…
Dan gadis itu tak pernah mengerti daya tarik apa yang menyebabkan
orang-orang di dunia toh ingin ke Paris…
…
Wanita tua pemilik penginapan tampak sedang menggaruki pantatnya seraya
meludah ke got di samping. Dua ekor tikus hitam besar berlarian berebutan
gumpalan dahak yang mengambang di permukaan air parit.
…
Keesokan harinya Marc berhasil meyakinkan si “gadis Asia” untuk
berdampingan menyusuri sungai Seine yang cokelat dan jorok.
…
Cerpen Leila S. Chudori, “Paris, Juni 1988” (MATRA, Mei 1989)—yang cuplikannya kutaruh di atas itu—menguatkanku untuk segera membaca Paris: Sejarah yang Tersembunyi. Pertama kali dicetak pada Februari 2014 oleh PT Pustaka Alvabet, Jakarta, pertama kali aku melihat buku itu terpajang di salah satu stan dalam pameran buku di Landmark, Bandung, akhir Februari-awal Maret lalu. Penulisnya, Andrew Hussey, muncul di serial Filthy Cities episode 2 yang belum lama ini ditayangkan di BBC Knowledge. Ia mendampingi host serial tersebut, (masganteng) Dan Snow, menyusuri Sungai Seine, dan menceritakan betapa buruknya hawa di sepanjang aliran. Segala limbah dibuang ke sana, termasuk bangkai manusia. Semakin kita berjalan, semakin kita merasakan perubahan pada tubuh kita akibat udara yang beracun. Di dalam bukunya, ia menceritakan jauh lebih banyak mengenai kejorokan yang menyelimuti kota tersebut selama berabad-abad. Orang membuang feses lewat jendela ke jalanan sehingga pepatah “sedia payung sebelum kejatuhan tahi” sangat penting untuk dicamkan pada masa itu. Bahan makanan sulit diperoleh. Produsen roti digantung karena menimbun tepung. Mayat-mayat bergelimpangan dan menjadi sumber pangan alternatif kala wabah kelaparan melanda.
Sejarah yang diceritakan dalam buku ini dimulai dari zaman bangsa Galia, yaitu
pemukim asli yang menentang pendudukan Roma dan pemimpinnya, Julius Caesar.
Referensiku mengenai ini hanya film Asterix-Obelix (benar enggak ya
penulisannya?) live action yang
diputar di TV—itupun ada bagian yang disensor. Lalu orang-orang Frank datang. (Kukira
orang Frank ini identik dengan orang Franka yang acap disebut dalam buku-buku
mengenai Perang Salib.) Terjadi perkawinan antarras.
Singkat cerita: Muncul monarki yang amat berjarak dengan rakyat jelata.
Segala barang dan segala usaha masyarakat diberi pajak yang besar. Lalu dengan
uang pajak tersebut para penguasa yang tidak tahu malu dan tanpa tenggang-rasa
itu bersenang-senang.
Singkat cerita: Abad pertengahan berlalu dan muncul sastrawan bernama
Victor Hugo. Maka aku menyela pembacaan dengan menonton film yang diangkat dari
karyanya, Les Miserables, yang
pemutarannya tersendat-sendat karena kapasitasnya terlalu besar untuk laptopku.
Kukira dalam film tersebut aku akan menemukan gambaran yang jauh lebih hidup akan
betapa kumuhnya Prancis pada masa itu, ketimbang yang disajikan dalam buku—yang
hanya lewat kata-kata dan selebihnya kita harus menghidupkannya sendiri dengan
imajinasi yang kadang pas-pasan. Aku kurang sreg dengan bagaimana hampir
seluruh dialog dalam film itu disampaikan dengan bernyanyi. Agak mirip Sweeney Todd, kukira; ada Helena Bonham
Carter dan Sacha Baron yang memainkan peran sinting—seperti biasa, anak
perempuan yang hilang, pemuda yang diam-diam mencari perhatian, dan anak kecil
yang tahu segalanya. Karakterisasi dalam cerita ini kubagi menjadi: tokoh
protagonis dan para pendukungnya yang secara umum baik, kusebut tokoh putih;
tokoh abu-abu, yaitu tokoh yang membuat pemirsa bertanya-tanya sepanjang cerita
apakah dia akan mendukung protagonis atau sebaliknya, dalam film ini ialah
Javert yang motifnya sebetulnya sekadar melaksanakan tugasnya dengan
sebaik-baiknya dan sebetulnya, lagi, antagonis ya; dan tokoh hitam, yaitu tokoh
yang sedari awal hingga akhir usil melulu seperti pasangan suami-istri yang
diperankan oleh Sacha Baron dan Helena Bonham Carter itu. Sebelumnya aku
mengarang karakterisasi ini ketika pembacaan novel The Columbus Affair dan menyangka ini telah menjadi semacam aturan
dalam menulis karya fiksi yang lazim. Tapi harusnya ini tulisan tentang Paris,
buku Andrew Hussey, dan hal-hal terkait itu, bukan? #salahfokus
Topik lainnya dalam buku ini yang cukup menarik bagiku adalah mengenai
perkembangan kesusasteraan, terutama sejak abad ke-18. Aku tahu sangat sedikit
tentang para penulis Prancis: Honore Balzac (penulis yang jam kerjanya sangat
intens); Marcel Proust (penulis yang melapisi ruang kerjanya dengan gabus);
Albert Camus (pencetus aliran absurdisme yang pernah dibahas di Kamisan FLP
Bandung), dan; Colette (kuketahui dari artikel di internet tentang para penulis
wanita eksentrik). Aku jadi agak tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang
kesusasteraan Prancis, termasuk karya yang aman untuk dikonsumsi anak-anak
seperti kisah tentang Pangeran Kecil. Cerita yang sangat indah, menurutku, yang
tidak biasanya menyukai cerita sebagai sekadar sebuah cerita. Melankolia dalam
cerita itu sangat-sangat-sangat menyentuhku… untuk ikut-ikutan melankolis.
Lainnya ada tentang orang-orang Amerika yang hijrah ke Paris hingga dapat
dianggap membentuk koloni sendiri. Di antara mereka adalah penulis dan pemain
jaz. Jaz sangat disukai di Paris. Dalam buku ini ada beberapa kali disebutkan
nama penulis yang pindah ke Paris untuk, katakanlah, mencari ilham, dan tidak
mesti orang Amerika. Paris telah menjadi pusat kebudayaan dan lahirnya beragam
aliran seni. Perkembangannya sangat meriah. Bahkan ketika Jerman memasuki kota
tersebut dalam rangka Perang Dunia, kegiatan kebudayaan tetap berjalan.
Setelahnya ada revolusi. Warga Paris tampaknya senang dengan revolusi—mengingat
apa yang terjadi dengan monarki pada penghujung Abad Pertengahan. Lahir
generasi muda yang tidak suka bekerja dan tidak berminat dengan uang,
paternalistik. Mereka tampak kurang mandiri dibandingkan anak-anak muda dari
kota-kota besar lain di dunia seperti London dan New York. Nah, ketika cerita
tentang Paris sudah memasuki masa yang relatif kontemporer, dalam kepalaku mengiang-ngiang
film The Dreamers. Film ini memang
disebut, akhirnya!, sebagai gambaran mengenai generasi muda dari kalangan
menengah borjuis dalam menghadapi revolusi dan kebebasan seksual. Interaksi antara
mahasiswa AS dan sepasang kembar cewek-cowok, dan bagaimana mereka mengamati
satu sama lain dengan pandangan yang agaknya mencerminkan karakteristik negara
masing-masing. Saranku sih, tidak perlu mencari apalagi menonton film itu kalau
tidak berkenan dengan adegan telanjang. (Tapi dia ganteng, salah satu di antara
si kembar itu, yang cowok.)
Buku ini enak dibaca, mungkin karena hasil terjemahannya memang apik. Memang
butuh waktu yang relatif lama untuk dapat menamatkan lima ratusan halaman, tapi
hampir-hampir tak terasa. Selain itu tiap bagian dibagi menjadi bab-bab yang
dibagi lagi ke dalam subbab-subbab yang relatif pendek, sehingga pembacaan
tidak begitu melelahkan karena ada cukup banyak jeda untuk beristirahat sejenak.
Namun agaknya tetap dibutuhkan referensi mengenai per-Prancis-an sebelum
pembacaan. Entah sejarahnya, budayanya. Setidaknya mengetahui bagaimana cara
mengucapkan kata-kata dalam bahasa tersebut, yang banyak sekali bertebaran
dalam buku ini. Walau gambarannya akan keadaan kota dari masa ke masa cukup
hidup, namun peristiwa-peristiwa tersebut disampaikan sepintas-sepintas saja.
Untuk mengetahui lebih banyak tentang Marie Antoinette atau Louis Philippe
misalnya, kita perlu mencari referensi lain. Maka setidaknya cukuplah buku ini
sebagai pengenalan terhadap sejarah sebuah tempat, Paris sebagai kota—pada
khususnya, dan Prancis sebagai negara—pada umumnya.
Membaca Paris: Sejarah yang
Tersembunyi agaknya seperti membaca Semerbak Bunga di Bandung Raya—sama-sama sejarah sebuah kota. Hanya sayangnya aku
tidak bisa menapaktilasi dan membandingkan keduanya secara langsung. Yang satu baru
bisa kususuri lewat bacaan. Memang di dalam bukunya Andrew Hussey juga
memberikan panduan singkat bagi yang ingin menelusuri Paris. Yang menarik
adalah karena kedua kota ini memiliki kaitan—setidaknya dalam ranah lokal. Bandung
acap disebut-sebut sebagai Paris van Java sejak masa kolonial. Kini julukan
tersebut terasa makin bikin miris. Agaknya pemirip-miripan tersebut bukan
semata dalam hal keindahannya, entahkah sebagai pusat mode, berseminya
bunga-bunga (dalam arti harfiah), dan gadis-gadis cantik berkeliaran, tapi juga
dalam hal kejorokannya. Setidaknya selama menjadi warga kota ini aku telah
terbiasa dengan sampah yang bertebaran di mana-mana… di mana lagi ada kejadian
satu kampung tewas karena tertimpa oleh gunung sampah? Mungkin juga dalam hal
prostitusi. Kehidupan seks di Paris sebagaimana diceritakan oleh Andrew Hussey
dalam bukunya ini barangkali persis dengan apa yang digambarkan oleh Moamar
Emka dalam Jakarta Undercover—walau tidak
sespesifik yang satunya. Bandung juga dikenal sebagai pusat prostitusi pada
masa kolonial. Noni-noni indo hasil hubungan gelap tuan tanah dengan wanita
pribumi nyaba ke kota untuk
menjajakan kenikmatan badani. Pernah dengar dari omong-omong di Komunitas Aleut,
rumah sakit kelamin pertama di Asia—atau Asia Tenggara?—didirikan di Bandung. Maka
kita tidak sepatutnya bangga ketika kota kita disama-samakan dengan kota dari
negeri lain. Selain karena sikap tersebut mengesankan adanya inferioritas—seperti
pengarang yang kurang percaya diri kalau di sampul bukunya tidak tertera endorsement yang membandingkan karyanya
itu dengan buku lain yang terkenal dan best
seller—atau malah krisis identitas, ternyata Paris tidak seindah itu kok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar