Jumat, 10 Juli 2020

Risky dan Gambar Wanita tanpa Baju

Dari belakang, Risky terlihat sibuk: lengannya bergerak-gerak, seperti yang sedang mengotret soal. Kalau ditelongok, rupanya memang dia sedang menggambar bangun-bangun geometri.  Tapi, ia bukannya sedang berkutat dengan matematika, alih-alih ia mencoba membuat sketsa secara proporsional. Berhati-hati sekali ia menarik garis-garis sehingga membentuk lekukan-lekukan tegas tapi halus. Bersyukur tangannya masih tahu caranya sejak terakhir kali menggambar beginian sewaktu SMA. Belakangan paling-paling yang ia buat hanya robot, kesatria baja hitam, atau Power Ranger untuk menyenangkan adiknya.

Set-set-set—uwah! Risky mematut-matut hasil karyanya, mengerutkan kening dan mencibir. Memang ia tidak pernah hendak mengklaim diri sebagai seniman. Yang penting … cukuplah!

Ia memisahkan lembar A3 itu dari buku gambar secara berhati-hati, lalu menempelkannya di atas kepala tempat tidur. Dengan begini, begitu Mama membuka pintu kamarnya nanti pagi—tinggal beberapa jam lagi—akan langsung terpampang gambar itu. Risky menyeringai.

.

Hobinya bermula di SMA. Dilanda bosan sementara guru berceloteh di depan kelas, Risky mencoret-coret bagian belakang buku tulis. Awalnya tidak ada bayangan, tapi lamat-lamat ia tahu yang dapat membangkitkan gairahnya. Berkelebat cuplikan-cuplikan gambar dari majalah kepunyaan Shigeo. Orang itu kawannya semasa tinggal di Jepang. Usianya sekitar 3,5 lebih tua daripada Risky, dan kerap mengajak dia bermain ke rumah. Waktu itu Risky masih siswa SMP, sedangkan Shigeo sudah SMA. Masih segar di ingatan Risky kala Shigeo mengangkat kasurnya lantas tampaklah majalah berserakan. Risky mengambil asal saja, melongo hanya dengan melihat kovernya—apalagi dalamnya. Dari membaca cerita-cerita pendek di koleksi itulah, penguasaan bahasa Jepang Risky tambah lumayan. Sejak itu, dunianya tidak pernah sama lagi.

Risky ingin beli sendiri yang begituan di toko dekat rumah, tapi takut ketahuan orang tua. Sepulangnya ke Indonesia seusai tugas belajar Papa di Jepang, mendapatkan yang begituan tambah susah. Kalaupun ada, modelnya masih pada berpenutup barang sehelai-dua helai—dan tetap Risky merasa riskan membawanya pulang. Padahal, Risky baru saja menemukan potensinya, hendak mengeksplorasi sensitivitas artistiknya. Karena itu, ia membutuhkan berbagai contoh gambar untuk bahan belajar. Jadilah, Risky mengandalkan ingatannya saja.

Gambarnya jadi, disusul gambar yang lain. Inginnya sih setiap pose yang masih melekat jelas di ingatannya itu—yang kadang malah sampai bergerak-gerak—bisa ia pindahkan ke kertas. Susah memang, apalagi tanpa menguasai dasar-dasar anatomi. Satu gambar saja membuat meja penuh kotoran penghapus. Garis-garisnya pun tampak kaku sebab ia lebih sering bikin robot. Tapi, Risky tak memusingkan aneka hambatannya itu. Sembari berusaha menghidupkannya di kertas, sekalian menghidupkan gambar itu di dalam kepalanya.

Anak-anak yang duduk di sekitarnya mulai melirik.

“Bisaan gambarnya,” puji mereka.

“Bikinin dong,” ada yang meminta.

Risky menyerahkan gambarnya yang sudah jadi, tanpa keberatan untuk mengulang kesusahan dan kepayahan membikin yang baru, membeli penghapus baru.

Hari-hari di SMA pun menjadi tertahankan, sementara harem meramaikan buku tulisnya.

“Bikinin yang wajahnya mirip si ini dong,” pinta temannya.

Risky pun tersadarkan bahwa semua wanita di haremnya berwajah serupa. Berlatih anatomi itu satu soal, dan mengarang wajah itu soal lain.

Omong-omong soal wajah cewek, sesungguhnya ada satu yang seketika terbayang di benak Risky. Bukan “si ini” yang disebutkan temannya itu, melainkan sebut saja sebagai “si anu”. Memang ide bagus memasangkan wajah si anu dengan salah satu pose favoritnya.

Baru saja Risky bereksperimen dengan wajah si anu, terjadi kehebohan di sekolah. Anak-anak mengerubungi mading. Sebelum datang guru mengamankan barang bukti penyebab keriuhan, masih sempat Risky melihatnya: gambar buatannya.

Anak-anak bubar dan begitu bersitatap dengan dia: cewek-cewek berpaling jijik, cowok-cowok menyengir geli. Setiap cewek yang melewati dia menjaga jarak seraya menyelamatkan muka, seakan-akan kalau berdekatan sedikit saja mereka akan dijadikan objek berikutnya.

Di antara cewek-cewek itu ialah si anu. Sebenarnya, cuma si anu yang Risky lihat, yang seolah-olah mewakili semua cewek yang ada di dunia.

Tidak mengherankan bila kemudian Risky dipanggil ke ruang guru. Pertama, karena gambar yang telah diperlengkapi dengan nama dan kelasnya—yang mestilah diperbuat oleh salah satu anak yang duduk di sekitar bangkunya. Kedua, karena menonjoki anak-anak yang duduk di sekitar bangkunya.

Guru yang menangani dia ada dua orang. Guru yang wanita bersikap keras sekali. Setelah merasa cukup memberikan peringatan, ditinggalkannya Risky bersama guru yang pria.

Beberapa saat lalu, seakan-akan menunggu keadaan lebih kondusif. Guru yang pria bersikap pengertian. “Kalau suka gambar cewek, setidaknya pakaikan baju.”

Risky yang selama itu diam saja perlahan-lahan menatap pak guru; padangannya takjub seakan-akan itu gagasan yang tidak pernah terpikirkan oleh dia.

“Enggak bisa gambar baju, Pak,” sahut Risky pelan.

“Ya, belajar.”

Risky menunduk dan membisu, lalu, “Tapi,” diam lagi.

“Tapi?” dorong pak guru, yang berangsur-angsur jadi desak.

“Tapi,” Risky ragu, “saya enggak cita-cita jadi modiste, Pak.”

“Memangnya cita-cita kamu apa?”

Cita-citaku … apa …?

.

Sejak itu, Risky tidak hendak kembali ke sekolah. Pergi dari rumah saat pagi, ia pakai baju seragam sekolah menuju tempat umum yang ada kamar kecilnya. Di situ ia berganti pakaian bebas, lalu keluyuran ke toko buku, toko mainan, menonton bioskop, bermain dingdong, ke mana saja sampai uangnya bersisa sedikit atau habis sama sekali. Kalau masih belum waktunya pulang sekolah, ia mencari tempat yang nyaman seperti masjid, perpustakaan, atau restoran untuk duduk membaca atau menggambar.

Begitu terus sampai akibat yang tidak terelakkan: ganti orang tuanya dipanggil guru.

Dimarahi saja tidak mengubah sikap Risky. Terpaksa orang tuanya memindahkan dia ke SMA lain, yang mau tidak mau reputasinya kurang. Paling tidak, Risky mau kembali bersekolah.

Tapi, tidak banyak murid sekolah itu yang hendak (atau lebih tepatnya: mampu dalam berbagai hal) melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, sedangkan orang tua Risky berharap si anak dapat menuruti jejak mereka.

Sayang, Risky baru insaf setelah menggagalkan UMPTN.

Untung UMPTN bisa diulang. Risky tidak hendak menyia-nyiakannya lagi. Karena itu, ia mesti menebus waktu belajar yang dulu malah dipakainya untuk “proyek seni” dan membolos. Ia memutuskan untuk belajar sepenuh waktu demi menembus UMPTN selanjutnya.

Semestinya orang tuanya mendukung dia. Tapi, sedikit-sedikit,

“IKIII …!”

Mama membuka pintu kamarnya.

Dan, tanpa tahu bahwa Risky baru saja hendak beristirahat setelah semalaman mempertanyakan apa itu “gradien”, apa itu “absis”, apa maksudnya “gradien garis singgung grafik fungsi y = f(x) adalah y’ = f’ (x) sama dengan dua kali absis P (x, y)”—yang tidak kunjung berujung pemahaman … “Tidur melulu! Katanya mau belajar?!” atau,

“Belajar terus, apa enggak jenuh? Main dulu sana sama Adek,” yang maksudnya adalah menyuapi makan bocah itu, atau,

“Cuci piring dulu gih, biar seger,” atau,

“Mau jajan enggak? Mama sekalian titip bawang merah, bawang putih, tempe, tahu, bayam, garam, cabe ….”

Risky menghitung-hitung: dalam sehari lebih banyak kekerapan Mama masuk ke kamarnya ketimbang jumlah soal yang berhasil dia pecahkan tanpa mengintip pembahasan sama sekali.

Pengalaman telah mengajarkan Risky cara menjauhkan diri dari wanita. Ini saatnya Risky kembali mengasah sensitivitas artistiknya.

“RISKY! APA-APAAN SIH KAMU?!”

Kepala Risky berputar malas, ke arah Mama yang menunjuk-nunjuk gambar di atas kepala tempat tidur. Ia sendiri sedang duduk di meja belajar, berlagak mengerjakan soal padahal sedang merenungkan suramnya nasib. Kepalanya berputar lagi ke depan. Pendengarannya menangkap langkah-langkah Mama; kertas yang direnggut, digumalkan, dan entah.

.

Selagi menggambar yang baru, Risky berpikir-pikir apakah sebaiknya ia memilih jurusan seni  ketimbang teknik. Tapi ia tidak merasa begitu nyeniman. Ia hanya suka mencoba-coba menyatakan yang ada di benaknya dengan cara yang ia bisa—yang menurutnya tak cukup memadai untuk dianggap sebagai bakat—sembari mengkhayalkan kehangatan meruap dari permukaan kertas yang pura-puranya kulit tak berlapis barang sehelai benang pun itu.

Setelah jadi, gambar itu dipasangnya di tempat yang sama. Gambar yang sebelumnya itu hanya pemanasan, masih malu-malu. Gambar yang kali ini tentu saja mulai menantang, sudah menampakkan sedikit bulu.

Cabut saja terus gambarnya, hahaha, dan semakin besar pertimbangan Risky untuk melayap ke jurusan seni sebab teknik sepertinya tak akan tergapai.

Memang Mama tambah panas. Setelah beberapa gambar yang semakin berasap saja, yang cuma ditanggapi Risky dengan mengedikkan bahu seraya mengguratkan angka-angka acak di kertas biar terlihat seperti yang sedang mengerjakan soal, ganti Papa yang masuk ke kamar.

Papa diam saja memandangi sosok dalam gambar itu, yang kini sudah mengangkang selebar-lebarnya. Sisi baiknya, untuk menggambar bagian itu secara mendetail, Risky mau tak mau sekalian membuka buku pelajaran Biologi bab reproduksi. Sisi buruknya, Risky rikuh sendiri karena lamanya Papa mematung dengan mata terpancang pada gambar itu, selayaknya guru Biologi yang sedang mengoreksi kertas jawaban ulangan.

Lalu, kata Papa, “Si Adek suka masuk kamar.”

Memang betul kata Papa. Sekarang pun si Adek, yang tadinya lagi berguling-guling di karpet kamar Risky sembari memainkan robot, ikut-ikutan tegak di samping Papa dengan raut bertanya-tanya.

Cuma itu yang Papa katakan. Tinggal Adek yang memandangi gambar itu, seakan-akan tidak sadar bahwa Papa telah keluar dari kamar.

“Kakak, kenapa itu enggak pake baju?” kata adiknya.

“Biarin,” sahut Risky yang sudah kembali menghadap meja belajar, kali ini telah menemukan soal yang sepertinya cukup mudah.

“Enggak dingin?”

“Enggak.”

“Nanti masuk angin?”

Enggak,” tukas Risky agak menggeram.

Lalu diabaikannya si Adek. Sebab, soal-soal berikutnya lumayan juga. Kalau sudah larut begitu, soal-soal sulit yang biasanya jadi penghambat pun ia loncat saja sampai menemukan soal mudah berikutnya. Sampai-sampai tidak terdengar suara-suara di belakangnya: si Adek disuruh sikat gigi, tidur ….

Konsentrasi Risky baru terpecah oleh aroma hangat yang dia akrabi, yang biasa terhirup olehnya pada waktu-waktu si Adek selesai mandi. Risky menoleh, dan mendapati adiknya menurunkan kaki dari tumpukan bantal di kepala tempat tidur. Botol minyak telon di tangan.

Serta-merta mata Risky berlari pada gambar di atasnya.

BUSET.

Gambar yang sudah menghabiskan setengah penghapus baru yang dia garap demi menjengkelkan Mama itu … kini ….

Risky mencabut gambar itu dari dinding, merenyukkannya sampai jadi bola, lalu menimpukkannya ke kepala si Adek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain