Jumat, 16/5/14, aku diajak ke Kebun
Seni, tepatnya Warung Narasi, yang letaknya di pelataran parkir Kebun Binatang,
Bandung. Di daerah berbahasa sunda, penjaja tahu keliling menyebut dagangannya “tarahuuu…”,
kalau nasi berarti “narasiii…” Tapi Warung Narasi tidak menyajikan nasi,
melainkan “ide”.
Ruangannya kira-kira seluas kamar tidur.
Dindingnya dicat pink. Karpet tebal mengalasi. Meja besar berdiri di tengah. Permukaan
kayu meja senada dengan rak buku yang lebar dan tinggi menutupi salah satu sisi
dinding. Pada sisi lainnya melekat whiteboard
yang lebar, yang juga berfungsi sebagai layar untuk memantulkan sinar dari
proyektor. Lebar di sini berarti panjangnya mulai dari ujung satu ke ujung lain
dinding. Pada sisi lainnya lagi terdapat akuarium yang dihuni oleh banyak siput
kecil. Di atasnya terdapat bingkai-bingkai berisi potongan artikel dan kover
buku. Dispenser di pojok ruangan.
Aku bertanya pada kawan-kawan jalanku
mengenai Warung Narasi namun rupanya mereka pun tidak banyak mengetahui selain
bahwa komunitas tersebut diasuh oleh Acep Iwan Saidi—selanjutnya akan kusebut
Pak Acep—dan mengadakan pelatihan menulis dengan kuota terbatas. Pada
kesempatan tersebut mereka bermaksud memulai diskusi dwimingguan.
Acara yang katanya dimulai pada pukul 15
itu hampir dibatalkan, ketika kami datang. Lalu datang beberapa anak muda
lainnya. Kiranya sekitar pukul 16.30 diskusi pun dilangsungkan. Sebetulnya
lebih tepat disebut kuliah sih. Pak Acep yang dosen itu mengenali salah satu kawan
jalanku sebagai mahasiswinya di Jatinangor.
Topik yang disampaikan adalah Ideologi
Puisi. Namun agaknya “puisi” di sini bisa digeneralisasi menjadi karya seni
apapun, karena sesungguhnya aku tidak berminat dengan perpuisian, lagipun Pak
Acep kadang tidak hanya menyebut “penyair” dan Chairil Anwar, tapi juga “seniman”,
“pengarang”, Pramoedya Ananta Toer…
Mengikuti kuliah yang mengacak-acak isi
kepala ini, aku menyadari kalau pikiranku itu praktis. Sembari mendengarkan aku
mencari-cari apa yang bisa kuterapkan. Sedangkan beliau bicara soal “ide”—istilah-istilah
yang bagiku abstrak seperti “ideologi”—sesuatu yang diidealkan, “kesadaran
palsu”, keyakinan yang bertentangan dengan logika, “hegemoni”—“hegemoni
aparatus”, “eksplorasi bentuk”, dan sebagainya. Memang ada sedikit yang agak
bisa kumengerti, dan kucatat dengan kata-kataku sendiri.
Ketika seseorang melihat dirinya, dia
melihat dunia, dan ketika dia melihat dunia, dia melihat dirinya. Dengan
mendefinisikan dirinya, dia membedakan dirinya dari sekitarnya.
Ada perkataan beliau yang sesuai dengan
pikiranku belakangan ini, yang sebetulnya sudah pernah kudapati bertahun-tahun
lalu dalam buku Harmonium Budi Darma.
Seseorang tidak sekadar menulis,
membaca, atau bekerja, melainkan dia memiliki keyakinan tertentu sehingga dia
menulis, membaca, atau bekerja. Para
pengarang besar memiliki kegelisahan yang terus-menerus digelutinya.
Yang menjadi perenunganku belakangan ini
adalah bahwa agaknya aku tidak memiliki “keyakinan” sebagaimana dimaksud,
sehingga aku ragu untuk meneruskan mimpi menjadi pengarang, atau menjadi apapun selain pengarang. Menulis yang menulis, bukan menulis yang asal-asalan
seperti dalam catatan harian dan blog ini. Barangkali aku sudah lupa kenapa
pada satu waktu aku merasa jalanku adalah menjadi pengarang, atau apapun selain pengarang. Tapi pada waktu
itu memang ada yang ingin kusampaikan. Protesku sebagai remaja yang baru
mengenal individualisme. Paham yang menganggap bahwa kebutuhan setiap anak
tidak bisa disamaratakan. Maka lahirlah draf-draf yang butut itu. Tapi kemudian
aku menyadari agaknya individualisme baru bisa diterapkan dalam lingkungan yang
mapan, adapun lingkunganku masih gelagapan. Dan makin kemari aku makin merasa
dituntut untuk conform. Segala yang
kupahami itu salah. Kosongkan diri. Keyakinan itu pergi. Tidak ada yang pasti.
Poin penting yang kutangkap adalah bahwa
seseorang harus memiliki keyakinan untuk diperjuangkan, serta bagaimana ia
memindahkan luka realitas menjadi
luka dirinya dan bagaimana agar kegelisahannya menjadi kegelisahan realitas. Bagaimana menghubungkan antara
ideologi dalam benaknya dengan realitas di sekitarnya. Kenyataannya,
para seniman berjarak dari realitas
sosialnya. Tapi “realitas” yang dimaksud di sini apa? Kukira seorang seniman
pun hidup dalam realitasnya sendiri, realitas yang menyebabkan dirinya mesti
berkompromi. Mesti membuat sajak atau cerpen yang K*MP*S-oriented kalau ingin diakui sebagai pengarang berkualitas, misal. Dan,
memangnya kenapa kalau berkompromi?
Selama berhadapan dengan Pak Acep, aku
merasa samar dengan apa yang disampaikan. Tapi sesudahnya, dalam perjalanan
menuju masjid Salman untuk menumpang salat bersama kengkawan, meletup banyak
pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang kalaupun aku berkesempatan untuk bertemu
dengan beliau lagi barangkali aku tetap segan mengajukannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang kupikir sebaiknya kupendam sendiri; sebagai pupuk
untuk menumbuhkan kembali keyakinan akan sesuatu
yang aku belum tahu...
Keyakinan yang mungkin akan menyebabkan pertentangan
terus-menerus dengan orang-orang lainnya.
NB. Salah satu kawan jalan saya agaknya lebih mengerti, silakan baca laporannya di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar