Senin, 29 Juli 2019

Belajar Humor dari Pak Boim Lebon

Minggu, 21 Juli 2019, di perpustakaan Bandung Creative Hub dari pukul 9-12 WIB ada acara Diskusi dan Bedah Buku Pahlawan tanpa Tanda Tangan. Buku ini merupakan buku kumpulan cerpen humor yang dikarang oleh Pak Boim Lebon dan para anggota FLP. Membaca kata pengantarnya, gagasan mengenai buku ini terbit pada waktu Musyawarah Nasional FLP di Bandung beberapa waktu lalu. Dalam acara tersebut, ada workshop menulis cerita humor bersama Pak Boim. Nah, buku ini merupakan hasil dari workshop tersebut. Harganya Rp 45.000 saja.

Di samping Pak Boim, ada dua pembicara lain, yaitu Felian Auliya dan Aini Sarah Nurul atau Sarah Astro. Keduanya tercatat sebagai anggota FLP Sumedang dan menyumbang cerpen dalam buku ini. 


Ketiga pembicara berbagi kiat-kiat dalam menulis cerita humor. Khusus untuk Pak Boim, kita tahu beliau adalah penulis yang prolific. Di samping duet bersama Hilman Hariwijaya dalam Lupus Kecil dan Lupus ABG yang sangat kesohor itu, ada banyak lagi bukunya yang lain yang secara umum bergaya humor. Nama Boim Lebon seolah-olah identik dengan cerita humor. Berikut ini adalah beberapa poin yang saya tangkap dari mereka. Sebagian besarnya dari Pak Boim, selebihnya oleh Sarah dan Felian.
  • Penulis cerita humor memiliki gen humor atau sensitivitas yang tinggi terhadap humor.
  • Sangat banyak hal yang bisa ditertawakan dari kehidupan sehari-hari. Penulis yang terlatih akan mencatatnya dengan rajin.
  • Di antara sekian hal yang bisa ditertawakan dari kehidupan sehari-hari itu adalah kelakuan orang di sekitar kita. Bisa jadi kita mengenal orang-orang yang punya karakter unik dan komikal sehingga bisa dijadikan bahan tertawaan. (Lo, kok kesannya kejam, ya? Hihi.) Pak Boim mencontohkan teman-temannya semasa SMA, keluarganya, bahkan dirinya sendiri sebagai sumber inspirasi dalam menulis yang lucu.
  • Humor tidak mesti menggunakan diksi kasar, sebagaimana dicontohkan acara lucu-lucuan di televisi yang kerap mengatai orang dengan sebutan-sebutan tertentu. Humor juga tidak mesti bersifat slapstick ala Srimulat. Acara stand-up comedy bisa dijadikan alternatif untuk mempelajari permainan diksi sehingga menghasilkan efek humor.
  • Baca juga karya-karya yang humoris seperti ... Raditya Dika ...? Apa enggak ada yang lain? (*keplak) Raditya Dika juga penulis yang identik dengan gaya humor, dan salah satu yang paling terkenal di Indonesia. Kalau mau mengeksplorasi, sesungguhnya ada banyak penulis humoris lain--baik dalam negeri maupun mancanegara--yang juga layak untuk diperhatikan.
  • Untuk menguji apakah joke yang kita punya memang lucu atau enggak, kita bisa menceritakannya dulu kepada orang lain dan melihat reaksi mereka.
Sebagai penyuka yang lucu-lucu, sharing dari ketiga penulis ini--utamanya Pak Boim--beresonansi (idih, berat diksinya!) dengan pengalaman saya sendiri. Saya juga beraspirasi ingin lihai membawakan gaya bahasa humoris dalam tulisan saya. Karena saya pada dasarnya bukan orang yang senang ngomong atau segan kalau sengaja melucu pada orang (takut malah krik krik), saya hanya bisa menguji kelucuan pada diri saya sendiri. Kalau itu membuat saya tertawa, saya pikir sudah memadai lah. 

Tetapi, toh, membawakan humor ada seninya sendiri. Seperti kata Mark Twain--Bapak Humor Amerika Serikat--adakalanya kelucuan terasa ketika si pencerita enggak menyadari bahwa yang dikatakannya itu lucu. Kadang saya menemukan bacaan yang mengaku humor, tetapi maksa alias enggak bikin saya ketawa. Jadi, kalau itu lucu bagi kita, tetapi belum tentu bagi orang lain, sementara kita malas mengujikannya kepada orang lain, paling enggak, kita enggak perlu memaksakan kepada pembaca bahwa itu memang lucu. Sajikan saja dengan dingin dan apa adanya, seakan-akan kita sendiri enggak menganggapnya lucu tetapi begitulah yang kita pikirkan dan selebihnya biarkan pembaca sendiri yang menilainya. Pembaca dengan sensitivitas humor yang berbeda dari kita mungkin enggak bakal bereaksi, tetapi pembaca yang seselera dengan kita boleh jadi kena.

Secara keseluruhan, semesta dalam karya-karya Pak Boim itu sendiri juga terasa beresonansi (???) dengan saya.

Buku-buku beliau pada umumnya diperuntukkan bagi anak dan remaja. Boleh jadi itu karena anak dan remaja merupakan pasar pembaca yang besar (orang dewasa sudah enggak punya waktu buat baca!), meski Pak Boim bilang sekarang ini terjadi krisis bacaan anak. Adapun pasar remaja penting karena pada masa tersebut orang mulai ingin diperhatikan lawan jenis dan sangat melit--hal-hal yang dapat menentukan arah hidup. 

Kalau diingat-ingat, memang, bacaan saya semasa remaja menentukan apa yang saya ingin tulis sampai dewasa ini. Pada masa itu, saya terpengaruh paling enggak oleh tiga macam bacaan: fiksi islami ala FLP, teenlit Barat terbitan GPU, serta novel serius berdebu di perpustakaan sekolah. Ketiganya pada umumnya berupa karya realis, dalam artian bukan genre tertentu seperti horor, fantasi, detektif, dan sebagainya, melainkan berkutat dengan masalah kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur tersebut--islami, pop, tetapi juga serius, dan realis--menguasai dunia imajinasi saya dan terus-menerus saya ramu agar dapat berpadu dalam karya yang paling enggak mesti bisa memuaskan diri saya sendiri. Itu, dan bungkusnya sebisa mungkin humoris. Humor penting karena dengan bangunan dunia yang sedemikian relatable, yang bisa jadi penuh dengan hal-hal enggak mengenakkan, saya pengin belajar cara memandangnya secara ringan, di antaranya, dengan menertawakannya.

Mendengar Pak Boim mengenang masa SMA beliau yang sepertinya sangat mengesankan, karena banyak teman sekolahnya yang berkarakter unik--termasuk dirinya sendiri, wkwk--saya teringat akan proyek (idih, serasa mau bangun gedung) saya sendiri yang sampai sekarang belum menemukan "tempat"-nya. Betapa saya juga terjebak dalam masa itu dan entah kapan akan selesai.

Akhir kata, Pak Boim berpesan agar kita menulis saja yang kita suka dan kita biasa. Kita enggak perlu takut kalau ide kita enggak menarik, karena menarik atau enggak itu tergantung pada cara mengemasnya, yang salah satunya mungkin dengan humor. Buku-buku Pak Boim bisa dijadikan bahan pelajaran.

Kebetulan, sebelum mengetahui tentang acara ini, saya menumpuk beberapa buku Lupus Kecil dan Lupus ABG yang saya miliki. Tadinya, maksud saya membaca ulang buku-buku itu karena saya lagi menggarap cerita dengan karakter bocah tengil sehingga saya butuh referensi untuk penjiwaan(???). Setelah menghadiri acara temu langsung dengan salah satu pengarangnya ini, saya mendapatkan wawasan baru dalam pembacaan saya dan bisa mengaitkan beberapa hal. Baru dua buku Lupus Kecil yang saya tamatkan sampai saya mengetik entri ini. Pembacaannya saya taruh di Goodreads. Berikut tautannya.


Adapun tentang novelet dengan karakter bocah tengil yang mengambil Lupus sebagai salah satu referensinya itu, draf pertamanya sudah selesai dituliskan. Saya enggak yakin dia benar-benar menyerupai Lupus sih. Soalnya, biarpun bandel, Lupus lebih berteladan dan enggak sampai mengangkat kenakalan remaja semacam berjualan video porno #eh #spoileralert. Dalam acara ini, sesungguhnya Pak Boim memberi dua tugas. Yang pertama adalah menuliskan karakter orang yang kita kenal dalam keseharian kita, yang kita anggap unik. Yang kedua adalah menuliskan ide cerita. Karena kepala saya lagi penuh sama novelet ini, maka saya memakainya untuk memenuhi tugas itu--yang enggak saya kumpulkan karena malu. Hihihi. Kalau penasaran, novelet itu bisa dibaca di sini dengan pertanyaan apakah usiamu sudah 17+. Tetapi, percayalah, isinya enggak selucah kesan yang tersurat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain