Suatu situasi bersama seseorang membuatku melarikan diri ke
perpustakaan kampus, dan, tahulah, kalau sudah menemukan buku-buku yang
kuanggap “bagus”, “penting”, “menarik”, aku enggak bisa menahan diri untuk
enggak pinjam. Itulah awal aku melanggar salah satu poin dalam hiatus. Perpustakaan kota pun menjadi persinggahanku berikutnya. Dan membaca
rasanya enggak berarti tanpa mencatat hal-hal berkesan yang aku dapatkan,
sehingga aku biasanya berusaha untuk menuliskan pembacaanku terhadap suatu buku
walau hanya satu kata. Berikut aku sarikan dari corat-coretanku.
Telaah Sastra –
Zainuddin Fananie (Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2002)
Sejak Kritik Sastra
Indonesia Modern oleh Rahmat Joko Pradopo, aku gandrung akan buku
menyangkut kritik. Hanya untuk mencari tahu: bagaimana sih kriteria karya yang
dianggap bagus itu? Aku juga ingin bisa menilai dan memaknai karyaku sendiri, dan
tentu saja bagaimana mengatasi kekurangannya. Dan sampai di buku ini aku merasa
sudah cukup melahap buku semacam, karena apa yang kucuil dari mereka belum juga
aku amalkan… =_=
Novel Voices: 17 Award-winning Novelists on How to Write,
Edit, and Get Published - ed. Jennider Levasseur & Kevin Rabalais
(Writer’s Digest Books, United States of America, 2003)
Buku ini merupakan kumpulan wawancara dengan para pengarang,
semacam Writers at Work atau dalam
versi Indonesianya adalah Taruhan
Mewujudkan Tulisan (diterbitkan oleh Jalasutra). Tidak satupun pengarang
dalam buku ini yang kukenal, apalagi pernah baca karyanya. Akan tetapi di
Amerika Serikat mereka adalah para peraih penghargaan semacam National Book Award, PEN/Faulkner Award,
dan lain-lain.
Sebelum wawancara, ditampilkan pengantar yang secara singkat
menceritakan latar belakang si pengarang beserta karya yang telah dihasilkan.
Yang menarik, kebanyakan dari mereka adalah pengajar, berpendidikan tinggi di
bidang bahasa atau seni, menulis fiksi realis, dan baru menerbitkan karya pada
usia tiga puluhan tahun.
Walaupun demikian setiap pengarang memiliki cara yang
berbeda-beda dalam menghasilkan karyanya, sebagaimana yang ditulis dalam kata
pengantar buku ini, “…there are no
tricks—no easy formulas that will work for each person, no simple right or
wrong answer—…the creative process must be individually mapped.” Maka dari
buku ini aku mengutip banyak kalimat dari para pengarang tersebut yang kiranya
cocok untukku.
Walaupun demikian, lagi, para pengarang agaknya sepakat bahwa
menulis merupakan the art of crafting
alias seni menyusun kata. Komposisi itu penting. Penulis itu seperti pelukis
maupun musisi. Pelukis bermain dengan warna, musisi bergelut dengan nada,
sedang penulis berkutat dengan kata.
Menarik pula mengetahui, beberapa pengarang menyadari bahwa
apa yang mereka kerjakan tidak memberi manfaat langsung. Bahkan seorang William
H. Gass mengatakan, “Literature and the
humanities in general don’t save people.” Tidak mudah untuk mengukur
seberapa besar efek dari sebuah cerita, bisa saja malah mengarahkan ke jalan
yang salah. Namun tentunya kita sebagai pengarang boleh berharap, sebagaimana
yang dikatakan oleh seorang Andre Dubus, “When
the day comes that a politician picks up a novel and sees the light, I’m just
going to walk straight to heaven.”
Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis – Eka Kurniawan (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006)
Buku ini membahas tentang sastra realisme sosialis, genre
yang dianggap mewadahi karya-karya Pramoedya Ananta Toer, dari sudut pandang
filsafat, atau apapun itu yang aku enggak akrab. Aku lebih mudah mencerna
tulisan Eka Kurniawan yang ada di blog-nya,
ketimbang di buku ini… (-_-)V Betapa sederhana pikiranku.
Bagaimanapun semangat Eyam Pram dalam mengangkat kaum the-have-not dalam karya-karyanya—produktivitasnya,
dan tentu saja ketekunannya dalam meriset patut diteladani. Membaca buku ini,
walaupun enggak mengerti amat isinya, bikin aku ingin membaca karya-karyanya
Pramoedya Ananta Toer lagi. Biar terpengaruh…
Metode Karakterisasi Telaah Fiksi – Albertine Minderop (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005)
Aku enggak membaca buku ini dengan benar. Banyak kutipan dari
novel Barat, dalam bahasa aslinya pula yakni bahasa Inggris, yang enggak
kupahami. Yeah. TOEFL-ku serendah itu! Ah ini bukan pembacaan, melainkan
sekadar peninjauan.
Gadis Tangsi
– Suparto Brata (KOMPAS, 2004)
Tangsi ialah semacam barak yang menjadi tempat tinggal
prajurit KNIL, alias pribumi yang bekerja untuk militer Belanda. Novel ini
berlatar di sebuah tangsi di Sumatera Utara pada tahun 1940-an, tentang seorang
anak prajurit tangsi bernama Teyi. Ia tumbuh menjadi gadis yang liar, walau
dididik untuk bekerja keras oleh ibunya. Suatu hari Teyi bertemu dengan seorang
bangsawan dari Solo yang bernama Putri Parasi. Putri Parasi mengajari Teyi adat
keraton, bahkan menjanjikannya untuk tinggal di Keraton Solo. Namun Putri
Parasi yang sakit-sakitan keburu meninggal. Teyi bimbang ketika suami mendiang
putri tersebut kemudian menaruh perhatian padanya, akhirnya sang kapten malah menghamili
orang lain. Teyi pun menikah dengan seorang prajurit tangsi bernama Sapardal,
namun hanya dua hari. Karena Teyi segera bertemu dengan kemenakan mendiang
Putri Parasi, dan mereka langsung jatuh cinta, dan bercinta.
Novel ini semacam Tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta
Toer (tapi aku baru baca Bumi Manusia…
he…), dengan petuah-petuah untuk memajukan peradaban, menjadi wanita mandiri
yang bercita-cita tinggi, dan seterusnya, dengan gaya bercerita yang memikat
pula. Tapi novel ini menjunjung tinggi kebudayaan Jawa, yang dalam novel Eyang
Pram justru diledek habis-habisan. Feodal. Snob.
Sayangnya aku membaca Bumi Manusia
duluan. Selain itu seksualitas seakan menjadi suguhan utama dalam novel ini,
“sebegitu”kah hidup dalam tangsi?
Melihatku membaca novel ini, Bude mengungkapkan kepadaku
bahwa ayahnya mbah-kakungku adalah seorang prajurit KNIL. Ternyata aku adalah
cucu seorang bocah tangsi.
Digitarium – Baron
Leonard (Akoer)
Sebenarnya aku enggak menuliskan pembacaanku atas novel yang
diklaim sebagai novel aksi pertama di Indonesia ini, hanya pasang rating di Goodreads. Rame sih. Wow. Aku
jarang baca novel begini. Tapi bikin capek juga, mengingat ukuran font-nya yang kekecilan bagi mataku yang
bolor ini.
...bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar