Senin, 06 Agustus 2012

Anak-anak itu melahap emosi negatifku


Setiap kali perasaanku memburuk, aku memasukkan uang ke dalam celengan. Kucari uang dengan nominal terkecil di dompetku. Mulai dari sekeping selawe, hingga selembar biru yang bikin aku harus ke ATM lagi setelahnya.

Sebelumnya aku mencurahkan segalanya pada kertas. Kata orang, apa yang tertulis akan abadi. Tapi apakah aku ingin dikenang sebagai orang yang gundah terus-menerus sepanjang hidupnya? Mungkin ada baiknya menyimpan kertas, alih-alih mengotorinya.

Belasan tahun kemudian, uang yang aku kumpulkan cukup untuk membiayai acara buka bersama di satu panti asuhan selama dua Ramadhan.

Ketika melihat wajah sumringah anak-anak itu, yang tengah mengunyah lauk yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, apakah aku harus mensyukuri emosi negatif yang merundungiku selama ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Tempo Nomor 20/XXXI/15 – 21 Juli 2002 - ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Dalam edisi ini, sedikitnya ada 3 kumpulan artikel yang menarik buat saya. Yang pertama adalah… Read more Tempo Nomor 20/XXXI/1...
    4 minggu yang lalu
  • Berkata Tidak - Aku dapat berkata tidak. Ketika aku masih anak-anak, aku takut berkata tidak. Aku melihat orang tuaku menyurutkan cinta dan perhatian mereka bila aku tidak...
    1 tahun yang lalu
  • Tentang Stovia - Tulisan berjudul "Stovia yang Melahirkan Kebangsaan" (*Kompas*, 28/5) telah menyadarkan kita tentang arti penting nilai-nilai kebangsaan yang dibangun para...
    6 tahun yang lalu