Rabu, 26 Februari 2014

Motivasi bagi Pengangguran

Belakangan ini saya mengumpulkan cerita bertemakan kegalauan dewasa muda. Kriteria khusus: tokoh utama berusia dua puluhan (coret novel The Catcher in the Rye dan film Ghost World) dan kalau bisa pengangguran serta kehidupannya berkualitas rendah. Dari Jerman, saya menemukan film Oh, Boy! Dari Inggris, ada How to be. Dari Australia, sepertinya Muriel’s Wedding termasuk. Dari Jepang, saya mendapatkan novel Welcome to the N. H. K. dan dorama Freeter, Ie wo Kau. Dari Indonesia, kita punya film Alangkah Lucunya Negeri Ini dan novel Drop Out. Selain Ghost World dan Muriel’s Wedding, ternyata tokoh utama dalam judul-judul yang saya sebutkan itu umumnya berjenis kelamin cowok. Bahkan pada CampNaNoWriMo Juli 2013 saya sempat hendak menambah yang sudah jamak itu. Ceweknya mana? NaNoWriMo 2013, saya mencoba untuk menambah perspektif cewek dalam khazanah cerita semacam (ceilah!) dengan menulis seri cerpen yang kalau digabungkan mungkin bisa membentuk novel (?) lalu hasilnya saya pajang di Kemudian yang—singkat cerita—mendekatkan saya pada seseorang yang menyadarkan saya kalau Supernova: Petir pun termasuk. Persis lima tahun lalu saya menuliskan pembacaan novel tersebut untuk pertama kali. Pada waktu itu saya belumlah menyadari kalau konten novel tersebut akan menjadi sangat menarik bagi saya sekarang ini.

Saking populer Dewi Lestari sebagai penulis, saya bisa membaca karya-karyanya tanpa harus membeli karena disediakan oleh lingkungan saya secara cuma-cuma. Tinggal Rectoverso dan Supernova: Partikel yang saya belum baca dan memang tidak ngebet.  Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dipinjamkan oleh ibu saya yang didapatnya entah dari perpustakaan mana. Filosofi Kopi saya dapat dari kawan SMA. Supernova: Akar dan Perahu Kertas dari kawan-kawan seorganisasi semasa kuliah. Madre terselip di rak sepupu namun sayang saya tidak sempat membaca cerita terakhir. Adapun Supernova: Petir, yang saya tidak ingat pinjam dari siapa, merupakan karya penulisnya yang paling saya nikmati.

Dari hasil googling dengan kata kunci “supernova petir dewi lestari”, saya menyimpulkan bahwa pembaca pada umumnya mengaitkan novel ini dengan seri Supernova lainnya. Beberapa orang bilang kalau mereka memulai pembacaan seri Supernova dengan novel ini. Cara penyampaiannya yang ringan dan humoris serta karakternya yang amat membumi memberikan suasana yang segar—khas—ketimbang yang tersaji dalam dua novel sebelumnya, dan dengan demikian menjadikannya mudah dibaca. Karena itu, ada yang menjadikan novel ini sebagai favorit di antara seri Supernova lainnya, tapi ada juga yang menganggapnya sebagai penurunan kualitas penulisan Dewi Lestari. Lagipula, cerita dengan alur zero-to-hero apalagi yang disampaikan dengan kocak macam Supernova: Petir ini sebenarnya sudah jamak. Yang menjadikan novel ini istimewa barangkali karena keterkaitannya dengan seri Supernova lainnya—plus bahasan soal spiritualisme dan yang berbau-ilmiah-gitulah (punten, abdi mah teu ngartos hehehe). Nomor pertama—Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh—saja sudah mampu menjerat pembaca untuk menjadi pengikut setia seri ini. Namun karena saya bukan penggemar berat seri Supernova pada khususnya (dan Dewi Lestari pada umumnya), saya lebih tertarik pada kemiripan unsur-unsur dalam novel ini dengan yang terdapat dalam judul-judul yang saya sebut di paragraf muka. Lebih khusus lagi: bagaimana seorang sarjana pengangguran bertransformasi hingga mampu keluar dari situasi yang tidak menguntungkannya itu dengan mengoptimalkan potensi dirinya. Memotivasi banget kedengarannya ya.

Mari kita tengok tokoh utama dalam novel ini. Elektra adalah satu dari ratusan ribu sarjana di Indonesia yang menganggur. Ia tidak punya pacar maupun keahlian, menyukai petir, mengidap epilepsi, dan hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya telah berpulang ke alam baka, sedang kakaknya diboyong ke Tembagapura oleh sang suami yang bekerja untuk Freeport. Riwayat pekerjaan Elektra sebatas menjadi kaki piramida di MLM-MLM. Hari-harinya dihabiskan untuk tidur siang dan memasak telor ceplok atau indomi. Kendati pemalas, ia rajin menabung. Tapi lama-lama tabungannya tipis juga. Ia  pun mempertimbangkan tawaran untuk menjadi asisten dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional (STIGAN). Upaya memenuhi persyaratan menjadi bagian dari institusi jadi-jadian itu menggiringnya pada pertemuan dengan seorang yogini keturunan India—Bu Sati. Dalam kekalutan akan nasibnya itu pula, ketika tadinya berniat untuk menelepon kakaknya dan mengharap bantuan, ia bertemu dengan temannya semasa kuliah yang tidak saja mengenalkannya pada “kehidupan” yang bernama internet, tapi juga menghubungkannya dengan orang yang menghubungkannya dengan orang lain lagi—seorang wirausahawan muda nan sukses bernama Mpret aka Toni—yang membantunya membangun usaha penyambung nafkah.

Kemudian teranglah bahwa Elektra sebenarnya tidak zero-zero amat. Ia diwarisi rumah peninggalan Belanda yang berukuran besar dan berlokasi strategis. Oleh Mpret dan kroni-kroninya, rumah itu disulap menjadi warnet, rental PlayStation, warung makan, distro, bahkan home theater. Ia juga ternyata bukannya mengidap epilepsi, melainkan karena tubuhnya sanggup menampung listrik dengan kapasitas di atas normal (bukan judul lagunya Peterpan ya) namun belum mampu mengendalikannya. Oleh Bu Sati, Elektra diarahkan agar mengasah bakat alamnya itu dan memanfaatkannya demi kebaikan. Pada akhirnya ia merasa menemukan keluarga dan—yang tidak kalah penting—jati dirinya. Dari yang mulanya “ditolong” Bu Sati dan Mpret, Elektra beralih menjadi “penolong” bagi orang-orang yang membutuhkan kemampuannya sebagai terapis listrik.

Tokoh-tokoh dalam cerita lain belum tentu seberuntung Elektra. Dalam film Ghost World dan Oh, Boy! misal, di akhir cerita tokoh utamanya masih terombang-ambing dalam situasi yang tidak pasti. Kalau boleh menyimpang dari tema, coba tengok juga, katakanlah, novel Tenggelamnya Kapan Van Der Wijk (HAMKA) dan History of Love (Nicole Krauss). Kesan apa yang kita dapatkan pada akhir cerita-cerita itu? Kesedihan! Dengan membanding-bandingkan seperti itu bolehlah kita golongkan Supernova: Petir sebagai karya yang optimis.

Dengan demikian, apabila pembaca merasa teridentifikasi dengan sosok Elektra (yakni: biar suram tapi bukannya tidak berpunya sama sekali, dan masih bisa merasa beruntung dibandingkan para pengangguran di Nigeria atau korban perpecahan politik di Nepal—misalnya), dan percaya kalau optimistis merupakan sikap yang baik, teruslah bergerak, bertemu dengan orang-orang, siapa tahu berkenalan dengan sosok-sosok penolong sebagaimana Bu Sati dan Mpret dalam novel ini. Pertolongan tidak selalu datang tanpa diminta macam yang terjadi dalam Welcome to the N. H. K.­ misalnya. Sebagai hikikomori, tokoh utamanya ngendon saja di apartemennya yang sempit dan dingin sampai ada relawan yang mengetuk pintu. Kadang kita sendiri yang perlu mencari pertolongan tersebut seperti yang dilakukan Robert Pattinson dalam How to be. Ia menghubungi penulis buku self-help dari Kanada untuk bimbingan privat. Atau tokoh Jemi dalam Drop Out yang sampai menggedor kosan tetangga demi mencari orang yang bisa mengajarinya akuntansi. Pun Elektra, sedikitnya ia berupaya dengan menanggapi tawaran dari institusi gaib yang ternyata cuma tipu-tipu itu. Karena apa yang terjadi pada masa depan kerap kali tidak ternyana, tinggal pilih saja mau ambil sikap yang mana: optimis, galau, atau malah pesimis?[] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...