Senin, 13 Desember 2010

empat belas

(bicycle, bicycle, bicycle, i want to ride my bicycle/ bicycle, bicycle, bicycle, i want to ride my bicycle, i want to ride my bike/ i want to ride my bicycle, i want to ride it where i like/ queen – bicycle)

.

Melarikan diri dari ajakan jalan pagi, pada Sabtu Zia minggat ke rumah Kakek selepas main di rumah teman. Kendati tetap dibangunkan pagi-pagi pada Minggunya, setidaknya itu bukan untuk jalan-jalan terpaksa—Zia tidak mau tahu bagaimana nasib Zaha. Setiap akhir minggu, Pakde yang bekerja di Jakarta pulang ke Bandung untuk membersamai keluarganya. Solat subuh berjamaah pun menjadi acara keluarga yang wajib diikuti. Zia tidak bisa menghindar. Zahra tak putus asa mengguncang tubuhnya agar bangun. Selepas solat, Zia ingin kembali berpuas tidur di atas kasur. Namun ia sudah membuat suatu janji. Tentu saja ia tidak akan memberitahukan ini pada Ega cs. Tidak benar itu, ia mengincar berondong. Tapi ia juga tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini ia jadi sering bersama-sama mereka. Dan mana pula itu kemiripan antara jagung kering mengembang dengan adik kelas?

Sembari menunggu matahari datang, Zia melobi Mayong agar mau meminjamkan sepeda dan jaketnya. Tidak sulit untuk membujuk bocah kelas 2 SMP yang menganggap otoritas Zia padanya setingkat di bawah Mas Imin. Sudah biasa pula Zia meminjam jaket Mayong untuk dipakainya mejeng ke sekolah. “Awas, jangan sampai kotor ya, Mbak,” Mayong memperingatkan. Zia mengiyakan saja sembari tak habis pikir bahwa mau tak mau sesuatu itu kalau habis dipakai lama ya bakal kotor juga. Setelah merasa penerangan alami di balik jendela sudah memadai untuk aksi sepeda santai, lalu membuat kepastian dengan Salman agar lekas bersiap, pamitlah Zia pada para penghuni rumah yang ditemuinya selama menuju pintu depan.

“Eh, Zahra. Aku mau sepedaan sama Salman lo, ke rumah Acil di Dayeuh Kolot... Kamu mau ikut nggak?”

Menunggu agak lama jawaban Zahra yang pada akhirnya hanya, “Nggak ah.” Kiranya Zahra lebih berminat menghabiskan Minggu dengan mempersiapkan UAS yang masih beberapa minggu lagi.

Biar pun Zahra mau, Zia tidak yakin ada sepeda lain yang bisa dipakai di rumah itu. Heran ia, padahal Zahra yang satu angkatan dan satu kelompok tugas, mengapa ia yang lebih akrab dengan Salman dan Acil?

Pakde dan Bude tidak berkomentar apa-apa kala melihat Zia menggiring sepeda Mayong—dengan memakai jaket Mayong pula. Zia merasa beruntung.

Kosan Salman terletak tidak jauh dari SMANSON. Zia sempat kebingungan kala ia harus melewati banyak belokan. Sebetulnya lebih dekat jarak antara kosan Salman dengan SMANSON, ketimbang dari rumah Kakek. “Tapi yo risih lah Teh, kalau bawa anak cewek ke kosan,” alasan Salman ketika Zia bertanya mengapa malah rumah Kakek yang dijadikan basecamp pengerjaan tugas kelompok Salman cs.

Sesekali Zia mencuri kesempatan untuk mengagumi Polygon Salman. Kendati menginginkan yang macam demikian, Zia tidak yakin ia akan berani mengemudikan. Dengan sepeda Mayong yang tidak jelas apa merknya dan bersadel rendah saja ia sudah takut kehilangan keseimbangan. Sembari berkonsentrasi pada bimbingan Salman yang tampaknya sudah menguasai jalan dengan sepeda, Zia juga harus berkonsentrasi pada ocehan Salman yang tiada henti. Baguslah, biar nggak garing, pikirnya dengan upaya menjaga agar roda sepeda yang ditungganginya tidak oleng ke mana-mana. Namun tak lama kemudian tetap saja ia terperosok ke dalam lubang. Untung saja tak sampai jatuh terkapar. Cepat-cepat ia memulihkan keseimbangan dan mengejar Salman yang sudah memperlambat laju sepeda. Lebarnya jalur kendaraan dan kencangnya angin bertiup di kawasan Soekarno-Hatta membuat Zia sedikit gentar. Salman jadi urung hendak agak ke tengah karena Zia tidak mau jauh-jauh dari tepi jalan.

“Teh, aku udah liat artikel bikinanmu kemarin itu loh, Teh…”

Mendengar ucapan Salman tersebut, Zia jadi malu. Berkata ia dengan nada sok merendah, “Ah, biasa aja kok…”

“Bikin artikel tentang aku lagi, Teh!”

“Heh?” Tadinya Zia kira Salman hendak memuja-muji artikelnya.

“Tapi khusus tentang aku aja, Teh…”

Salman kira dirinya orang penting. Salman kira Zia memiliki kewenangan di LEMPERs untuk menentukan materi artikel. Zia terperangah. Sebagai kakak kelas yang proaktif, Zia tidak serta merta meledek. “Baiklah, Pak Salman Wijanarko, saya Fauzia dari Harian Umum Pikiran Zia. Jika Bapak berkenan, saya hendak mewawancarai Bapak terkait kisah hidup Bapak!” Zia berusaha menjaga agar keseimbangan sepedanya tak goyah saat menyorongkan kepalan tangan ke arah mulut Salman.

Dengan gestur orang penting, Salman mendekatkan mulutnya ke arah kepalan tangan Zia. “Ehm. Ehm. Nama lengkap saya Salman Pamungkas Listyanto, Mbak Fauzia.”

“Baiklah, Pak Salman Pamungkas... em... lalala...” Zia lupa apa barusan nama lengkap Salman. “Mungkin Bapak bisa mulai dari daerah asal Bapak?”

“O... Tentu saja Mbak Fauzia. Wonosobo is a beautiful city! Just like Mbandung!”

Terletak di kaki Gunung Sumbing-Sindoro, Wonosobo adalah sebuah kota kecil yang sejuk. Terkait kawasan tersebut, kita mungkin lebih familiar dengan Pegunungan Dieng. Di sana terdapat sebuah komplek candi yang potretnya pernah dijadikan sampul sebuah buku pelajaran Sejarah. Juga ingatlah mitos rambut gimbal, para petani dengan pipi merah berseri-seri, suhu amat rendah di pagi hari, dan kenangan indah para mahasiswa UGM yang KKN di sana. Namun bukan di situlah Salman bermukim.

“Rumahku di kotanya, Teh! Nggak jauh dari rumah sakit pusat!”

Tidak hanya Pegunungan Dieng, Wonosobo memiliki sejumlah tempat menarik lain yang membuat kota ini pun layak menjadi kota tujuan wisata.

“Ada Waduk Wadaslintang, Telaga Menjur, Kawah Sikidang, trus ada yang kayak di Bandung gitu juga, Teh! Yang kayak Ciater itu di Wonosobo juga ada Teh! Namanya Kalianget. Lha, terus kata Acil, dia pernah main ke Wonosobo juga Teh, Tambi tuh kayak Ciwidei. Ada kawasan agrowisatanya. Penasaran aku, Teh. Mirip beneran apa nggak.”

Tidak hanya panorama alam, Wonosobo pun memiliki ragam kuliner yang memanjakan lidah. Opak singkong dan carica (pepaya gunung) hanyalah segelintir dari kekhasan kuliner Wonosobo. “Tau mi ongklok nggak, Teh? Itu khas Wonosobo juga loh, Teh. Kayak mi rebus gitu. Kuahnya namanya loh.” Zia jadi teringat lomie. “Ada daun kucainya, Teh. Kayak yang di lagu Keong Racun itu lo... Enaknya tuh dimakan sama sate sapi, trus tempe kemul...”

“Ih, kok lucu yah, tempe kemul?” Di masa kecilnya, Zia kerap tidak bisa tidur kalau tidak sambil memeluk kemul.

“Tempe kemul itu tempe yang dibalut sama gandum gitu, Teh. Trus digoreng. Kayak mendoan gitu lah, Teh. Tapi kan kalau mendoan setengah mateng, ho oh, Teh?”

Zia manggut-manggut. “Kok kamu milih SMA di Bandung sih, Salman? Nggak nerusin di kota kamu sendiri aja yang kayaknya indah itu? Aku jadi penasaran loh main ke sana.”

“Iya, Teh. Aku kan pingin masuk ITB, Teh.” Cita-cita sejuta umat, pikir Zia. Ia ingat juga akan cita-cita orangtua Mas Imin memasukkan sulungnya itu ke tempat yang sama. “Jadi ya sekalian aja aku SMA di Bandung, Teh, biar lebih siap gitu. Katanya Bandung kota pelajar juga, Teh. Kondusif buat belajar!”

“Buat ngehamburin duit mah iya...”

“Masak Teh, katanya Acil, ITB udah nunggu-nunggu kedatangan aku, Teh, dari lama. ‘Tuh, mesjidnya aja ampe dikasih nama kamu!’, gitu Teh, kata Acil. Ho oh, po, Teh?”

Zia geli. “Ya tanya aja sama yang bangun Masjid Salman ITB!”

Lain halnya dengan Wonosobo, Bandung adalah kota besar dengan sejuta hiburan, baik artifisial maupun tidak. Padahal Salman dengar letak SMANSON dan kosannya tidaklah tepat di pusat kota. Namun keramaian tetap saja terasa dekat, bahkan hingga di malam hari. Kalau tidak untuk mencari radio berbahasa Jawa, Salman mengisi malam-malam pertamanya di Bandung dengan bersepeda menelusuri riuh pemakai jalan dan gemerlap lampu pertokoan. Dibandingkannya dengan Wonosobo di kala malam. Terasa sepi dalam bayangan. Jika di Wonosobo tempat nongkrong favorit terdekatnya hanyalah alun-alun, Bandung menawarkan jauh lebih banyak pilihan. Berteman dekat dengan Acil—yang juga suka bersepeda dan padat aktivitas yang melibatkan partisipasi publik—membuat daya jelajah Salman tidak hanya di SMANSON dan sekitarnya saja. Sesekali ia mengikuti acara pengamatan burung bersama Acil di taman-taman kota Bandung.

“Di deket rumah Rani itu ada tempat pemancingan yang enak banget, Teh! Ayo, Teh, kapan-kapan ikut mancing sama kita! Ikannya gedhe-gedhe banget lo, Teh.” Dengan kedua tangan, Salman memperkirakan ukuran ikan terbesar yang berhasil dikailnya berkat bantuan Rani. Zia sempat takut sepeda Salman akan oleng karena setangnya tak dipegang begitu, namun kaki Salman tampak memegang penuh kendali sepedanya. “Kemarin juga aku diajak hiking sama Acil dan Rani ke Dago Pakar lo, Teh. Trus di sana aku ma Acil diajar nyanyi ‘Mars Rimbawan’ sama Rani. Masak kata Acil kita kayak lagi syuting video klip buat TVRI, Teh?”

“Hahaha, dasar Trio GJ!” Terbayang ketiga bocah itu mendaki jalan setapak di tengah rerimbunan semak sembari menyanyikan sebuah mars. Gambar beralih. Kepala mereka muncul bergantian dari buntalan semak yang berbeda ketinggian. Masing-masing bocah kebagian menyanyikan satu bait berlainan, namun pada bait-baik tertentu suara mereka kompak berpadu. Tayangan itu diputar sebagai selingan di TVRI. “Dean ma Zahra ikut juga nggak? Kalau iya, udah jadi Power Rangers aja kalian tuh...”

“Nggak, Teh. Zahra tuh suka nggak mau kalau diajak e, Teh. Kalau Dean pas akhir minggu suka susah diajak kumpul, Teh. Suka ada acara sama keluarganya.”

“Hooo...”

“Aku tadinya pingin masuk SMAN Bilatung, Teh. Katanya nomor satu, ya, Teh, di Bandung? Tapi karena ada sistem kluster jadinya aku ke SMANSON deh, Teh.”

“Tapi udah betah kan di SMANSON?”

“Alhamdulillah, Teh.”

Salman terus melakukan penemuan baru yang menakjubkannya dari hari ke hari. Tidak hanya dengan kegemarannya akan penjelajahan bersepeda, tapi juga karena dipengaruhi semangat eksis para kawula muda Bandung. Penemuan tersebut meliputi sesuatu hal yang tak pernah ia duga ada dalam dirinya. Tanda-tandanya memang sudah nampak sejak ujian praktek menyanyi di penghujung masa SMP, namun kepercayaan dirinya baru meruap di tengah gempita MOS. Zia tak menghitung berapa kali ia membaca ulasan media mengenai betapa apresiatifnya warga Bandung akan pertunjukkan bakat.

Karena berkali-kali mengabaikan, kesempatan Zia untuk berpartisipasi dalam kesibukan menghelat MOS angkatan di bawahnya pun lewat. Lagipula ia tidak punya kewenangan sebesar anggota OSIS. Namun Salman berbaik hati menyetorkan rekamannya. “Begini ceritanya, Teh...” ucapnya mengawali. Sebuah visualisasi hitam putih bermain dalam kepala Zia.

=====

Baru dua hari pertama MOS, gugus 6 sudah diklaim sebagai gugus terjelek. Hal-hal seperti anggotanya yang doyan kocar kacir dan kurang lengkap, banyak yang akting pura-pura sakit, hingga tugas tidak ditunaikan dengan baik menjadi sorotan panitia. Sebelum diizinkan pulang setelah melewati hari kedua MOS, panitia memberi gugus 6 sebuah konsekuensi. Pada acara penutupan MOS, mereka harus menampilkan sebuah pertunjukkan ritmik. Tidak boleh tidak menghibur.

Sebagian besar anak gugus 6—yang notabenenya pemalas—mendaulat Acil jadi ketua yang bertanggung jawab atas semua. Hari H tiba. Acil tidak sempat menyesali mengapa ia harus menjadi korban dari asas demokrasi yang selama ini ia junjung tinggi. Dikaruniai rakyat segugus yang tidak kompak pula. Yang jadi masalahnya sekarang adalah, ia belum mempersiapkan apa-apa untuk menjawab konsekuensi dari panitia untuk kelompoknya. Waktu semakin dekat. Pembimbing gugus sudah memperingatkan. Tak satu pun anak buahnya memberi usul dan kreativitas. Yang hadir di hari terarkhir MOS ini saja hanya sedikit. Acil dengan mulut ternganga menghadap mentari jingga. Berharap dianugrahi secercah asa. Berharap ia tidak harus tampil sendiri—kendati ia sudah mempersiapkan tarian putar bohlam ala Giring Nidji di rumah dan mempresentasikannya. Mereka hanya terpana, namun tetap malas berkontribusi.

“Ragil! Ragil!” Suara medhok yang memanggil nama aslinya itu bagai semburan air dari pompa di tengah riak hujan. “Aku mbawa CD karaoke ABBA. Kamu mau kan jadi penarinya sementara aku nyanyi?”

Acil memegang CD karaoke yang disodorkan pribumi Jawa tambun itu. Oh hell, bagaimana saya bisa melupakan anak antik yang satu ini? batinnya. Pelita asa Acil berkobar lagi.

“Tunggu. Tunggu dulu. ABBA tuh lagunya yang gimana sih?”

Can you hear the drums, Fernando?” Salman, nama makhluk itu, bernyanyi. Lalu dia meneruskan lagi lagu lain dengan penghayatan. “I have... a dream... a song to sing...

“Hei, cepet,cepet, itu udah dipanggil seksi acara tuh!” Pembimbing gugus mendorong pundak mereka.

“Emang lagu-lagu gitu bisa dipake buat joget ya, Sal? Mmm?” Sempat Acil berbicara di tengah teriakan panitia.

“Bukan lagu itu yang aku mau nyanyi. Kamu ikutin aja deh.”

“O... ke!” dukung Acil—lebih kepada dirinya sendiri. Telunjuk dan jempol kanannya membentuk lingkaran sementara tiga jari lainnya berdiri.

Setelah sampai ke depan peserta MOS dan panitia, ternyata yang berdiri di depan untuk dihukum tidak hanya mereka saja. Ada beberapa anak lagi yang mereka tahu adalah kandidat raja telat selama MOS. Salman menyerahkan CD ABBA-nya pada panitia, yang segera mengurusnya agar bisa diperdendangkan. Salman memilih lagu dan mengalirlah intro lagu ‘Gimme! Gimme! Gimme!’.

Acil merasa pernah melihat sekilas sebuah video klip dengan intro semacam itu, meski kelanjutannya beda. Ia mengingat-ingat koreografi perempuan paruh baya nan energik di dalamnya. Ia menerka-nerka dan langsung mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata begitu mendapat visualisasi yang jelas. Tepuk tangan dan sorak membahana. Ia edarkan tatapan sensual pada seluruh pemirsa lalu berjalan mundur sambil mengedikkan bahu satu per satu. Terdengar seksi acara menegur orang-orang di belakangnya, “Heh, kenapa diem aja!?” Namun segera ia tak mengacuhkannya. Sekilas matanya menangkap mimik serius Salman saat bernyanyi. Bocah tambun itu tengah mempraktikkan moon walking. Mic yang digenggam sebelah tangannya ikut bergoyang gemulai.

Acil terperangah. Ia tak kalah ingin serius. Kancing kemeja ia buka satu per satu. Setelah terbuka semua lengan direntangkan tidak terlalu lebar seperti akan memeluk dan badannya digoncangkan. Kakinya melangkah satu per satu. Telunjuknya diasungkan dan bergoyang maju mundur seakan menantang pemirsa.

Gimme gimme gimme a man after midnight...” Suara Salman bervibrasi.

Acil berimprovisasi dengan gaya lain. Di sebelahnya, seorang anak dengan tinggi sepantaran dengannya sedang berbalik arah. Memutar pinggul perlahan dengan hanya memakai singlet dan celana SMP kependekan. Kemeja SMP yang telah terlepas dari tubuh itu dialung-alungkannya tepat saat reff. Di belakangnya, para kandidat raja telat lain sedang melakukan koreografi tari poco-poco dengan rikuh.

Acil menoleh lagi pada anak di sebelahnya. Rambutnya ikal lepek. Berkacamata. Tulang hidung bagian atas sedikit menekuk. Paras memancarkan kemesuman alamiah. Begitu mereka bertatapan orang itu mengedipkan mata dan menjilat bibir atasnya. Acil bergidik sampai putih matanya. Tapi ia harus profesional. Sekarang ia beralih pada kombinasi balet dan tarung drajat.

Dalam barisan putri yang duduk menyaksikan, ‘Zahra Maulana’, demikian tertera pada dada kanan seragam SMP seorang cewek berjilbab. Kepalanya makin menekuk ke balik lutut. Menyembunyikan malu. Apalagi setelah sempat menangkap ekspresi binal oknum yang membuat Acil kian tertantang untuk memutus urat malunya sendiri. Ingin muntah ia, mengingat oknum tersebut akan ia temui lagi di rumah.

“SMANSON nu aing!” pekik seorang cowok bertubuh tipis dari barisan putra. Ia mengenalkan diri sebagai Dean pada teman-teman barunya. Pertunjukkan meriah itu begitu menggugahnya. Ia tidak bisa berhenti tertawa menyaksikan tingkah para penampil jauh di seberang mata. Tubuh jangkung membuatnya kebagian duduk paling belakang—kendati itu membuat jangkauan pandangnya semakin luas. Di barisan paling kiri depan sana, barisan putri dalam stadion pengap nan penuh sesak itu, akhirnya ia tangkap bayangan bidadarinya. Senang membuncah dari dalam hatinya melihat keriaan terpancar dari wajah elok itu. Semakin sumringah ia saat wajah itu menghadap ke arahnya, yang seketika itu langsung dipalingkan lagi. Tak pudar senyumnya karena itu. Ia masih bisa tertawa meskipun pertunjukkan telah berakhir. Ia bertepuk tangan dan berteriak meramaikan sekuat tenaga. Seorang MC maju ke tengah panggung dan mewawancara para penampil termenonjol.

Orang yang pertama ditanya nama adalah ia yang berkacamata dengan rambut ikal lepek. “Suryo, dari SMPN Karangtanjung Kalimantan. Wauw wauw, auooo...” Orang itu melakukan joget ubur-ubur. Gelegar tawa meletus ke seluruh penjuru stadion.

Orang yang kedua ditanya adalah sang pengunjuk suara. “Salman Pamungkas Listyanto. Asalnya O Jakarta,” katanya dengan logat Jawa kental. Hawa kebingungan menguap naik dari kepala orang-orang.

“Ora jauh karo Temanggung,” lanjut orang itu khidmat tanpa rasa bersalah. Stadion ramai lagi. Ada yang teriak, “Whoaa... ka mana wae atuh?!”

 “Di mana tuh?” tanya MC bingung.

“Wonosobo!” jawab Salman mantap.

Mengingat waktu terus berdetik, orang ketiga yang ditanya adalah si bonsai berjalan.

“Acil, Anak cinta lingkungan!”

“Tapi di name tag namanya Ragil Setyo Joharman.”

Celetuk Suryo, “Hihi, Ragil mah orang gila atuh!”

“Oh, bukan, Ragil itu dalam bahasa Jawa artinya anak bungsu,” jelas Ragil alias Acil.

Suryo menuding lagi, “Nama kamu kalo disingkat jadi RSJ ih! Hihi, lucu.”

Muka Acil berubah dramatis. Dengan gaya teatrikal ia meratap, menarik-narik rambut ikalnya dan menengadahkan tangan, “Mamih! Aku minta dibikinin bubur merah putih! Mau ganti nama!”

Salman maju dan meraih baik tangan Suryo maupun Acil untuk dijabatkan pada satu sama lainnya. “Berteman ayo berteman...”

=====

Sebelum visualisasinya semakin melantur tak tentu arah, Zia menekan tombol bergambar kotak. Lagipula sebagai kakak kelas yang baik, seharusnya ia memerhatikan luapan rasa terenyuh Salman akan apresiasi yang begitu gemilang akan penampilan pertamanya di muka umum. Namun sebelumnya, ada hal yang ingin ia klarifikasi. “Si Suryo itu Mas Imin, eh, Kang Lutung bukan?”

Pertama kali ngeh lantas berkenalan dengan mereka di ruang tengah lantai dua rumah Kakek, Zia mendapati Dean dan Salman memanggil Mas Imin dengan “Suryo”. Tahulah ia akan kiprah Mas Imin sebagai peserta penyusup pada MOS lalu. Menarik juga ternyata, dapat mengenal para korbannya.

“Ho oh, Teh. Mantep bhanget jogetnya si Kang Luthfi itu!”

“Ah, nggak heran...”

“Sekarang aku percaya, Teh, sama yang namanya kekuatan bakat!”

“Oh, iya. Kamu kan ikut VG juga yah?”

Bergabung dengan VG membuka cakrawala Salman akan dunia vokal. VG memberikannya banyak hal, mulai dari teknik vokal yang berupa materi vokal, harmonisasi, aransemen dan penyeimbangan antara vokal dengan musik, bagaimana cara menginterpretasi lagu, menampilkan ekspresi, dan membuat inovasi, hingga kiat berkomunikasi dengan audiens dan menghayati karakter lagu. Ia juga diajarkan macam-macam pernafasan, meskipun hanya pernafasan diafragma yang digunakan untuk bernyanyi. Pemanasan juga merupakan hal yang tak kalah penting. Salman bilang, untuk mencapai nada tinggi itu bertahap dan pemanasan mempermudahnya melewati tahapan tersebut. Tak ubah dengan ekskul seni bela diri bertenaga dalam macam PATIN, pikir Zia.

Untuk menjaga kualitas vokalnya, Salman mulai menjauhi segala yang mengandung es, minyak berlebih, dan pedas-pedasan. Juga “tidak” untuk kopi, alkohol, dan rokok. Minum banyak air putih, menghindari begadang, dan menjaga perut agar selalu isi adalah gaya hidup yang kini mulai ia usahakan.

Namun VG tidak sekedar memberinya hal-hal positif sebagai pelajaran. Gesekan kepentingan berpotensi tejadi di mana-mana. Salman bukan satu-satunya yang dikatakan para akang dan teteh VG bermulut manis sebagai “sebongkah emas yang belum terasah”. Hampir semua yang masuk kualifikasi dikatakan begitu, meski mereka katakan juga bahwa emas itu berbeda-beda kualitas karatnya. Dan tidak hanya Salman yang merasa suara emasnya berkualitas karat 24.

“Dia kayaknya nggak suka sama aku, Teh. Nggak tau kenapa.”

Kendati Salman berusaha untuk terus membangun kepercayaan dirinya, ia tidak bisa mengalahkan dominansi anak lainnya yang asal Bandung. “Dia” yang dirujuknya tampak sudah akrab dengan para petinggi VG. Entah Salman merasa tersisihkan karena itu atau tidak, yang pasti ia tidak merasa nyaman jika setiap kali ia mendapat kesempatan untuk unjuk kemampuan, “dia” seperti tak terima. Begitu menarik perhatiannya “dia”, hingga Salman pun tak jadi ambil peran—kalau tidak kebagian dalam porsi kecil. Dan adalah tabiat muasal Salman untuk “nrimo” dengan keadaan.

Mulanya Zia mengira Salman hanya berburuk prasangka. Merasakan adanya pendar-pendar sifat “pengalah” dalam diri Salman, ditambah asumsi bahwa memang begitu karakter orang Jawa, Zia kira kemungkinan adanya oknum pengincar keeksisan yang ingin menjatuhkan Salman itu bukanlah hal mustahil. Jadi Zia mengatakan bahwa keinginan untuk eksis memang sudah jadi tabiat anak Bandung. Salman harus menyesuaikan dengan itu.

“Makanya itu, Teh. Kemarin aku mo minta pendapat Bu Euis.”

“Oh. Yang sama si Ipong-Ipong kemarin itu?”

“Iya, Teh. Pinginnya tuh cuman aku, Bu Euis, sama Ipong aja. Biar dia tahu kalau Bu Euis juga mengakui kemampuan aku gitu loh, Teh. Kalau pas latihan VG yang biasa kan suka nggak ada waktu, Teh.”

“Hm. Terus jadinya gimana?”

“Nggak jadi, Teh. Bu Euis malah marahin kita supaya kalau latihan yang bener. Padahal si Ipong itu yang suka mulai duluan loh, Teh!”

Zia jadi penasaran seperti apa rupa si Ipong itu, dan mengapa dinamakan begitu. Mengingatkannya pada salah satu cabang olahraga. Ketimbang memperkarakan apa yang belum ia saksikan langsung, Zia beralih topik. “Di VG kamu kebagian apa sih, Salman?”

“Tenor, Teh! Teteh kan suka nyanyi juga, ikutan aja, Teh!”

Salman seperti yang tidak tahu saja, suka menyanyi tidak berarti bisa menyanyi. VG SMANSON tidak memasukkan ‘suka’ ke dalam kualifikasi, apabila tidak disertai dengan ’bisa’. Untung saja Zia sudah menyadari itu sebelum terlanjur mempermalukan dirinya sendiri dalam rekrutmen terbuka VG pada tahun pertamanya di SMANSON. “Ngapain ah?” tanggap Zia malas.

“Temenin aku nyanyilah, Teh...”

“Emangnya aku pacar kamu, nemenin kamu ke mana-mana?” sergah Zia yang merasa waktunya akhir-akhir ini jadi banyak terpakai dengan Salman. Sampai bersepeda ria bersama pula!

“Kalau Teteh mirip sama Sissy Priscilla mah nggak apa-apa deh, Teh!”

“Wew!” Zia kaget tidak hanya karena ucapan Salman, tapi juga karena untuk ke sekian kalinya ia terantuk lubang. Hampir saja ia terbanting ke dinding angkot yang ngetem di sebelahnya. Terlintas syukur karena parasnya jauh dari Sissy Priscilla.

Salman ikut memberhentikan laju sepedanya. “Bandung banyak lubangnya ya, Teh?” komentarnya sembari mengamati Zia memberdirikan sepedanya. Ia cukup tahu diri untuk tidak mengungkap hal-hal menarik lain yang tak kalah banyak ia temui saat putar-putar Kota Bandung: sampah, banjir, oncom, kendaraan bermotor, gelandangan, cimol, anak jalanan, orang gila, cilok, peminta-minta, kemacetan, cireng, dan rupa-rupa persoalan kota besar lain.

Mendadak Zia merasa malu. Rutuknya dalam hati, iya nih, gimana sih Dinas LLAJ? Tak mau kalah, ia balas tembak, “Emang di Wonosobo jalannya nggak berlubang juga?”

“Wah. Mulus-mulus aja, Teh!”

Salman tidak langsung menaiki sepedanya lagi kendati Zia sudah siap melanjutkan perjalanan. Tangannya mengarah ke satu ruas jalan. “Ke sana rumahnya Dean loh, Teh!”

“Oh. Pernah ke sana?” Nada Zia tak menyiratkan keheranan sama sekali.

“Iya, Teh. Pas udah sampai jalan situ...” Zia memicingkan mata. Di kejauhan ia melihat sebuah jalan masuk yang dirindangi pepohonan. Muka jalan terapit oleh deretan rumah, tanah kosong, dan pangkalan ojeg. “...ta telepon si Dean, Teh, bilang mau main ke rumahnya. Kan aku bingung tho habis dari jalan itu ke mana. Kata Dean, minta tolong tukang ojeg aja! Lha, aku tambah bingung tho, wong aku bawa sepeda! Gimana mau naik ojeg juga?” Selanjutnya Dean menerangkan bahwa tukang ojeg di pangkalan tersebut rata-rata mengenalnya dan pasti mengerti kalau ditanya hal di mana rumah Dean. Salman membuktikannya kemudian. Baru saja ia hendak lanjut mengayuh, Dean menambahkan kalau ia sedang tidak ada di rumah. 

Zia tidak jadi mengayuh sadel. “Eh, beneran kamu tau jalan ke rumah Acil, kan?”

“Tau dong, Teh! Aku udah dua kali ke sana—pake sepeda!”

“Yang sekarang, kamu udah bilang belum sama Acil kalau kamu mau ke rumahnya?”

Salman menepuk dahi. “Wah, lupa e aku! Entar, Teh, aku cek dishik!” Salman merogoh ponsel dari dalam tas mungil yang tersandang diagonal di dadanya sedari tadi. Selama Salman menempelkan benda tersebut di telinganya, Zia tak putus memandang. “Apa katanya?” tanya Zia usai Salman berkata-kata di ponsel dan memutus sambungan.

Senyum Salman masih setenang semula, seolah tak ada persoalan apa pun. “Iya bener, Teh. Minggu pagi tuh jadwalnya Acil ngamatin burung di Taman Ganesha. Yoh, kita ke sana aja, Teh!” Salman siap mengayuh lagi. Zia mengerang. “Kamu pikir Kopo sama Dago deket apa?!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain