Rabu, 01 Desember 2010

Ajakan tanpa Daya untuk Terus Hidup


Judul : Aki
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, 2003

Bertemu lagi dengan pengarang Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Kali ini prosanya adalah sebuah buku kecil setebal enam puluh dua halaman. Kalau dalam ukuran kuarto, prosa ini mungkin berupa cerpen panjang.

Terkisahkan seorang Aki, yang saya kira adalah seorang aki-aki (sunda: kakek), namun ternyata memang begitulah namanya. Tidak disebut apakah ia orang Jepang atau orang mana sehingga namanya unik begitu.

Pada mulanya Aki adalah seorang berumur 29 tahun yang terlihat sudah berumur 42 tahun. Ia sakit-sakitan dan kondisi fisiknya menyedihkan—punggungnya bungkuk 165o dan sepasang tungkai kakinya membentuk nol besar, namun itu bukan karena ia kena kutuk. Entah mengapa, yang jelas diceritakan betapa baik budi Aki hingga ia kerap disanjung orang-orang di sekitarnya.

Suatu hari Aki berkata bahwa ia akan mati setahun lagi, tanggal 16 Agustus pukul 3. Orang-orang di tempat kerja Aki susah menerima kenyataan bahwa Aki akan mati. Bahkan sepnya pun tak mau dengar—entah apa sep itu artinya. Hanya istrinya yang tawakal. Bersama istrinya itu, ia persiapkan kematiannya.

Semakin mendekati hari kematian, kondisi Aki bukannya semakin buruk, malah sebaliknya. Lama-lama ia tidak bungkuk lagi. Tungkai kakinya pun dapat terlihat normal. Hari yang dinanti pun tiba. Orang-orang sudah pada sibuk mempersiapkan perkabungan untuk Aki. Lewat jam 3, betapa terkejutnya mereka karena Aki ternyata masih hidup! Aki bilang bahwa ia akan mati tiga puluh tahun lagi. Sejak itu, semakin bertambah daya hidup Aki. Pada umurnya yang ke-42 tahun, ia terlihat masih berumur 29 tahun. Ia sekolah lagi. Dan bilang, ia akan hidup sampai umur keseratus.

Kondisi fisik Aki baru membaik setelah ia merasa dekat dengan kematian. Ia berjuang mati-matian dulu itu dalam batinnya untuk mempertahankan diri terhadap maut. Ia berjuang supaya sehat, supaya sakit paru-parunya hilang sama sekali (hal. 60-61). Sayang, konflik batin Aki tak dieksplorasi sehingga sebagai pembaca saya hanya sekedar tahu namun tak meresapi semangat mempertahankan hidup yang Aki juangkan. Toh sebelum dan sesudah didatangi ancaman maut pun sepertinya tak ada perbedaan berarti dalam diri Aki, selain perbaikan kondisi fisiknya saja. Kiranya akan lebih baik jika jalan cerita dibuat lebih dramatis sehingga maksud yang hendak disampaikan dari cerita ini bisa lebih mengena ke sanubari pembaca.

Lewat tokoh Aki, pengarang seakan ingin menyindir mereka yang berlaku “agamis” tapi tak kontributif pada sesama.

Tidak ada orang yang tahu, apakah Aki pernah ingat kepada Tuhan. Sembahyang ia tidak pernah, puasa pun tidak. Tapi ia dari dulu baik hati kepada siapa pun dan banyak orang sangsi, mana yang lebih disukai Tuhan: sembahyang tunggang-balik lima kali sehari dan puasa setiap bulan Ramadhan, tapi berbuat banyak kejahatan atau tidak sembahyang dan puasa, tapi berbaik hati yang tiada tandingan seperti Aki itu. (hal. 2)

Entah bagaimana pandangan pengarang dan apakah ia termasuk yang terus mencari kebenaran Islam—dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma pun ia terasa agak sinis pada agama, kalau menurut saya sih Tuhan lebih menyukai mereka yang sembahyang dan puasa, tapi juga baik hati pada siapa pun.

Dan lagi-lagi seniman kata kena sindir pula. Ada seorang pemuda yang membuat syair ketika datang berita bahwa Aki hendak mati. Setelah ternyata Aki tak jadi mati, pemuda ini jadi malas bekerja serta suka mengobrol dan memuji diri sendiri—padahal dulunya pendiam. Ia kerap membual tentang kepenyairannya. Saya jadi miris. Ini adalah peringatan yang ke sekian bagi para seniman kata wanna be dari yang sudah mapan jadi seniman kata itu sendiri.

Cerita absurd ini juga dibubuhi ilustrasi pada hampir setiap bab. Bukan sembarang ilustrasi karena yang dijumpai ialah sebuah kerangka tubuh manusia. Ia duduk di atas tubuh Aki. Ia bermain biola.  Ia menggenjreng gitar di bawah rembulan. Ia (mungkin) menyanyikan lagu Aki. Seakan mengingatkan bahwa kematian selalu membayang-bayangi.

1 komentar: