Pada awalnya, mati listrik ini terasa menguntungkan. Kalau biasanya sesekali saya mengecek ponsel, sekadar untuk melihat apakah ada pesan yang masuk, dan lalu berakhir dengan menonton satu-dua video Youtube--atau lebih, maka kali itu, karena enggak bisa, mau enggak mau saya melakukan pekerjaan lainnya: menyapu dan mengepel.
Setelah itu, kalau biasanya saya beristirahat dengan menonton barang beberapa video Youtube, karena listrik masih belum mengalir lagi, sehingga wifi juga tidak ada, maka, mau enggak mau, saya melanjutkan dengan aktivitas lain. Saya berjalan-jalan ke luar rumah dan mendapati bahwa Alfamart terdekat pun sampai tutup akibat mati listrik itu.
Setelah kembali ke rumah, lampu masih belum dapat menyala, saya melanjutkan pekerjaan mencuci dan menggunting sampah plastik untuk ecobrick. Yang enggak lama kemudian jadi membosankan sementara langit semakin gelap. Karena enggak menemukan persediaan lilin yang cukup sekiranya mati listrik berlanjut sampai malam, menjelang magrib itu, saya kembali keluar rumah untuk membeli lilin.
Gambar dari artikel "Tak Ada Lilin, Kulit Jeruk Pun Bisa Jadi Penerang". |
Alfamart telah kembali buka dan menyala berkat genset. Saya melaju ke warung di dekatnya, yang telah gelap, namun ramai oleh orang-orang yang membeli lilin. Dalam situasi itu, saya menjadi khawatir bakal enggak kebagian. Saya sampai kesandung dan hampir menjatuhkan barang-barang. Untunglah saya berhasil mendapatkan satu pak lilin seharga sepuluh ribu rupiah.
Situasi mulai terasa menakutkan. Biasanya mati listrik hanya mencakup deretan rumah atau jalan tertentu di sekitar rumah saya. Tapi, kali ini, agaknya menjangkau kawasan yang lebih luas. Bahkan deretan rumah yang biasanya tidak ikut kena mati listrik pun kali ini kena.
Selain itu, tidak ada azan. Zuhur, asar, masuk dengan hening. Kalau tinggal di luar negeri yang bukan negara nonmuslim, situasi ini mungkin biasa. Tapi, tidak di sini. Saya terbiasa mendengar ramai suara azan, berdatangan dari banyak masjid di semua penjuru bila sudah waktunya seakan-akan mengepung dan memaksa saya untuk mengingat Tuhan. Maka, keheningan yang aneh ini entah kenapa justru menimbulkan perasaan tidak nyaman. Baru ketika magrib kembali terdengar suara azan, tapi dari kejauhan alih-alih masjid-masjid di kawasan sekitar rumah saya.
Setelah magrib, ibu saya menyalakan radio bertenaga baterai yang menyiarkan berita: rupanya ada masalah dengan jaringan listrik PLN dan pemadaman ini mencakup kawasan yang sangat luas--seluruh Jawa dan Bali. Ini hampir-hampir suatu ... bencana nasional ...?
Intensitas kengerian meningkat--kalau boleh lebay.
Bukan gelap benar yang saya takutkan, tapi ....
Saya memikirkan aktivitas saya selama ini yang didominasi oleh media elektronik, katakanlah, menulis di laptop dan mempublikasikannya di blog yang untuk mengaksesnya membutuhkan listrik. Kalau mati listrik ini terus berlanjut hingga waktu yang tidak ditentukan, maka segala upaya saya selama ini untuk menghasilkan bacaan--dengan segenap pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan emosi--jadi terasa sia-sia.
Ketika hendak makan malam dan melihat jumlah piring bersih yang tersedia di meja makan tinggal sedikit, saya berpikir, kalau mati listrik ini terus berlanjut hingga waktu yang tidak ditentukan, bagaimana saya akan mencuci piring? Bagaimana saya akan makan kalau enggak ada piring bersih? Sementara untuk bisa mencuci, saya membutuhkan air. Untuk mengalirkan air, saya harus menyalakan pompa, yang menggunakan listrik.
Bukan hanya untuk cuci piring, bagaimana saya akan membersihkan anggota tubuh yang pastinya sewaktu-waktu harus?
Terpikir juga oleh saya betapa banyak orang lainnya yang enggak kalah membutuhkan listrik daripada saya, apalagi sekarang ini banyak layanan yang hanya bisa diakses melalui perangkat elektronik. Katakanlah: Bagaimana memasuki jalan tol tanpa e-toll? Bagaimana menarik uang dari bank ketika jam tutup kalau bukan lewat mesin ATM? Bagaimana berjual beli di online shop kalau ponsel mati dan tidak ada listrik atau powerbank untuk mengisi ulang daya baterainya? Hal-hal seperti itulah.
Maka, bagaimana jika mati listrik ini terjadi untuk seterusnya hingga waktu yang tidak ditentukan? Kekacauan akan terjadi, apalagi di kota padat penduduk seperti Bandung ini. Orang-orang akan berebut demi air, apalagi saat musim tanpa hujan begini. Bisnis-bisnis online yang kini mendominasi akan tutup. Orang-orang akan kehilangan sumber nafkah. Peradaban akan runtuh. Baru terasa pentingnya mempertahankan sumur di rumah, yang untuk mengambil air dari dalamnya tinggal timba tanpa pompa yang menyedot listrik. Baru terasa pentingnya skill menghasilkan api secara manual atau bikin lilin sendiri, apabila kehabisan di warung. Saya jadi teringat sama The Preppers: orang-orang di negara maju yang telah menyiapkan diri untuk skenario semacam ini. Mereka telah berpikir sampai jauh ke depan sekali, sementara, entahlah apakah ada orang-orang Indonesia yang sudah seperti mereka. (Yang mana sebetulnya bukan berarti kita mesti serbameniru negara maju, melainkan tinggal mundur beberapa langkah, kembali pada cara hidup kita dahulu ketika petromaks masih trendi)
Ditambah bencana-bencana yang telah terjadi sebelumnya: gempa di Banten dan sekitarnya yang terasa sampai ke Bandung hingga monyet-monyet yang turun dari Gunung Tangkuban Perahu--kalau mental lemah, bisa-bisa jadi paranoid.
Tapi, saya tidur dengan tenang malam itu tanpa penerangan apa pun sama sekali.
Rasanya hampir seperti dalam cerpen "The Last Night of the World" Ray Bradbury.
Saya terbangun sekitar pukul dua pagi. Lampu telah menyala. Listrik telah mengalir. Enggak lama setelah bangun, saya menyalakan pompa dan mengisikan air dalam ember-ember besar sampai penuh.
Di Kompas pada keesokan harinya itu, berita tentang jaringan listrik yang terganggu ini terpampang besar di halaman depan. Tepatnya, ada beberapa berita yang membicarakan masalah ini dan memvalidasi pikiran-pikiran saya semalam. Tentang kekacauan yang merugikan orang-orang. Tentang betapa bergantungnya kita pada listrik. Tentang betapa kita enggak menangkap esensi lain dari film Sexy Killers, bahwa tambang-tambang batu bara yang telah menzalimi segenap spesies itu terus dibuka demi menyuplai kebutuhan listrik kita. (Eh, yang terakhir ini enggak sih.)
Apakah kita akan belajar dari kejadian ini? Katakanlah, dengan beralih pada membuat karya yang enggak mesti diakses lewat perangkat elektronik atau belajar skill-skill baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa sedemikian bergantung pada listrik. Atau, setelah listrik kembali mengalir dan keadaan pulih seperti sedia kala seolah-olah enggak pernah terjadi apa-apa, terus saja melanjutkan kebiasaan atau porsi ketergantungan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar