Sabtu, 08 Februari 2014

Belajar Bahasa Indonesia

Cukupkah pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EyD) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menguasai pengetahuan berbahasa Indonesia? Dalam praktiknya, sering terjadi penyimpangan dalam berbahasa hingga menarik para pemerhati bahasa untuk membahasnya dalam sebentuk artikel. Kita dapat membaca artikel-artikel tersebut tiap Jumat di harian KOMPAS, di bagian belakang majalah bulanan Intisari, juga di buku karangan Dr. J. S. Badudu Membina Bahasa Indonesia Baku.

Dalam Pesta Buku Bandung pada Oktober 2013 lalu, saya menemukan buku semacam namun tidak membelinya. Selain karena bujet, saya sangka buku yang saya lihat di pameran itu merupakan versi baru dan terpadu dari tiga seri Membina Bahasa Indonesia Baku yang dua di antaranya telah tersedia di rumah. (Dulu pun trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari diterbitkan terpisah, baru belakangan dicetak ulang dalam satu jilid.) Sayang saya tidak sampai mengamati penerbit dan harga cetakan baru tersebut, barangkali ada yang tertarik untuk mencarinya.

Seri Membina Bahasa Indonesia Baku pada mulanya adalah bahan untuk acara pembinaan bahasa di TVRI pada tahun ’70-an. Saya baru menamatkan seri satu—diterbitkan CV Pustaka Prima, Bandung, pada tahun 1981 dan merupakan cetakan kelima. Memang terlambat tiga puluh tahun lebih saya membacanya sementara katanya bahasa terus berkembang kecuali bahasa Latin yang sudah mati. Bahkan pada masa itu sepertinya Kamus Besar Bahasa Indonesia belum disusun karena yang sering menjadi rujukan dalam buku ini adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta. Walaupun begitu, bolehlah sekadar bacaan.

Lagipula buku ini muncul setelah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan diresmikan presiden pada tanggal 16 Agustus 1972. Bukankah sampai sekarang ejaan tersebut masih menjadi patokan dalam menuliskan bahasa Indonesia secara baik dan benar? Boleh tengok bagaimana isi buku lawas ini masih ada yang relevan dengan gejala bahasa sekarang. Bahasan tentang pemakaian kata nyaris dan hampir, misalnya. Kedua kata tersebut bersinonim namun tidak selalu dapat saling menggantikan. Dalam halaman 158 buku ini: “Kata nyaris tidak boleh digunakan dalam pengertian yang menguntungkan seperti nyaris menang, nyaris mendapat keuntungan, nyaris lulus dalam ujian.” Hal sama diungkapkan pula dalam rubrik Bahasa Kita Intisari edisi Januari 2014: “Kata hampir bersifat netral; mungkin berkaitan dengan hal yang tidak diinginkan, mungkin pula tidak. Sementara itu, kata nyaris cenderung dikaitkan dengan peristiwa yang tidak diinginkan.”

Membaca buku ini membuat saya insaf kalau pengetahuan bahasa saya masih kurang. Saya baru tahu kalau pemakaian dariku, darimu, darinya hanya boleh dalam bentuk puisi (halaman 68). Penyair diberikan kebebasan dalam melanggar kaidah bahasa (licencia poetica) karena keperluan sajak dan irama puisi yang digubahnya. Dalam bahasa prosa, hal itu tidak dibenarkan. Dari, sebagaimana di dan ke, merupakan kata depan. Kita tidak boleh juga mengatakan diku, dimu, dinya, atau kemu, kemu, kenya. Oleh karena itu, pemakaian yang dibenarkan bukanlah dariku, darimu, darinya melainkan daripadaku atau dari saya, daripadamu atau dari kamu, daripadanya atau dari dia.

Selain itu, kita tidak boleh seenaknya menghilangkan kata. Sebagai contoh, kata oleh harus disertakan pada kalimat yang kata kerjanya berawalan ter-: Buku itu terbawa oleh Amir. Bayangkan apabila kalimat itu diubah menjadi: Buku itu terbawanya. Ganjil kan? Nah, kata oleh boleh saja dihilangkan apabila terdapat pada kalimat yang kata kerjanya berawalan di-. Contohnya: Buku itu dibawa oleh Amir. Kalimat tersebut tidak akan terasa janggal apabila diubah menjadi: Buku itu dibawanya.

Masih banyak lagi gejala bahasa yang diulas dalam buku setebal 166 halaman ini. Mulai dari pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing, ejaan lama yang masih acap digunakan walaupun ada ejaan baru, kebiasaan untuk melebih-lebihkan kata dan sebaliknya, makna dan pemakaian kata-kata tertentu, cara melafalkan singkatan dan akronim, sampai petunjuk dalam surat-menyurat.

Menulis mungkin akan lebih lancar kalau kita mengabaikan aturan berbahasa. Asal orang mengerti—begitu prinsipnya. Padahal justru karena bahasa itu bersistem maka ia mudah dipelajari. Makin banyak penyimpangan dalam suatu bahasa, makin sukar bahasa itu dipelajari (halaman 123). Coba saja kita lihat bahasa Alay. Bahasa tersebut sukar dipelajari karena kita tidak mengerti bagaimana sistemnya sehingga satu kata bisa tersusun atas huruf kecil, huruf kapital, dan angka sekaligus. Suatu kata bisa lain penulisannya di tangan orang yang berbeda. Oleh karena itu, mari kita pelajari bagaimana menuliskan bahasa secara baik dan benar demi kemaslahatan bersama.[] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...