Aduh judulnya seperti judul karangan anak SD. Tapi memang saya jarang
menonton teater. Sekalinya menonton teater, dilangsungkannya pada malam hari.
Ada masalah transportasi. Tapi memang saya tidak berminat pada teater. Saat
baru duduk dalam kegelapan, di GK. (Gedung Kesenian?) Sunan Ambu Sekolah Teknik
Tinggi Seni Indonesia, malam (30/04/14), saya sempat ingin bertanya pada teman
di sebelah saya, yang mengajak saya untuk menyaksikan pergelaran bertajuk MASBRO itu, “Bagaimana sih cara
mengapresiasi teater?” Seperti saat saya baru duduk di kursi menonton Jazz Mben Senen di Bentara Budaya
Yogyakarta, bertahun-tahun silam, sembari mengerut-ngerutkan kening saya
bertanya-tanya dalam batin, “Bagaimana sih cara mengapresiasi jazz?” Jangan dipikirin, dinikmatin aja!—mungkin
begitu caranya. Maka saya pun berhenti memikirkan, dan menonton saja.
Kalau kabaret di panggung tujuhbelasan komplek dikesampingkan, pengalaman
menonton teater yang pertama-tama saya ingat adalah semasa SMA. Kala itu siang-siang
di gedung Rumentang Siang, di samping gedung Pasar Kosambi, dan saya datang
bersama seabrek remaja berseragam lainnya karena tugas dari sekolah. Saya lupa
bagaimana cerita dalam pertunjukan itu. Namun ada satu lakon yang mengenakan
topeng berpipi chubby, dan dia, atau
orang-orang yang bertemu dengannya, menyebut dirinya, “Chubby-chubby gitu.” Julukan itu kemudian ikut-ikutan disarangkan
pada teman sekelas yang pipinya juga chubby,
persis seperti topeng di pertunjukan itu. Ketika melihat wajah di balik topeng
itu seusai pertunjukan, ternyata pipinya jauh dari chubby.
Pengalaman yang berikutnya saya ingat adalah pertunjukan di Taman Budaya
Jawa Barat alias Dago Tea House. Sama, semasa SMA juga. Sepulang sekolah, saya
datang bersama teman dari SD atas undangan teman lainnya yang juga dari SD. Pertunjukan
itu diselenggarakan oleh ekskul teater di SMA-nya. Teman kami itu hanya
mendapat peran kecil dan entah apakah sebenarnya dia muncul lebih dari sekali.
Adegan yang saya paling ingat adalah adegan yang ditutupi layar putih,
maksudnya semacam sensor-sensoran, begitu, dan tentunya bisa dibayangkan maksud
adegan itu.
Pengalaman berlanjut semasa kuliah. Entah dua atau tiga kali. Semuanya
diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta. Yang satu atau yang dua saya tidak
ingat; malam pula. Saya pulang diantar oleh kakaknya teman yang mengajak saya.
Ada pula yang sore, pokoknya saat hari masih terang, dan ceritanya pun seperti
dongeng untuk anak-anak. Lakonnya ada putri apa dan pangeran apa, begitu.
Seusai pertunjukan, para pemain bermunculan dan kami bisa berfoto bareng
mereka.
Kembali pada pengalaman baru-baru ini. Sembari menonton, saya teringat
cerpen John Cheever yang saya pernah coba-coba menerjemahkan: “The Fourth Alarm”.
Dalam cerpen itu, narator selaku tokoh utama juga menceritakan sedikit
pengalamannya menonton di layar selagi menyaksikan pertunjukan teater telanjang
istrinya. Tampaknya dia juga bukan orang yang pandai mengapresiasi teater. Atau
mungkin dia hanya kesal karena istrinya tampil telanjang di muka publik bersama
banyak orang lainnya.
I can’t describe the performance. Ozamanides had two sons, and I think
he murdered them, but I’m not sure. The sex was general. Men and women
embraced one another and Ozamanides embraced several men. … Now on the stage
Ozamanides was writing something obscene on my wife’s buttocks.
Garis bawah dari saya, sekadar untuk menunjukkan bagian yang memberi kesan
bahwa dia sedang berusaha untuk mencerna pertunjukan tersebut.
Masbro yang macho, kata Nyonya Bungkang |
Lepas dari ingatan akan cerpen tersebut, saya sadar bahwa yang saya tengah
tonton bukanlah pertunjukan telanjang—untunglah. Di tiket tertulis bahwa
pertunjukan ini merupakan adaptasi dari Macbett
karya E. Ionesco. Tapi tanpa sempat mencari tahu lebih lanjut bagaimana karya
Ionesco itu dan siapa pula gerangan Ionesco, saya mencoba untuk mencerna
pertunjukan itu sebagaimana adanya. Sayang, kami masuk ke dalam ruangan agak
telat. Teman saya bimbang karena dia harus menyerahkan tiket titipan dari orang
lain pada seseorang yang dia belum pernah temui, sementara seseorang itu entah
kapan bakal datang dan tidak bisa dihubungi. Dari dalam sudah terdengar
keriuhan. Lagu dangdut, lagu rakyat Betawi, lagu dangdut lagi. Mengundang rasa
penasaran pertunjukan macam apa yang akan dipertontonkan di dalam sana. Akhirnya
tiket itu dititipkan pada penjaga pintu.
Kami diarahkan untuk menuju balkon. Yang dimaksud balkon ternyata berada
di lantai tiga, di atas area operator, dan berupa undakan berkarpet. Kami
merasa mendapat special seat, duduk
di paling belakang, lengang, bisa sambil selonjoran bahkan tiduran, dan bersandarkan dinding.
Ceritanya kira-kira begini: Jendela Gendul dan Jenderal Kendor
merencanakan pemberontakan terhadap pemimpin di negeri mereka, Raja Bungkang.
Tapi mereka nyaris tidak muncul lagi di sepanjang pertunjukan. O mungkin salah
satunya muncul lagi dengan kepala ditutup ember dan kedua tangannya disangkutkan
pada sikat WC, tapi itu nanti. Lalu muncullah Jenderal Masbro yang berambut
gondrong megar. Tampaknya dia punya karisma tersendiri yang memikat istri Raja
Bungkang, sebut saja Nyonya Bungkang. Penampilan awal Raja Bungkang dan Nyonya
terkesan satiris. Raja Bungkang menyanyi-nyanyi padahal sedang sakit gigi.
Nyonya Bungkang gemar memotret ini-itu. Nyonya Bungkang diam-diam ingin
menggulingkan kekuasaan suaminya. Karena itu, dia beserta seorang pembantunya
menyamar menjadi Tukang Tenung dan berusaha memengaruhi Jenderal Masbro. Tapi
toh Nyonya Bungkang membuka juga kedoknya dan Jenderal Masbro pun takluk.
Mereka menggandeng Jenderal Bengo yang diam-diam punya dendam pada Raja
Bungkang. Satu ketika, mereka menembaki Raja Bungkang hingga tewas. Jenderal
Masbro pun menikahi Nyonya Bungkang dan menjadi raja. Namun tahu-tahu Nyonya
Bungkang muncul dalam pakaian berkabung, menegaskan dirinya sebagai janda Raja
Bungkang, sehingga kita meragukan pula kesetiaannya pada Jenderal Masbro. Benar
saja, dia kemudian menggaet sosok baru: Jenderal Masbray. Jenderal yang baru
ini menggulingkan Jenderal Masbro. Pertunjukan ditutup dengan komentar dari
seorang budayawan.
Menonton pertunjukan ini seperti membaca cerpen di ruang PERTEMUAN KECIL,
koran Pikiran Rakyat. Kesan satirnya
jelas sekali. Seandainya pengalaman saya dalam menonton teater lebih banyak,
barangkali saya bisa berkomentar lebih banyak pula. Maka paling mudah bagi saya
untuk mengatakan saja adegan mana yang menurut saya menarik: 1. Ketika
cowok-cowok berjas hujan muncul lalu membuat keributan di atas panggung, entah
sambil menaiki kuda-kudaan atau mengacung-acungkan botol kaca yang ceritanya
minuman keras. Keramaian seperti ini entah mengapa rasanya mendebarkan; 2.
Kemunculan Tentari alias Tentara Wanita atau dalam lakon ini adalah Wanita
Jadi-jadian… Ya, kalau ada istilah “Saudara-Saudari”, mengapa tidak dengan “Tentara-Tentari”?
Kocak pokoknya!; 3. Ada beberapa adegan menaiki kuda-kudaan dan bagaimana orang
yang berada di atas kuda tersebut berperan ganda—sebagai pengendara kuda dan
kuda itu sendiri—rasanya waw.
Mengintip dari kejauhan... |
Ada beberapa saat selagi menonton saya mengingatkan diri saya sendiri
kalau pertunjukan ini live. Kesalahan
sedikit saja kala berlakon di panggung akan dikenali oleh penonton. Mengagumkan
apabila mereka bisa tampil dengan begitu meyakinkan. Teman saya yang sedang
belajar ilmu budaya di universitas bilang: ruangan sengaja digelapkan dengan
penerangan tersorot pada panggung saja ditujukan untuk memberi kesan pada
penonton bahwa mereka sedang “mengintip”. Barangkali para pemain di panggung
pun berlagak seolah-olah tidak tahu kalau mereka sedang “diintip”. Saya
teringat satu adegan dalam film The
Dreamers; ketika tokoh utama menerangkan konsep film atau kamera film atau
semacam itu seperti mengintip orangtuamu sedang melakukan apa, begitu… Lupa
juga.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar