Rabu, 18 Maret 2020

Sudah "Hijau"-kah Pemikiranmu?

Pertanyaan itu tersiratkan dalam acara bertajuk "Think Green" yang diselenggarakan Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Sabtu lalu (14 Maret 2020) di Greko Creative Hub. Acara ini terdiri dari dua sesi, yaitu talkshow dan workshop.

Sembari menunggu talkshow dimulai (sekaligus para peserta datang), ada band yang bermain di pojok kiri depan ruangan. Lagu-lagu yang dibawakan band ini sepertinya sengaja dipilih agar berhubungan dengan tema acara. Beberapa lagu yang saya ketahui terkenal dibawakan oleh Michael Jackson, yaitu "Heal the World" serta "Earth Song".

Tiket masuk diperoleh setelah mendaftar
lewat scan barcode pada gambar informasi acara.
Merchandise mini untuk ditempelkan di punggung gadget.
Bangku penonton yang berdesain unik.
Penampilan band.

I. TALKSHOW

Ada tiga orang pembicara yang masing-masing mewakili Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Parongpong RAW Management, dan Greeneration Foundation.

Yayasan Konservasi Alam Nusantara

Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) ada sejak 1991 dan berafiliasi dengan The Nature Conservancy sejak tiga tahun belakangan.

Sally Kailola dari YKAN, atau akrab dipanggil Mbak Usi, membuka sesinya dengan bertanya kepada para peserta mengenai maksud dari "Think Green" yang menjadi tajuk acara. Dalam bahasa saya sendiri sih, "Think Green" itu kurang lebih berarti suatu pola pikir agar aktivitas seseorang sebagai manusia dapat menahan laju kerusakan lingkungan hidup.

Mbak Usi kemudian memaparkan persoalan-persoalan lingkungan hidup dewasa ini. Dengan populasi dunia yang telah mencapai 7,7 miliar, manusia dewasa ini memiliki dampak yang begitu besar terhadap lingkungan hidup melalui aktivitas-aktivitas berikut (atau disebut juga dengan "antropogenik"):
  • reproduksi
  • konsumsi berlebihan
  • eksploitasi berlebihan
  • polusi
  • deforestasi
Semua ini terjadi sejak Revolusi Industri (1760-1840). Pada awalnya revolusi ini terjadi untuk mengatasi tiga masalah utama umat manusia, yaitu kelaparan, peperangan, serta pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang.

Akan tetapi, Revolusi Industri kemudian berlangsung secara tidak terkendali sehingga mengakibatkan berbagai masalah. Di antaranya adalah problem "overshoot". Istilah tersebut kurang lebih berarti pemakaian sumber daya melampaui jatah, sehingga tidak menyisakan cukup cadangan bagi generasi selanjutnya. 

Yang menarik, Indonesia sebagai negara keempat berpopulasi terbesar di dunia rupanya termasuk yang tingkat overshoot-nya paling belakang. Apakah karena cara hidup kita yang tidak terlalu boros energi, ataukah karena sumber daya negara kita yang demikian melimpah itu lebih banyak dimanfaatkan oleh negara-negara lain? 

Gambar dari Earth Overshoot Day.

Dari keterangan ini pula saya menarik kesimpulan (yang mungkin saja gegabah ) bahwa tinggal di negara maju itu--walaupun terkesan wah, keren, apalah--belum tentu lebih baik, kalau akibatnya gaya hidup kita menjadi lebih boros sumber daya. (Dan, masukkan lagu itu, "Lebih baik di sini ... rumah kita sendiri ....")

Mbak Usi mengajukan saran kepada para peserta--sebagai generasi muda yang lekat dengan gadget dan media sosial--agar menginspirasi orang lain untuk mulai "think green" lewat status/postingan

Kalau ingin tahu lebih lanjut tentang Yayasan Konservasi Alam Nusantara, bisa cek media sosial mereka, di antaranya Instagram (@id_nature) dan website (http://www.sayasigap.org/).

Parongpong RAW Management

Pada sesi ini tampil Gadis, yang bertahun-tahun lampau pernah saya lihat di suatu acara tentang ruang publik di Common Room. Gadis tidak berbicara banyak, karena ia akan punya banyak waktu lagi nanti pada saat workshop. Ia hanya meminta para peserta untuk menutup mata dan membayangkan pengalaman paling indah juga yang paling buruk yang pernah diperoleh. Selain itu, ia memperkenalkan konsep Jawa, "memayu hayuning bawana", yang berarti "memperindah keindahan dunia"--hal yang sepertinya berkebalikan dengan kelakuan manusia pada umumnya.

Greeneration Foundation

Greeneration pertama kali saya kenal pada waktu kuliah, dari seorang teman yang mahasiswi Teknik Lingkungan ITB angkatan 2007. Memang kelompok ini diinisiasi oleh seorang mahasiswa dari jurusan yang itu juga pada 2006, dan awalnya hanya berupa gerakan kampus. Lama berselang, kini Greeneration telah menjadi organisasi legal.

Mewakili Greeneration, Saiful (--mudah-mudahan benar penulisannya--) menjelaskan mengenai organisasinya, program-program mereka, dan seterusnya.

Ada beberapa hal menarik atau baru saya dengar dari pemaparannya, yaitu istilah "circular economy" serta situs http://www.bebassampah.id/.

Circular economy menggunakan sumber daya dengan sebaik mungkin, alih-alih sebanyak mungkin. Sistem perekonomian ini berarti menghasilkan produk yang tidak menghasilkan sampah. Limbah yang dihasilkan mesti dapat diolah kembali sehingga memiliki nilai guna.

Adapun situs http://www.bebassampah.id/ atau Portal Informasi dan Wadah Kolaborasi Persampahan Nasional merupakan semacam pemetaan yang memberikan informasi mengenai tempat-tempat untuk menyalurkan dan mengolah sampah, misalnya saja: bank sampah, jasa reparasi, galeri craft, dan semacamnya. Seketika mendengar tentang itu, saya pun langsung mencoba mengaksesnya di gadget saya. Memang keluar informasi seperti jumlah bank sampah, pengepul, TPS, dan semacamnya, tapi ketika saya klik, tidak muncul apa-apa. Ketika saya tanyakan kepada Saiful seusai acara, dia bilang bahwa pengakses mesti mendaftar terlebih dahulu. Diharapkan, yang mengakses bisa sekaligus menambahkan data.

Ide website ini hampir-hampir seperti aplikasi mySmash, yang khusus mendata bank sampah. Tapi, terakhir kali menginstalnya, aplikasi tersebut kurang up to date.

Pemandangan dari bangku paling atas tepat di tengah.
Dari kiri ke kanan: pembawa acara (baju biru), Saiful (baju pink),
Gadis (baju batik), dan Mbak Usi (baju putih).

Diskusi

Dalam sesi ini berseliweran pertanyaan-pertanyaan maupun pengalaman-pengalaman.

Karena kebanyakan peserta yang hadir merupakan anak muda, muncul pertanyaan: bagaimana supaya didengarkan? Apalagi oleh orang tua sendiri. Anak muda cenderung lebih peka terhadap isu lingkungan hidup, tapi orang tua telah terbiasa melakukan cara-cara yang tidak lestari dan sulit sekali memberitahukannya.

Beberapa cara yang bisa dilakukan, yaitu:
  • Memperlihatkan. Saiful menceritakan pengalamannya saat membeli makanan di suatu warung dan menolak diberikan plastik. Ia prihatin ketika ibu penjaga warung mengatakan bahwa kalau tidak diberikan plastik, maka kesannya kurang sopan. Tapi ia kukuh dengan pendiriannya, sampai-sampai ibu penjaga warung itu yang akhirnya secara tidak langsung "menyosialisasikan" perilakunya tersebut kepada para pelanggan lain.
  • Mengajak. Cara ini dilakukan oleh Mbak Usi yang memang kerap menjadi pembicara. Ia suka mengajak para keponakannya serta agar bisa turut mendengar pesan-pesan yang disampaikannya.
  • Berkolaborasi. Terus terang saya kurang menangkap tentang cara yang satu ini. Kalau boleh saya kira-kira, ini berarti turut aktif dalam gerakan-gerakan kampanye lingkungan hidup.
Seorang peserta menambahkan dengan berbagi pengalamannya dalam mengajari anak. Caranya yaitu dengan memberikan penjelasan dalam bahasa yang mudah dimengerti berikut contoh perbuatan.

Selanjutnya, beberapa peserta mengangkat isu yang dekat dengan diri mereka. Ada yang mempersoalkan stainless steel sebagai pengganti plastik, sebab ia mendengar bahwa bahan tersebut justru mempunyai dampak lingkungan yang lebih besar. Ada juga yang menanyakan tentang tempat menyalurkan sampah yang sudah dipisah yang ada di Bandung.

Salah seorang peserta mempertanyakan keterlibatan LSM dengan masyarakat kecil, misalnya saja lewat Karang Taruna. Biasanya masyarakat cenderung menyalahkan pemerintah. Contohnya, ibu si peserta mengeluh karena sudah membayar iuran sampah, tapi sampah tidak terangkut juga. Meski begitu, di tempatnya tinggal, sudah dilakukan inovasi untuk mengatasi persoalan sampah. Contohnya, pada waktu Idul Kurban kemarin, plastik pembungkus daging diganti dengan besek dan daun pisang.

Saiful menjelaskan bahwa pemerintah bukannya tidak berupaya, namun daya mereka terbatas. LSM berfungsi sebagai kolaborator pemerintah. Tapi tiap LSM punya lingkup kerjanya masing-masing. Misalnya saja, program-program Greeneration cenderung pada edukasi. Ada lagi LSM Waste4Change yang fokusnya lebih praktis, yaitu pada waste management. Selain itu, setelah ditanyakan, rupanya iuran sampah yang dibayarkan sangatlah kecil, sekitar Rp 3.000-5.000 per rumah, sementara ekspektasi terhadap petugas sampah begitu tinggi: tidak hanya mengangkut sampah, tapi juga membersihkan got dan sebagainya.

Acara ini disudahi sekitar pukul 12. Begitu keluar ruangan, satu per satu peserta diberikan santap siang dalam besek yang diikat dengan pita. Di dalamnya ada nasi, tempe bacem bulat, ayam kecap, lalap, sambal, kerupuk, dan pisang 

II. WORKSHOP

Usai santap siang, kami kembali ke ruangan. Acara kali ini sepenuhnya milik Gadis. Ia meminta para peserta untuk memperkenalkan diri: di samping menyebutkan nama, juga komitmen yang sedang ataupun ingin dilakukan untuk mengatasi problem lingkungan. Beraneka jawaban para peserta lain sementara saya menyusun daftar saya sendiri:
  • Membuat ecobrick
  • Menolak kantung plastik (atau membawa sendiri dari rumah)
  • Membawa wadah sendiri untuk membeli makanan
  • Membuat kompos
  • Membuat ecoenzyme
  • Menggunakan pembalut buatan sendiri dari pakaian bekas
  • Mengurangi belanja pakaian baru
Dan seterusnya.

Setiap peserta yang telah memperkenalkan diri berikut menyatakan komitmennya, oleh Gadis diberikan selembar sticky note biru bertuliskan nama benda. Saya sendiri dan orang di sebelah kanan saya mendapat "KERTAS FOLIO BEKAS". Teman di sebelah kiri saya mendapat "KERTAS BON ABU".

Setelah lebih banyak peserta kembali dan mendapatkan giliran masing-masing, Gadis pun memulai presentasi. 

Ia memperkenalkan tentang usahanya, yaitu Parongpong RAW Management (IG @parong.pong dan website https://www.parongpong.com/) yang punya tujuan antara lain menormalisasi pilihan untuk zero waste. Mereka tampaknya punya macam-macam usaha, mulai dari menjual komposter, mengolah sampah, sampai membuat rumah mini.

Selanjutnya ia menerangkan tentang pengertian sampah, macam-macam sampah, serta persoalan seputar sampah yang melanda dunia sekarang. Sampah atau waste diartikan sebagai hasil dari segala aktivitas manusia yang menggunakan sumber daya tetapi tidak memiliki nilai (value) lagi. Di Parongpong RAW Management, sampah tidak disebut sebagai "sampah". Mereka menyebut tempatnya sebagai material recovery center.

Gadis menunjukkan cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi bahkan meniadakan sampah lewat gambar-gambar sebagai berikut.

Gambar dari BioEnergy Consult.
Gambar dari Greenworks.
Gambar dari Michigan State University.
Petunjuk ini akan jauh lebih mudah dilakukan
kalau kamu memang tidak punya banyak uang! Hahaha ....

Dari gambar-gambar di atas agaknya kita bisa menarik pesan bahwa gaya hidup sederhana dengan menggunakan sumber daya sesedikit mungkin adalah koentji, dan sebisa mungkin tidak ada yang sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). 

Gadis pun mengungkit tentang insiden-insiden yang pernah terjadi baik pada petugas sampah maupun warga di sekitar TPA. Ia mendengar cerita bahwa ada petugas yang kena tetanus dan akhirnya mati akibat tertusuk oleh sampah tajam dan lalu terkontiminasi oleh sampah kotor (popok bekas). Dalam skala luar biasa, pada 2005, pernah terjadi tragedi TPA Leuwigajah. Sampah-sampah yang telah menggunung di TPA tersebut sekonyong-konyong meledak sehingga menimbun pemukiman di dekatnya. Banyak korban jiwa yang meninggal dunia, belum lagi rumah yang rusak. Gila, bukan? Gunung sampah itu mungkin meledak akibat timbunan gas metana yang dihasilkan oleh sampah organik (: sisa makanan dan sebagainya) yang membusuk.

Kalau mau sedikit saja berempati kepada mereka--entahkah petugas sampah maupun warga di sekitar TPA--yang nyawanya terancam oleh hasil buangan itu, maka mengurangi bahwa meniadakan sampah menjadi keharusan.

Gadis menganjurkan agar kita memiliki alasan personal untuk memulai hidup hijau. Misalnya saja, tidak mau mengambil jatah sumber daya untuk anak cucu. Kalau bagi saya pribadi, tampaknya supaya ringan beban pertanggungjawaban di akhirat. (Kejauhan mikirnya, ya.)

Selanjutnya, masuk ke sesi workshop walaupun hanya berupa simulasi. 

Gadis mengerucutkan uraiannya menjadi satu solusi, yaitu membuat kompos. Masalah yang biasanya timbul dalam membuat kompos, sehingga orang malas melakukannya, antara lain karena bau dan memunculkan ulat-ulat kecil. Padahal masalah tersebut bisa diatasi jika memerhatikan komposisi sampah yang dimasukkan ke komposter, yaitu 3 sampah hijau : 4 sampah cokelat

Yang dimaksud dengan sampah hijau adalah sampah organik yang cepat membusuk, seperti sisa sayuran dan buah. Sedangkan sampah cokelat adalah sampah organik yang tidak lekas terurai dan semestinya dicacah dulu sebelum dimasukkan ke komposter, contohnya kertas bekas dan kulit telur.

Kedua sampah tersebut dimasukkan secara berlapis-lapis dengan memerhatikan rasionya. Setelah itu, tentu saja sampah perlu tetap diaduk sesekali supaya tercampur baik.

Dengan sticky note biru bertulisan nama benda di tangan masing-masing, para peserta diminta untuk membentuk kelompok-kelompok berdasarkan pada komposisi yang tepat di dalam komposter itu.

Terbentuklah lima kelompok. Meski begitu, satu kelompok merupakan pengecualian karena terdiri dari sampah residu. Residu adalah jenis sampah yang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, misalnya saja pecahan beling. Sampah ini hanya akan ditumpuk begitu saja di TPA. Mengingat acara lainnya yang baru-baru ini saya hadiri, jangan-jangan ada di antara sampah residu itu yang sebetulnya dapat dimanfaatkan menjadi barang dekoratif dengan teknik mix media 

Dari tiap-tiap kelompok, diambil satu pemimpin yang maju untuk membacakan bahan-bahan yang terkumpul. Dari lima kelompok, rupanya tiga di antaranya salah memasukkan bahan, sedangkan dua lagi (termasuk kelompok sampah residu) kekurangan bahan. Di sinilah terungkap bahwa kita tidak bisa sembarang memasukkan bahan, terutama kertas bekas, ke dalam komposter.

Para pemimpin membacakan perolehan masing-masing kelompoknya.

Kertas ada banyak macamnya. Yang bisa dimasukkan ke komposter hanyalah kertas yang tidak mengandung bahan lain yang dapat mengganggu proses pengomposan. Bahan lain yang "haram" masuk itu adalah plastik, lilin, minyak, dan semacamnya. 

Bahan lain yang juga "menjebak" adalah tulang, apalagi yang ada sisa daging.

Untuk membantu proses pengomposan, kita dapat menggunakan cairan MOL (mikroorganisme lokal) atau EM4. Kita juga bisa membuatnya sendiri dengan air bekas cucian beras atau air kelapa.

Simpulan

Sepintas, acara ini seperti acara lainnya tentang sosialisasi permasalahan lingkungan hidup yang pernah kami ikuti. Selain itu, wawasan ini sudah tersebar di mana-mana, khususnya media sosial. Tapi, boleh jadi itu karena kami sudah punya sedikit kepedulian terhadap persoalan ini, sedangkan bagi banyak orang lainnya belum.

Di samping menguatkan pengetahuan yang sudah ada, acara ini memberitahukan saya beberapa istilah baru. Juga, selama ini upaya pengomposan saya masih asal-asalan. Simulasi pada workshop mengingatkan saya agar memerhatikan lagi bahan yang dimasukkan untuk mengompos. (Yang lebih malas lagi yaitu mengaduk-ngaduknya!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...