kegiatan itu agar terus berlangsung. Sepertinya tujuan saya menggambar hanya untuk bersenang-senang. Tapi, kita tahu, betapapun banyaknya kesenangan di dunia ini, sesungguhnya semua itu fana. (#apasih)

Baru-baru ini, lama setelah saya bukan lagi mahasiswi, timbul kembali pikiran untuk kembali menggambar--belajar menggambar. Kali ini, saya punya tujuan--please, jangan ketawa: bikin kover buku sendiri. Memang, enggak semuluk jadi mangaka yang bekerja di Jepang. Soalnya, platform kepenulisan digital sekarang ini menuntut penulis untuk sekaligus menjadi desainer grafis.

Maksudnya, kalau kita mau memajang tulisan di platform semacam itu, sebaiknya kita menampilkan kover yang menarik pengunjung untuk mengeklik. Don't judge book by its cover itu bullshit. Beberapa teman telah mengajukan beberapa masukan soal kover. Tapi saya merasa tidak bisa mengandalkan aplikasi ataupun membayar orang untuk itu. Ekspektasi saya membubung: kalau saya mesti merancang kover sendiri, maka kover itu mestilah meaningful--paling enggak, dapat memberikan gambaran mengenai isi cerita, bukan soal estetika semata. Aplikasi paling-paling memberikan gambar yang begitu-begitu saja, sementara saya segan meminta bantuan orang lain agar dapat memenuhi selera saya (rewel sih).

Resolusi: sebaiknya saya belajar mendesain kover sendiri.

Oke, mungkin itu gagasan yang konyol.

Tapi, di samping tujuan praktis sebagaimana di atas, ada motivasi lain, sehubungan dengan cerita yang lagi berkembang di dalam kepala saya, yang sudah saya utarakan di sini. Saya pikir, untuk mendalami seseorang yang suka menggambar, sebaiknya saya juga menggambar, apalagi dulu memang saya pernah suka menggambar. Jadi, ini sekadar melanjutkan hobi yang tersendat-sendat.

Ditambah lagi, waktu saya leluasa. Karena menggambar merupakan kegiatan hidup yang enggak penting amat (paling enggak, bagi saya yang baru memulai dan sama sekali bukan profesional), maka saya menempatkan waktunya di akhir hari--satu jam sebelum tidur.

Jadi, mulai dari mana?

Di Youtube ada banyak video yang menerangkan tentang dasar-dasar menggambar dan mewarnai. Saya bisa memutar satu video sehari, lalu mempraktikkan yang ditunjukkan. Tapi, rekomendasi video di Youtube cenderung random, iya enggak sih?

Sejak kapan beberapa teman telah merekomendasikan aplikasi Ipusnas kepada saya, namun baru belakangan ada sesuatu dari dalam diri saya sendiri (#apasih) yang mendorong saya untuk memanfaatkannya. Iseng saya masukkan kata kunci 'menggambar' di kolom pencarian dan menemukan daftar buku terkait. Memindai judul-judulnya, saya pun mengeklik buku teratas yang kiranya paling mudah untuk dipraktikkan.

Gambar diambil dari sini.
Buku ini ditulis oleh Inda Nashira, diberi ilustrasi oleh Pandu Dharma, dan diterbitkan Penerbit Zikrul Hakim Lini Gurita cetakan 1, Maret 2014. Karena labelnya "Usia 3+ Tahun", bukan "Usia 3-7 Tahun" atau semacam itu, maka enggak apa-apa dong yang 2*sensor* tahun memanfaatkan buku ini juga?

Saya pun mengunduhnya. Setelah melihat-lihat isinya, perkiraan saya tepat. Buku ini menunjukkan langkah yang sesimpel-simpelnya untuk menggambar aneka hewan, dimulai dari bentuk geometris dasar seperti lingkaran, segitiga, atau persegi panjang, kemudian tambahkan garis-garis lainnya hingga dalam beberapa tahap saja sudah menyerupai wujud yang dimaksudkan.

Karena pada awalnya saya belum siap menggunakan pewarna (tadinya saya ingin belajar menggunakan cat air saja), saya pun mengikuti setiap langkah hanya dengan pensil dan notebook (yang belum saya isi lagi sejak SMA) sebagai berikut.




Tidak disangka, saya merasakan nikmat dalam menarik setiap garis. Kalau tanpa panduan, saya mungkin akan cepat menyerah karena hasilnya akan terlalu abstrak. Dengan panduan, walaupun hasilnya enggak mirip amat dengan yang dicontohkan, sedikit kemiripan rupanya cukup untuk menerbitkan kebanggaan tersendiri.

Saya pun mulai memerhatikan tulisan pada "Kata Pengantar" dan "Petunjuk Orang Tua".

Rupanya kegiatan menggambar ini memiliki beberapa manfaat:
  • melatih kelenturan otot jari tangan dan koordinasi motorik halus, serta
  • membantu mengembangkan imajinasi dan otak.
Hei, tapi kan itu untuk anak-anak TK dan PAUD.

Tapi, tapi, tapi, apakah saya sebagai orang "dewasa" yang berusia sekitar tujuh kali lipat dari anak-anak TK dan PAUD tidak boleh terus melatih kelenturan otot jari tangan dan koordinasi motorik halus serta mengembangkan imajinasi dan otak? Apakah saya tidak berhak terus mengembangkan aspek-aspek kemampuan saya?

Apalagi ini didukung oleh Undang-undang, Pasal 31 (sebelum amandemen) Ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Setelah amandemen, kata "pengajaran" diganti dengan "pendidikan", dengan alasan bahwa pengertian yang pertama lebih sempit daripada yang kedua, tapi toh khusus untuk hal ini saya lebih suka kata yang pertama--"pengajaran" menggambar!

Di "Petunjuk Orang Tua", rupanya alat yang disarankan untuk menggambar adalah krayon.

Sebetulnya saya enggak suka krayon, karena rujit. Selain itu, saya enggak begitu terbiasa menggunakannya sehingga sepertinya hasilnya enggak bakal tampak indah. Tapi apa boleh buat. Lagi pula di rumah tersedia banyak krayon bekas yang campur aduk dari berbagai merek: Crayola, Faber Castell, Pentel .... Ada yang berukuran besar, ada pula yang kecil. Saya memilih krayon yang berukuran kecil saja.

Karena menggambar dengan menggunakan krayon sepertinya memerlukan kertas tebal, maka saya pun menggunakan buku sketsa A5 Kiky isi 50 lembar yang--alhamdulillah--juga sudah tersedia beberapa secara cuma-cuma di rumah. Buku tersebut bekas adik saya sehingga sebagian besar halamannya sudah terisi oleh coretan pensil keababil-ababilan, namun masih terdapat beberapa yang kosong dan layak untuk dimanfaatkan daripada mubazir--iya enggak, iya enggak?

Seperti sebelumnya, saya memulai sesuai dengan urutan halaman, yang dimulai dari ayam jago.

Karena masih enggak yakin dengan krayon, untuk membuat garis luar pada awalnya saya menggunakan spidol hitam untuk papan tulis.

Ternyata kertas buku sketsa enggak cukup tebal karena warna masih bisa tembus ke baliknya.



Ketika menggambar ayam jago ini, saya mendengar penggalan lagu yang berhubungan. Untuk meramaikan pemandangan, saya tuliskan saja liriknya. Walau sedang belajar mengembangkan media yang berbeda (visual), rupanya saya masih belum bisa jauh-jauh dari kata (verbal).


Mendengar penggalan lagu yang berhubungan rupanya terus terjadi sementara saya menggambar binatang yang lain. Terus saya tuliskan liriknya yang saya ingat.



Karena spidol hitam-untuk-papan-tulis yang tersedia di meja saya sudah menipis, maka saya berpikiran untuk menggunakan spidol biasa warna-warni--bekas--yang juga tersedia banyak di rumah.

Maka beginilah pemandangan saya setiap malam belakangan ini. Untuk menghindari kesulitan tidur, sudah lama, setelah magrib, saya hanya menyalakan lampu meja yang remang-remang. Memang akibatnya kadang-kadang tidak begitu mudah membedakan warna--terutama warna-warna gelap atau yang terlalu cerah seperti kuning--juga tidak awas terhadap garis. Tapi keuntungannya: enggak terang amat kalau hasilnya jelek.

Spidol di kanan. Krayon di kiri. Tablet yang memuat buku digital sebagai panduan.
Buku sketsa di tengah-tengah.
Pada awalnya saya sekadar memberikan warna, mau bagaimanapun caranya. Tapi kemudian saya berpikir bahwa jangan-jangan ada petunjuk tentang cara menggunakan krayon yang baik dan benar, alih-alih asal mewarnai. Practice makes perfect, they say. But improper way of practice would lead you nowhere (seperti yang telah terjadi dengan menulis)

Maka saya pun memulai slot yang satu jam dengan menonton satu video Youtube tentang cara menggunakan krayon, atau belakangan sekadar memandangi tangan orang melukis pemandangan dengan oil pastel (yang selama ini saya anggap sama saja dengan krayon). Saya baru mengetahui bahwa ternyata krayon perlu ditekan kuat-kuat, jangan sampai menyisakan yang "putih-putih", dan arah goresan sebaiknya konsisten. Di samping itu, ada trik-trik untuk mencampur warna-warni krayon agar terlihat halus, misalkan dengan menggunakan cotton bud yang telah dibasahi baby oil atau lipatan tisu, juga cara membersihkan hasil dari residu krayon dengan alat tertentu.

Sementara ini, yang saya praktikkan baru menyingkirkan residu dengan tisu dan menekan krayon kuat-kuat ternyata perlu tenaga ekstra!



Soal mewarnai, saya hampir-hampir enggak pernah tertarik untuk membeli buku mewarnai ala-ala mandala yang katanya terapeutik itu. Buat saya, sepertinya buku semacam itu malah bakal berefek sebaliknya: menjengkelkan. Soalnya, saya tahu saya enggak pandai mewarnai. Sebelum ini, bertahun-tahun lalu, ketika orang tua masih berlangganan Pikiran Rakyat yang mengandung Peer Kecil setiap Minggu, saya pernah mencoba mewarnai gambar yang tersedia untuk diwarnai dan dikirimkan ke redaksi (tentu saja saya enggak mengirimkannya, gile lu, Ndro!). Saat itu saya menggunakan pensil warna dan hasilnya sungguh tidak memuaskan, meskipun sampai sekarang masih saya pajang di dinding kamar. Saya enggak suka mewarnai karena bingung memilih/memadumadankan warna. Maka dalam kegiatan ini, saking enggak kreatifnya saya, setiap warna yang saya bubuhkan pada gambar mengikuti saja yang dicontohkan dalam buku.

Di sisi lain, saya suka bahwa saya mesti menggambar dulu untuk bisa mewarnai. Betapapun enggak kreatifnya saya sesudah itu, paling tidak saya masih dapat terlibat dalam suatu "aspek penciptaan". Saya mungkin tidak kreatif dalam memadumadankan warna, tapi sepertinya saya suka dapat menciptakan bentuk--atau malah pada dasarnya adalah konsep, seperti sewaktu saya mengusulkan format buku tahunan untuk kelas saya saat SMA tapi mengenai isinya bagaimana saya serahkan kepada yang lain-lain.

Hence, with this book, drawing and coloring have never been so fun! Namanya pemula yang tidak tahu arah, cara paling aman adalah dengan menirukan saja, tapi buku ini menginstruksikan agar tetap ada kesempatan untuk mencipta sendiri.

Iya, iya, harusnya "cicak".
Omong-omong, saya enggak selalu menemukan lagu pengiring untuk setiap binatang yang saya gambar.



Adakalanya saya berpikir, "Anak TK aja masih bisa lebih bagus daripada ini." Tapi, hei, saya enggak lagi mengikuti lomba menggambar dan mewarnai bareng anak-anak TK. Lagi pula, buku ini menyarankan agar orang tua memberikan pujian pada anak jika dapat menyelesaikan latihannya dengan baik. Dengan baik, kan, bukan dengan bagus. (#ngeles) (Walau entah juga pengertian baik itu yang bagaimana.)

Tapi anak yang satu ini skeptis bila dipuji.


Lagu pengiring yang saya dengar enggak selalu memuat binatang yang bersangkutan dalam lirik. Contohnya untuk beruang. Saya hanya ingat di videoklip The Dears, "22 The Death of All The Romance" sepertinya ada (boneka) beruang. Karena enggak ada lirik yang berhubungan, maka saya cantumkan saja kata atau frasa yang melintas bak meteor.





Lagi-lagi, lagu yang disambung-sambungin aja.


Sampai pada suatu waktu, saya berpikir, daripada mendengarkan musik yang katanya haram (#eh) kenapa enggak mendengarkan kajian saja? Atau apalah, pokoknya yang ada orang bicara memberikan pengetahuan. Sepertinya itu akan menjadikan aktivitas menggambar lebih berfaedah. Maka saya pun menyetel video-video dari channel Kuliah Psikologi. Rupanya ada perbedaan suasana yang signifikan. Terus terang, saya merasa lebih asyik dan imajinasi saya lebih "main" (padahal cuma meniru persis seperti yang ada di buku) saat mendengarkan lagu ketimbang kuliah. Mendengarkan kuliah tidak memunculkan apa-apa di kepala saya yang dapat saya tambahkan di kertas.






Di satu sisi, kegiatan ini mengasyikkan, seperti membiarkan inner child saya keluar dan berekspresi, tanpa khawatir atau takut akan salah atau diejek. Di sisi lain, keasyikan tersebut agaknya ternyata guilty pleasure; di saat orang-orang "dewasa" sebaya saya, pada waktu yang sama, tengah mengganti popok anak bayinya, atau menghitung cash flow usaha daringnya, saya malah melakukan aktivitas yang "tidak produktif" (entahkah secara finansial ataupun seksual, dua hal yang sepertinya, selayaknya, mengisi kehidupan seorang dewasa "normal"). Nah, I am mere a girl inside and girls just wanna have fun!


Tapi, tapi, tapi, seandainya pada usia ini saya sudah punya anak usia TK atau PAUD, tentunya saya tidak akan melakukan aktivitas ini sendirian; tentu mengasyikkan sekaligus edukatif jika kami bisa menggambar sekalian menyanyi bersama-sama (dan kalau ternyata gambar dia lebih bagus saya enggak bakal mengambek sambil menjejak-jejakkan kaki). Maybe I am just nurturing a child that should have been there.






Sayangnya, untuk lagu tentang katak (sebenarnya "kodok) yang muncul di kepala saya, saya tidak bisa menemukannya di Youtube. Kalau enggak salah, lagu itu dinyanyikan seorang penyanyi anak-anak tahun '90-an bernama Sofi (entah benar cara menuliskannya atau enggak).

Katak adalah binatang terakhir dalam buku ini. Di halaman berikutnya ada latihan dengan petunjuk agar memberikan tanda centang pada binatang berkaki dua dan tanda silang pada binatang berkaki empat. 

Jadi, berapa banyakkah binatang yang ada dalam buku ini? Mana yang berkaki dua dan mana yang berkaki empat?

Saya senang bisa mengerjakan semua latihan--kecuali yang terakhir, tentu saja--dalam buku ini. Kalau ada rezeki, sepertinya lebih baik memiliki buku cetaknya daripada meminjam versi digital di aplikasi Ipusnas. Pertimbangan:
  1. Ukuran buku ini sampai 80 MB, jauh lebih besar daripada buku-buku lainnya di Ipusnas. Makan waktu agak lama untuk mengunduh dan membukanya.
  2. Waktu peminjaman terbatas. Setelah tiga hari, buku ini akan menghilang dan perlu diunduh ulang yang butuh kesabaran lagi.
  3. Kalau saya punya anak, sepertinya sebisa mungkin saya ingin menjauhkan dia dari paparan media digital (yang adiktif itu!) pada tahun-tahun awalnya.
Karena untuk kepentingan sendiri, saya cukup puas dengan yang disediakan Ipusnas. Terima kasih Ipusnas. Saya siap memanfaatkanmu untuk seterusnya, hihihi. Untuk sementara, dalam belajar menggambar dan mewarnai dengan memanfaatkan sarana ini, sepertinya saya akan meminjam buku-buku yang simpel semacam ini dulu (: untuk anak TK dan PAUD) baru beranjak ke buku-buku yang mulai kompleks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Tempo Nomor 20/XXXI/15 – 21 Juli 2002 - ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Dalam edisi ini, sedikitnya ada 3 kumpulan artikel yang menarik buat saya. Yang pertama adalah… Read more Tempo Nomor 20/XXXI/1...
    4 minggu yang lalu
  • Berkata Tidak - Aku dapat berkata tidak. Ketika aku masih anak-anak, aku takut berkata tidak. Aku melihat orang tuaku menyurutkan cinta dan perhatian mereka bila aku tidak...
    1 tahun yang lalu
  • Tentang Stovia - Tulisan berjudul "Stovia yang Melahirkan Kebangsaan" (*Kompas*, 28/5) telah menyadarkan kita tentang arti penting nilai-nilai kebangsaan yang dibangun para...
    6 tahun yang lalu