Rabu, 15 Desember 2010

enam belas

Ialah cowok bersuara melengking tinggi yang pernah Zia dengar saat mengintip latihan VG. Dengan jambul ikal di atas dahi, kulit terang khas jajaka Priangan, tinggi sepantaran cewek Indonesia pada umumnya, dan polah lincah yang menarik perhatian, tidak heran apabila ia menjadi sosok yang mencolok mata. Usut sana sini, nama Ipong diadaptasi dari julukan ‘Pongol’ alias ‘Poni Nongol’ a.k.a. Budiman Wicaksana—menurut versi daftar hadir kelas X-1.

Ingin Zia adu nyaring suara, saat mendengar cowok tersebut memanggil Salman. “Heh, Jawa, jangan lupa kesepakatan kita yang kemarin itu!”

Tidak hanya gordes, cowok tersebut chauvinist juga ternyata, pikir Zia. “Gugus-ist juga, Teh,” tambah Salman—setengah berbisik—sebelum membalas salam perpisahan Ipong. Saat itu jam belajar memang telah berakhir. Zia bertemu Salman saat hendak menuju gerbang sekolah. “Woy, Mbandung! Nggua nggak takut sama elo!”

Zia menahan tawa. Namun tidak tega juga hendak memberitahu Salman bahwa yang terdengar pantas ber-gua-lo di telinga hanya penduduk Jakarta dan sekitarnya—sedikit menyerempet Bandunglah.

“Hah, coba aja kalo bisa!”

“Apa sih, tadi gugus-ist?” tanya Zia sepeninggal Ipong.

“Iya, Teh, mentang-mentang gugusnya pas MOS di atas aku, Teh.” Pembagian gugus pada MOS SMANSON didasarkan pada NKU. Jika gugus 1 memuat anak-anak dengan NKU tertinggi, maka gugus 9 adalah sekumpulan juru kunci. Sewaktu-waktu mereka bisa terlempar ke lain kluster. Salman memang bukan gugus 9, tapi cukuplah imej buruk yang melekat di gugusnya saat MOS masih menyisakan potensi bagi para eks untuk teraniaya.

“Emang dia gugus berapa?”

“Gugus 4, Teh!”

Ha, gugus 4. Pada masanya, Zia gugus 2, Epay dan Ega gugus 5, Ardi gugus 6, sementara Tata gugus 9. Sebetulnya tidak ada artinya sama sekali penggugusan itu setelah kehidupan sekolah berjalan normal. Kendati gugus Zia lebih tinggi daripada orang-orang terdekat seangkatannya itu, bukan berarti untuk selanjutnya Zia lebih unggul dari mereka. Kini Ega dan Regi pejabat OSIS, Ardi sudah jadi kadiv di ekskulnya para freak—Jejepangan, Epay aktif di komite kelas, Tata sedang melaju di seleksi Olimpiade Biologi, dan Zia tidak ingin menganggap dirinya bukan siapa-siapa. Dan memang ia bukan siapa-siapa, selain cewek SMA pada umumnya tanpa prestasi membanggakan.

Namun kini semester baru mulai ia pijaki. Tahun berganti. Zia telah membuat sebuah resolusi sepanjang setengah halaman A5—biasanya selembar bolak-balik penuh. Zia berusaha menepis bayangan akan tercoretnya semua baris dalam resolusi tersebut di penghujung tahun nanti. Masih ada harapan untuk menghasilkan sesuatu selama status anak kelas XI SMA masih disandangnya—setidaknya untuk satu semester ke depan. Meski harapan itu terlalu abstrak untuk ia masukkan dalam resolusi. Akan ia tulis di sana kalau visinya telah menjadi jelas. Tapi kapan? Keburu tahun berganti lagi. Ia bahkan lupa telah mencantumkan apa saja dalam resolusi yang ia tempel di dinding samping tempat tidurnya itu. Ia menyesal mengapa pikirannya harus makin realistis dari hari ke hari. Ke mana mimpi-mimpi yang menyambangi kala ia mendengarkan lagu-lagu U2?

“Padahal dia udah main band juga, Teh, anak KOMBAS! Tapi di VG juga nggak mau kalah eksis, Teh!” Salman jadi terbiasa dengan kata ‘eksis’. Zia maklum saja dengan anak yang ingin eksis di banyak tempat. Kata Salman lagi, “Eh, Teh, temenin aku ke laboratorium TIK yuk!”

“Hah? Ngapain sih?” tanya Zia risih.

“Temenin aku liat sesuatu, Teh...”

“Apaan?!”

“Ayo, Teh! Plis, Teh! Entar kalau penjaganya ngajak aku ngomong bahasa Sunda gimana, Teh?”

“Bahasa Sunda aku juga nggak baik-baik amat kok!”

“Ayo, ayo, Teh!”

“Iya, deh, iya...”

Zia bingung memikirkan apa lagi ulah Ipong pada Salman hingga membuat si bocah tambun berani sesumbar di muka tapi setelahnya jadi tidak PD-an begini. Sensian? Menjatuhkan? Cari-cari konflik? “Nggak tau dia tuh, Teh!” keluh Salman, sama sekali tidak membantu Zia menemukan titik temu masalah. Mungkin tidak ada masalah berarti sama sekali, Zia coba menerka-nerka. Dengan kemampuan 24 karat masing-masing yang kerap dibandingkan oleh para petinggi VG, Salman dan Ipong mungkin hanya belum merasa nyaman atas kehadiran satu sama lain.

Laboratorim TIK adalah beberapa deret komputer dalam ruangan kusam. Zia menggiring Salman agar menuju PC dengan tampilan paling gaul. Salman membuka laman google dan mengetikkan kata kunci ‘Indonesian Idol’. Zia terperangah. Ya ampun, ngapain ni anak ikutan acara macam beginian? Indonesia Mencari Bakat aja sekalian! Nyanyi seriosa sambil sepedaan!

“Emang udah buka pendaftarannya yah?”

“Nggak tau, Teh. Makanya mau ta cek.”

Zia membaca sekilas apa yang Salman amati dengan tajam. Salman menepuk dahi.

“Kenapa, Salman?”

“Bentar, Teh...” Salman menurunkan ransel untuk mengambil ponsel dari dalamnya. Ditekannya beberapa tuts. Ponsel menempel di telinga. Terdiam sesaat. “Pong. Nggua udah liat! Umurku baru enam belas Mei besok! Oh, elo juga tho?!”

Zia duduk di atas salah satu kursi putar. Ia menopang kepala di atas meja terdekat dengan sebelah lengan. Tubuhnya gemetar menahan tawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain