Semalam aku menceritakan perkenalanku dengan R. E. M., dan teringat akan lagu
yang dibawakan oleh vokalis grup tersebut, Michael Stipe, di penghujung film Happiness (1998). Setelahnya aku membaca
tulisan terbaru dari beberapa blog yang kuikuti. Salah satunya ditulis oleh
seorang calon psikolog anak—mahasiswi pascasarjana UI, sebenarnya. Dia
mengungkapkan situasi emosional yang dialaminya tiap kali mendengarkan secara langsung cerita dari pasien-pasiennya,
yang di antaranya adalah anak yang menjadi—dan juga orangtua daripada—korban
pelecehan seksual. Kita tahu belum lama ini berita tentang pelecehan seksual
pada anak sedang marak, lagi. Lagi-lagi aku teringat akan Happiness, tepatnya pada wanita penulis dalam film tersebut. Dia
penulis puisi yang dikagumi sampai-sampai membikinnya lelah, dia juga disibukkan
oleh acara penandatanganan bukunya. Beberapa puisi dalam bukunya, Pornographic Childhood, dijuduli “RAPE
AT ELEVEN”, “RAPE AT TWELVE”. Satu ketika dia merasakan ketidakpuasan atas
karyanya itu yang menurutnya dangkal dan tidak berbobot. Apa yang ditulisnya
kepalsuan belaka. Just another sordid exploitationist—begitu dia
menganggap dirinya. Kalau saja dia pernah diperkosa sewaktu masih menjadi
anak-anak, maka yang ditulisnya akan autentik. Di sisi lain, ada seorang
psikolog yang secara diam-diam memerkosa teman-teman anak lelakinya. Kali
pertama, dia membubuhkan obat tidur pada makanan teman anaknya yang sedang
menginap. Kali kedua, dia mendatangi teman anaknya—teman yang berbeda—yang sedang
tinggal sendirian di rumah karena kedua orangtuanya berlibur ke Eropa.
Perbuatannya itu terlacak oleh polisi karena dia ternyata meninggalkan semacam
virus pada bocah-bocah yang menjadi korbannya sehingga mereka sakit—selain
karena dia keceplosan sewaktu kali pertama diwawancara. Lantas kupikir ini
waktunya untuk menonton ulang Happiness.
Sumber gambar dan sekalian baca ulasannya di sini. |
Setelah beberapa lama menonton film tersebut, aku membatin, Kenapa aku nonton film yang ngajak bunuh
diri kayak gini? Tapi aku teringat akan akhir ceritanya yang cukup positif.
Memang, dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian ini sesekali harapan
muncul sekilas-sekilas. Dan ketika cerita diakhiri dengan momen munculnya
harapan, aku menyimpulkan bahwa kreatornya bermaksud untuk mengedepankan kesan
positif terhadap kehidupan ke dalam benak penikmat karyanya.
Ada banyak tokoh dalam Happiness
dengan problem masing-masing yang disampaikan secukupnya. Satu tokoh terkait
dengan tokoh lain secara langsung maupun tidak langsung, entahkah sebagai
saudara kandungnya, saudara iparnya, tetangga saudara kandungnya, orangtuanya,
muridnya, pasiennya. Antara penulis yang ingin diperkosa dan psikolog yang
diam-diam memerkosa, misal, ada hubungan ipar kendati mereka tidak bertemu
dalam cerita. Selain mereka, ada: Joy, musisi gagal yang dalam usia kepala tiga
tidak kunjung mendapat kepuasan dalam hubungan asmara dan pekerjaan; Allen, karyawan
kantor yang mengisi kesendirian dengan menelepon ke sembarang nomor—kalau yang
mengangkat adalah perempuan, dia akan menjadikannya sebagai objek masturbasi; Kristina,
wanita tambun yang membunuh penjaga pintu apartemen yang memerkosanya, lalu
diam-diam menyimpan potongan tubuh pria itu di dalam kulkasnya; Mona, wanita
tua yang tidak lagi dicintai oleh suaminya tapi tidak juga diceraikan; Lenny, pria
tua yang tidak lagi mencintai istrinya dan tidak juga siapapun, yang
dirasakannya hanya kekosongan dan di akhir dia membubuhkan garam banyak-banyak
ke makanannya agar lekas mati; Billy, bocah lelaki yang sedang mengeksplorasi
seksualitasnya, dan dengan sedih mendengar pengakuan ayahnya yang telah memerkosa
teman-temannya; Trish, ibu rumah tangga yang selalu ingin unggul, sempurna, dan
terlihat bahagia, tapi tidak bisa berempati dengan masalah orang lain; dan
seterusnya…
Philip Seymour Hoffman sebagai Allen. source |
Film ini tidak kusarankan bagi orang yang tidak nyaman dengan adegan seks
(meliputi masturbasi, sanggama, serta mani muncrat) dan pembunuhan. Apabila
tontonan semacam itu dapat ditoleransi, film ini sebenarnya lucu. Psikolog yang
dalam batinnya mengecek daftar belanjaan dan keperluan lain yang mesti dituntaskannya
sepulang kerja, sementara di hadapannya seorang pasien sedang mengeluhkan
dirinya yang membosankan. Ayah paedofil yang dengan lembut menjawab pertanyaan-pertanyaan
anaknya tentang seksualitas, sambil tidak lupa menawarkan apakah anak itu mau
melihat kemaluannya. Penulis yang ingin diperkosa namun setelah bertemu dengan orang
yang mau memerkosanya merasa pria itu bukan tipenya. Dan yang tidak kalah
menggelikannya bagiku adalah adegan di penghujung. Penulis yang mengarang-ngarang
derita dalam karyanya, ingin agar orang-orang dapat mengaitkan diri dengan
kepedihan yang mereka tidak mengalaminya sendiri, namun terhadap tragedi yang
benar-benar terjadi pada orang di sekitarnya dia malah menertawakannya.
Mona : Helen, so what's gonna happen to
that woman? Who killed your doorman?
Helen : I
don't know, mom. It's so sad. She's all alone. I just wish I'd gotten to know
her better. We might have found we had something in common.
Joy : Maybe you'll write a poem about her.
Helen : (laughs)
Joy, I'm so sorry. But... don't worry. I'm not laughing at you. I'm laughing
with you.
Joy :
But I'm not laughing.
Menarik ketika sosok-sosok yang tampak menyedihkan justru yang mampu
bersimpati terhadap orang-orang lainnya yang bermasalah sementara sosok-sosok
yang tampak baik-baik saja justru bersikap sebaliknya. Seperti dalam penggalan
dialog di atas: Joy si musisi gagal menyarankan Helen si penulis angkuh agar
menulis puisi tentang wanita kesepian yang terlibat pembunuhan, tapi dia malah
ditertawakan. Begitupun antara Bill si psikolog paedofil dan istrinya, Trish si
ibu rumah tangga “sempurna”: Ketika anak mereka menceritakan tentang guru pemadat
yang terancam dipecat, dia menganggap perlakuan tersebut agak kejam sementara Trish
malahan mendukung bahkan mengancam anaknya kalau-kalau suatu saat menjadi pemadat,
dia tidak akan menganggapnya sebagai anak lagi.
Penggalan dialog pembuka dari Andy (Jon Lovitz), pasangan Joy yang kemudian bunuh diri. source |
Kita mungkin merasa geli, risi, ganjil, sekaligus ngeri selama menonton
film ini. Tapi mungkin itu juga yang dirasakan oleh mereka yang berhadapan
langsung dengan korban maupun pelaku dari berbagai kasus yang dianggap menyimpang.
Maka bagiku film ini bukan soal bahagia atau tidak—menilik judulnya—melainkan
bagaimana kita menyikapi problem yang menimpa orang-orang biasa dalam kehidupan
sehari-hari: baik diri kita sendiri maupun orang lain. Agaknya pengalaman kita
sendiri yang menentukan mampu-tidaknya kita dalam bersimpati terhadap cerita
orang lain; bagaimana kepedihan kita sendiri membuat kita bisa menempatkan diri
dalam posisi orang lain yang sama atau malahan lebih menderita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar