Rabu, 07 Mei 2014

Sepuluh Tahun Mengenal R. E. M.

Dimulai dari videoklip “Bad Day”. Aku belum mencermati liriknya, tapi pada masa itu aku merasa mengalami cukup banyak “bad day”.


Aku membeli kaset album The Best of R. E. M. in Time 1988-2003 di supermarket dekat sekolah. Tercatat: 130204. Aku tidak mengenal lagu-lagu R. E. M. lainnya. Tapi satu-dua lagu yang memikat, entah aku mengetahuinya dari tayangan videoklip di TV ataukah karena sering diputar di radio, cukup untuk membuatku membeli kaset tanpa peduli apakah aku bakal cocok dengan lagu-lagu lainnya. Ini hanya masalah pembiasaan. Butuh beberapa kali mendengarkan sampai aku cocok dengan lagu-lagu Suede dalam album Singles—dibeli di konter yang sama 2,5 bulan kemudian. Untuk R. E. M., tidak sesulit itu.

“Man on the Moon”, “The Great Beyond”, sampai yang kutunggu-tunggu, “Bad Day”, lolos ke dalam telingaku tanpa masalah.

Aku tidak mengerti kenapa temanku semasa SMA menyukai “What’s the Frequency, Kenneth?” sampai-sampai dia mencantumkannya di dalam novel yang kami garap bersama.

“All the Way to Reno” juga menjadi lagu yang membuatku termenung-menung walaupun aku belum tahu di mana itu Reno, tempat macam apa itu. Yang kutangkap, lagu itu sepertinya mendorong seseorang agar tidak putus asa. You know who you are, you’re gonna be a star. … Your achilles heel is a tendency… Bagi seorang anak SMP tampaknya penting kata-kata yang mendorong untuk terus bermimpi seperti itu.

Beberapa lagu setelahnya tidak begitu kunikmati, hingga “Imitation of Life”, yang menjadi lagu yang pertama-tama kucoba saat belajar memainkan gitar—di samping “Animal Instinct” dari The Cranberries. Aku mengopi halaman berisi chord-nya dari majalah milik teman sekelas. Kuncinya cukup gampang: Em Am G D C—itu saja. This sugarcane, this lemonade. This hurricane, I’m not afraid. C’mon c’mon no one can see me cry…

Aku mencatat lirik lagu-lagu R. E. M. lainnya yang kusuka dan terpukau. Aku tidak mengerti apa hubungan antara bait satu dengan bait lainnya tapi mengaitkan diriku sepenggal-penggal. Misalnya dalam lirik “The Great Beyond” ini: I’m pushing an elephant up the stairs. I’m tossing up punch lines that were never there. Over my shoulder a piano falls, crashing to the ground. Pada waktu itu aku bertanya-tanya kenapa orang itu mendorong gajah ke puncak tangga, kenapa ada piano yang jatuh. Tahu-tahu terdengarlah: I’m looking answers from the great beyond. Bagian ini yang paling jelas. Kini ketika aku memikirkan bagian yang tidak kumengerti itu sejenak, aku menghubungkannya dengan mitologi Sisyphus. Sisyphus dihukum mendorong batu besar ke puncak gunung. Bagaimanapun kerasnya dia mendorong, batu itu akan menggelinding ke bawah. Seperti mengerjakan perbuatan yang sia-sia. Begitupun dalam lirik R. E. M. tersebut. Batu diganti gajah—sama-sama besar. Adanya piano yang jatuh ibarat “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Sudah mah kudu mendorong gajah, ketiban piano pula. Kenapa kita mesti mengerjakan perbuatan yang memayahkan namun hasilnya seolah sia-sia saja, itulah pertanyaan yang kita nanti-nantikan jawabannya dari Yang Di Atas Sana.

Di sisi dua, lagu yang pertama-tama kusuka adalah “Animal”. Aku ingat, saat SMA sepertinya, menyetel lagu ini keras-keras dengan pintu kamar tertutup rapat tentunya. Aku membayangkan videoklip lagu tersebut seolah-olah aku akan menyutradarainya. What’s the big deal, I’m an animal... Tampaknya pada masa itu aku merasa lagu tersebut mengekspresikan sisi liarku sebagai remaja—haha.  

Setelah itu aku suka “Stand” karena liriknya lucu: Stand in the place where you live… Now face north… Think about direction that you wonder why you haven’t before… Now stand in the place where you work… Now face west... Think about… dan seterusnya.

Lalu ada “Electrolite” yang efeknya padaku sebagaimana “All the Way to Reno”: pikiran seakan dibawa mengawang-awang ke angkasa, termenung. You are the star tonight. You shine electric outta sight. Your light eclipsed the moon tonight…  

“All the Right Friends” juga terasa mengena hanya karena judul itu saja sudah mengingatkanku akan hubungan pertemananku—terlepas dari apa sebetulnya yang disampaikan dalam liriknya.

“Everybody Hurts” kukenal lebih dulu dari versinya The Corrs.


Lagu-lagu selanjutnya dalam album tersebut terasa sendu dan tidak begitu kusuka.

Album tersebut menjadi kaset yang paling sering kuputar.

Semasa kuliah aku tidak mendengarkan R. E. M sesering sebelumnya. Aku melanjutkan pendidikan di luar kota. Tidak ada alat pemutar kaset yang bisa kuandalkan. Lagipun sejak SMA aku mulai mengakrabi mp3 dan akibatnya aku berkenalan dengan banyak sekali lagu, penyanyi, ataupun grup yang aku belum pernah dengar sebelumnya. Aku bisa memilih lagu yang hendak didengarkan secara acak, tidak mesti berurutan sebagaimana kalau mendengarkan lewat kaset.

Kadang aku menemukan lagu-lagu R. E. M. yang tidak terdapat dalam album The Best, tapi aku tidak lagi begitu terkesan. Aku bahkan tidak ingat apa kepanjangan daripada R. E. M. Aku hanya ingat nama satu personilnya, vokalisnya, yang botak, yaitu Michael Stipe, yang konon berorientasi seksual… khas—menurut majalah yang kubaca di suatu tempat makan lumpia di Jogja. Aku mengenali suaranya, sambil menebak-nebak apakah itu memang suaranya, dalam lagu yang menutup film Happiness. Aku juga tahu kalau R. E. M. itu bisa berarti istilah yang berkaitan dengan kondisi saat kita terlelap—Rapid Eye Movement, tapi apakah sama kepanjangannya?

Kini tidak ada satupun alat pemutar kaset yang masih bekerja dengan baik di rumah, seakan pundung karena lama tidak digunakan. Koleksi kasetku mendekam saja di dalam rak plastik kecil di kamarku dulu yang sekarang menjadi kamar adik. Entah bagaimana kondisi pita suaranya—apakah masih dapat melantunkan lagu-lagu dengan jernih? Bagaimanapun juga, aku bukanlah kolektor berdedikasi.

Akupun mendengarkan R. E. M. lewat mp3 dan tidak sering. Hanya sewaktu-waktu dan tampak seperti cara baru dalam menikmati lagu: Lakukan sewaktu hari gelap entah menjelang tengah malam atau subuh; Matikan lampu terang di langit-langit dan nyalakan lampu remang-remang di meja; Duduk di atas kursi di balik meja dan jangan lakukan apapun lagi dalam nuansa syahdu tersebut selain mendengarkan lagu-lagu yang volumenya disetel cukup keras, dan; Sesekali bolehlah sambil menyeruput (ini)teh-susu(?) instan dan ikut menyanyikan bagian yang diketahui liriknya.

“Man on the Moon” serta “The Great Beyond” tetap menjadi pembuka yang menawan. Tapi kini aku lebih menikmati lagu-lagu yang pembawaannya tenang, yang padahal sebelumnya tidak kusukai, seperti dua lagu terakhir di sisi dua yaitu “At My Most Beautiful” dan “Nightswimming”; dan yang belakangan ini beberapa kali aku ingin mendengarkannya secara khusus, “Losing My Religion”.


Lupa baca dari mana: Inspirasi pembuatan video ini berasal dari cerpen Gabriel Garcia Marquez, "A Very Old Man with Enormous Wings".

3 komentar:

  1. Balasan
    1. oh no I've said too much, I haven't said enough :-|

      Hapus
  2. saya kurang suka membaca tulisan,yang mengganti sisubjek utama dengan aku. tapi diluar itu tulisannya baguss. lanjut kalo kata ariel

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...