Embul senang berburu kecoak. Kalau malam kadang aku mendapati dia duduk di
karpet depan kamar mandi, mungkin sedang menunggu kemunculan kecoak. Dia
mengejar-ngejar kecoak seakan serangga itu mainan yang bergerak. Dia akan
menangkapnya dengan sebelah kaki, menjepitnya dengan mulut, lalu membawanya
sambil berlari-lari dan menjatuhkannya kembali. Kecoak itu akan berusaha kabur
namun Embul selalu berhasil menangkapnya lagi. Begitu terus sampai dia bosan.
Pernah Embul menangkap seekor kecoak hingga sebelah sayap serangga itu tercabut.
Dengan sayapnya yang tinggal separuh kecoak yang terbaring telentang itu
berusaha kabur, tapi tidak bisa. Sebelah sayapnya terus bergetar-getar,
membuatnya berputar-putar bagai gasing. Embul kembali dan memainkannya.
Aku senang melihatnya mengejar kecoak karena dia punya hiburan, tidak
melulu kesepian. Selain itu aksinya mengurangi populasi kecoak di rumah kami.
Untung rumah kami kotor sehingga stok mainan untuk Embul tidak ada habisnya.
Beruntunglah mereka yang memilikinya. Gambar diambil dari sini. |
Selagi mengamati Embul berakrobat dengan kecoak, aku teringat komik
berjudul Si Cerdik Michael. Isinya berupa
cerita serupa sketsa mengenai interaksi antara kucing dan manusia, ada saja di
antaranya yang membuatku terkakak-kakak. Semisal ada cerita tentang pasangan
yang mendapat kucing yang entahkah dulunya dipelihara bule atau berasal dari
luar negeri, dan mereka bingung apa mesti dalam bahasa Inggris kalau ingin berbicara
dengan kucing itu; apa dia mengerti bahasa mereka. Aku jadi bertanya-tanya apa si
pengarang pada mulanya juga suka mengamati perilaku kucing dan akibatnya
tergugah untuk menuangkannya dalam komik. Ada satu ceritanya yang berkaitan
dengan kesukaan kucing memain-mainkan makhluk tangkapannya. Perilaku yang
sadistis sebetulnya. Namun makhluk dalam cerita itu bukan kecoak, melainkan
lalat berwajah manusia dan berkumis. Sayang komik itu tampaknya sudah lenyap
dari peredaran, dulupun aku mendapatkannya hanya dari taman bacaan.
Pernah aku membayangkan Embul menghampiriku dengan mulut memagut kecoak,
menjatuhkannya di depanku seolah itu hadiah. Betapa manisnya. Tapi dia akan
mengambilnya kembali, memain-mainkannya lagi. Di Si Cerdik Michael pun ada cerita tentang seorang gadis yang
membayangkan kucing idaman. Kucing yang bisa buang air di kloset lalu menggelontornya
sendiri. Lebih manis lagi kalau-kalau suatu saat aku menangis dia mendekatiku
dengan mulut menjepit tisu. Tapi mudah-mudahan bukan tisu dari tempat sampah.
***
Satu malam aku melihat Embul mengorek-ngorek plastik tempat sampah. Aku
berusaha menjauhkannya beberapa kali, tapi dia selalu kembali. Aku pun
membiarkanya.
Adikku sedang menonton TV. Embul menghampirinya dengan mulut memagut tisu
yang ringsek. Aku bilang pada adikku kalau Embul baru saja dari tempat sampah.
Adikku menghindarinya. Embul menjatuhkan tisu di mulutnya yang ternyata terdiri
dari dua gumpalan. Salah satunya berupa gulungan dengan ujungnya berwarna
kekuningan. Tisu bekas ingus adikku.
Adikku sudah beberapa lama ini mengidap pilek. Dia suka menggulung tisu
lalu memasukkannya ke dalam lubang hidung untuk menyumbat ingus.
Embul seolah ingin menunjukkan pada adikku, “Nih, tisu bekas ingus kamu
yaa.”
Aku menyuruh adikku untuk mengembalikan tisu gulung-kuning itu ke tempat
sampah karena itu bekas ingusnya. Tapi menurut dia, Embul yang harus
mengembalikannya karena kucing itu yang membawanya. Aku terus merongrong adikku
yang juga bersikukuh. Akhirnya dia mengangkat Embul di bagian perut dengan
sebelah tangan. Lalu dia menyuruh kucing itu untuk memungut kembali tisu yang telah
dijatuhkannya. Setelah tisu itu terambil entah oleh mulut atau kaki depan Embul,
adikku membawanya ke atas tempat sampah lalu membuat kucing itu menjatuhkan
tisu itu kembali. Masih tersisa satu remukan tisu. Adikku pun kembali dengan
kucing itu, menyuruhnya untuk melakukan hal yang sama. Dan seterusnya.
***
Sebelum itu aku dan adikku yang lain mengamati Embul yang bermain-main.
Sesekali dia telungkup dengan bokongnya menggepeng lalu aku menepuk-nepuk sisi
kanan dan kiri bergantian hingga berbunyi “Pok. Pok. Pok.” Adikku bilang dia
bukan Kucing Biola. Ya, kataku, dia Kucing Tamborin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar