Jumat, 05 April 2013

Catatan Pembacaan 2012 (4-6)


Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat – Adian Husaini (Gema Insani, Jakarta, 2011)

Kendati dijuduli Kemi…, novel ini lebih menceritakan Rahmat—sepak terjangnya dalam melawan pemikiran liberalisme. Kemi adalah sahabat Rahmat. Semula mereka santri di pesantren milik Kyai Rois. Pemikiran liberalisme telah memasuki pesantren, tidak terkecuali pesantren mereka. Kemi dipengaruhi Farhan, alumni pesantren tersebut yang telah berpikiran liberal, untuk keluar dari pesantren dan menimba pendidikan di sebuah institut di Depok. Setahun kemudian, Rahmat bertemu Kemi dan mendapati bahwa Kemi telah berubah. Sahabatnya itu telah menerima paham liberalisme dan menyebut dirinya sebagai penganut Islam liberal. Kemi juga sibuk mengadakan pelatihan pemikiran di pesantren-pesantren. Kemi menantang Rahmat untuk mengikuti jejaknya, dan membuktikan apakah orang memang berubah karena lingkungan atau tidak. Rahmat menyanggupi. Sebelum menyusul Kemi ke Depok, Rahmat telah diberi “bekal” oleh Kyai Rois dan Kyai Fahim. Sebagai seorang santri, Rahmat sempat mengalami kegoncangan budaya ketika ia mulai kuliah di Institut Damai Sentosa. Ia berkenalan dengan Siti, kawan Kemi, yang menyimpan suatu rahasia. Ia juga berkenalan dengan warga setempat yang rupanya mencurigai aktivitas Kemi. Sebenarnya ada apa sih di balik aktivitas Kemi?

Siti yang gelisah akhirnya kena getah. Kemi tidak luput. Dengan bantuan warga setempat dan koneksi Kyai Rois, Rahmat menyelamatkan Kemi. Ternyata selama ini Kemi dan Siti adalah korban materialisme belaka. Segala upaya yang mereka lakukan untuk menyebarkan isme-isme yang melencengkan agama hanyalah kedok yang menguntungkan pihak tertentu. Oknum tersebut akhirnya diringkus oleh polisi (yang juga alumni pesantren Kyai Rois).

Aku kira inti dari novel ini adalah pertarungan argumentasi antara Rahmat dengan Kemi, Rahmat dengan Prof. Malikan (rektor Institut Damai Sentosa), Doktor Ita dan wartawan Bejo, serta Rahmat dengan Kyai Dulpikir. Pertarungan pemikiran ternyata seru juga untuk diikuti. Semula aku menganggap fiksi sebagai pendekatan yang enak untuk menyampaikan suatu pemahaman. Tapi entah kenapa setelah menamatkan novel ini aku merasa sayang bahwa ini hanya fiksi. Aku bisa asyik dengan apa yang disampaikan dalam novel ini, barangkali karena sebelumnya aku sudah merasa cocok dengan pandangan Adian Husaini. Sesekali aku mendengarkan rekaman dialog Adian Husaini di KLCBS 100,4 Bandung FM yang mengkaji Islam kontemporer, khususnya terkait liberalisme dan pluralisme. Maka aku penasaran bagaimana tanggapan pembaca yang berpikiran liberal-plural atas konten yang diangkat dalam novel ini.

Selain itu aku bermasalah dengan unsur intrinsik dalam novel ini. Aku enggak suka dengan karakterisasinya yang terkesan mengidentikkan rupa seseorang dengan akhlaknya—yang tampan yang lurus, begitu; konfliknya pun terselesaikan dengan begitu mudah… Roman, selaku oknum yang telah menjerumuskan Kemi dan Siti dapat diringkus dengan begitu saja, tanpa diupayakan “permainan” yang sekiranya bisa lebih menggairahkan pembaca. Ia menghajar Kemi di tempat yang memang sudah jadi intaian warga setempat. Rahmat pun memiliki Kyai Rois, yang bantu menghubungkannya dengan pihak-pihak yang melancarkan upaya penyelamatan Kemi. Tidak ditunjukkan ancaman berarti bagi Rahmat, hanya sekadar ancaman bayangan sebelum menjadi ancaman sesungguhnya. Roman begitu saja membeberkan maksudnya selama ini sembari mengarahkan Kemi ke ujung tanduk. Terlalu memanjakan pembaca. Gejolak perasaan antara Rahmat dengan Siti pun terasa bagai bumbu yang enggak meresap dengan baik.

Akupun memahami bahwa pengolahan novel membutuhkan “rasa”, yang menjadikannya enggak sekadar memikat dari segi ekstrinsik melainkan juga intrinsik.

Sosiologi Sastra – Robert Escarpit terj. Ida Sundari Husen (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005)

Buku ini agaknya menarik, seandainya saja aku bisa memahami terjemahannya. Menghadapi buku yang enggak mudah diserap itu ternyata mengganggu. Aku enggak berhasil menamatkan buku ini.

Buku yang aslinya dalam bahasa Prancis ini memuat statistika dari hasil penelitian mengenai pengarang, buku, dan semacamnya yang bagiku Prancis­-minded. Enggak ada nama pengarang yang kukenal dalam buku ini, bahkan Hemingway dan Steinbeck, mengingat buku ini semula diterbitkan pada tahun 1958. Buku ini sebenarnya memberitakan fenomena mengenai pengarang dan perbukuan (di Prancis?) pada sekitar setengah abad lalu. Seenggaknya dari buku ini aku mendapatkan informasi bahwa pengarang biasanya berjaya pada usia 30-40-an tahun, walau ada juga yang terus produktif sampai usia lanjut. Dan bahwa pengarang enggak bisa dijadikan sebagai satu-satunya profesi. Banyak pengarang harus punya profesi lain untuk menunjang kehidupannya.

Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer – Apsanti Djokosujatno (Indonesia Tera, Magelang, 2004)

Buku ini memuat sepuluh esai yang membahas katrologi Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer dari berbagai aspek, misal kaitannya dengan Prancis, kosmopolitisme dan pengetahuan ensiklopedis di dalamnya, elemen-elemennya yang membentuk keutuhan, sampai teknik yang digunakan supaya pembaca tidak berhenti membaca sampai tuntas (yeah, I was the victim). Sebenarnya aku lebih suka menggunakan istilah “tetralogi”, yang lebih umum, ketimbang “katrologi” yang mengingatkanku pada istilah yang berarti ketinggalan zaman dalam bahasa gaul, walaupun “katro” di sini berarti kuartet—empat. Membaca esai-esai dalam buku ini membuatku memahami, betapa kaya rangkaian karya Eyang Pram yang ditulis di Pulau Buru tersebut. Selain itu buku ini enggak hanya enak dibaca (dari segi bahasa), tapi juga enak di mata (dari segi lay out, font, de el el). Aku berterima kasih kepada penulis buku ini yang telah menyibak rahasia di balik kemasyhuran Tetralogi Pulau Buru. Itulah gunanya membaca kritik.

Prinsip-prinsip Kritik Sastra – Rachmat Djoko Pradopo (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007)

Buku ini lebih mengarah pada pengkajian puisi, sebab konon puisi adalah inti dari sastra atau apa begitu. Dalam buku ini dicantumkan beberapa contoh puisi yang menurutku memang bagus, tapi aku enggak begitu meminati puisi dan lagi enggak ingin menumbuhkan minat tersebut. Lalu aku temukan lagi klasifikasi kritik (yudisial, induktif, objektif, impresionis), ditambah berbagai sudut pandang (relativisme, absolutisme, dan perspektivisme), yang bikin aku bersyukur bahwa aku bukan mahasiswa sastra. Aku lebih suka kritik terapan ketimbang kritik teoretis.

Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi – Faruk HT (Gama Media, Yogyakarta, 2001)

Buku ini merupakan kumpulan esai sastra, yang bahasanya enggak mudah kupahami. Aku enggak menamatkannya.

Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya – Adian Husaini & Nuim Hidayat (Gema Insani Press, Jakarta, 2002)

Esensi buku ini enggak jauh beda dengan buku Adian Husaini yang sebelumnya kubaca, yaitu Kemi…. Penyampaiannya pun mirip, yaitu dengan menyodorkan pemikiran liberal yang kemudian ditangkis oleh penulis secara logis untuk diarahkan kepada Islam. Buku ini menyadarkanku bahwa Islam adalah agama yang duniawi, maksudnya mencakup berbagai urusan di dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...