Sabtu, 23 Maret 2019

Petualangan Menaklukkan Petir Mama Super Protektif

Muncul notifikasi di Instagram. Teman saya mengajak datang ke pemutaran suatu film anak-anak tentang petir. Karena sudah agak lama tidak bersua si teman, saya pun mengiyakan. Tempatnya di Bale Motekar Universitas Padjajaran.

Karena teman saya berencana menginap malamnya, maka saya pergi tidak membawa sepeda supaya pulangnya bisa bareng naik kendaraan umum. Pemutaran pukul empat sore. Tadinya saya hendak berangkat dari sebelum waktu asar. Kalau salat asar dulu di rumah, khawatirnya telat sampai di lokasi. Tetapi, rupanya, ada saja yang bikin saya lelet. Jadinya saya berangkat dari rumah setelah waktu asar.

Ketika saya sudah menaiki angkot 01 menuju seberang Universitas Langlangbuana, teman saya memberi tahu bahwa ternyata ia salah kasih arahan. Bale Motekar bukan di Jalan Ir. H. Juanda, melainkan di dekat Jonas, Jalan Riau.

Santai.

Saya melanjutkan naik angkot Kalapa-Dago. Saya berencana turun di seberang Riau Junction kemudian dari sana melanjutkan dengan angkot Margahayu-Ledeng atau mana pun yang melewati dekat Jonas.

"Tiket sudah di tangan yes."
Saat itu hujan rintik-rintik seperti dalam lagu "Widuri". Setelah turun dari Kalapa-Dago, saya menyeberang. Sembari menunggu ada angkot yang lewat, saya menyusuri Jalan Riau menuju Jonas. Tetapi, biarpun sebelumnya di dekat Riau Junction saya melihat ada beberapa angkot Margahayu-Ledeng, kok tidak ada yang melintas? Jonas semakin dekat. Saya merasa tanggung jadinya kalau naik angkot. Teman saya mengirimkan gambar bahwa ia telah memperoleh tiketnya. Saya minta maaf karena saat itu sudah pukul empat lewat sehingga dalam bayangan saya kami akan terlambat yang mana sangat enggak enak. Saya terus berjalan cepat-cepat sampai tujuan di tengah syahdunya sore kelam.

Nah, ini dia tempatnya!
Saya pun tiba di Bale Motekar, masuk lewat samping. Saya diarahkan oleh satpam untuk memasuki gedung dari sisi satunya dan naik ke lantai tiga. Kemudian saya menemukan dua teman saya sedang duduk. Kami pun memasuki ruangan bioskop yang hampir persis dengan yang ada di XXI hanya saja yang ini berukuran mini dan ...

... tidak ada seorang pun ...?

Kedua teman saya sama kagetnya sebab sedari tadi mereka asyik mengobrol dan sepertinya tidak memerhatikan adakah calon penonton film selain mereka. Masak yang bakal menonton cuma kami bertiga?!

Aa-aa petugas bioskop menghampiri. Ia memaklumkan bahwa tidak akan ada yang datang lagi. Dengan segera ia bersiap-siap memutarkan film. Kami pun dapat dengan bebas memilih tempat duduk yang semuanya kosong. Saya memilih kursi tepat di tengah-tengah. Kedua teman saya ada di kanan-kiri saya. Aa-aa itu memadamkan lampu dan menutup pintu.

Trailer demi trailer film Indonesia antimainstream bermunculan. Kok filmnya ngeri semua? Yang lebih ngeri lagi ketika film yang hendak berjalan malah berjudul Tengkorak.

Kami buru-buru keluar dari ruangan yang gelap lagi cuma diisi bertiga itu.

Setelah mengonfirmasikan ke penunggu di ruangan sebelah, kami masuk lagi ke ruangan bioskop dan berharap kali ini tidak salah putar. Ya ampun. Ekspektasi saya kan film anak-anak yang ceria, bukan film tentang gempa Jogja 2006 yang menyeramkan.

Alhamdulillah, kali ini film yang benar.

sumber gambar

Film dibuka dengan kegiatan tokoh utama, bocah seusia SD bernama Sterling, membuat konten-konten Youtube. Tampaknya channel miliknya ramai dikunjungi oleh anak-anak sepantarannya. Meski begitu, di tengah komentar anak-anak, selalu terselip komentar ibunya, Beth, yang rupanya seorang bloger dengan tema cara-cara mendidik anak.

Rupanya sampai waktu itu Sterling tinggal di Hongkong. Ia akan pindah ke Indonesia. Sebelum tinggal di Jakarta, ia akan menghabiskan liburan lebih dahulu di rumah kakeknya di Boyolali.

Awalnya Sterling merasa sedih dengan kepergiannya dari Hongkong. Ia sudah terbiasa menjadi anak rumahan, atau lebih tepatnya, apartemenan. Ia cemas tidak akan bisa leluasa membuat video-video Youtube seperti biasanya.

Kecemasan Sterling tidak berlangsung lama begitu ia bertemu dengan kawan baru, Gianto atau Jaien (yang memang baik postur maupun sifatnya agak mirip dengan teman Nobita itu sih). Jaien suka mengajak Sterling ke luar rumah, mulai dari musala, lapangan, sampai perbukitan. Yang cemas justru ibunya Sterling. Rupanya Mbak Beth ini sangat protektif. Anaknya tidak boleh kotor, tidak boleh celaka, dan sebagai-bagainya, yang menumbuhkan kecurigaan teman saya bahwa ada Rinso di balik semua ini.

Mengetahui kesukaan Sterling merekam segala sesuatu, Jaien memanfaatkan dia untuk mewujudkan cita-citanya menjadi aktor. Jaien rupanya sangat terpesona akan dunia perfilman, walaupun wawasannya terperangkap di era '70-'80-an dan hanya menjiplak perkataan seorang mas-mas sineas-gagal yang dikenalnya. Sterling mau-mau saja menerima ajakan Jaien. Jaien juga berhasil menjebak memanipulasi mendorong teman-temannya yang lain untuk ikut serta. Tadinya mereka juga ingin melibatkan duo mas-mas tukang bikin video kawinan, tetapi keduanya tidak sudi. Anak-anak pun bikin film sendiri.

Namanya juga anak-anak. Ada saja kelucuan saat pengambilan gambar. Oh, ya, mereka hendak memfilmkan buku komik Legenda Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir atau semacam itulah. Bukan film biasa jadinya, mestinya.

Namanya juga anak-anak. Adakalanya mereka bertindak tanpa perhitungan. Ketika sedang mengambil gambar di suatu gubuk kosong, Jaien mendorong pemain lain ke dinding sehingga menjatuhkan lampu teplok. Lampu itu jatuh dan membakar seisi gubuk. Mau tidak mau pembuatan film dihentikan. Walaupun Sterling dan Jaien sudah meminta maaf kepada pemilik gubuk, namun akibatnya kejadian itu diketahui oleh orang tua mereka. Mbak Beth melarang Sterling untuk membuat film lagi. Kameranya diambil.

Sementara waktu, Mbak Beth pergi ke Jakarta untuk mengurus rumah, sekolah, pekerjaan, dan entah apa lagi. Sterling ditinggal berdua bersama kakeknya. Bersama Jaien dan Netha--teman perempuan mereka yang turut terlibat dalam film--anak-anak merengek kepada duo mas-mas tukang bikin video kawinan, untuk membantu mereka melanjutkan proyek itu.

Berkat kegigihan anak-anak, kedua mas-mas itu pun luluh. Mereka mengajak anak-anak pergi berkemah dengan mobil bak. Di hutan mereka diajarkan untuk mengembangkan imajinasi. Kemudian saat malam mereka membuat film dari siluet guntingan-guntingan kertas. Rupanya, biarpun kemampuan mereka dalam membuat film fenomenal diragukan, kedua mas-mas ini berbakat menjadi mahasiswa KKN. Mungkin di samping jasa pembuatan video kawinan, mereka bisa membuka usaha workshop pengajaran video kreatif untuk anak-anak.

Sementara berkemah, Sterling mengabaikan panggilan telepon dari ibunya. Baru ketika pulang ke rumah kakeknya, Sterling mengungkapkan mengenai kegiatannya semalam kepada ibunya. Ibunya marah-marah. Kakek memberi nasihat. Tetapi lalu tiba-tiba turun hujan dan muncul petir. Sterling membuka-buka buku komik yang menjadi inspirasi filmnya. Ia sampai pada halaman seorang lelaki berkumis dan berbelangkon mengatakan, "SELESAIKAN APA YANG KAMU MULAI."

CETAR!

Sampai di sini, kalau cerita dilanjutkan, sepertinya akan menjadi SPOILER.

Sterling bersama Gianto a.k.a. Jaien (berkostum ala Bruce Lee), 
yang dengan semena-mena mengubah namanya jadi Tarling. 
Lu kira gitar-suling?! (sumber gambar)

Saya puas sekali menonton film ini, walaupun ternyata tidak gratis, melainkan diam-diam dibayari oleh teman saya sebesar sepuluh ribu. (Padahal saya sudah dengan pedenya bertanya kepada si aa-aa, apakah pemutaran film di tempat ini selalu gratis. Aduh!) Apalagi di ruangan bioskop hanya ada kami bertiga, sehingga bisa bebas berteriak-teriak dan terbahak-bahak larut dalam keriaan anak-anak yang berakting laga dengan properti seadanya.

Memang sih ada yang mengganjal mengenai sikap Mbak Beth alias Mama Sterling yang teramat protektif. Kami semacam penasaran mengenai backstory karakter ini (#halah)--apakah gerangan yang menyebabkan dia sampai sebegitunya?

Apakah Sterling ini sakit-sakitan sehingga tidak boleh kena kuman dari luar rumah barang sedikit saja? Tetapi, sama sekali tidak ada adegan Sterling pilek atau demam di sini.

Apakah Mbak Beth enggak mengalami romantika asyiknya berkeliaran di luar rumah bersama teman-teman sebaya pada waktu kecilnya? Malah, sebaliknya, dalam satu adegan diperlihatkan foto-fotonya sewaktu kecil sedang bersama sepeda dan tampaknya ia aktif di luar rumah. Tetapi, kenapa kemudian ia menjadi ibu yang terlalu dominan?

Selain itu, sebagai pakar pendidikan anak--setidaknya di blog--yang notabene warga dunia kosmopolitan, mestinya Mbak Beth melek dengan perkembangan isu terkini, dong? Maksudnya, apakah ia tidak pernah membaca tentang isu-isu seperti hikikomori, lelaki herbivora, MGTOW, dan sebagainya, yang sedikit-banyak menyinggung laki-laki pasif yang maunya di rumah saja? Sekiranya Mbak Beth mengindahkan isu-isu semacam itu, boleh jadi ia malah akan mendorong anaknya supaya seaktif-aktifnya berteman di luar rumah.

Kenapa sih kau ini, Mbak Beth? Kau ini feminis atau apa kok maunya mengeram anak laki-laki di rumah saja? #eh

Apakah jangan-jangan sementara di Hongkong mereka tinggal di lingkungan triad sehingga wajar saja bila keluar dari rumah itu berbahaya? Ini pun tidak diungkapkan.

Mau yang mana pun, kalau menempatkan diri dalam sudut pandang anak-anak, mereka tidak akan sampai sebegitunya jauh menimbang perwatakan karakter Mama Sterling. Yang penting pada akhirnya semua orang berbahagia menonton film tentang avatar petir versi Jawa yang berhasil diselesaikan itu. Anak-anak para pemain film pun saling berpelukan.

sumber

Informasi pemutaran film di bioskop alternatif Bale Motekar tiap Senin-Minggu bisa dilihat di Instagram @indicinemabandung. Yang diputar biasanya film Indonesia. Harga tiket Senin-Jumat Rp 10.000, Sabtu-Minggu Rp 15.000.



Foto-foto selain poster/potongan film dan gif Teletubbies diambil oleh Nurul Maria Sisilia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain