Semalam Ipong kembali bermimpi jadi pudel.
Pemiliknya mengikali rambutnya hingga makin bergelora, dan
menambahkan pita merah muda mengilap. Ia lalu dibawa ke festival anjing.
Tangan-tangan lentik bergantian menjamahi badannya yang tidak lebih besar dari buah
semangka. Di akhir acara, ia dinobatkan sebagai anjing tercantik. Sepasang
tangan memasangkan tiara di atas kepalanya.
Ipong bangun berkeringat. Mimpinya sungguh lain dari yang ia
harapkan. Ia naikkan sedikit tepi celananya, mengintip. “Masih ada…” desahnya
lega.
Mimpi itu pasti pertanda buruk, sebab siangnya Ipong
lagi-lagi ditunjuk mengisi sopran[1] untuk
lomba vocal group mendatang. “Kenapa
bukan tenor[2],
Buuu?” Ia gentayangi Bu Euis selaku pembimbing ekskul dengan suara diberat-beratkan.
Sekarang ia dua SMA sementara usianya jelang tujuhbelas tahun, tapi Bu Euis
tetap pada keputusannya untuk membuat Ipong merana sepanjang masa—setidaknya
sampai ada hal lain yang mengalihkan perhatian.
Semasa SMP pun, hampir Ipong mangkir dari ekskul teater
karena lakon yang dihibahkan padanya selama dua tahunan itu tak pernah berubah:
eneng-eneng, nyonya-nyonya, atau nenek-nenek—dan semuanya genit kalau bukan
cerewet. Tidak pernah jagoan sangar dari kampung seberang, atau minimal pemuda
baik-baik dari keluarga terpandang. Memasuki SMA, trauma akibat perlakuan
tersebut masih menyisa hingga Ipong menghindari ekskul teater betapapun ia
menyukai dunia pentas.
Apalagi karena penampilannya tidak kunjung menampakkan ciri
pubertas. Jakun sungkan menonjol. Rambut-rambut segan bertumbuh. Dan yang
paling menyesakkan adalah, tinggi enggan bertambah. Mama bilang ia mungkin
kekurangan hormon. Bisa saja Ipong maklum kalau menyadari orang-orang dalam
keluarganya mulai dari mama, papa, paman, bibi, uwak, nenek, sampai kakek
memang rata-rata berukuran agak kurang dari lumayan. Tapi dengan kemungkinan
munculnya gen resesif, ia berharap kelak dapat menjadi anomali dalam keluarga.
Karena Rieka tidak pernah memilih cowok yang tingginya setara
tinggi cewek rata-rata. Pacar Rieka selalu berukuran 165 cm ke atas—lama-lama
170 ke atas. Mereka juga punya reputasi entahkah sebagai pentolan geng motor,
aktivis OSIS, ketua ekskul, atau minimal penyandang “akang terganteng” maupun
“ter” lainnya dalam konotasi positif bersadarkan angket yang melibatkan siswa
satu angkatan di sekolah negeri favorit. Maka segala daya dan upaya Ipong
kerahkan. Mulai dari basket, renang, sampai kini ia kecanduan susu dan minyak
ikan. Tentunya ia jajal juga OSIS dan macam-macam ekskul dan menjadi yang
paling vokal di antara yang vokal.
Bagaimanapun berteman dengan Rieka tidaklah sepayah upaya
menjadi pacarnya. Apalagi bagi cowok sesupel Ipong. Ia sudah akrab dengan cewek
itu semenjak MOS SMP. Tentunya pada waktu itu ia belum sadar kalau dalam
pandangan pertama saja ia sudah tidak memenuhi kualifikasi sebagai pacar cewek
itu. Hubungan mereka kian intens berkat pertemuan-pertemuan OSIS yang memeras
mental dan fisik—juga di vocal group.
Ia tidak tahu Rieka senang padanya karena ia bisa berbagi sudut pandang cowok
dengan suara cewek—dalam wujud menggemaskan.
Karena itulah akhirnya Ipong tahu kalau kriteria “cowok
idaman” cewek yang dipujanya sepanjang masa SMP itu selama ini didasarkan pada
siapa. Singkat cerita: Rieka menyukai Deraz pada pandangan pertama sejak pindahnya
cowok itu ke SD-nya. Tapi yang mendekati Rieka malah saudara kembar Deraz—yang
dalam hal ini senormal cowok kebanyakan. Deraz pun menjauhi Rieka yang menjauhi
kembarannya. Rieka patah hati. Begitu lulus SD, Rieka memasuki SMP yang
berlainan dengan si kembar. Tapi begitu lulus SMP, ia memilih SMA yang sama
dengan Deraz. Adapun SMAN Selonongan diambil Deraz karena merupakan SMA terbaik
yang kembarannya sanggup masuki.
Situasinya agak rumit ketika semua kembali satu sekolah
kendati Ipong hanya orang ketiga—keempat. Ia bisa memahami kegundahan Rieka
akan cinta pertama yang sangat-sangat-sangat berkesan sampai-sampai untuk
mendekati pun segan. Dadanya lapang: Walau
aku tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu, tapi aku tetap ingin melakukan
yang terbaik untukmu. (Dan mencari cewek cantik lain dengan kriteria kendor
dalam memilih cowok untuk dipacari—seseorang yang tidak akan memanggilnya “im”,
“iim”, “imut”, mencubiti pipinya, apalagi menepuk-nepuk kepalanya.)
Tidak sulit berteman dengan Deraz karena mereka satu kelas, kadang
satu bangku, lalu bertemu di OSIS, dan berjumpa lagi di komunitas band sekolah. Deraz membuatnya melupakan
Rolling Stones dan mulai mendengarkan Omar[3] dan KLCBS[4]. Deraz
membuatnya melek merek-merek ternama mulai dari arloji, botol minum, gitar,
sampai sepeda. Deraz membuatnya agak tekun saat mengerjakan PR. Deraz
membuatnya makin vokal dalam tiap perdebatan di sekre OSIS sekaligus
mempertimbangkan kesantunan berbicara pada siapapun. Deraz membuatnya menolak
rokok tiap ada yang menawari. Deraz membuatnya ingat untuk kembali berusaha
meninggikan badan dan membesarkan otot. Deraz membuatnya lebih tertarik pada
berita olahraga di koran ketimbang menonton AV beramai-ramai. Deraz membuatnya
mengurangi kegalauan soal cewek. Deraz membuatnya diam-diam bergabung dengan
Deraz Fans Club yang mayoritas anggotanya adalah cewek. Deraz membuatnya merasa
lelaki sejati! Kadang Ipong lupa kalau ia punya misi. Sekarang ia mengerti
kalau Deraz melihat cewek seperti melihat kuman. Jijik? Bukan. Kuman kan enggak kelihatan.
Maka ia sampaikan pada Rieka: “Sayang sekali, Ka. Emang elu
enggak ada di dunianya dia. Di dunianya dia emang enggak ada ceweknya. Kecuali
kalau kembarannya itu cewek, dan bukan saudara kandung, nah, tipe kayak gitu
yang bakal dia jadiin cewek.” Mereka sama tahu bagaimana Deraz selalu merangkul
kembarannya yang lain kelas itu acapkali bertemu. Namun Ipong lebih tahu
bagaimana Deraz ditodong untuk mengerjakan PR kembarannya pada jam
istirahat—dan mau-mau saja. Ipong sama sekali tidak menyangka upayanya untuk
membuat cewek itu realistis malah berbuah simalakama.
Sebagai kembaran Deraz, dalam pandangan pertama Dean nyaris
memenuhi separuh kriteria Rieka. Jangkung iya—tapi dengan potongan seceking dan
selunglai itu puting beliung sudah pasti akan menerbangkannya. Selebihnya:
terlalu tirus untuk dibilang tampan dan terlalu pucat untuk disandingkan dengan
cewek bening berona sehat. Ia cowok yang menikmati sejuknya naungan pohon
trembesi sementara teman-teman sekelasnya melanjutkan sembilan putaran lagi di
lapangan panas-berdebu. Ia cowok yang hari ini nimbrung latihan ekskul teater,
besoknya tertawa-tawa bareng penghuni sekre Apresiasi Budaya Sunda, dan lusanya
main bekel[5] dengan
anak-anak berandal di seberang sekolah. Ia cowok yang pada jam istirahat
bersilaturahmi ke kelas sebelah untuk menadah bocoran soal ulangan. Ia cowok
yang kadang lupa menyimpan uang saku lalu mencari kembarannya untuk berbagi
jatah. Ia cowok yang pada satu ketika disaksikan Ipong bergelayut manja di
pundak Rieka.
Ipong tahu cewek itu sudah begitu putus asa dengan Deraz.
Ipong tahu dengan bersama Dean cewek itu akan berada dalam lingkup pandang
Deraz—walaupun fokus Deraz pada kembarannya. Ipong tahu suatu saat Dean akan
mengajak pacarnya ke rumah—makan bersama keluarga dan Deraz termasuk di
antaranya. Ipong tidak tahu simpatinya ini masihkah perlu ia layangkan pada cewek
itu atau ia alihkan saja pada cowoknya cewek itu.
Ipong coba mengingatkan cewek itu dengan berbagai cara. Ia
suruh Deraz tanya pada cewek itu saja tiap cowok itu mendekatinya untuk keperluan
OSIS. Ia nyanyikan lagu-lagu bertemakan cinta segitiga saat gig harian di kantin sekolah—saat melihat
cewek itu berada di sana dengan cowoknya. Ia atur agar posisi Deraz dan cewek
itu berdekatan tiap rapat kepanitiaan.
Sampai ia rongrong cewek itu terang-terangan. “Iya, elu emang
kembang sekolah. Banyak cowok yang ngeceng elu, elu populer. Tapi bukan berarti
elu mesti sama Deraz. Nyadarlah. Enggak perlulah elu sampai nyempil-nyempilin
diri di dekat Dean biar dia ngeliat elu.”
Mendeliklah Rieka demi perkataan itu lantas balas menuding.
“Elu juga diem-diem suka sama dia kan? Elu selalu bangga-banggain dia,
ngomongin dia seolah-olah elu yang paling ngerti dia. Elu enggak pernah cerita
soal cewek sama gue! Apaan elu, Pong!?”
Ipong tidak berucap lagi selain “masyaallah” dalam hati lalu
pergi. Pada tanggal merah ia mengunci diri di kamar. Merenungi segala cobaan
yang dianugerahkan Tuhan padanya sambil menyesap batang berasap—yang ia ambil
diam-diam dari kantong celana papanya karena kalau ia beli sendiri di warung si
penjual bakal menegur, “Buat papanya ya, Dek?” Tapi bukan tabiatnya untuk
merenung sampai lama. Dalam kepalanya mengalun jingle iklan minyak ikan pada masa kecil yang ia gubah liriknya: Bajuku dulu tetap begini. Karna ku takkan
tumbuh lagi. Lalu supaya pedihnya makin lipur, ia nyanyikan “Empty” dengan
menirukan teknik Dolores O’Riordan—vokalis band
The Cranberries itu. Samar-samar dari luar terdengar suara tidak familier…
mungkin tamu yang habis menumpang kamar mandi… “Putrinya suaranya bagus, Bu…”
disambung suara mamanya… “Oh, itu mah putra...” Ipong menonjok-nonjok kasur.
Ia putar kaset Rolling Stones yang terabaikan sejak
pergaulannya bersama Deraz—setel ke volume terkencang. Isap. Embus. Ikut
meraung segahar-gaharnya. Isap lagi. Embus lagi. Ikut meraung segahar-gaharnya
lagi. Terbatuk-batuk. Tenggorokannya nyeri. Tapi ia tidak peduli. Lagi-lagi
isap. Lagi-lagi embus. Lagi-lagi… Ketokan yang mengencang di kaca membuatnya
buru-buru mengusap mata. Seraut wajah—jendela dibuka—yang tertegun mendapati
silinder terapit. Ipong turunkan jarinya. Tangan yang begitu besar dan
kokoh—kalau saja itu tangannya!—menyodorkan kaset Simon and Garfunkel.
“Makasih.”
Deraz tidak segera pergi. Ditatapnya Ipong agak lama. Mungkin
disangkanya anak itu tengah kalut karena cewek. Namun Ipong tidak bersuara.
“Enggak pantas,” kata Deraz seraya tersenyum. Lalu menendang standar sepedanya
dan berlalu. Memandangi sosok itu menjauh mula-mula Ipong menginsafi adanya
orang yang begitu menyukai kesendirian. Tapi adalah satu dari berpuluh alasan
hebat untuk menjadi pria yang mengetatkan rahangnya: Ada kalanya para wanita akan memperebutkan diri Anda, dan Anda cukup
menonton saja[6].
“Sialan!” umpatnya. Dendamnya pada cewek seolah tersalurkan lewat keapatisan
seseorang—yang menganggap jenis yang berlawanan itu hanya kuman.
Malamnya Ipong demam. Rasa tenggorokan tidak keruan. Merokok
tidak tahan. Menyanyi tidak kuat. Adik-adiknya bilang suaranya seperti monster.
Beberapa hari ia terbenam saja di kasur. Temperaturnya memang turun, tapi
temperamennya masih naik. Besok ia sudah diizinkan kembali ke sekolah. Ia harap
besok ia terbangun dalam badan yang berbeda.
Kemuakan pada kemandekan itu lagi-lagi membuatnya tantrum di
alam mimpi: “Pingin gede! Pingin gede! Pingin gedeee!” Memang ironis ketika ada
orang yang mendambakan badannya tumbuh namun jiwanya sendiri menolak untuk
tumbuh. Tidak banyak yang tahu kalau Ipong sesungguhnya sudah punya pacar dari
lain sekolah—yang badannya bongsor dan sering memarahinya karena sikapnya itu.
Untunglah cewek yang muncul dalam mimpinya bukan cewek yang itu, melainkan sosok
yang lebih pantas disebut “wanita”. Wanita yang dengan lembut melantunkan
kata-kata penghiburan, merengkuhnya, membelai-belainya, lalu…
Ipong bangun berkeringat. Mimpinya sungguh seperti yang ia
harapkan. Ia naikkan tepi celananya, mengecek. Jantungnya seakan terlonjak.
Ingin ia bersorak. Ia berlari-lari ke kamar mandi. Ia copot celana dalamnya
dengan hati-hati dan menaruhnya di tempat terlindung. Lalu ia lontarkan segayung
air ke langit-langit sebelum ke ubun-ubunnya sendiri.
Selanjutnya ia cari sendok untuk mengerok tanda kelelakiannya,
plastik kecil bersekat untuk menyimpan, dan kertas dengan lem di baliknya yang
ia tulisi: “MA—“ tinta pulpennya meluber, ia berdecak, tapi ia teruskan saja,
“PERTAMAKU.”[]
[1] Suara tertinggi pada
golongan wanita dan anak laki-laki (dalam seni suara)
[2] Suara tertinggi untuk
laki-laki
[3] Penyanyi soul dari UK
[4] Karang Layung Citra
Budaya Suara—radio jaz di saluran 100.4 FM Bandung
[5] Kadang disebut juga
“beklen”—permainan tradisional menggunakan bola karet dan kerang-kerangan
[6] Dari Hell @Work: Mengelola Kawanan Iblis di
Kantor (Eng Whyteck, 2003, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar