Ialah cowok bersuara melengking tinggi
yang pernah Zia dengar saat mengintip latihan VG. Dengan jambul ikal di atas
dahi, kulit terang khas jajaka Priangan, tinggi sepantaran cewek Indonesia pada
umumnya, dan polah lincah yang menarik perhatian, tidak heran apabila ia
menjadi sosok yang mencolok mata. Usut sana sini, nama Ipong diadaptasi dari
julukan ‘Pongol’ alias ‘Poni Nongol’ a.k.a. Budiman Wicaksana—menurut versi
daftar hadir kelas X-1.
Ingin Zia adu nyaring suara, saat
mendengar cowok tersebut memanggil Salman. “Heh, Jawa, jangan lupa kesepakatan
kita yang kemarin itu!”
Tidak hanya gordes, cowok tersebut
chauvinist juga ternyata, pikir Zia. “Gugus-ist juga, Teh,” tambah
Salman—setengah berbisik—sebelum membalas salam perpisahan Ipong. Saat itu jam
belajar memang telah berakhir. Zia bertemu Salman saat hendak menuju gerbang
sekolah. “Woy, Mbandung! Nggua nggak takut sama elo!”
Zia menahan tawa. Namun tidak tega juga
hendak memberitahu Salman bahwa yang terdengar pantas ber-gua-lo di telinga hanya
penduduk Jakarta dan sekitarnya—sedikit menyerempet Bandunglah.
“Hah, coba aja kalo bisa!”
“Apa sih, tadi gugus-ist?” tanya Zia
sepeninggal Ipong.
“Iya, Teh, mentang-mentang gugusnya pas
MOS di atas aku, Teh.” Pembagian gugus pada MOS SMANSON didasarkan pada NKU.
Jika gugus 1 memuat anak-anak dengan NKU tertinggi, maka gugus 9 adalah
sekumpulan juru kunci. Sewaktu-waktu mereka bisa terlempar ke lain kluster.
Salman memang bukan gugus 9, tapi cukuplah imej buruk yang melekat di gugusnya
saat MOS masih menyisakan potensi bagi para eks untuk teraniaya.
“Emang dia gugus berapa?”
“Gugus 4, Teh!”
Ha, gugus 4. Pada masanya,
Zia gugus 2, Epay dan Ega gugus 5, Ardi gugus 6, sementara Tata gugus 9.
Sebetulnya tidak ada artinya sama sekali penggugusan itu setelah kehidupan
sekolah berjalan normal. Kendati gugus Zia lebih tinggi daripada orang-orang
terdekat seangkatannya itu, bukan berarti untuk selanjutnya Zia lebih unggul
dari mereka. Kini Ega dan Regi pejabat OSIS, Ardi sudah jadi kadiv di ekskulnya
para freak—Jejepangan, Epay aktif di komite kelas, Tata sedang melaju di
seleksi Olimpiade Biologi, dan Zia tidak ingin menganggap dirinya bukan
siapa-siapa. Dan memang ia bukan siapa-siapa, selain cewek SMA pada umumnya
tanpa prestasi membanggakan.
Namun kini semester baru mulai ia pijaki. Tahun berganti. Zia telah
membuat sebuah resolusi sepanjang setengah halaman A5—biasanya selembar
bolak-balik penuh. Zia berusaha menepis bayangan akan tercoretnya semua baris
dalam resolusi tersebut di penghujung tahun nanti. Masih ada harapan untuk
menghasilkan sesuatu selama status anak kelas XI SMA masih
disandangnya—setidaknya untuk satu semester ke depan. Meski harapan itu terlalu
abstrak untuk ia masukkan dalam resolusi. Akan ia tulis di sana kalau visinya
telah menjadi jelas. Tapi kapan?
Keburu tahun berganti lagi. Ia bahkan lupa telah mencantumkan apa saja dalam
resolusi yang ia tempel di dinding samping tempat tidurnya itu. Ia menyesal
mengapa pikirannya harus makin realistis dari hari ke hari. Ke mana mimpi-mimpi
yang menyambangi kala ia mendengarkan lagu-lagu U2?
“Padahal dia udah main band juga, Teh, anak KOMBAS! Tapi di VG juga nggak
mau kalah eksis, Teh!” Salman jadi terbiasa dengan kata ‘eksis’. Zia maklum
saja dengan anak yang ingin eksis di banyak tempat. Kata Salman lagi, “Eh, Teh,
temenin aku ke laboratorium TIK yuk!”
“Hah? Ngapain sih?” tanya Zia risih.
“Temenin aku liat sesuatu, Teh...”
“Apaan?!”
“Ayo, Teh! Plis, Teh! Entar kalau penjaganya ngajak aku ngomong bahasa
Sunda gimana, Teh?”
“Bahasa Sunda aku juga nggak baik-baik amat kok!”
“Ayo, ayo, Teh!”
“Iya, deh, iya...”
Zia bingung memikirkan apa lagi ulah Ipong pada Salman hingga membuat si
bocah tambun berani sesumbar di muka tapi setelahnya jadi tidak PD-an begini.
Sensian? Menjatuhkan? Cari-cari konflik? “Nggak tau dia tuh, Teh!” keluh
Salman, sama sekali tidak membantu Zia menemukan titik temu masalah. Mungkin
tidak ada masalah berarti sama sekali, Zia coba menerka-nerka. Dengan kemampuan
24 karat masing-masing yang kerap dibandingkan oleh para petinggi VG, Salman
dan Ipong mungkin hanya belum merasa nyaman atas kehadiran satu sama lain.
Laboratorim TIK adalah beberapa deret komputer dalam ruangan kusam. Zia
menggiring Salman agar menuju PC dengan tampilan paling gaul. Salman membuka
laman google dan mengetikkan kata kunci ‘Indonesian Idol’. Zia terperangah. Ya ampun, ngapain ni anak ikutan acara macam
beginian? Indonesia Mencari Bakat aja sekalian! Nyanyi seriosa sambil sepedaan!
“Emang udah buka pendaftarannya yah?”
“Nggak tau, Teh. Makanya mau ta cek.”
Zia membaca sekilas apa yang Salman amati dengan tajam. Salman menepuk
dahi.
“Kenapa, Salman?”
“Bentar, Teh...” Salman menurunkan ransel untuk mengambil ponsel dari
dalamnya. Ditekannya beberapa tuts. Ponsel menempel di telinga. Terdiam sesaat.
“Pong. Nggua udah liat! Umurku baru enam belas Mei besok! Oh, elo juga tho?!”
Zia duduk di atas salah satu kursi putar. Ia menopang kepala di atas meja
terdekat dengan sebelah lengan. Tubuhnya gemetar menahan tawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar