Luas kamar ini sekitar dua
kali tiga meter. Kami semua jongkok di lantai. Aku bersandar di salah satu sisi
dinding. Jendela bersanding dengan pintu, dilapisi sehelai kain perca,
kuamat-amati sembari menggigiti ujung jari, “Lu jait sendiri, Sep?” iseng
kusela obrolan Asep dan Awan. Mataku menuding gorden-gordenan itu. “Iya, jait
sendiri, di tukang jait.” Suatu kali ia mampir ke tukang jahit. Mengamati kain
sisa yang berserakan di lantai, timbul inisiatifnya untuk mengumpulkan. Lalu ia
minta pada tukang jahitnya untuk menyatukan potongan-potongan tersebut jadi
selembar kain. Dari kaos sampai batik, jeans
sampai seragam PNS, gorden Asep yang mozaik itu serupa museum kain. “Kau tahu,
bukan cuman gorden Asep itu yang punya cerita,” celetuk Awan, sebelum
menyeruput kopi dari sudut rantang. Di tengah ruangan ini terhampar selembar
koran. Di atasnya tadi Awan menyalakan kompor, memanaskan air keran dalam
rantang, lalu membubuhkan serbuk hitam, yang kemudian kusadari ia lakukan di
mana-mana, termasuk ketika mampir ke kosanku kapan itu, padahal aku punya heater. Deras hujan begini minum kopi
memang nikmat sih, kalau di kafe. “Sofa itu,” Awan menuding benda merah hati
yang kulitnya sudah terkelupas di sana-sini, panjangnya kira-kira dua meter, hampir
pas dengan lebar sisi dinding di seberang jendela, “aku bantu menggotongnya ke
mari.” Aku tertawa pelan sebagai tanggapan. “Dapet dari mana lu?” “Dari rumah
saudaranya dia. Aku lihat sepertinya terlantar,” jawab Awan. “Kataku, daripada
kau beli kasur baru, mending kau minta itu saja.” “Terus kasur lu yang lama?”
tanyaku. “Dipake sama dia, kalo tidur di mari,” kepala Asep menuding pada Awan.
Aku tidak heran. “Gua kira lu tajir, man,
sampe ada kulkas segala,” kali ini aku merujuk pada benda hijau pupus yang
berdiri tidak jauh dari sofa, “tapi kabelnya enggak nyolok, enggak jadi ngarep
Coca Cola gua.” Keduanya menoleh pada kotak yang aku maksud. Awan
tersenyum-senyum. “Kusuruh minta juga sama uwaknya itu. Anehlah orang itu.
Barang bagus dianggur-anggurin aja, enggak dipakai.” “Itu pasti lemari lu,
Sep,” cetusku lagi. Soalnya aku tidak lihat lemari betulan di kamar ini. Isinya
pasti tumpukan baju dan buku. “Kalau mau cek, buka aja,” Asep memberi isyarat
lagi dengan kepala. “Haduh haduh…” aku mengusap-usap rambut, apalagi setelah
aku memerhatikan kalender yang tergantung di atas kulkas dengan saksama. Kalender
tulis tangan di balik kertas kalender tahun lawas. “Lu suka ngumpulin kertas
bekas dari fotokopian juga kan, dijilid, jadiin catatan kuliah.” Dalam
bayanganku Awan merangkul Asep sembari menepuk-nepuk punggung, “Soulmate-ku ini.” Aku juga tidak
menemukan cermin di kamar ini. Dengan nada berseloroh yang kukira sebenarnya
serius, Awan bilang, Asep tinggal mencari kubangan air keruh kalau ingin
mengaca. Asep juga tidak keluar duit untuk beli sisir, ia punya beberapa ruas tulang
ikan yang diawetkan. Sekarang Awan menuangkan beras ke rantangnya yang lain,
lalu keluar sebentar untuk membasahi butiran putih itu. Aku menunjuk akuarium yang
berisi beberapa lele di sudut kamar. “Lu beolnya di situ ya, sekalian ngasih
makan ikan lu…” Asep terbahak-bahak, apalagi aku. “…terus kalau darurat,
ikannya lu makan…” Awan yang baru masuk kamar lagi tak mengerti. Kami terus mengobrol
sampai nasinya matang. “Aduh, enggak ada piring euy,” kata Asep. “Langsung makan di sini aja (di rantang tempat ia
memasak nasi, maksud Awan), rame-rame,” Awan cuek. “Terus lu makannya gimana,”
tanyaku, “biasanya?” “Kemarin teh ada
piring, cuman pecah, keinjek.” “Emang enggak ada yang lain?” aku heran. Asep
tidak menjawab, malah Awan memandangiku lama sampai aku ngeh. “Kau pasti enggak
mau makan di rantang.” Aku menggeleng, “Kalian aja yang makan.” “Enggak
bisalah. Semua harus makan,” tegas Awan. “Masih kenyang,” alasanku. “Kalo pake
gelas enggak apa-apa, Yat? Gelas mah ada,” imbuh Asep. Aku terperangah.
Beberapa menit kemudian kedua belah
tanganku memeluk gelas berisi nasi yang mengepulkan asap. Kukira cuman mi yang
gelas. “Makan, Yat,” Awan memerintah. Sehabis makan dengan lauk asin bumbu hijau,
aku ditawari minuman dalam tutup botol sirup, sedang botolnya sendiri berdiri
di kosen jendela, berisi air dan setangkai mawar. Airnya berasal dari termos,
yang lubang di atasnya disumbat bohlam yang sudah putus. Tutup termos itu entah
di mana, yang aku curiga pernah dijadikan piring juga oleh Asep. Hujan tinggal
rintik-rintik. Sementara perhatianku teralih pada mawar, dengan tembang Novia
Kolopaking mengalun dalam kepala, Awan mengeluarkan apel yang tadi diberikan
Tiara Citra kepadaku namun kuberikan pada Awan. Mereka memotongnya dengan, “itu
pisau?” tegurku. Benda itu bening seperti kaca, segitiga memanjang, meruncing.
“Bukan…” tanggap Asep, “Itu pecahan piring yang kemarin.” *707*
coba ngerjain latihan dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar