Saya pun mulai berjalan memasuki Jalan Karapitan, sembari sesekali menengok ke belakang. Sesekali muncul beberapa angkot, tetapi enggak satu pun yang jurusan Kalapa-Dago.
Saya memutuskan untuk naik angkot jurusan lain saja sampai perempatan menuju Jalan Ir. H. Juanda (Dago). Lalu dari perempatan itu mungkin akan ada angkot yang dapat membawa saya ke tempat acara.
Saya pun naik angkot Kalapa-Ledeng. Di Jalan Sunda yang sangat padat oleh kendaraan--dibandingkan sewaktu di sekitar Jalan Buah Batu tadi--saya melihat penampakan angkot Kalapa-Dago agak jauh di belakang. Sempat saya berpikir untuk turun dan pindah ke angkot itu. Tetapi angkot tersebut malah berbelok ke jalan di sebelah kirinya.
Saya pun tetap di angkot Kalapa-Ledeng. Di perempatan sekitar Jalan Riau-Jalan Merdeka-Jalan Ir. H. Juanda, saya melihat ada satu angkot Kalapa-Dago yang tertahan oleh lampu merah. Begitu angkot Kalapa-Ledeng yang saya naiki belok ke Jalan Merdeka, saya minta turun. Lalu saya cepat-cepat pindah ke angkot Kalapa-Dago tersebut sebelum jalan karena lampu sudah menjadi hijau.
Jalan Ir. H. Juanda pada siang akhir pekan itu penuh oleh kendaraan, khususnya setelah melewati Jembatan Pasopati. Untunglah saya enggak terlambat sampai ke acara.
Acara yang bertempat di Jalan Ir. H. Juanda itu selesai sekitar magrib. Saya dan teman menumpang salat magrib lebih dulu di tempat lain yang tidak jauh dari situ, dan tertahan di sana sampai isya karena tahu-tahu turun hujan deras. Begitu isya, hujan sudah selesai, kami pun melanjutkan obrolan di pinggir jalan.
Saat itu saya sudah khawatir jangan-jangan enggak bakal ada angkot Kalapa-Dago lagi yang lewat. Dari Jalan Ir. H. Juanda, untuk pulang saya cuma bisa naik angkot Kalapa-Dago. Bisa saja sih saya naik angkot St. Hall-Dago, tetapi itu artinya perjalanan pulang saya bakal semakin panjang dan lama begitu pula ongkosnya jadi berlipat-lipat. Tetapi, bahkan angkot St. Hall-Dago saja enggak kelihatan. Sekalinya ada angkot Kalapa-Dago yang lewat, mereka menolak tumpangan karena sedang membawa barang.
Ini bukan sekalinya saya menunggu di tepi Jalan Ir. H. Juanda dan lama mendapatkan angkot Kalapa-Dago. Saya pernah mengalaminya bahkan ketika hari belum gelap--saat itu masih sore dan langit cukup cerah.
Rencana cadangan saya: Kalau angkot Kalapa-Dago enggak kunjung lewat, saya mau menumpang aplikasi ojek daring milik teman. Ponsel saya sendiri enggak compatible untuk aplikasi yang baru in beberapa tahun belakangan ini.
Teman saya optimistis bahwa angkot Kalapa-Dago akan lewat, dan dia benar.
Saya pun naik ke angkot yang cuma diisi pak sopir itu. Baru ada beberapa penumpang lagi setelah angkot melewati Bandung Indah Plaza.
Saya berhenti di perempatan Jalan Pungkur. Di situ saya menunggu angkot 01.
Jalan Pungkur relatif sepi baik siang maupun malam. Di belakang tempat saya berdiri menunggu ada Alfamart yang terang-benderang, serta seorang tukang parkir. Saat itu sekitar jam setengah delapan malam. Saya pikir: Kalau sampai jam delapan angkot 01 enggak lewat, saya bakal masuk ke Alfamart, beli pulsa, dan menghubungi teman yang bermukim di sekitar situ untuk menginap barang semalam.
Tetapi, beberapa menit kemudian angkot 01 tiba. Yang mengisi cuma sopir dan di sampingnya perempuan yang sepertinya istrinya. Mereka cukup muda, paling enggak si sopir mengemudi sambil menyetel dan menyanyikan lagu Sheila on 7 keras-keras. Sopir sempat menanyakan kepada saya soal lampu di bagian dalam angkot yang sengaja enggak dinyalakan. Saya fine-fine saja soal itu. Yang penting saya sudah dapat tumpangan untuk pulang.
Di Jalan Buah-Batu, angkot disetop oleh seorang bapak-bapak berkumis, berjaket, yang agak kurus. Bapak itu dengan ramah menanyakan, "Supratman?" Sopir angkot menolaknya karena sudah mau pulang. Bapak itu terlihat legawa-legawa saja dengan keputusan si sopir, entah apakah sebenarnya hatinya ketar-ketir juga seperti saya sebelumnya. Sementara angkot berbelok, saya melihat pada si bapak yang ditinggalkan itu melalui kaca belakang. Saya merasa kasihan: Pada malam gelap di jalan yang sepi begini, entah berapa lama lagi ia mesti menunggu angkot yang akan membawanya ke Supratman ....
Tetapi, memasuki Jalan Martanegara, angkot berhenti untuk seorang mbak-mbak muda berjilbab syar'i dan si sopir menanyakan tujuannya. "Binong," kata si mbak muda. Lalu si sopir membiarkan ia masuk.
Apa mungkin karena dia mbak-mbak berpenampilan lumayan yang tujuannya cuma Binong sementara yang sebelumnya bapak-bapak yang tujuannya sampai Supratman? Supratman lebih jauh daripada Binong, memang.
Sementara meresapi itu, saya mengenang masa ketika masih bisa mendapatkan angkot St. Hall-Gedebage malam-malam--bahkan jam setengah sepuluh malam. Saat itu saya masih murid SMA. Tahun-tahun belakangan, menjelang magrib saja angkot St. Hall-Gedebage bisa dibilang sudah enggak ada yang lewat. (Atau saya enggak mau mengambil risiko menunggu sampai lama untuk memastikan bahwa sesungguhnya angkot tersebut masih lewat pada waktu begitu.)
Dalam hati, sejak menunggu angkot Kalapa-Dago di depan UNLA siang sebelumnya, saya ingin berteriak: "KAMI MASIH BUTUH ANGKOT!" atau lebih tepatnya, "KITA BUTUH ANGKOT!" Bukan hanya untuk orang-orang tua yang gaptek, atau anak-anak muda yang enggak mampu/berminat membeli gawai yang compatible buat install aplikasi ojol, tetapi juga untuk mengurangi macet, panas, serta zat-zat polutan berbahaya yang katanya bisa menumpulkan otak.
Tetapi, kebanyakan orang hanya memikirkan dirinya sendiri (kayak diri sendiri enggak aja). Mereka ingin cepat, ingin gaya. Mereka ingin lebih banyak waktu buat dirinya sendiri (saya juga sih), atau buat siapalah yang lagi ingin mereka temui. Mereka enggak bisa menikmati berdempetan dengan orang lain sembari melamun--melayangkan pikiran ke sana kemari (nah, kalau yang ini sih saya lain dari mereka).
Lah, kok jadi menyalahkan orang lain, ya? Katanya yang bijak itu bercermin dulu. Baiklah, mungkin ini salah saya:
1. Yang lagi malas bersepeda, apalagi kalau berangkatnya mesti siang bolong ketika cuaca panas terik matahari.
2. Yang enggak mau meneruskan belajar dan membiasakan naik motor dan atau mobil. But, but, but I don't see any point of being able to drive while living in a big, crowded highly polluted city. I deeply enjoy walking, riding bike (kalau cuaca lagi enggak panas atau hujan dan jalannya menurun) and taking public transportation!
3. Yang belum dapat lungsuran gawai yang compatible buat install aplikasi ojol.
4. Yang keluar rumah sampai malam untuk bertemu teman dan mengikuti pelatihan, padahal mah diam bae di rumah jadi manusia gua untuk selama-lamanya.
5. Yang gagal paham kenapa sih mesti mengikuti arus zaman supaya semakin bergantung kepada teknologi yang untuk menjalankannya membutuhkan banyak listrik dan bahan bakar fosil yang mengakibatkan perubahan iklim yang dampaknya membikin seekor beruang kutub luntang-lantung di jalan raya seperti dalam potongan koran berikut ini.
Sumber: Kompas, 20 Juni 2019 |
We can all contribute to reducing climate change, and therefore help polar bears and other endangered species. A significant cause of climate change is the emission of polluting gases from burning fossil fuels, such as coal and oil. Fossil fuels are burned when we use electricity or drive our cars, among other things. (Baca selengkapnya di artikel ini.)7. Yang sebetulnya enggak serius-serius amat dalam menanggapi isu perubahan iklim, cuma sebal aja enggak ada angkot pas lagi butuh. Huh! Saya kan cuma manusia biasa yang bisanya cuma memikirkan kepentingan diri sendiri, dan kepentingan saya adalah: Saya butuh angkot ketika lagi enggak bersepeda! Kebetulan saja beruang kutub juga butuh sebanyak-banyaknya orang beralih ke angkot ... secara enggak langsung.
Kayaknya Bandung juga. (Sumber: Kompas, 20 Juni 2019 "Angkutan Umum Perlu Diperluas") |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar