Selasa, 05 Maret 2019

Selangkah Agak Maju dalam Partisipasi Politik

Senin, 4 Maret 2019, saya berkesempatan untuk menghadiri ... apa, ya namanya ... sosialisasi calon legislatif sebuah partai? Niat saya sekadar menemani teman memenuhi undangan, sekalian menghargai setiap ajakan keluar rumah, dan sebagainya. Bisa dibilang ini juga karena saya masih berhubungan dengan suatu komunitas yang rupanya berafiliasi dengan partai tersebut, kira-kira begitu.

Kalau boleh dilihat secara pragmatis, terlepas dari maksud politis di baliknya, ikut-ikutan acara ini memang menguntungkan. Kami berkesempatan makan siang di hotel mewah, kemudian diberikan suvenir berupa tas kain yang di dalamnya ada kerudung, tumbler, kertas berisikan lirik lagu "Indonesia Raya" dan mars partai, serta kertas lain yang menerangkan petunjuk memilih.

sumber gambar
Walaupun ragu ketika diminta menyanyikan mars partai serta mengacungkan angka-angka tertentu, namun saya cenderung menanggapi acara ini secara positif. Mata batin saya terbuka (#halah). Jujur saja, selama ini saya termasuk ke golongan anak muda yang acuh tak acuh kalau bukan apatis terhadap politik. Jangankan termasuk ke kubu pendukung salah satu calon presiden, menonton televisi dan memantau media sosial saja saya jarang. Da aku mah apa atuh, cuma manusia gua.

Tetapi, ketika mengikuti acara ini, dan diterangkan mengenai persoalan yang menjadi perhatian mereka, betapa pentingnya persoalan tersebut, dan seterusnya, saya pun manggut-manggut. Jadi begitu, makanya kita harus begini dan begitu dan memilih mereka yang hendak memperjuangkan itu dengan mencapai posisi strategis sebagai pengambil kebijakan dan sebagainya dan seterusnya.

Walaupun kelihatannya merepotkan harus mengumpulkan sebanyak-banyaknya pendukung yang pastinya membutuhkan modal besar, namun ternyata politik itu penting karena menentukan peraturan atau kebijakan yang dapat berimplikasi ke mana-mana. Bisa saja kita merasa sudah berkontribusi terhadap masyarakat dengan aktivitas sehari-hari kita, namun hal itu dapat menjadi tidak ada artinya tanpa dukungan pihak yang berkuasa--pemerintah. Ibarat menutup lubang bocor dengan jari-jari kita sendiri, namun di sisi lain pipa lubangnya lebih besar dan banyak pula. Kita membutuhkan tangan-tangan lain, bahkan jari yang berukuran lebih besar untuk menyumbat kebocoran yang terjadi di mana-mana itu. Entah ini perumpamaan yang tepat atau bukan, tetapi mudah-mudahan situ mengerti maksudnya.

Saya menyadari bahwa, terlepas dari makan siang di hotel mewah dan segala suvenir yang menyenangkan (tetapi juga apa-sih-ini?) itu, ini merupakan cara yang boleh jadi efektif untuk memperkenalkan diri dan sepatutnya diadakan. Maksudnya, biasanya kita digiring ke tempat pemilihan umum tanpa tahu benar siapa yang mesti kita pilih. Deretan nama itu semuanya asing dan kita pun asal saja mencoblos atau menconteng. Kini, setelah acara ini, saya menjadi kenal setidaknya satu dari deretan nama yang nantinya akan saya hadapi pada 17 April 2019 itu (kalau Allah menghendaki) berikut kepentingan yang diperjuangkannya.

Saya jadi berangan-angan: Mungkin enggak, ya, kalau sosialisasi seperti ini kelak dibikin terpadu? Misalnya, di balai kota atau tempat umum lainnya yang dapat menampung cukup massa, mungkin bisa diadakan acara yang memberi slot kepada tiap-tiap calon legislatif dari tiap-tiap partai untuk memaparkan program-programnya dan menjelaskan betapa pentingnya semua itu. Masyarakat dianjurkan untuk datang kapan pun mereka sempat untuk mengenal dan mengetahui siapa yang hendak mereka pilih. Jadi sosialisasi tidak terbatas pada simpatisan partai, atau tidak mesti dengan bergerilya ke kampung-kampung dengan memanfaatkan tokoh yang lagi populer membagi-bagikan suvenir kepada rakyat kecil tanpa sempat memberi penerangan apa-apa selain pelicin untuk memilih seseorang.

Di sisi lain, saya juga menyadari kealpaan saya yang disengaja dalam partisipasi politik. Maksudnya, memang saya emoh menunggui debat calon presiden di televisi ataupun mengikuti berita politik di koran. Bahkan, sampai ketika saya mengetik ini pun, saya tidak yakin nanti hendak menyalakan televisi dan mencari acara yang dapat mencerahkan saya tentang politik lagi. Di koran pun pastinya ada berita-berita lain yang jauh lebih menarik untuk dibaca daripada tentang politik.

Dengan begitu, saya merasa pada akhirnya preferensi politik merupakan soal "jodoh", yang sedikit banyak berkaitan dengan lingkungan pergaulan. Contohnya, saya dapat mengenal tokoh politik tertentu karena kawan saya menawari saya untuk menemani dia ke acara sosialisasinya. Apakah, setelah diberi pelicin berupa makan siang di hotel mewah dan berbagai suvenir, saya akan memilih tokoh tersebut? Yeah, memangnya siapa lagi calon legislatif yang saya kenal sehingga dapat diperbandingkan dengan yang satu itu? Saya tidak mau repot-repot menelusuri juga, karena sehabis ini mesti membereskan tumpukan cucian, membersihkan lantai, belajar, berlatih, membaca, tidur, dan seterusnya dan sebagainya.

Sayang sekali, pada kesempatan kemarin itu, waktu pelaksanaannya mundur sehingga tiap-tiap pembicara diberi slot yang sangat terbatas untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang padahal menarik dan akan terlalu rumit untuk dipelajari seorang diri. Tetapi, sepertinya ini bukan semata salah peserta yang datang terlambat atau apalah. Malah, yang datang paling lambat itu si calon legislatif sendiri. Biasalah, bintang utama dimunculkan belakangan.

Saya jadi berharap jangan sampai kepentingan-kepentingan nan mulia itu terlambat pula diwujudkan, sehingga malah kepentingan yang berseberangan yang keburu unggul atau malah calon legislatif baru pada periode pemilihan berikutnya kembali dengan program serupa yang belum sempat diwujudkan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain