Mengajarkan matematika kepada anak balita sebenarnya mudah, bahkan para ibu telah melakukannya, seperti melalui pertanyaan, "Ada berapa telingamu?", yang dijawab kemudian, "Dua, Bu!" Hanya saja banyak ibu yang kurang atau tidak mengetahui manfaatnya terhadap perkembangan balita setelah masuk sekolah, hingga dilakukan secara sambilan atau asal ada waktu saja.
Para psikolog sependapat, substansi matematika yang dikuasai balita dapat mempengaruhi kemampuannya menghadapi mata pelajaran matematika setelah masuk sekolah. Ini harus diyakini, agar para ibu terangsang untuk mengajarinya sedini mungkin.
Caranya beragam. Jika tidak mampu menemukannya, dapat menanyai ahli pendidikan balita. Bahannya juga banyak serta dapat dicari yang sesuai dengan perkembangan usianya. Sebagai pembuka cakrawala, berikut ini disajikan 5 buah contohnya secara berangkai:
1. Usia 1 tahun
Menyebut deretan angka secara bertahap di hadapannya sambil melakukan gerakan badan, seperti menari-nari. Dalam 3 bulan kesatu menyebut "1 s/d 5", 3 bulan kedua menyebut "1 s/d 10", hingga 3 bulan keempat menyebut "1 s/d 20". Anak tidak perlu disuruh mengulanginya. Asal sudah terdengar dengan jelas, sudah cukup. Ini dilakukan secara berulang, tapi dengan selisih waktu yang tidak terlalu dekat. Misalkan pukul 08.00, 10.00, 12.00, dst. Sedangkan jarak waktu antara angka, cukup 2 detik saja. Gunanya, agar anak dapat menangkap makna tiap angka yang disebutkan.
2. Usia 2 tahun
Menyuruh anak menyebut angka secara bertahap. Tiap tahap cukup 2 angka saja hingga dalam 1 tahun sudah dapat menyebut "1 s/d 20". Ini akan lebih berhasil jika dilakukan dalam suasana gembira dan pikiran segar, seperti setelah mandi dan makan. Dapat juga dengan menjanjikan hadiah setelah anak dapat menyebut angka hingga tertentu. Misalkan, "Tono kini sudah dapat menyebut 1 s/d 3". Tapi jika Tono dapat menyebut 1 s/d 6, Tono akan diberi hadiah".
3. Usia 3 tahun
Anak sudah banyak mengenal anggota tubuhnya. Saat itu dapat ditanyakan jumlahnya masing-masing di mana dia akan menjawab setelah anggota tubuhnya yang bersangkutan dirabanya sambil dihitungnya. Misalkan Ny. Ida bertanya, "Ada berapa jari tanganmu?", kemudian dijawab oleh Eddy, "Sepuluh, Bu."
Tentu saja diawali dengan menanyakan anggota tubuh yang diperkirakan telah diketahuinya secara jelas. Menanyakan jumlah bahu kepadanya biasanya lebih sulit dijawab daripada menanyakan jumlah kaki, karena popularitas kaki di kalangan balita lebih tinggi daripada popularitas bahu.
4. Usia 4 tahun
Menyuruh anak menghitung benda yang ada di sekitar rumah. Misalkan, "Coba hitung, ada berapa pintu di rumah ini?" Nanti akan berkeliling rumah sambil menghitung pintu.
Tentu saja ini diawali dengan benda yang jumlahnya sedikit. Kemudian berlanjut dengan jumlah yang lebih banyak.
Ini akan lebih berhasil jika ditunggangi oleh kebutuhan ibu. Artinya, menyuruh anak menghitung bantal, misalnya, juga ditunggangi oleh keingintahuannya akan jumlah bantal yang ada.
5. Usia 5 tahun
Anak umumnya sudah dapat berbelanja. Secara psikologis, anak cenderung melakukan pengawasan, dalam arti, menghindari sedapat mungkin dari keadaan yang merugikannya, seperti kesalahan pengembalian uang belanja. Karena itu, mengapa anak setelah menerima pengembalian uang dari pedagang selalu ingin menghitung kembali.
Ini dapat dijadikan kesempatan untuk mengajarkan matematika dengan cara menanyakan sisa uang belanja. Misalkan, "Dody, ini, ibu memberi uang sebanyak 150 rupiah. Tapi hanya boleh dijajankan sebanyak 100 rupiah saja. Sisanya ditabungkan, ya?"
Dody akan menghitung, "Oh, berarti uang yang harus ditabung sebanyak 50 rupiah."
Para ibu tidak terlalu terikat dengan urutan contoh di atas jika anak memang mempunyai kecerdasan yang melampaui rekan-rekannya sebaya. Untuk mengajarkan matematika kepadanya dapat menggunakan bahan yang lebih rumit. Misalkan, meloncat dari point 1) ke point 3), meskipun usianya masih 2 tahun. (Nasrullah)
Sumber: Suara Karya, 10 Oktober 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar