Rabu, 06 Maret 2019

Melihat-lihat Pameran Putu Wijaya

Pameran ini diadakan pada 1-3 Maret 2019 di Gedung YPK Jalan Naripan, Bandung. Barang yang dipamerkan kebanyakan berupa lukisan Putu Wijaya. Banyak pula poster pementasan serta artikel yang memuat tentang beliau. Selain itu, ada bagian yang agaknya menampilkan barang-barang pribadi beliau seperti koper, mesin tik, hingga buku-buku yang telah diterbitkan.

Karena yang jaga bilang boleh foto-foto, maka saya ambil saja semuanya 

Begitu hendak memasuki ruang pameran, kita dihadapkan pada kutipan dari beliau.

Hidup ini bukan hadiah, tetapi utang yang harus kita tebus dengan keringat.
Di sebelah kiri ada meja registrasi tempat kita membubuhkan nama, alamat, nomor telepon, surel, dan tanda tangan. Setelah mengisi data diri lalu terus berjalan ke kiri, mulailah kita disuguhi pameran lukisan beliau.

Yin yang untuk harmoni dan toleransi
Merah putih selalu diayomi
Merdeka buah darah dan air mata
Seribu warna satu rasa
Kesatuan tak lenyapkan keaslian
Tetap indah walau air berlimpah
Begitu masuk ke bagian belakang dari sebelah kiri pintu masuk, di sebelah kanan dipajang poster-poster pementasan beliau baik di dalam maupun luar negeri. Terdapat juga artikel-artikel koran yang berupa wawancara serta kunjungan arsitektural ke rumah beliau yang bergaya Jepang-Bali.


Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat pameran yang agaknya barang-barang pribadi beliau berikut buku-buku yang pernah diterbitkannya. Sayang, kita tidak boleh memasuki area berkarpet merah ini. Padahal asyik sekiranya kita mendapat kesempatan membaca-walaupun-sepintas-lalu buku-buku beliau. Kalaupun bukan di sini, saya ingat, buku-buku lawas beliau dapat dibaca secara cuma-cuma di Perpustakaan Ajip Rosidi, tidak jauh dari muka Jalan Garut, di belakang Bandung Creative Hub Jalan Laswi.


Berhadapan dengan zona merah terdapat satu kutipan lagi dari beliau.

Kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tak putus-putus.
Di sayap satunya sisi belakang ruangan merupakan sambungan dari pameran poster dan artikel.


Sementara itu, pameran lukisan terus berlanjut di seberang benda-benda lainnya itu.

Kurang kering berlimpah banjir
Tumbuh sendiri tak menunggu dikasihani
Dwi warna di rimba bhineka
Beragam dalam cahaya bulan
Disapa gerhana matahari total
Danau tiga warna, bagai trisila dasar negara
Bagai puncak gunung makin tinggi kian sunyi
Gotong-royong bukan sekadar saling menolong
Silaturahmi jembatan hati
Wah, kita sudah sampai kembali ke depan, bertemu lagi dengan meja registrasi. Memang ruangan ini disekat menjadi dua dengan ruang-ruang untuk lewat di kedua tepinya, sehingga pengunjung menyusuri seluruh pameran dengan memutarinya.

Awalnya saya kebingungan ketika dihadapkan dengan lukisan beliau. Bagaimanakah cara mengapresiasinya? Sepintas yang saya lihat seperti sekadar lukisan cat air yang dibubuhkan dengan jari-jemari. Sepertinya judul yang diberikan dapat membantu kita untuk memaknai lukisan. Mungkin kita juga memerlukan imajinasi untuk meresapinya.

Seperti ketika melihat lukisan "Merah putih selalu diayomi", bentol warna-warni yang mengepung merah-putih itu menyerupai kerumunan kepala orang. Warna-warni boleh jadi mewakili keberagaman mereka. Jadi, coba bayangkan kerumunan orang yang beraneka ragam berusaha mendekati kesatuan yang dilandasi oleh semangat merah darahku putih tulangku itu. Melihat dari judulnya yang mengandung kata "ayom", yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "lindungi", maka seolah-olah kerumunan orang itu tengah melindungi merah dan putih yang mendominasi.

Namun, di lukisan selanjutnya yang berjudul "Merdeka buah darah dan air mata", kerumunan kepala orang berwarna-warni itu malah seperti yang mengoyak-ngoyak kesatuan merah-putih sehingga terpotong ke mana-mana, tidak lagi utuh. Yang tadinya tampak rapi di lukisan selanjutnya, kini menjadi semrawut. Padahal judulnya mengandung kata "merdeka". Masakkah, setelah mengerahkan darah dan air mata, yang berbuah kemerdekaan, jadinya yang tampak malah kesemrawutan?

Baru di lukisan menuju ujung, "Beragam dalam cahaya bulan", saya baru menyadari permainan warna. Saya terpukau oleh cahaya bulan merah dilatari hitam yang memengaruhi warna-warni di bawahnya. Walaupun bentol-bentol tersebut berwarna-warni, namun tidak asal warna-warni, melainkan warna-warni yang kemerahan akibat pantulan cahaya bulan merah di atasnya.

Saya pun melihat lagi lukisan-lukisan di sekitarnya, terutama "Tumbuh sendiri tak menunggu dikasihani" serta "Disapa gerhana matahari total". Rasanya saya mulai terpikat pada gambaran sesuatu yang berpendar menerangi kekelaman di sekitarnya.

Satu lagi yang menarik yaitu "Kurang kering berlimpah banjir". Walaupun judulnya mengesankan keadaan yang basah kuyup, namun lukisannya sendiri sepintas lalu menyerupai asap kemerahan yang mengepul padat ke angkasa, sedang warna hijau di sekitarnya seolah-olah melambangkan hutan yang terbakar. Kalau boleh dihubung-hubungkan, lukisan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kebakaran hutan dapat berujung pada kelimpahan banjir akibat tidak adanya lagi tegakan yang menahan air. Judul yang melengkapi lukisan seolah-olah menyampaikan suatu siklus fenomena alam yang seharusnya menjadi peringatan bagi manusia supaya tidak terdampak oleh bencana.

Asalkan kita mau diam sejenak dan memerhatikan sembari berpikir--mengaitkan berbagai hal dengan bantuan imajinasi, ternyata banyak yang dapat timbul di benak kita sebagai bahan perenungan.

Di antara lukisan-lukisan di atas, manakah yang paling berkesan atau memantik pikiranmu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain