(bicycle,
bicycle, bicycle, i want to ride my bicycle/ bicycle, bicycle, bicycle, i want
to ride my bicycle, i want to ride my bike/ i want to ride my bicycle, i want
to ride it where i like/ queen –
bicycle)
.
Melarikan diri dari ajakan jalan pagi,
pada Sabtu Zia minggat ke rumah Kakek selepas main di rumah teman. Kendati
tetap dibangunkan pagi-pagi pada Minggunya, setidaknya itu bukan untuk
jalan-jalan terpaksa—Zia tidak mau tahu bagaimana nasib Zaha. Setiap akhir
minggu, Pakde yang bekerja di Jakarta pulang ke Bandung untuk membersamai
keluarganya. Solat subuh berjamaah pun menjadi acara keluarga yang wajib
diikuti. Zia tidak bisa menghindar. Zahra tak putus asa mengguncang tubuhnya
agar bangun. Selepas solat, Zia ingin kembali berpuas tidur di atas kasur.
Namun ia sudah membuat suatu janji. Tentu saja ia tidak akan memberitahukan ini
pada Ega cs. Tidak benar itu, ia mengincar berondong. Tapi ia juga tidak
mengerti mengapa akhir-akhir ini ia jadi sering bersama-sama mereka. Dan mana
pula itu kemiripan antara jagung kering mengembang dengan adik kelas?
Sembari menunggu matahari datang, Zia
melobi Mayong agar mau meminjamkan sepeda dan jaketnya. Tidak sulit untuk
membujuk bocah kelas 2 SMP yang menganggap otoritas Zia padanya setingkat di
bawah Mas Imin. Sudah biasa pula Zia meminjam jaket Mayong untuk dipakainya
mejeng ke sekolah. “Awas, jangan sampai kotor ya, Mbak,” Mayong memperingatkan.
Zia mengiyakan saja sembari tak habis pikir bahwa mau tak mau sesuatu itu kalau
habis dipakai lama ya bakal kotor juga. Setelah merasa penerangan alami di
balik jendela sudah memadai untuk aksi sepeda santai, lalu membuat kepastian
dengan Salman agar lekas bersiap, pamitlah Zia pada para penghuni rumah yang
ditemuinya selama menuju pintu depan.
“Eh, Zahra. Aku mau sepedaan sama Salman
lo, ke rumah Acil di Dayeuh Kolot... Kamu mau ikut nggak?”
Menunggu agak lama jawaban Zahra yang
pada akhirnya hanya, “Nggak ah.” Kiranya Zahra lebih berminat menghabiskan
Minggu dengan mempersiapkan UAS yang masih beberapa minggu lagi.
Biar pun Zahra mau, Zia tidak yakin ada
sepeda lain yang bisa dipakai di rumah itu. Heran ia, padahal Zahra yang satu
angkatan dan satu kelompok tugas, mengapa ia yang lebih akrab dengan Salman dan
Acil?
Pakde dan Bude tidak berkomentar apa-apa
kala melihat Zia menggiring sepeda Mayong—dengan memakai jaket Mayong pula. Zia
merasa beruntung.
Kosan Salman terletak tidak jauh dari
SMANSON. Zia sempat kebingungan kala ia harus melewati banyak belokan.
Sebetulnya lebih dekat jarak antara kosan Salman dengan SMANSON, ketimbang dari
rumah Kakek. “Tapi yo risih lah Teh, kalau bawa anak cewek ke kosan,” alasan Salman
ketika Zia bertanya mengapa malah rumah Kakek yang dijadikan basecamp
pengerjaan tugas kelompok Salman cs.
Sesekali Zia mencuri kesempatan untuk
mengagumi Polygon Salman. Kendati menginginkan yang macam demikian, Zia tidak
yakin ia akan berani mengemudikan. Dengan sepeda Mayong yang tidak jelas apa
merknya dan bersadel rendah saja ia sudah takut kehilangan keseimbangan.
Sembari berkonsentrasi pada bimbingan Salman yang tampaknya sudah menguasai
jalan dengan sepeda, Zia juga harus berkonsentrasi pada ocehan Salman yang
tiada henti. Baguslah, biar nggak garing,
pikirnya dengan upaya menjaga agar roda sepeda yang ditungganginya tidak oleng
ke mana-mana. Namun tak lama kemudian tetap saja ia terperosok ke dalam lubang.
Untung saja tak sampai jatuh terkapar. Cepat-cepat ia memulihkan keseimbangan
dan mengejar Salman yang sudah memperlambat laju sepeda. Lebarnya jalur
kendaraan dan kencangnya angin bertiup di kawasan Soekarno-Hatta membuat Zia
sedikit gentar. Salman jadi urung hendak agak ke tengah karena Zia tidak mau
jauh-jauh dari tepi jalan.
“Teh, aku udah liat artikel bikinanmu
kemarin itu loh, Teh…”
Mendengar ucapan Salman tersebut, Zia
jadi malu. Berkata ia dengan nada sok merendah, “Ah, biasa aja kok…”
“Bikin artikel tentang aku lagi, Teh!”
“Heh?” Tadinya Zia kira Salman hendak
memuja-muji artikelnya.
“Tapi khusus tentang aku aja, Teh…”
Salman kira dirinya orang penting.
Salman kira Zia memiliki kewenangan di LEMPERs untuk menentukan materi artikel.
Zia terperangah. Sebagai kakak kelas yang proaktif, Zia tidak serta merta
meledek. “Baiklah, Pak Salman Wijanarko, saya Fauzia dari Harian Umum Pikiran
Zia. Jika Bapak berkenan, saya hendak mewawancarai Bapak terkait kisah hidup
Bapak!” Zia berusaha menjaga agar keseimbangan sepedanya tak goyah saat menyorongkan
kepalan tangan ke arah mulut Salman.
Dengan gestur orang penting, Salman
mendekatkan mulutnya ke arah kepalan tangan Zia. “Ehm. Ehm. Nama lengkap saya
Salman Pamungkas Listyanto, Mbak Fauzia.”
“Baiklah, Pak Salman Pamungkas... em...
lalala...” Zia lupa apa barusan nama lengkap Salman. “Mungkin Bapak bisa mulai
dari daerah asal Bapak?”
“O... Tentu saja Mbak Fauzia. Wonosobo
is a beautiful city! Just like Mbandung!”
Terletak di kaki Gunung Sumbing-Sindoro,
Wonosobo adalah sebuah kota kecil yang sejuk. Terkait kawasan tersebut, kita
mungkin lebih familiar dengan Pegunungan Dieng. Di sana terdapat sebuah komplek
candi yang potretnya pernah dijadikan sampul sebuah buku pelajaran Sejarah.
Juga ingatlah mitos rambut gimbal, para petani dengan pipi merah berseri-seri,
suhu amat rendah di pagi hari, dan kenangan indah para mahasiswa UGM yang KKN
di sana. Namun bukan di situlah Salman bermukim.
“Rumahku di kotanya, Teh! Nggak jauh
dari rumah sakit pusat!”
Tidak hanya Pegunungan Dieng, Wonosobo
memiliki sejumlah tempat menarik lain yang membuat kota ini pun layak menjadi
kota tujuan wisata.
“Ada Waduk Wadaslintang, Telaga Menjur,
Kawah Sikidang, trus ada yang kayak di Bandung gitu juga, Teh! Yang kayak
Ciater itu di Wonosobo juga ada Teh! Namanya Kalianget. Lha, terus kata Acil,
dia pernah main ke Wonosobo juga Teh, Tambi tuh kayak Ciwidei. Ada kawasan
agrowisatanya. Penasaran aku, Teh. Mirip beneran apa nggak.”
Tidak hanya panorama alam, Wonosobo pun
memiliki ragam kuliner yang memanjakan lidah. Opak singkong dan carica (pepaya
gunung) hanyalah segelintir dari kekhasan kuliner Wonosobo. “Tau mi ongklok
nggak, Teh? Itu khas Wonosobo juga loh, Teh. Kayak mi rebus gitu. Kuahnya
namanya loh.” Zia jadi teringat lomie. “Ada daun kucainya, Teh. Kayak yang di
lagu Keong Racun itu lo... Enaknya tuh dimakan sama sate sapi, trus tempe
kemul...”
“Ih, kok lucu yah, tempe kemul?” Di masa
kecilnya, Zia kerap tidak bisa tidur kalau tidak sambil memeluk kemul.
“Tempe kemul itu tempe yang dibalut sama
gandum gitu, Teh. Trus digoreng. Kayak mendoan gitu lah, Teh. Tapi kan kalau
mendoan setengah mateng, ho oh, Teh?”
Zia manggut-manggut. “Kok kamu milih SMA
di Bandung sih, Salman? Nggak nerusin di kota kamu sendiri aja yang kayaknya
indah itu? Aku jadi penasaran loh main ke sana.”
“Iya, Teh. Aku kan pingin masuk ITB,
Teh.” Cita-cita sejuta umat, pikir
Zia. Ia ingat juga akan cita-cita orangtua Mas Imin memasukkan sulungnya itu ke
tempat yang sama. “Jadi ya sekalian aja aku SMA di Bandung, Teh, biar lebih
siap gitu. Katanya Bandung kota pelajar juga, Teh. Kondusif buat belajar!”
“Buat ngehamburin duit mah iya...”
“Masak Teh, katanya Acil, ITB udah
nunggu-nunggu kedatangan aku, Teh, dari lama. ‘Tuh, mesjidnya aja ampe dikasih
nama kamu!’, gitu Teh, kata Acil. Ho oh, po, Teh?”
Zia geli. “Ya tanya aja sama yang bangun
Masjid Salman ITB!”
Lain halnya dengan Wonosobo, Bandung
adalah kota besar dengan sejuta hiburan, baik artifisial maupun tidak. Padahal
Salman dengar letak SMANSON dan kosannya tidaklah tepat di pusat kota. Namun
keramaian tetap saja terasa dekat, bahkan hingga di malam hari. Kalau tidak
untuk mencari radio berbahasa Jawa, Salman mengisi malam-malam pertamanya di
Bandung dengan bersepeda menelusuri riuh pemakai jalan dan gemerlap lampu
pertokoan. Dibandingkannya dengan Wonosobo di kala malam. Terasa sepi dalam
bayangan. Jika di Wonosobo tempat nongkrong favorit terdekatnya hanyalah
alun-alun, Bandung menawarkan jauh lebih banyak pilihan. Berteman dekat dengan
Acil—yang juga suka bersepeda dan padat aktivitas yang melibatkan partisipasi
publik—membuat daya jelajah Salman tidak hanya di SMANSON dan sekitarnya saja.
Sesekali ia mengikuti acara pengamatan burung bersama Acil di taman-taman kota
Bandung.
“Di deket rumah Rani itu ada tempat
pemancingan yang enak banget, Teh! Ayo, Teh, kapan-kapan ikut mancing sama
kita! Ikannya gedhe-gedhe banget lo, Teh.” Dengan kedua tangan, Salman
memperkirakan ukuran ikan terbesar yang berhasil dikailnya berkat bantuan Rani.
Zia sempat takut sepeda Salman akan oleng karena setangnya tak dipegang begitu,
namun kaki Salman tampak memegang penuh kendali sepedanya. “Kemarin juga aku
diajak hiking sama Acil dan Rani ke Dago Pakar lo, Teh. Trus di sana aku ma
Acil diajar nyanyi ‘Mars Rimbawan’ sama Rani. Masak kata Acil kita kayak lagi
syuting video klip buat TVRI, Teh?”
“Hahaha, dasar Trio GJ!” Terbayang
ketiga bocah itu mendaki jalan setapak di tengah rerimbunan semak sembari
menyanyikan sebuah mars. Gambar beralih. Kepala mereka muncul bergantian dari
buntalan semak yang berbeda ketinggian. Masing-masing bocah kebagian
menyanyikan satu bait berlainan, namun pada bait-baik tertentu suara mereka
kompak berpadu. Tayangan itu diputar sebagai selingan di TVRI. “Dean ma Zahra
ikut juga nggak? Kalau iya, udah jadi Power Rangers aja kalian tuh...”
“Nggak, Teh. Zahra tuh suka nggak mau
kalau diajak e, Teh. Kalau Dean pas akhir minggu suka susah diajak kumpul, Teh.
Suka ada acara sama keluarganya.”
“Hooo...”
“Aku tadinya pingin masuk SMAN Bilatung,
Teh. Katanya nomor satu, ya, Teh, di Bandung? Tapi karena ada sistem kluster
jadinya aku ke SMANSON deh, Teh.”
“Tapi udah betah kan di SMANSON?”
“Alhamdulillah, Teh.”
Salman terus melakukan penemuan baru
yang menakjubkannya dari hari ke hari. Tidak hanya dengan kegemarannya akan
penjelajahan bersepeda, tapi juga karena dipengaruhi semangat eksis para kawula
muda Bandung. Penemuan tersebut meliputi sesuatu hal yang tak pernah ia duga
ada dalam dirinya. Tanda-tandanya memang sudah nampak sejak ujian praktek
menyanyi di penghujung masa SMP, namun kepercayaan dirinya baru meruap di
tengah gempita MOS. Zia tak menghitung berapa kali ia membaca ulasan media
mengenai betapa apresiatifnya warga Bandung akan pertunjukkan bakat.
Karena berkali-kali mengabaikan,
kesempatan Zia untuk berpartisipasi dalam kesibukan menghelat MOS angkatan di
bawahnya pun lewat. Lagipula ia tidak punya kewenangan sebesar anggota OSIS.
Namun Salman berbaik hati menyetorkan rekamannya. “Begini ceritanya, Teh...”
ucapnya mengawali. Sebuah visualisasi hitam putih bermain dalam kepala Zia.
=====
Baru dua hari pertama MOS, gugus 6 sudah
diklaim sebagai gugus terjelek. Hal-hal seperti anggotanya yang doyan kocar
kacir dan kurang lengkap, banyak yang akting pura-pura sakit, hingga tugas
tidak ditunaikan dengan baik menjadi sorotan panitia. Sebelum diizinkan pulang
setelah melewati hari kedua MOS, panitia memberi gugus 6 sebuah konsekuensi.
Pada acara penutupan MOS, mereka harus menampilkan sebuah pertunjukkan ritmik.
Tidak boleh tidak menghibur.
Sebagian besar anak gugus 6—yang
notabenenya pemalas—mendaulat Acil jadi ketua yang bertanggung jawab atas
semua. Hari H tiba. Acil tidak sempat menyesali mengapa ia harus menjadi korban
dari asas demokrasi yang selama ini ia junjung tinggi. Dikaruniai rakyat
segugus yang tidak kompak pula. Yang jadi masalahnya sekarang adalah, ia belum
mempersiapkan apa-apa untuk menjawab konsekuensi dari panitia untuk
kelompoknya. Waktu semakin dekat. Pembimbing gugus sudah memperingatkan. Tak
satu pun anak buahnya memberi usul dan kreativitas. Yang hadir di hari
terarkhir MOS ini saja hanya sedikit. Acil dengan mulut ternganga menghadap
mentari jingga. Berharap dianugrahi secercah asa. Berharap ia tidak harus
tampil sendiri—kendati ia sudah mempersiapkan tarian putar bohlam ala Giring
Nidji di rumah dan mempresentasikannya. Mereka hanya terpana, namun tetap malas
berkontribusi.
“Ragil! Ragil!” Suara medhok yang
memanggil nama aslinya itu bagai semburan air dari pompa di tengah riak hujan.
“Aku mbawa CD karaoke ABBA. Kamu mau kan jadi penarinya sementara aku nyanyi?”
Acil memegang CD karaoke yang disodorkan
pribumi Jawa tambun itu. Oh hell,
bagaimana saya bisa melupakan anak antik yang satu ini? batinnya. Pelita
asa Acil berkobar lagi.
“Tunggu. Tunggu dulu. ABBA tuh lagunya
yang gimana sih?”
“Can
you hear the drums, Fernando?” Salman, nama makhluk itu, bernyanyi. Lalu
dia meneruskan lagi lagu lain dengan penghayatan. “I have... a dream... a song to sing...”
“Hei, cepet,cepet, itu udah dipanggil
seksi acara tuh!” Pembimbing gugus mendorong pundak mereka.
“Emang lagu-lagu gitu bisa dipake buat
joget ya, Sal? Mmm?” Sempat Acil berbicara di tengah teriakan panitia.
“Bukan lagu itu yang aku mau nyanyi.
Kamu ikutin aja deh.”
“O... ke!” dukung Acil—lebih kepada
dirinya sendiri. Telunjuk dan jempol kanannya membentuk lingkaran sementara
tiga jari lainnya berdiri.
Setelah sampai ke depan peserta MOS dan
panitia, ternyata yang berdiri di depan untuk dihukum tidak hanya mereka saja.
Ada beberapa anak lagi yang mereka tahu adalah kandidat raja telat selama MOS.
Salman menyerahkan CD ABBA-nya pada panitia, yang segera mengurusnya agar bisa
diperdendangkan. Salman memilih lagu dan mengalirlah intro lagu ‘Gimme! Gimme!
Gimme!’.
Acil merasa pernah melihat sekilas
sebuah video klip dengan intro semacam itu, meski kelanjutannya beda. Ia
mengingat-ingat koreografi perempuan paruh baya nan energik di dalamnya. Ia
menerka-nerka dan langsung mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata begitu
mendapat visualisasi yang jelas. Tepuk tangan dan sorak membahana. Ia edarkan
tatapan sensual pada seluruh pemirsa lalu berjalan mundur sambil mengedikkan
bahu satu per satu. Terdengar seksi acara menegur orang-orang di belakangnya,
“Heh, kenapa diem aja!?” Namun segera ia tak mengacuhkannya. Sekilas matanya
menangkap mimik serius Salman saat bernyanyi. Bocah tambun itu tengah mempraktikkan
moon walking. Mic yang digenggam sebelah tangannya ikut bergoyang gemulai.
Acil terperangah. Ia tak kalah ingin
serius. Kancing kemeja ia buka satu per satu. Setelah terbuka semua lengan
direntangkan tidak terlalu lebar seperti akan memeluk dan badannya
digoncangkan. Kakinya melangkah satu per satu. Telunjuknya diasungkan dan
bergoyang maju mundur seakan menantang pemirsa.
“Gimme
gimme gimme a man after midnight...” Suara Salman bervibrasi.
Acil berimprovisasi dengan gaya lain. Di
sebelahnya, seorang anak dengan tinggi sepantaran dengannya sedang berbalik
arah. Memutar pinggul perlahan dengan hanya memakai singlet dan celana SMP
kependekan. Kemeja SMP yang telah terlepas dari tubuh itu dialung-alungkannya
tepat saat reff. Di belakangnya, para kandidat raja telat lain sedang melakukan
koreografi tari poco-poco dengan rikuh.
Acil menoleh lagi pada anak di
sebelahnya. Rambutnya ikal lepek. Berkacamata. Tulang hidung bagian atas
sedikit menekuk. Paras memancarkan kemesuman alamiah. Begitu mereka bertatapan orang
itu mengedipkan mata dan menjilat bibir atasnya. Acil bergidik sampai putih
matanya. Tapi ia harus profesional. Sekarang ia beralih pada kombinasi balet
dan tarung drajat.
Dalam barisan putri yang duduk
menyaksikan, ‘Zahra Maulana’, demikian tertera pada dada kanan seragam SMP
seorang cewek berjilbab. Kepalanya makin menekuk ke balik lutut. Menyembunyikan
malu. Apalagi setelah sempat menangkap ekspresi binal oknum yang membuat Acil
kian tertantang untuk memutus urat malunya sendiri. Ingin muntah ia, mengingat
oknum tersebut akan ia temui lagi di rumah.
“SMANSON nu aing!” pekik seorang cowok
bertubuh tipis dari barisan putra. Ia mengenalkan diri sebagai Dean pada
teman-teman barunya. Pertunjukkan meriah itu begitu menggugahnya. Ia tidak bisa
berhenti tertawa menyaksikan tingkah para penampil jauh di seberang mata. Tubuh
jangkung membuatnya kebagian duduk paling belakang—kendati itu membuat
jangkauan pandangnya semakin luas. Di barisan paling kiri depan sana, barisan
putri dalam stadion pengap nan penuh sesak itu, akhirnya ia tangkap bayangan
bidadarinya. Senang membuncah dari dalam hatinya melihat keriaan terpancar dari
wajah elok itu. Semakin sumringah ia saat wajah itu menghadap ke arahnya, yang
seketika itu langsung dipalingkan lagi. Tak pudar senyumnya karena itu. Ia
masih bisa tertawa meskipun pertunjukkan telah berakhir. Ia bertepuk tangan dan
berteriak meramaikan sekuat tenaga. Seorang MC maju ke tengah panggung dan
mewawancara para penampil termenonjol.
Orang yang pertama ditanya nama adalah
ia yang berkacamata dengan rambut ikal lepek. “Suryo, dari SMPN Karangtanjung
Kalimantan. Wauw wauw, auooo...” Orang itu melakukan joget ubur-ubur. Gelegar
tawa meletus ke seluruh penjuru stadion.
Orang yang kedua ditanya adalah sang
pengunjuk suara. “Salman Pamungkas Listyanto. Asalnya O Jakarta,” katanya
dengan logat Jawa kental. Hawa kebingungan menguap naik dari kepala
orang-orang.
“Ora jauh karo Temanggung,” lanjut orang
itu khidmat tanpa rasa bersalah. Stadion ramai lagi. Ada yang teriak, “Whoaa...
ka mana wae atuh?!”
“Di mana tuh?” tanya MC bingung.
“Wonosobo!” jawab Salman mantap.
Mengingat waktu terus berdetik, orang
ketiga yang ditanya adalah si bonsai berjalan.
“Acil, Anak cinta lingkungan!”
“Tapi di name tag namanya Ragil Setyo
Joharman.”
Celetuk Suryo, “Hihi, Ragil mah orang
gila atuh!”
“Oh, bukan, Ragil itu dalam bahasa Jawa
artinya anak bungsu,” jelas Ragil alias Acil.
Suryo menuding lagi, “Nama kamu kalo
disingkat jadi RSJ ih! Hihi, lucu.”
Muka Acil berubah dramatis. Dengan gaya
teatrikal ia meratap, menarik-narik rambut ikalnya dan menengadahkan tangan,
“Mamih! Aku minta dibikinin bubur merah putih! Mau ganti nama!”
Salman maju dan meraih baik tangan Suryo
maupun Acil untuk dijabatkan pada satu sama lainnya. “Berteman ayo berteman...”
=====
Sebelum visualisasinya semakin melantur
tak tentu arah, Zia menekan tombol bergambar kotak. Lagipula sebagai kakak
kelas yang baik, seharusnya ia memerhatikan luapan rasa terenyuh Salman akan
apresiasi yang begitu gemilang akan penampilan pertamanya di muka umum. Namun
sebelumnya, ada hal yang ingin ia klarifikasi. “Si Suryo itu Mas Imin, eh, Kang
Lutung bukan?”
Pertama kali ngeh lantas berkenalan
dengan mereka di ruang tengah lantai dua rumah Kakek, Zia mendapati Dean dan
Salman memanggil Mas Imin dengan “Suryo”. Tahulah ia akan kiprah Mas Imin
sebagai peserta penyusup pada MOS lalu. Menarik juga ternyata, dapat mengenal
para korbannya.
“Ho oh, Teh. Mantep bhanget jogetnya si
Kang Luthfi itu!”
“Ah, nggak heran...”
“Sekarang aku percaya, Teh, sama yang
namanya kekuatan bakat!”
“Oh, iya. Kamu kan ikut VG juga yah?”
Bergabung dengan VG membuka cakrawala
Salman akan dunia vokal. VG memberikannya banyak hal, mulai dari teknik vokal
yang berupa materi vokal, harmonisasi, aransemen dan penyeimbangan antara vokal
dengan musik, bagaimana cara menginterpretasi lagu, menampilkan ekspresi, dan
membuat inovasi, hingga kiat berkomunikasi dengan audiens dan menghayati
karakter lagu. Ia juga diajarkan macam-macam pernafasan, meskipun hanya
pernafasan diafragma yang digunakan untuk bernyanyi. Pemanasan juga merupakan
hal yang tak kalah penting. Salman bilang, untuk mencapai nada tinggi itu
bertahap dan pemanasan mempermudahnya melewati tahapan tersebut. Tak ubah
dengan ekskul seni bela diri bertenaga dalam macam PATIN, pikir Zia.
Untuk menjaga kualitas vokalnya, Salman
mulai menjauhi segala yang mengandung es, minyak berlebih, dan pedas-pedasan.
Juga “tidak” untuk kopi, alkohol, dan rokok. Minum banyak air putih,
menghindari begadang, dan menjaga perut agar selalu isi adalah gaya hidup yang
kini mulai ia usahakan.
Namun VG tidak sekedar memberinya
hal-hal positif sebagai pelajaran. Gesekan kepentingan berpotensi tejadi di
mana-mana. Salman bukan satu-satunya yang dikatakan para akang dan teteh VG
bermulut manis sebagai “sebongkah emas yang belum terasah”. Hampir semua yang
masuk kualifikasi dikatakan begitu, meski mereka katakan juga bahwa emas itu
berbeda-beda kualitas karatnya. Dan tidak hanya Salman yang merasa suara
emasnya berkualitas karat 24.
“Dia kayaknya nggak suka sama aku, Teh.
Nggak tau kenapa.”
Kendati Salman berusaha untuk terus
membangun kepercayaan dirinya, ia tidak bisa mengalahkan dominansi anak lainnya
yang asal Bandung. “Dia” yang dirujuknya tampak sudah akrab dengan para
petinggi VG. Entah Salman merasa tersisihkan karena itu atau tidak, yang pasti
ia tidak merasa nyaman jika setiap kali ia mendapat kesempatan untuk unjuk
kemampuan, “dia” seperti tak terima. Begitu menarik perhatiannya “dia”, hingga
Salman pun tak jadi ambil peran—kalau tidak kebagian dalam porsi kecil. Dan
adalah tabiat muasal Salman untuk “nrimo” dengan keadaan.
Mulanya Zia mengira Salman hanya
berburuk prasangka. Merasakan adanya pendar-pendar sifat “pengalah” dalam diri
Salman, ditambah asumsi bahwa memang begitu karakter orang Jawa, Zia kira
kemungkinan adanya oknum pengincar keeksisan yang ingin menjatuhkan Salman itu
bukanlah hal mustahil. Jadi Zia mengatakan bahwa keinginan untuk eksis memang
sudah jadi tabiat anak Bandung. Salman harus menyesuaikan dengan itu.
“Makanya itu, Teh. Kemarin aku mo minta
pendapat Bu Euis.”
“Oh. Yang sama si Ipong-Ipong kemarin
itu?”
“Iya, Teh. Pinginnya tuh cuman aku, Bu
Euis, sama Ipong aja. Biar dia tahu kalau Bu Euis juga mengakui kemampuan aku
gitu loh, Teh. Kalau pas latihan VG yang biasa kan suka nggak ada waktu, Teh.”
“Hm. Terus jadinya gimana?”
“Nggak jadi, Teh. Bu Euis malah marahin
kita supaya kalau latihan yang bener. Padahal si Ipong itu yang suka mulai
duluan loh, Teh!”
Zia jadi penasaran seperti apa rupa si
Ipong itu, dan mengapa dinamakan begitu. Mengingatkannya pada salah satu cabang
olahraga. Ketimbang memperkarakan apa yang belum ia saksikan langsung, Zia
beralih topik. “Di VG kamu kebagian apa sih, Salman?”
“Tenor, Teh! Teteh kan suka nyanyi juga,
ikutan aja, Teh!”
Salman seperti yang tidak tahu saja, suka menyanyi tidak berarti bisa menyanyi. VG SMANSON tidak
memasukkan ‘suka’ ke dalam kualifikasi, apabila tidak disertai dengan ’bisa’.
Untung saja Zia sudah menyadari itu sebelum terlanjur mempermalukan dirinya
sendiri dalam rekrutmen terbuka VG pada tahun pertamanya di SMANSON. “Ngapain
ah?” tanggap Zia malas.
“Temenin aku nyanyilah, Teh...”
“Emangnya aku pacar kamu, nemenin kamu
ke mana-mana?” sergah Zia yang merasa waktunya akhir-akhir ini jadi banyak
terpakai dengan Salman. Sampai bersepeda ria bersama pula!
“Kalau Teteh mirip sama Sissy Priscilla
mah nggak apa-apa deh, Teh!”
“Wew!” Zia kaget tidak hanya karena
ucapan Salman, tapi juga karena untuk ke sekian kalinya ia terantuk lubang.
Hampir saja ia terbanting ke dinding angkot yang ngetem di sebelahnya.
Terlintas syukur karena parasnya jauh dari Sissy Priscilla.
Salman ikut memberhentikan laju
sepedanya. “Bandung banyak lubangnya ya, Teh?” komentarnya sembari mengamati
Zia memberdirikan sepedanya. Ia cukup tahu diri untuk tidak mengungkap hal-hal
menarik lain yang tak kalah banyak ia temui saat putar-putar Kota Bandung:
sampah, banjir, oncom, kendaraan bermotor, gelandangan, cimol, anak jalanan,
orang gila, cilok, peminta-minta, kemacetan, cireng, dan rupa-rupa persoalan
kota besar lain.
Mendadak Zia merasa malu. Rutuknya dalam
hati, iya nih, gimana sih Dinas LLAJ?
Tak mau kalah, ia balas tembak, “Emang di Wonosobo jalannya nggak berlubang
juga?”
“Wah. Mulus-mulus aja, Teh!”
Salman tidak langsung menaiki sepedanya
lagi kendati Zia sudah siap melanjutkan perjalanan. Tangannya mengarah ke satu
ruas jalan. “Ke sana rumahnya Dean loh, Teh!”
“Oh. Pernah ke sana?” Nada Zia tak
menyiratkan keheranan sama sekali.
“Iya, Teh. Pas udah sampai jalan
situ...” Zia memicingkan mata. Di kejauhan ia melihat sebuah jalan masuk yang
dirindangi pepohonan. Muka jalan terapit oleh deretan rumah, tanah kosong, dan
pangkalan ojeg. “...ta telepon si Dean, Teh, bilang mau main ke rumahnya. Kan
aku bingung tho habis dari jalan itu ke mana. Kata Dean, minta tolong tukang
ojeg aja! Lha, aku tambah bingung tho, wong aku bawa sepeda! Gimana mau naik
ojeg juga?” Selanjutnya Dean menerangkan bahwa tukang ojeg di pangkalan
tersebut rata-rata mengenalnya dan pasti mengerti kalau ditanya hal di mana
rumah Dean. Salman membuktikannya kemudian. Baru saja ia hendak lanjut
mengayuh, Dean menambahkan kalau ia sedang tidak ada di rumah.
Zia tidak jadi mengayuh sadel. “Eh,
beneran kamu tau jalan ke rumah Acil, kan?”
“Tau dong, Teh! Aku udah dua kali ke
sana—pake sepeda!”
“Yang sekarang, kamu udah bilang belum
sama Acil kalau kamu mau ke rumahnya?”
Salman menepuk dahi. “Wah, lupa e aku!
Entar, Teh, aku cek dishik!” Salman merogoh ponsel dari dalam tas mungil yang
tersandang diagonal di dadanya sedari tadi. Selama Salman menempelkan benda
tersebut di telinganya, Zia tak putus memandang. “Apa katanya?” tanya Zia usai
Salman berkata-kata di ponsel dan memutus sambungan.
Senyum Salman masih setenang semula, seolah tak ada persoalan apa pun. “Iya bener, Teh. Minggu pagi tuh jadwalnya Acil ngamatin burung di Taman Ganesha. Yoh, kita ke sana aja, Teh!” Salman siap mengayuh lagi. Zia mengerang. “Kamu pikir Kopo sama Dago deket apa?!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar