Dari Kamisan FLP Bandung (8/5/14), aku mendapatkan cerpen Seno Gumira
Ajidarma, “Clara”. Dicetak tanpa spasi sehingga panjangnya tiga halaman HVS
saja (kalau mau hemat kertas mah dicetak
bolak-balik sekalian atuh, Neng…),
agaknya itu juga yang memengaruhi pembacaanku sehingga cenderung mengebut, yang
akibatnya aku merasa hanyut. Faktor lainnya kukira karena cerita dituturkan
dalam bahasa yang lugas sehingga langsung mengena. Uwah pokoknya. Maklumlah, pengarang
yang satu ini juga jurnalis sehingga bisa mendapatkan banyak pengalaman oke
untuk dituangkan menjadi karya kreatif. Ketika
jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara—begitu yang acap kubaca berkenaan
dengan pengarang tersebut. Sudah banyak yang mengagumi sang pengarang, dan aku
memekik tanpa sengaja ketika kenalanku bilang bahwa dia diajar oleh beliau di
perkuliahannya.
Tercatat ditulis pada 26 Juni 1998 di Jakarta, cerpen ini berlatar peristiwa
Mei 1998 (tepat enambelas tahun lalu!) ketika penjarahan dan pemerkosaan
terjadi di mana-mana terutama pada orang-orang keturunan Tionghoa. Menurutku, intinya
bukanlah soal siapa yang baik dan siapa yang buruk melainkan bagaimana kita
memahami kedua sisi yang berseberangan dalam tragedi tersebut. Dua sisi itu
menuturkan situasi dalam perspektif masing-masing secara bergantian. Satu sisi
menjadi pembuka, muncul lagi di tengah-tengah, dan menjadi penutup, sedangkan
sisi yang lain mengisi di sela-selanya.
Sisi pertama yaitu sisi pribumi yang diwakili seseorang berseragam. Pekerjaannya
adalah membuat laporan dan seringkali harus memanipulasi kenyataan dalam
menjalankan tugasnya itu. Ia tidak kunjung kaya biarpun sudah memeras dan
menerima sogokan dari sana-sini. Batinnya: Aku
memang punya sentimen kepada orang-orang kaya—apalagi kalau dia Cina.
Sisi lainnya yaitu sisi keturunan Tionghoa yang dibawakan oleh Clara. Ia
mengurus perusahaan keluarga yang nyaris bangkrut. Sewaktu terjadi kerusuhan,
Clara ingin menengok keluarganya di rumah kendati ia sudah diperingatkan oleh
mereka agar jangan pulang. Sekelompok orang menghentikannya di jalan tol, mencabik-cabik
pakaiannya, dan memerkosanya sampai pingsan. Ia ditolong oleh perempuan tua
yang membawanya pada petugas berseragam.
Dua sisi bertemu. Petugas berseragam harus mengesampingkan hati nuraninya,
dan tidak dapat menahan hasrat yang lebih dari kebinatangan kala melihat Clara
hanya diselubungi oleh selembar kain pemberian perempuan tua.
Pada 1998, di antara kami semua mungkin belum ada yang usianya mencapai belasan
tahun. Adapun yang kuingat tentang waktu itu hanyalah Cindy Cenora menyanyikan,
“Aku cinta rupiah!” Krisis moneter—kecemburuan sosial—frustasi massal—kerusuhan—penjarahan
dan pemerkosaan—kami mencoba menghubung-hubungkannya untuk memahami latar cerita
ini. Siti—moderator Kamisan—memahamkan pada kami soal sentimen pribumi pada Cina dengan cerita dari bapaknya yang
pernah bekerja pada orang Cina. Majikannya
itu hanya mementingkan keuntungan
sendiri dan memperlakukan para pekerjanya secara kurang layak—sebagaimana yang
ditunjukkan oleh sikap Papa Clara dalam cerpen ini. Ketika perusahaannya nyaris
bangkrut, ia ingin mem-PHK para buruh. Namun kita tidak bisa menggeneralisasi
semua Cina. Cerpen ini
menunjukkan bahwa Clara adalah Cina
yang berbeda dari stigma. Saya ngotot
untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan
kerusuhan. Begitu penuturannya—ia tahu.
Tapi ia memakai BMW saat hendak
pulang untuk menengok keluarganya—merek yang ironisnya justru memperjelas
kesenjangan antara kaum kaya—yang kebetulan Cina—dan
kaum susah—yang umumnya pribumi (walau novel Supernova: Petir—Dewi Lestari— menunjukkan ada juga Cina kere).
Obrolan sempat dirembetkan oleh Siti ke isu sentimen pada Cina yang terangkat lagi pada masa kini,
khususnya dalam bidang politik. Aku juga hendak merembet: Semasa KKN, selama
berminggu-minggu aku tidur di kamar yang sama dengan seorang keturunan Tionghoa.
Dia sering menelepon dalam bahasa Tio Ciu (sementara Clara dalam “Clara” maupun
Elektra dalam Petir mengaku tidak memahami
bahasa China), dan sesekali menceritakan tentang keluarganya padaku. Walau
semasa SD aku pernah mengikuti les aritmetika di lingkungan yang didominasi
oleh keturunan Tionghoa, namun agaknya baru semasa KKN itulah interaksi yang
cukup mendalam dengan salah satu dari mereka terjadi. Semasa KKN itu pula aku
berteman cukup dekat dengan seseorang yang walaupun bukan keturunan Tionghoa
tapi menganut agama yang berbeda denganku, dan dengan dia pun aku berbagi
banyak cerita. Interaksi dengan orang-orang dari kalangan yang berbeda itu sejujurnya terasa biasa saja bagiku, walaupun di sisi lain
aku menyadari bahwa pengalaman tersebut sebenarnya membukakan wawasan baru.
Maksudku, aku memandang mereka lebih sebagai individu alih-alih golongan yang
mereka wakili. Aku tidak begitu memikirkan bahwa mereka Cina
atau nonmuslim, aku lebih tertarik pada pengalaman apapun yang mereka bagi
padaku yang dengan demikian meluaskan pengetahuanku dan mendekatkan hubunganku
dengan mereka. Maka aku—sebagai bagian dari ras/suku dan agama yang menjadi
mayoritas di negeri yang kutinggali—agak tercenung ketika mendapati
adanya keresahan apabila yang terpilih untuk menjalankan pemerintahan adalah
orang dari golongan minoritas tertentu. Aku tidak begitu memahami mengapa
atribut yang melekat pada seseorang menjadi begitu penting ketimbang bagaimana dirinya
sebagai individu.
Sedikit di luar konteks tapi
masih dalam Kamisan
Tema Kamisan bulan ini adalah isu sastra, khususnya kritik sastra.
Pengantar mengenai apa itu dan macam-macam kritik sastra telah disampaikan pada
Kamisan minggu lalu—aku tidak menghadirinya. Sebagai orang awam aku lebih suka
menggunakan kata “apresiasi” ketimbang “kritik”. Terkesan bagiku “kritik” hanya
mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami kesusastraan, sedangkan “apresiasi”
bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk yang awam sekalipun. Kritik cenderung
pada perkataan yang nyelekit (biarpun sebetulnya tidak mesti begitu) sedangkan
apresiasi bisa berupa apa saja. Menurut, lagi-lagi, Siti, apresiasi bisa dibagi
menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan terendah adalah ketika kita membaca karya
seseorang karena kita mengenal orang tersebut. Tingkatan berikutnya adalah ketika
kita membaca seluruh karya dari pengarang tertentu. Tingkatan selanjutnya dia
tidak hafal. Yang pasti, tingkatan tertinggi dalam apresiasi adalah ketika karya
tersebut menggugah kita untuk berkarya juga. Tanyaku: Termasuk kalau karya itu jelek banget sehingga jadinya kita geregetan pingin
bikin yang lebih bagus dari itu? Ya…! Karena jelaslah kritik/apresiasi yang
paling nyelekit adalah ketika kita sudah berbagi karya kita pada orang lain dan…
tidak ada tanggapan. Adapun tanyaku yang satu ini terpendam saja: Bagaimana dengan karya yang saking bagus
sampai-sampai bikin kita minder dan merasa tidak ada gunanya lagi berkarya?
Untuk kritik sastra dan sebagainya baca Solilokui-nya Budi Darma, Day.
BalasHapusMudah-mudahan aku berjodoh dengan buku itu, Mbak Desi. Terima kasih :D
Hapus