Ini bakal spoiler.
source |
Baru-baru ini aku menonton
sebuah film di saluran FX, Ceremony
[2010]. Semula aku hanya tertarik dengan sosok yang diperankan oleh Reece
Thompson, dari cuplikan-cuplikan yang ditayangkan sebagai teaser. Karakter yang diperankannya memang menarik. Tapi film ini
secara keseluruhan memang menarik bagi orang yang sedang tertarik dengan cerita-cerita coming-of-age sepertiku. Walau
ratingnya hanya 5,5/10 di IMDb, dan tidak mendapatkan penghargaan apapun. Banyak
unsur dalam film ini yang menyentuhku secara personal. Saat ini, itu
satu-satunya alasan bagiku untuk menyukai suatu cerita.
Perpustakaan melatari awal film
ini. Seorang penulis sedang membacakan ceritanya. Tentang seorang
penyelam yang menyelamatkan putri duyung dari cengkeraman duyung jantan. Lalu
mereka menaiki paus dan berencana untuk hidup bersama, bahagia
selama-selamanya, semacam itu. Pembacaan diakhiri dengan tepuk tangan, yang
hanya berasal dari satu orang. Ialah Marshall Schmidt, karakter yang diperankan
oleh Reece Thompson yang membuatku penasaran untuk menonton film ini. Tapi ia
cuman sidekick. Protagonisnya adalah
sang penulis. Sam Davis (Michael
Angarano).
Dengan kumis dan gaya sok iyeh.
Kedua orang ini kemudian
melakukan perjalanan. Marshall yang menyetir, karena ia yang memiliki mobil.
Kemudian kita tahu kalau Marshall adalah semacam American hikikomori. Ia pernah didekati orang tidak dikenal, lalu
dianiaya sampai berdarah-darah. Sejak itu ia kembali tinggal di apartemen orangtuanya.
Tahu-tahu saja delapan bulan berlalu. Ia tidak pernah keluar. Ia bahkan
memiliki terapis karena sejumlah masalah yang ia alami. Menurut terapisnya,
menulis jurnal bisa membantu. Hingga Sam mengajaknya untuk berlibur. Sam
menjebaknya, sebetulnya.
Setelah menghabiskan waktu sebentar
saja di sebuah hotel Indian kecil, Sam menyeret Marshall ke sebuah pesta di
tepi pantai. Tidak jauh dari situ. Beruntung bagi Sam. Ia bertemu dengan Teddy (Jake Johnson). Sam berhasil membuat Teddy mengundang dirinya dan Marshall ke pesta tersebut, dan
bertemu Zoe (Uma Thurman). Kebetulan Teddy
adalah adiknya Zoe.
Keruan Zoe kalut. Padahal ia
sudah memberitahu Sam kalau ia akan menikah, dan
tolong jangan datang ke pestanya. Tapi itu malah membuat Sam melakukan yang
sebaliknya. Sam pun bertemu dengan Whit
(Lee Pace),
tunangan Zoe. Pernikahan akan dilakukan beberapa hari lagi(, sedang petang itu baru pesta ulang tahun Whit). Whit pun mengundang Sam dan
Marshall untuk ikut menginap di rumah besar, bersama para tamu lain.
Selanjutnya kita tahu kalau Sam
ingin mengajak Zoe kabur dari pernikahan itu. Maka kita menduga-duga, apakah
tujuan Sam akan tercapai? Toh Zoe bukannya sudah tidak menyukai Sam sama
sekali. Zoe terlihat tidak senang ketika Sam berlagak merayu perempuan lain.
Mereka berciuman di dalam lemari pakaian. Zoe bahkan mendatangi kamar Sam
malam-malam, sampai Sam pun "mengusir" Marshall. Berhasilkah usaha
Sam membujuk Zoe agar membatalkan pernikahan itu? Dan tentunya kita akan
bertanya-tanya, sebenarnyanya bagaimana sih hubungan di antara Sam dengan Zoe?
Kenapa Zoe sampai memiliki dua orang kekasih? Bukankah Zoe tampak jauh lebih
tua dari Sam yang baru berusia 23,5 tahun?
Walaupun romance bukan genreku, tapi sebagai penonton yang polos aku kadung
terjerat dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Lagipula aku suka pada Marshall.
Dengan kepolosan, ketidakberdayaan, dan kebaikannya, siapa yang tidak simpati? Alur pun terus bergulir
ke arah yang tidak dikira-kira. (Setidaknya olehku). Hubungan yang sebenarnya
di antara Sam dengan Zoe pun terkuak. Esensi dari film ini ternyata bukan romance, sebagaimana kesan semula. Finally, I got the jackpot. Alasan dan
keputusan Zoe menerima Whit sebagai suaminya adalah proses pendewasaan yang
ingin dilalui oleh perempuan itu, sekaligus, proses pendewasaan yang harus
diterima oleh Sam. Belum lagi pertengkaran antara Sam dengan Marshall yang
menyingkap tabiat satu sama lain. Marshall pun meninggalkan Sam, dengan membawa
mobilnya tentu saja.
Pernikahan akhirnya
dilangsungkan. Tiba waktu mengucapkan ikrar. Di hadapan Whit, Zoe membuka
lipatan kertas yang berisi tulisan Sam: Alasan-alasan kenapa Zoe sebaiknya menikahi
Whit dan bukannya Sam. Sementara itu, Sam meninggalkan lokasi tersebut dengan
jalan kaki. Tahu-tahu ia berselisih jalan dengan Marshall dan mobilnya.
Marshall tidak berhenti. Rupanya ia punya kepentingan pribadi di sana, yang
tidak tercapai. Marshall pun kembali. Menepikan mobilnya di samping Sam. Sam
masuk ke dalam. Lalu ia bilang pada Marshall, mungkin ia juga perlu menemui
terapis.
Demikianlah. Peristiwa ini
menuntut Sam yang pemimpi dan emosional untuk sadar diri. Menjadi dewasa.
Mengakui kelemahan diri. Pendewasaan adalah penerimaan diri. Begitu esensi yang
aku tangkap dari film ini. Mengingatkanku akan salah satu kutipan favoritku
dari novel Haruki Murakami, Norwegian Wood. Dari percakapan antara Hatsumi-san dengan Toru Watanabe di halaman 318
(terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, Mei 2013, cetakan keempat, terjemah
Jonjon Johana):
"Terjun ke masyarakat,
diombang-ambing oleh gelombang yang ada di dalamnya, lalu patah semangat, lalu
jadi dewasa... begitu?"
Seolah menjadi dewasa berarti
patah semangat. Hm.
Dan memperoleh semangat yang
baru, semoga.
Marshall Schmidt: When did you start smoking?
Sam Davis: Recently.
Marshall Schmidt: You know, you probably shouldn't be doing it at a gas station.
|
Trivia.
Semula aku kira pemeran Marshall
adalah orang yang sama dengan pemeran Neville Longbottom di film seri Harry
Potter. Ternyata beda. Jauh. Ternyata aku pernah menonton penampilan Reece
Thompon sebelumnya justru di film lain, yaitu sebagai tokoh utama di Rocket Science [2010]. Film itu menceritakan tentang anak sekolahan yang gagap, namun mengatasinya dengan mengikuti kompetisi
debat. Motivasinya kacau karena hubungannya
dengan seorang
senior cewek—yang mengajarinya debat
mula-mula. Ia juga muncul di The Perks of
Being Wallflower [2012]. Tapi sepertinya hanya
peran kecil. Aku tidak ingat mengenali mukanya saat menonton film itu.
Kembali ke Ceremony.
Siapa yang doyan menulis cerita barangkali akan bisa mengidentikkan diri dengan Sam. Ia
sempat menjelaskan suatu teknik dalam membuat cerita,
yaitu amalgam. Semisal kita menciptakan seorang karakter dalam cerita kita. Karakter tersebut tidak persis seperti seseorang
yang kita kenal di dunia nyata. Melainkan sedikit dari si ini, ditambah separuh
dari si itu, ditambah lagi sebagian dari si anu, sehingga menghasilkan
perpaduan yang menarik—karakter yang menarik. Pembaca tidak akan tertarik dengan yang normal-normal saja.
Sam menulis cerita anak-anak. Fabel tentang koala yang terbang, juga
penyelam yang menyelamatkan putri duyung. Tapi ia penggemar karya F. Scott
Fritzgerald. Ia menyerahkan sebuah buku Fritzgerald pada
Marshall, dan mengatakan bahwa apa yang ditulis dalam cerita itu seolah mengenai dirinya. Dalam film, kita (atau
mungkin aku saja) tidak bisa melihat judul buku
itu dengan jelas. The Great Gatsby atau Tender
is the Night, aku penasaran. Setelah telusur-telusur, katanya sih The
Great Gatsby. Marshall kemudian membaca novel
tersebut, dan mengatakan hal yang sama. Ia juga merasa terwakili.
Aku juga, dengan film ini,
sedikitnya.[]
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTonton juga Love Is What You Need, Daydong.
BalasHapus