Dimulai dari videoklip “Bad Day”. Aku belum mencermati liriknya, tapi pada
masa itu aku merasa mengalami cukup banyak “bad day”.
Aku membeli kaset album The Best of
R. E. M. in Time 1988-2003 di supermarket dekat sekolah. Tercatat: 130204. Aku
tidak mengenal lagu-lagu R. E. M. lainnya. Tapi satu-dua lagu yang memikat,
entah aku mengetahuinya dari tayangan videoklip di TV ataukah karena sering
diputar di radio, cukup untuk membuatku membeli kaset tanpa peduli apakah aku
bakal cocok dengan lagu-lagu lainnya. Ini hanya masalah pembiasaan. Butuh beberapa
kali mendengarkan sampai aku cocok dengan lagu-lagu Suede dalam album Singles—dibeli di konter yang sama 2,5
bulan kemudian. Untuk R. E. M., tidak sesulit itu.
“Man on the Moon”, “The Great Beyond”, sampai yang kutunggu-tunggu, “Bad
Day”, lolos ke dalam telingaku tanpa masalah.
Aku tidak mengerti kenapa temanku semasa SMA menyukai “What’s the
Frequency, Kenneth?” sampai-sampai dia mencantumkannya di dalam novel yang kami
garap bersama.
“All the Way to Reno” juga menjadi lagu yang membuatku termenung-menung
walaupun aku belum tahu di mana itu Reno, tempat macam apa itu. Yang kutangkap,
lagu itu sepertinya mendorong seseorang agar tidak putus asa. You know who you are, you’re gonna be a
star. … Your achilles heel is a tendency… Bagi seorang anak SMP tampaknya
penting kata-kata yang mendorong untuk terus bermimpi seperti itu.
Beberapa lagu setelahnya tidak begitu kunikmati, hingga “Imitation of Life”,
yang menjadi lagu yang pertama-tama kucoba saat belajar memainkan gitar—di samping
“Animal Instinct” dari The Cranberries. Aku mengopi halaman berisi chord-nya dari majalah milik teman
sekelas. Kuncinya cukup gampang: Em Am G D C—itu saja. This sugarcane, this lemonade. This hurricane, I’m not afraid. C’mon c’mon
no one can see me cry…
Aku mencatat lirik lagu-lagu R. E. M. lainnya yang kusuka dan terpukau.
Aku tidak mengerti apa hubungan antara bait satu dengan bait lainnya tapi
mengaitkan diriku sepenggal-penggal. Misalnya dalam lirik “The Great Beyond”
ini: I’m pushing an elephant up the
stairs. I’m tossing up punch lines that were never there. Over my shoulder a
piano falls, crashing to the ground. Pada waktu itu aku bertanya-tanya
kenapa orang itu mendorong gajah ke puncak tangga, kenapa ada piano yang jatuh.
Tahu-tahu terdengarlah: I’m looking
answers from the great beyond. Bagian ini yang paling jelas. Kini ketika
aku memikirkan bagian yang tidak kumengerti itu sejenak, aku menghubungkannya
dengan mitologi Sisyphus. Sisyphus dihukum mendorong batu besar ke puncak
gunung. Bagaimanapun kerasnya dia mendorong, batu itu akan menggelinding ke
bawah. Seperti mengerjakan perbuatan yang sia-sia. Begitupun dalam lirik R. E.
M. tersebut. Batu diganti gajah—sama-sama besar. Adanya piano yang jatuh ibarat
“sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Sudah mah kudu mendorong gajah, ketiban piano pula. Kenapa kita mesti
mengerjakan perbuatan yang memayahkan namun hasilnya seolah sia-sia saja,
itulah pertanyaan yang kita nanti-nantikan jawabannya dari Yang Di Atas Sana.
Di sisi dua, lagu yang pertama-tama kusuka adalah “Animal”. Aku ingat,
saat SMA sepertinya, menyetel lagu ini keras-keras dengan pintu kamar tertutup
rapat tentunya. Aku membayangkan videoklip lagu tersebut seolah-olah aku akan
menyutradarainya. What’s the big deal, I’m
an animal... Tampaknya pada masa itu aku merasa lagu tersebut
mengekspresikan sisi liarku sebagai remaja—haha.
Setelah itu aku suka “Stand” karena liriknya lucu: Stand in the place where you live… Now face north… Think about
direction that you wonder why you haven’t before… Now stand in the place where
you work… Now face west... Think about… dan seterusnya.
Lalu ada “Electrolite” yang efeknya padaku sebagaimana “All the Way to
Reno”: pikiran seakan dibawa mengawang-awang ke angkasa, termenung. You are the star tonight. You shine electric
outta sight. Your light eclipsed the moon tonight…
“All the Right Friends” juga terasa mengena hanya karena judul itu saja
sudah mengingatkanku akan hubungan pertemananku—terlepas dari apa sebetulnya
yang disampaikan dalam liriknya.
“Everybody Hurts” kukenal lebih dulu dari versinya The Corrs.
Lagu-lagu selanjutnya dalam album tersebut terasa sendu dan tidak begitu
kusuka.
Album tersebut menjadi kaset yang paling sering kuputar.
Semasa kuliah aku tidak mendengarkan R. E. M sesering sebelumnya. Aku
melanjutkan pendidikan di luar kota. Tidak ada alat pemutar kaset yang bisa
kuandalkan. Lagipun sejak SMA aku mulai mengakrabi mp3 dan akibatnya aku
berkenalan dengan banyak sekali lagu, penyanyi, ataupun grup yang aku belum
pernah dengar sebelumnya. Aku bisa memilih lagu yang hendak didengarkan secara
acak, tidak mesti berurutan sebagaimana kalau mendengarkan lewat kaset.
Kadang aku menemukan lagu-lagu R. E. M. yang tidak terdapat dalam album The Best, tapi aku tidak lagi begitu
terkesan. Aku bahkan tidak ingat apa kepanjangan daripada R. E. M. Aku hanya
ingat nama satu personilnya, vokalisnya, yang botak, yaitu Michael Stipe, yang
konon berorientasi seksual… khas—menurut majalah yang kubaca di suatu tempat
makan lumpia di Jogja. Aku mengenali suaranya, sambil menebak-nebak apakah itu memang
suaranya, dalam lagu yang menutup film Happiness.
Aku juga tahu kalau R. E. M. itu bisa berarti istilah yang berkaitan dengan kondisi
saat kita terlelap—Rapid Eye Movement, tapi apakah sama kepanjangannya?
Kini tidak ada satupun alat pemutar kaset yang masih bekerja dengan baik
di rumah, seakan pundung karena lama
tidak digunakan. Koleksi kasetku mendekam saja di dalam rak plastik kecil di
kamarku dulu yang sekarang menjadi kamar adik. Entah bagaimana kondisi pita
suaranya—apakah masih dapat melantunkan lagu-lagu dengan jernih? Bagaimanapun juga,
aku bukanlah kolektor berdedikasi.
Akupun mendengarkan R. E. M. lewat mp3 dan tidak sering. Hanya sewaktu-waktu
dan tampak seperti cara baru dalam menikmati lagu: Lakukan sewaktu hari gelap
entah menjelang tengah malam atau subuh; Matikan lampu terang di langit-langit
dan nyalakan lampu remang-remang di meja; Duduk di atas kursi di balik meja dan
jangan lakukan apapun lagi dalam nuansa syahdu tersebut selain mendengarkan
lagu-lagu yang volumenya disetel cukup keras, dan; Sesekali bolehlah sambil
menyeruput (ini)teh-susu(?) instan dan ikut menyanyikan bagian yang diketahui
liriknya.
“Man on the Moon” serta “The Great Beyond” tetap menjadi pembuka yang
menawan. Tapi kini aku lebih menikmati lagu-lagu yang pembawaannya tenang, yang
padahal sebelumnya tidak kusukai, seperti dua lagu terakhir di sisi dua yaitu “At My
Most Beautiful” dan “Nightswimming”; dan yang belakangan ini beberapa kali aku
ingin mendengarkannya secara khusus, “Losing My Religion”.
Lupa baca dari mana: Inspirasi pembuatan video ini berasal dari cerpen Gabriel Garcia Marquez, "A Very Old Man with Enormous Wings".
Losing my religioooon
BalasHapusoh no I've said too much, I haven't said enough :-|
Hapussaya kurang suka membaca tulisan,yang mengganti sisubjek utama dengan aku. tapi diluar itu tulisannya baguss. lanjut kalo kata ariel
BalasHapus