Senin, 17 September 2012

Di Balik Kesedihan

sumber gambar dan cerpen bisa dilihat di
http://www.eldritchpress.org/ac/misery.htm
Suatu malam Iona Potapov menyusuri jalanan Rusia yang bersalju deras dengan semacam delman. Ia yang mengendarai delman tersebut, dengan seekor kuda betina. Setelah lama, seorang opsir yang kasar menaiki delman tersebut. Iona dimaki oleh sang opsir karena cara Iona mengemudi yang tidak becus. Kemudian Iona mendapat kesempatan untuk memberitahu sang opsir, putra Iona meninggal minggu itu. Sang opsir tidak peduli, malah menanggapi Iona dengan kasar.

Setelah sang opsir turun, tiga pemuda yang menaiki delman Iona. Bahasa mereka buruk, dan mereka ingin membayar Iona kurang dari yang seharusnya. Iona menerimanya, daripada tidak sama sekali. Lagi-lagi Iona disentil akan cara mengendaranya yang buruk. Iona pun memberitahu mereka bahwa putranya meninggal minggu itu. Tetap tidak ada tanggapan yang baik untuk Iona.

Bahkan ketika ia sekadar menanyakan jam pada orang di pinggir jalan, ia tetap kena hardik.

Kesedihan Iona menjadi-jadi. Berhubungan dengan orang-orang malah tidak menjadi hal yang baik. Ia pun kembali ke pangkalan. Di sana orang-orang tidur seraya menghangatkan diri.

Iona menawarkan minum pada seorang pemuda. Ia berharap pemuda itu mau mendengarkan ceritanya. Tapi pemuda itu segera tidur kembali.

Iona pikir lebih baik ia bercerita pada seorang perempuan, tapi satu-satunya perempuan yang ia temukan hanya kudanya. Iona bercerita pada sang kuda betapa lelaki itu terlalu tua untuk mengemudikan delman, almarhum putranya itulah pengemudi delman yang sesungguhnya. Semua Iona ceritakan pada sang kuda.

***

“To Whom Shall I Tell My Grief?”, kalimat pembuka dalam cerpen karya Anton Chekhov ini langsung menyentilku. Kepada siapa aku akan berbagi dukaku? Pertanyaan itu juga sering aku alami, dan cocok untuk dipajang sebagai status di Facebook.

Dari judulnya saja, “Misery”, calon pembaca barangkali sudah menerka kalau ia bakal disuguhi melankolia di sepanjang cerpen. Menurutku tidak salah. Cerpen ini bisa menjadi semacam katarsis bagi siapapun yang tengah pilu, dengan kalimat semacam ini terasa menohok.

With a look of anxiety and suffering Iona’s eyes stray restlessly among the crowds moving to and fro on both sides of the street: can he not find among those thousands someone who will listen to him?

Meski menurutku kepiluan yang dialami oleh pembaca-katarsis belum tentu bisa menyamai kepiluan Iona. Kepiluan Iona adalah kepiluan yang khas, yang hanya dimiliki oleh seorang tua, yang piawai tidak piawai mesti mengemudikan delman supaya bisa makan, yang baru saja kehilangan putranya, istrinya telah meninggal, dan ia tinggal memiliki seorang putri di desa…

Selanjutnya cara penyampaian cerpen ini bisa dibilang gamblang, sebagai contoh,

Again he is alone and again there is silence for him… The misery which has been for a brief space eased comes back again and tears his heart more cruelly than ever.

Aku kira cara seperti atas bakal dihindari oleh seorang Ernest Hemingway. Bukannya aku menjadikan Eyang Hemingway sebagai panutan juga sih. Sekian karya Eyang Hemingway yang sudah kubaca, cuman satu yang aku bisa mengerti, yaitu cerita tentang seorang anak yang tidak bisa membedakan skala Fahrenheit dengan Celcius.

Biasanya aku terkesima akan cerita yang berhasil membuatku melankolis sesaat, contohnya novel “The Little Prince” dan “The History of Love”. Tapi kemudian aku pikir bahwa cerita semacam itu tidak bagus. Yang aku perlukan dari suatu cerita bukanlah supaya melankoliaku kambuh, melainkan bagaimana supaya aku tergerak untuk melakukan sesuatu, atau setidaknya berperasaan positif sebagaimana aku sehabis membaca novel “Negeri 5Menara” atau “Rumah Seribu Malaikat”.

Adapun akhir dari cerpen ini aku lihat dari dua sisi.

Sisi pertama, pembaca dibikin sangat kasihan pada Iona. Saking menyedihkan dirinya—hidupnya, sampai-sampai tidak ada satupun yang mau mendengarkannya selain kuda. Dengan demikian cerpen ini memiliki nuansa yang negatif, karena efeknya yang bikin melankolis. Sebetulnya melankolia tidak melulu negatif. Menurutku sifat melankolis membuat kita menjadi lebih peka dengan masalah, dan itu bisa dimanfaatkan. Aku kira di balik setiap karya hebat mestilah ada permasalahan yang melatarbelakanginya. Untuk bikin skripsi saja kita harus terlebih dulu menemukan masalah.

Sisi kedua, pembaca dibuat memahami makna peribahasa “tiada rotan akar pun jadi”. Tidak usah sedih amat kalau tidak menemukan seorangpun sebagai tempat berbagi duka, carilah kuda. Hewan ternyata bisa lebih baik dari manusia. Dengan demikian cerpen ini memiliki nilai positif, karena menawarkan alternatif bagi pembaca. Sekiranya Iona dibesarkan dalam tradisi tulis-menulis yang kuat, barangkali ia bisa menanggulangi kesedihannya dengan menulis diary, alih-alih cerita pada kuda. Benda mati ternyata tidak kalah baik dari hewan.

Sepilu-sepilunya aku tidaklah sebesar kepiluan Iona. Aku adalah orang yang beruntung, masih punya orangtua yang mau menanggung hidupku. Aku tidak harus memacu kuda di bawah guyuran salju demi sesuap nasi, atau, buat orang Rusia mah, oat. Aku bahkan masih memiliki waktu untuk membaca lantas membahas kisah Iona. Sedang Iona, ia barangkali tidak memiliki kesempatan bahkan untuk membaca kisahnya sendiri, karena ia harus mendayakan waktu dan tenaganya untuk sesuap oat. Tidak ada lagi putra yang bisa menanggung hidupnya. Dengan demikian nilai positif lain dari cerpen ini adalah bisa menyentil pembaca agar mensyukuri hidupnya.

Aku tidak bisa membayangkan akhir yang lebih baik untuk cerpen ini. Aku kira cerpen ini sudah diakhiri dengan sepatutnya, hingga aku bisa memikirkan berbagai kesan yang menjadi efek dari cerpen ini. Yang terpikir olehku malah alasan untuk tidak menggubris seseorang yang ingin melampiaskan deritanya. Alasan yang secara otomatis egois, tapi aku kira mestilah ada sebab di balik sikap tidak mengenakkan seseorang terhadap orang lainnya. Toh pada akhirnya sang orang bisa menemukan solusi alternatif, sebagaimana yang ditunjukkan dalam cerpen ini.

Tema besar cerpen ini adalah “misery”, yang menurut kamus elektronikku berarti “kesengsaraan, kesedihan, kemelaratan”. Aku tidak bisa bayangkan berada dalam kondisi sengsara/sedih/melarat ala Iona, jadi aku hanya bisa memaknai berbagai kata yang jadi pengertian tersebut dalam konteks kehidupanku saja, dan kata yang paling aku pahami barangkali hanya “sedih”. Jika aku mesti membuat rumusan dari tema besar ini hingga menjadi tema yang lebih spesifik, maka menurutku: kesedihan membuat seseorang lebih siap untuk menghadapi kemungkinan yang lebih buruk.***


(dari "The Harper Anthology of Fiction" oleh Sylvan Barnet, 1991, HarperCollins Publishers Inc.)
kalau foto ganteng Pak Chekhov bisa dilihat di sini ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...