Maka, Minggu pagi itu saya bersepeda ke kawasan Kiaracondong. Jalan masuknya berada di samping Toserba Griya, tidak jauh dari stasiun Kiaracondong. Meninjau Google Map dan menanyakan kepada teman yang bertempat tinggal di kawasan itu, lokasi yang saya tuju mestinya berada di sekitar kantor kecamatan: Jalan Kantor nomor 1. Setiba di tempat yang kiranya kantor kecamatan, saya tidak menemukan tanda "Jalan Kantor". Dua orang yang saya tanyai pun tidak tahu-menahu.
Saat itu saya berada di samping sebuah sekolah. Dipisahkan oleh jalan, ada semacam lapangan dengan bangunan yang sepertinya baru jadi atau agak terbengkalai. Hanya ada satu orang sedang duduk di situ ketika saya datang. Enggak lama setelah menghubungi teman saya, yang katanya akan menghadiri acara itu juga, ada beberapa orang lain yang datang. Saya pun mendekati salah seorang dari mereka, yang ternyata memang berasal dari Komunitas 1000 Kebun.
Setelah berkenalan dengan orang-orang, tanpa menunggu lama lagi, saya membantu mereka mengeluarkan barang-barang yang diperlukan. Di dalam bangunan itu, di samping rak-rak yang tidak banyak berisi buku, terdapat bertumpuk-tumpuk karung, bibit-bibit tanaman--baik dalam baki maupun polybag, serta papan-papan yang sedianya untuk dirakit menjadi bed.
Setelah semua barang yang diperlukan dikeluarkan, terkumpul sekitar belasan orang. Kami berbagi tiga tugas: 1) Mencampur media tanam; 2) Merakit papan, serta; 3) Mencangkul di atap Microlibray. Para perempuan yang notabene peserta baru mendapat tugas pertama, sedangkan yang kedua dan yang ketiga ditangani oleh para lelaki yang sebagian merupakan anggota karang taruna setempat.
Di lapangan telah dibentangkan spanduk yang cukup lebar. Media tanam yang dicampur berupa arang sekam, coco peat, pupuk kandang, dan pupuk kompos dengan perbandingan 1:1:1:1 atau masing-masing satu karung. Setelah keempatnya tercampur, kami memasukkannya kembali ke karung-karung untuk nantinya dibawa ke atap. Setelah spanduk cukup bersih dari campuran media tanam sebelumnya, kami menumpahkan isi karung-karung baru dan memulai lagi.
Dari satu tugas ini saja, saya mendapat pelajaran penting: tanah kurang cocok sebagai media tanam. Sebabnya, tanah mudah mengeras. Kalau sudah begitu, tanah perlu dicacah-cacah(?) supaya gembur.
Saya pun termenung. Selama ini, dalam upaya-berkebun saya yang penuh kebodohan, saya biasanya hanya menggunakan tanah, pupuk, dan arang sekam. Memang persoalan tanah keras itu saya alami, apalagi di musim kering begini. Padahal saya sudah telanjur membeli berkarung-karung tanah yang sebagian belum saya manfaatkan. Saya mendapat masukan bahwa tanah tetap bisa digunakan tapi porsinya setengah saja. Lain kali, ketika hendak mencoba berkebun lagi dan membeli bahan-bahannya, sepatutnya saya mencari coco peat saja.
Sayangnya, dalam kesempatan ini saya enggak begitu memerhatikan informasi dan pengetahuan yang berseliweran. Perhatian saya lebih tercurah pada kerja fisik bersama-sama ini, yang sudah lama tidak saya lakukan, sehingga kali ini rasanya sungguh menyenangkan lagi menyegarkan. Saya menyentuh berbagai media tanam langsung dengan kulit, tanpa dihalangi sarung tangan biarpun akibatnya timbul rasa sakit. Sebelum pergi ke acara ini, saya memotong kuku dan rupanya ada yang kependekan. Selain itu, arang sekam bisa cukup tajam untuk menggores kulit. Tapi, saya tidak peduli. Saya merasa begitu asyik, energetik. Meski setelah beberapa waktu, energi saya turun juga dan sudah tidak sabar rasanya ingin rebahan, hahaha.
Berangsur-angsur peserta bertambah dan tidak lagi didominasi oleh perempuan. Muncul bocah-bocah SD yang membantu mencampur media tanam serta mengangkut karung ke atas. Ada juga bapak-bapak petugas sekitar yang menunjukkan cara mencampur media tanam secara cepat. Dibutuhkan jangkauan kedua lengan yang lebar untuk membolak-balikkan media tanam dari bawah ke atas.
Pencampuran media tanam disudahi karena waktu sudah melewati pukul sepuluh, padahal masih banyak karung yang belum digarap. Kami pun dipanggil ke atap untuk demonstrasi menanam. Baki-baki berisi semai ikut dibawa ke atas.
Beberapa bed telah siap. Anak-anak, mbak-mbak, dan ibu-ibu bersama-sama mengisi sisi-sisi bed dan memasukkan semai ke lubang-lubang yang telah diatur jaraknya, yaitu sepuluh sentimeter antarsatu sama lain. Adapun semai terdiri dari dua jenis: pek chay dan selada romaine. Sepintas keduanya terlihat mirip, namun ternyata salah satunya punya bulu-bulu halus. Semai ditumbuhkan dalam wadah yang terbuat dari lembaran gedebog pisang (?) yang direkat dengan staples.
Sebelum ditanami, media tanam dibasahi lebih dulu. |
Mari menanam semai beramai-ramai! |
Setelah ditanam, semai diberi air sekalian mencuci tangan |
Matahari semakin luas menyinari, panasnya semakin terik menyengat, semai-semai semakin layu untuk dimasukkan, badan saya semakin merengek minta diistirahatkan. Kini saya mengerti sebabnya "topi" menjadi salah satu barang yang sebaiknya dibawa, khususnya yang bentuknya melebar di sekeliling.
Setelah berfoto bersama di atap sambil mendongak ke arah drone padahal langit sudah terlalu menyilaukan, kami pun turun. Saya dan teman menyerahkan bibit/biji yang kami bawa dari rumah--barang lain yang diharapkan agar dibawa.
Berangsur peserta pada pulang, hingga giliran saya dan teman yang pamit. Beberapa orang dari komunitas dan karang taruna lanjut mencampur media tanam dan saya salut pada mereka sebab suasana kian siang kian enggak kondusif. Betapa kerennya mereka!
Sepulang dari acara ini, saya capek tapi senang. Inilah refreshing yang saya butuhkan! Inilah pelajaran yang semestinya saya ikuti! Sejak menyadari pentingnya berkebun, saya memulainya serbasendiri, mulai dari mencari informasi hingga memraktikkannya di halaman rumah. Tapi, rupanya cara itu kurang efektif bagi saya. Semangat saya pasang surut dan tanaman-tanaman saya berakhir menyedihkan. Berkali-kali saya kapok, meski berkali-kali pula saya kembali penasaran.
Hanya karena saya sudah "tua", bukan berarti saya sudah tidak butuh cara belajar yang sama seperti untuk anak kecil. Saya pun butuh participatory learning, dalam artian dimulai dengan praktik sederhana di bawah bimbingan orang yang ahli dalam suasana santai lagi menyenangkan, seperti NGERUK ini.
Saya jadi menyesal karena melewatkan acara-acara Komunitas 1000 Kebun sebelumnya, yang telah diinformasikan teman saya dengan begitu baik hatinya itu. Mudah-mudahan saya masih punya banyak kesempatan untuk belajar dari mereka, khususnya dalam bentuk praktik seperti ini. Mudah-mudahan dengan begitu kelak saya dapat mengoptimalkan ruang di sekitar rumah saya untuk dijadikan kebun pangan yang berkelanjutan. Aamin ya robbal alamin.
Gambar dan foto dari Anis Wardhani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar