Rabu, 14 Agustus 2013

Seremoni Kedewasaan

Ini bakal spoiler.              

source

                Baru-baru ini aku menonton sebuah film di saluran FX, Ceremony [2010]. Semula aku hanya tertarik dengan sosok yang diperankan oleh Reece Thompson, dari cuplikan-cuplikan yang ditayangkan sebagai teaser. Karakter yang diperankannya memang menarik. Tapi film ini secara keseluruhan memang menarik bagi orang yang sedang tertarik dengan cerita-cerita coming-of-age sepertiku. Walau ratingnya hanya 5,5/10 di IMDb, dan tidak mendapatkan penghargaan apapun. Banyak unsur dalam film ini yang menyentuhku secara personal. Saat ini, itu satu-satunya alasan bagiku untuk menyukai suatu cerita.
                Perpustakaan melatari awal film ini. Seorang penulis sedang membacakan ceritanya. Tentang seorang penyelam yang menyelamatkan putri duyung dari cengkeraman duyung jantan. Lalu mereka menaiki paus dan berencana untuk hidup bersama, bahagia selama-selamanya, semacam itu. Pembacaan diakhiri dengan tepuk tangan, yang hanya berasal dari satu orang. Ialah Marshall Schmidt, karakter yang diperankan oleh Reece Thompson yang membuatku penasaran untuk menonton film ini. Tapi ia cuman sidekick. Protagonisnya adalah sang penulis. Sam Davis (Michael Angarano). Dengan kumis dan gaya sok iyeh.
                Kedua orang ini kemudian melakukan perjalanan. Marshall yang menyetir, karena ia yang memiliki mobil. Kemudian kita tahu kalau Marshall adalah semacam American hikikomori. Ia pernah didekati orang tidak dikenal, lalu dianiaya sampai berdarah-darah. Sejak itu ia kembali tinggal di apartemen orangtuanya. Tahu-tahu saja delapan bulan berlalu. Ia tidak pernah keluar. Ia bahkan memiliki terapis karena sejumlah masalah yang ia alami. Menurut terapisnya, menulis jurnal bisa membantu. Hingga Sam mengajaknya untuk berlibur. Sam menjebaknya, sebetulnya.
                Setelah menghabiskan waktu sebentar saja di sebuah hotel Indian kecil, Sam menyeret Marshall ke sebuah pesta di tepi pantai. Tidak jauh dari situ. Beruntung bagi Sam. Ia bertemu dengan Teddy (Jake Johnson). Sam berhasil membuat Teddy mengundang dirinya dan Marshall ke pesta tersebut, dan bertemu Zoe (Uma Thurman). Kebetulan Teddy adalah adiknya Zoe.
                Keruan Zoe kalut. Padahal ia sudah memberitahu Sam kalau ia akan menikah, dan tolong jangan datang ke pestanya. Tapi itu malah membuat Sam melakukan yang sebaliknya. Sam pun bertemu dengan Whit (Lee Pace), tunangan Zoe. Pernikahan akan dilakukan beberapa hari lagi(, sedang petang itu baru pesta ulang tahun Whit). Whit pun mengundang Sam dan Marshall untuk ikut menginap di rumah besar, bersama para tamu lain.
                Selanjutnya kita tahu kalau Sam ingin mengajak Zoe kabur dari pernikahan itu. Maka kita menduga-duga, apakah tujuan Sam akan tercapai? Toh Zoe bukannya sudah tidak menyukai Sam sama sekali. Zoe terlihat tidak senang ketika Sam berlagak merayu perempuan lain. Mereka berciuman di dalam lemari pakaian. Zoe bahkan mendatangi kamar Sam malam-malam, sampai Sam pun "mengusir" Marshall. Berhasilkah usaha Sam membujuk Zoe agar membatalkan pernikahan itu? Dan tentunya kita akan bertanya-tanya, sebenarnyanya bagaimana sih hubungan di antara Sam dengan Zoe? Kenapa Zoe sampai memiliki dua orang kekasih? Bukankah Zoe tampak jauh lebih tua dari Sam yang baru berusia 23,5 tahun?
                Walaupun romance bukan genreku, tapi sebagai penonton yang polos aku kadung terjerat dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Lagipula aku suka pada Marshall. Dengan kepolosan, ketidakberdayaan, dan kebaikannya, siapa yang tidak simpati? Alur pun terus bergulir ke arah yang tidak dikira-kira. (Setidaknya olehku). Hubungan yang sebenarnya di antara Sam dengan Zoe pun terkuak. Esensi dari film ini ternyata bukan romance, sebagaimana kesan semula. Finally, I got the jackpot. Alasan dan keputusan Zoe menerima Whit sebagai suaminya adalah proses pendewasaan yang ingin dilalui oleh perempuan itu, sekaligus, proses pendewasaan yang harus diterima oleh Sam. Belum lagi pertengkaran antara Sam dengan Marshall yang menyingkap tabiat satu sama lain. Marshall pun meninggalkan Sam, dengan membawa mobilnya tentu saja.
                Pernikahan akhirnya dilangsungkan. Tiba waktu mengucapkan ikrar. Di hadapan Whit, Zoe membuka lipatan kertas yang berisi tulisan Sam: Alasan-alasan kenapa Zoe sebaiknya menikahi Whit dan bukannya Sam. Sementara itu, Sam meninggalkan lokasi tersebut dengan jalan kaki. Tahu-tahu ia berselisih jalan dengan Marshall dan mobilnya. Marshall tidak berhenti. Rupanya ia punya kepentingan pribadi di sana, yang tidak tercapai. Marshall pun kembali. Menepikan mobilnya di samping Sam. Sam masuk ke dalam. Lalu ia bilang pada Marshall, mungkin ia juga perlu menemui terapis.
                Demikianlah. Peristiwa ini menuntut Sam yang pemimpi dan emosional untuk sadar diri. Menjadi dewasa. Mengakui kelemahan diri. Pendewasaan adalah penerimaan diri. Begitu esensi yang aku tangkap dari film ini. Mengingatkanku akan salah satu kutipan favoritku dari novel Haruki Murakami, Norwegian Wood. Dari percakapan antara Hatsumi-san dengan Toru Watanabe di halaman 318 (terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, Mei 2013, cetakan keempat, terjemah Jonjon Johana):
                "Terjun ke masyarakat, diombang-ambing oleh gelombang yang ada di dalamnya, lalu patah semangat, lalu jadi dewasa... begitu?"
                Seolah menjadi dewasa berarti patah semangat. Hm.
                Dan memperoleh semangat yang baru, semoga.

Marshall Schmidt: When did you start smoking?
Sam Davis: Recently.
Marshall Schmidt: You know, you probably shouldn't be doing it at a gas station.
Sam Davis: That's an old wives tale, Marshall. [flicks it away]

source photo/quote

                Trivia.
                Semula aku kira pemeran Marshall adalah orang yang sama dengan pemeran Neville Longbottom di film seri Harry Potter. Ternyata beda. Jauh. Ternyata aku pernah menonton penampilan Reece Thompon sebelumnya justru di film lain, yaitu sebagai tokoh utama di Rocket Science [2010]. Film itu menceritakan tentang anak sekolahan yang gagap, namun mengatasinya dengan mengikuti kompetisi debat. Motivasinya kacau karena hubungannya dengan seorang senior cewekyang mengajarinya debat mula-mula. Ia juga muncul di The Perks of Being Wallflower [2012]. Tapi sepertinya hanya peran kecil. Aku tidak ingat mengenali mukanya saat menonton film itu.
                Kembali ke Ceremony.
                Siapa yang doyan menulis cerita barangkali akan bisa mengidentikkan diri dengan Sam. Ia sempat menjelaskan suatu teknik dalam membuat cerita, yaitu amalgam. Semisal kita menciptakan seorang karakter dalam cerita kita. Karakter tersebut tidak persis seperti seseorang yang kita kenal di dunia nyata. Melainkan sedikit dari si ini, ditambah separuh dari si itu, ditambah lagi sebagian dari si anu, sehingga menghasilkan perpaduan yang menarik—karakter yang menarik. Pembaca tidak akan tertarik dengan yang normal-normal saja.
                Sam menulis cerita anak-anak. Fabel tentang koala yang terbang, juga penyelam yang menyelamatkan putri duyung. Tapi ia penggemar karya F. Scott Fritzgerald. Ia menyerahkan sebuah buku Fritzgerald pada Marshall, dan mengatakan bahwa apa yang ditulis dalam cerita itu seolah mengenai dirinya. Dalam film, kita (atau mungkin aku saja) tidak bisa melihat judul buku itu dengan jelas. The Great Gatsby atau Tender is the Night, aku penasaran. Setelah telusur-telusur, katanya sih The Great Gatsby. Marshall kemudian membaca novel tersebut, dan mengatakan hal yang sama. Ia juga merasa terwakili.
                Aku juga, dengan film ini, sedikitnya.[]

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...