Selasa, 21 Desember 2010

dua puluh dua

(i, i always thought that i knew/ i always have the right to/ be living in the kingdom of the good and true/ it’s so long/ now i think i was wrong/ and you were laughing along/ and now i look a fool for thinking you were on

is it any wonder i don’t know what’s right?/ keane – is it any wonder)

.

Tur sekolah ke Anyer telah mengembalikan keceriaan masa remajanya, begitu Zia rasa. Selama dua hari satu malam, tidak terlintas sedikit pun apa-apa yang selama ini membebani pikirannya. Ia hanya ingat pada momen-momen di mana ia berkejar-kejaran, basah-basahan, perang pasir, dan berfoto ria dengan teman-temannya di tepi pantai, menemani Epay mengintai kecengannya—kendati Zia curiga diam-diam Kamal mengintainya juga, mengganggu Tata dan Ardi yang ingin punya banyak waktu berdua, juga menjadi tumpahan emosi Regi dan Ega yang harus ikut mengurusi masalah-masalah yang mengganggu kelancaran tur.

Seharusnya masa remaja diisi oleh senang-senang terus seperti ini, pikir Zia. Buat apa sudah digundahkan oleh perkara tujuan hidup? Nanti pasti ada saatnya! Sekarang waktunya menikmati keriaan sepuasnya bersama teman-teman! Bagaimana dengan pengembangan potensi diri, Zia? Ah, merusak suasana tur saja. Zia tak mau memikirkannya.

Satu-satunya hal yang sempat mengusik adalah karena ia mengetahui bahwa, anak-anak seangkatannya yang punggawa LEMPERs aktif, baru saja menghelat rapat pergantian pengurus sehari sebelum berangkat ke Anyer. “Kok aku nggak dikasih tau?” protes Zia seketika. Yang dituju hanya menunjukkan ekspresi terkejut dan mengira bahwa Zia memang sudah tidak mau dilibatkan di LEMPERs lagi. Dan dengan cepat Zia melupakan ini karena acara hiburan yang dipersembahkan oleh masing-masing kelas telah dimulai, amat memancing tawanya.

Salman juga sudah tak merundunginya lagi. Sudah berdamai bocah itu dengan si jambul ikal. Apalagi karena Ipong akhirnya tidak lulus seleksi menjadi pendamping Sharona di Bazaar—Salman berusaha keras menahan puas karena itu. Jadilah pada saat Bazaar, yang Zia lihat menjadi kawan duet Sharona adalah seorang petinggi VG yang seangkatannya. Dan rupanya, pihak manajemen Sharona batal menjadikan anak SMANSON sebagai kawan duet Sharona yang akan dipublikasikan secara luas. Mereka sudah menemukan tampang yang lebih menjual. Duo sejoli Salman-Ipong kini sedang asik menggarap video karaokean mereka sendiri untuk di-upload di Youtube.

Sepulangnya dari tur dan kembali pada kehidupan sekolah, Zia berusaha untuk mempertahankan keceriaan masa remajanya. Memang kemalasan sekolah masih melanda, namun ia coba fokus pada kenikmatan-kenikmatan khas SMA di luar itu. Membuatnya ingin terus menjadi anak SMA—tapi tanpa gangguan akademis sama sekali.

Sibuknya anak kelas XII oleh ujian praktek dan UAS membuat Zia sadar bahwa angkatannya sudah menjadi pihak yang paling berkuasa—kendati senioritas sudah tidak begitu tren lagi di SMANSON. Lalu ia jadi ingat pada Mas Imin dan pasukan warbung. Bagaimana ya kabarnya mereka sekarang? Zia merasa beruntung sekali saat ia pulang ke rumah Kakek dan menemukan motor kawanan Mas Imin terparkir di luar pagar.

Dengan segelas milkshake di tangan—dari bahan-bahan yang ia temukan di kulkas, Zahra sudah mengizinkannya, langkah riang Zia mendaki satu per satu anak tangga menuju ruang tengah lantai dua. Ia tersenyum lebar saat mendapati raut muka mereka bagai tertangkap basah sedang menonton AV. Sekaligus heran karena mereka masih memakai putih abu padahal mestinya kegiatan mereka di sekolah sudah tidak rutin lagi. “Hayo, tadi ngomongin apa?!” 

“Ngomongin kamu, Zia,” Kang CP coba bergurau dengan ramah. Zia tak terkesan. Ia malah terkejut karena menemukan ternyata Ardi juga ada di sana. Di pojok favoritnya, tempat seperangkat PC berada. Tumben tanpa Tata, pasti lagi marahan, duga Zia. Earphone menancap di telinga Ardi. Zia terdiam. Jelas saja kehadiran Ardi sama sekali tak mengusik pembicaraan mereka, pikirnya. Ia tak menyangka Ardi akan membalas lirikannya.

“...terusin yang tadi aja, Luthfi,” ucap Kang Hilman seraya menatap lagi pada Mas Imin.

“Sampai mana tadi emangnya?”

“Sampai kamu mau masuk Psikologi,” jawab Kang Detol.

“Ssst...” Mas Imin menunjuk-nunjuk lantai di bawahnya.

Zia bersimpuh di dekat mereka. Katanya dengan mata berbinar dan setengah berbisik, “Mas Imin jadi mau masuk Psikologi?”

“Nggak,” kata Mas Imin. Ia menyodorkan sepotong kecil karton pada Zia. Zia membacanya. Tersenyum. Manis sekali, Zahra memberi semangat pada Mas Imin untuk memasuki Fakultas Psikologi. Zia juga ingin diberi yang semacam ini di penghujung kelas XII-nya nanti. Tapi oleh siapa? Membayangkan Zaha yang melakukannya, Zia jadi merinding, meski Zaha akan melengkapinya dengan gambar artistik sekalipun.

“Lucu, ya?” Zia menyerahkan lagi potongan karton itu pada Mas Imin. Ia tidak menyangka bahwa Mas Imin benar-benar berhasil berbaikan dengan Zahra. Padahal dulu mereka hampir tidak pernah berbicara satu sama lain. Kalau pun iya, itu tidak bisa dikatakan komunikasi yang efektif. “Jadi Mas Imin mau masuk ke Psikologi? Aku ngedukung-ngedukung aja loh, Mas.”

“Nggak.” Mas Imin ikut mengulangi jawabannya. “Makanya nggak ngerti, kok Zahra tiba-tiba pingin saya masuk sana.”

Zia tidak akan bilang. Ketika Mas Imin akhirnya berhasil membuat Zahra menginap di rumahnya, ia mempengaruhi Zahra sedemikian rupa agar Mas Imin tidak masuk ITB, melainkan memilih jurusan lain yang lebih mengoptimalkan warbungnya. Zia senang. Ia merasa menemukan kembali potensinya sebagai pengarang cerita.

“Trus emang kenapa kalo Mas masuk Psikologi? Inget loh, Mas, artikelku yang masuk majalah semesteran itu, yang tentang pengembangan potensi, minat, bakat, dan semacamnya itu,” sejenak Zia lupa kalau di ruangan itu juga ada Kang Detol, “itu kan aku bikin dari obrolan kita yang kapan itu. Bukannya waktu itu Mas penasaran banget ya, sama yang kayak gituan?”

“Ya... Banyak pertimbangannya lah, Zia...” ucap Mas Imin lembut. Zia jadi tidak enak hati hendak menyerangnya lagi. Sudah berulang kali Mas Imin memberitahunya. Hal perusahaan papanya yang di ambang ambruk, cita-cita keluarga sejak lama agar ia masuk ITB, harapan akan kemapanan, konsekuensinya sebagai sulung laki-laki, keharusannya untuk menjadi sosok yang bisa dicontoh para adik, persiapan agar ia bisa segera mengambil alih tulang punggung keluarga, hingga keinginannya untuk sesekali menyenangkan orang tua. Zia tidak bisa memahami yang terakhir. Selama ini ia melakukan apa pun hanya untuk dirinya sendiri. Sesekali ia coba mengenyahkan perasaan-perasaan buruk terhadap orangtuanya, tetapi selalu berujung pada kesimpulan bahwa adalah kesalahan orangtuanya hingga menghasilkan seseorang sepertinya. Zia jadi merasa dirinya tidak kalah buruk dari keduanya.

“Mas Imin, Mas Imin kakak yang baik kok.” Zia tersenyum. Tidak peduli pada pandang terpana kawan-kawan Mas Imin. Kang Detol menggoda-goda Mas Imin yang bertahan dengan tampang bengong. Tapi tergurat senyum juga di sana.

“Nih, Zia, saya juga punya sesuatu buat kamu.”

Zia hampir saja mendekat, sebelum ngeh pada apa yang Mas Imin lakukan. Mas Imin baru saja mengorek lubang hidungnya, dan telunjuk yang ia pakai mengorek lantas didekatkan ke muka Zia. Sontak Zia berteriak, “Hwaaa... Dasar orang aneh!”

Meledak tawa yang lain, kecuali Ardi, tentu saja. Ia lmemilih untuk tetap terpaku pada dunia dalam PC. Kang Detol bangkit sembari mengorek lubang hidungnya juga. “Saya juga mau ah!” Ia mengejar Zia yang menjerit-jerit sampai lantai bawah. Barulah Ardi menoleh dengan mata terbuka lebar karena menyaksikan apa yang terjadi. Zia menyelamatkan diri ke paviliun Kakek.

=====

Menemani Kakek menonton infotainment layaknya menonton Piala Dunia. Hampir tak putus ia berkomentar, sembari mengusap berganti-ganti antara perut buncit dan kepala botaknya.

“Ck. Cerai lagi...”

“...ah, itu mah udah jelas dia yang melakukan...”

“Wahaha... Udah nikah ternyata...”

“Hah, bohong... bohong...”

Zia menggaruk-garuk kepala. Rasanya sudah hampir mati bosan ia duduk di samping Kakek. Sofa hitam yang ia duduki berkerenyit-kerenyit, tanda akan perpindahan posisi duduknya. Gelas milkshake-nya sudah kosong sedari tadi. Terpikir untuk mengajak Kakek bergitar, tapi Kakek tampak sedang asik sendiri. Zia malas untuk mengganggu, kendati ia tak takut pada amarah Kakek jika ia begitu. Kakek jarang memarahinya. Kalau pun Kakek sedang ingin memarahinya, maka ia akan meminta Papa atau Mama yang melakukan untuknya. Jauh lebih menyeramkan bagi Zia, Kakek tahu benar itu.

“Kakeeek...”

Zia menoleh ke belakang. Terlihat siluet tubuh Dean di balik jendela kaca depan. “Ada Dean tuh, Kek.” Zia menoel lengan Kakek. Kakek kontan menoleh, lagi, ke arah Dean. Teriaknya, “Heeei... Masuk aja!”

Zia terkesiap. Ganjil nian. Mengapa tiba-tiba ada hubungan di antara Kakek dan Dean?

“Eh, ada Teh Zia! Udah lama nggak ketemu, Teh...”

“Hei,” sapa Zia, diliputi perasaan aneh. Seaneh perasaannya saat Dean dan Salman memanggil Mas Imin dengan “Suryo” di ruang tengah lantai dua. Kepala Zia berputar-putar, antara Dean dan Kakek. “Kok kalian bisa kenal sih?”

“Ya, kenalan atuh, Teh...” Dean mendekat untuk menyalami Kakek. Ia masih bercelana abu, dengan atasan tertutup jumper gelap bermotif spiral ungu. Entah di mana bocah itu menaruh ranselnya.

Kakek bergeser sedikir agar tersisa ruang cukup lega bagi Dean untuk duduk di sampingnya. Kakek menepuk-nepukkan tangannya ke situ, menyuruh Dean mendudukinya. “Sini, sini, Yan...” Dean menurut.

Tak lama Zia dalam kebingungan. Ia teringat akan suatu hal yang mengganjal pikirannya semula. “Eh, tadi kamu dari sebelah nggak? Temen-temennya Mas Imin masih ada?”

“Hah? Kayaknya tadi mereka pada baru mau pulang deh...” Bersamaan dengan jawaban tersebut, terdengar deru motor dari arah sebelah paviliun. Zia beranjak sembari mengambil gelas bekas milkshake.

“Oke, aku minggat dulu! Baik-baik ya kalian berdua!”

“Sip, coy!” Kakek mengacungkan jempol. Matanya mengiringi pergerakan tubuh Zia.

“Hah, Kakek, nggak usah aneh-aneh dah!”

=====

Ruang tengah lantai dua tampak lengang. Karpet di tengah ruangan kusut di beberapa bagian, tanda habis diduduki. Masih ada Ardi di pojokan, sedang mengetik-ngetik sesuatu. Kamar Mas Imin ada di seberang. Pintunya terbuka. Dalam perjalanan menuju sana, Zia mendapati ransel Dean tersampir di salah satu sofa. Ya ampun, tu anak, udah kayak ini rumahnya sendiri aja.. Mas Imin tidak ada di ruangannya. Zia kecele. Padahal barusan ia melihat si Bambang ada di garasi. Mungkin Mas Imin ikut pergi dengan teman-temannya naik motor. Tubuh Zia berbalik ke belakang. Ia menatap Ardi. Seakan baru menangkap suatu sinyal panggilan, Ardi balas melihat ke arah Zia. Ardi meminta Zia mendekat dengan isyarat tangan.

Zia menyeret bangku di samping meja PC—bangku yang biasa Tata duduki kala menemani Ardi terjun ke dunia lain. Mereka saling berhadapan. Ardi mencopot earphone-nya. Tubuh Ardi yang agak bungkuk, kepalanya semakin menunduk agar matanya sejajar mata Zia. “Kamu pingin tahu apa yang Mas Imin sama temen-temennya tadi omongin?”

Zia mengangguk. Ia balas menatap Ardi tajam. “Iya, aku penasaran banget.”

Selagi mengaduk milkshake tadi, Zia duduk di sofa lantai bawah, dekat tangga. Tak sengaja ia mencuri cakap mereka, dan keterusan. Apa yang mereka bicarakan, Zia kira, menggugah insting kewartawanannya—jika itu sungguh ada. Mereka berbicara semakin pelan dan semakin pelan. Semakin pelan pada bagian tertentu. Lalu biasa lagi. Memelan lagi sesekali. Duduk Zia semakin lama semakin memberingsut ke arah tangga. Naik, naik, dan terus naik. Ya sudah, sekalian saja ia memunculkan diri di lantai dua. Sayangnya, itu malah membuat mereka mengalihkan topik pembicaraan.

“Kalau pun kamu nggak penasaran, aku tetep pingin ngasih tau kamu.”

“Iya, iyaa...” Zia memutar mata.

“Tadi kamu udah denger sampai mana?”

“Mmm...” Dahi Zia berkerut. “Aku nggak denger jelas, Di. Aku cuman denger ada kata otak, UN, sistem, TO, wali kelas, semacam itulah. Aku pikir ada kejadian apa gitu pas mereka UN kemarin. Yang nggak beres.”

“Emang ada.” Ardi menyeringai, tampak senang. “Mau dengar ceritanya?”

Zia mengangguk dengan penuh semangat.

“Jadi begini...”

Dua bulan sebelum pelaksanaan UN, di sebuah kelas XII di SMANSON, seorang anak maju ke depan kelas. Ia menjelaskan suatu sistem yang telah menjadi kesepakatan seluruh perwakilan dari kelas XII lainnya. Suatu sistem yang akan dijalankan saat UN. Sistem yang mengajukan tiga anak dengan ranking terbesar di setiap kelas untuk menjadi tumbal—kendati mereka menyebutnya “otak”. Disebut otak, karena merekalah yang akan mengerjakan semua soal UN dengan sebenar-benarnya untuk kemudian didistribusikan pada siapa yang mereka sebut “otak pusat”. Si otak pusat akan memilah dan memilih jawaban yang benar untuk didistribusikan lagi pada para otak di masing-masing kelas. Anak-anak yang duduk di sekitar otak kelas kemudian bertanggung jawab untuk menyalin jawaban si otak kelas. Mereka harus membiarkan jawaban mereka terlihat oleh anak-anak lainnya lagi di sekitar mereka. Begitu seterusnya. Seperti jaring laba-laba, bermula dari satu titik lalu menyebar ke segala arah hingga semua terjamah.

“Kenapa disebut otak? Aku jadi inget otak-otak nih,” cetus Zia.

Ardi mengangkat kedua tangan. “Nggak tau. Mereka nyebutnya gitu.”

“Trus kalo otak kelas itu yang tiga besar di kelas, otak pusatnya siapa?”

“Kalau nggak salah ya... juara umumnya gitu kali ya...” Ardi menggaruk-garuk dagunya yang ditumbuhi beberapa helai rambut. Matanya menerawang ke langit-langit.

“Eh, emang nggak bakal ketahuan ya yang kayak gituan?”

“Kalau pengawasnya nggak jujur sih, ya bisa aja.”

Zia diam saja, menunggu Ardi melanjutkan ceritanya.

“Nah, suatu kali, si Kang CP ngedatengin wali kelasnya, ngebocorin soal sistem ini,” suara Ardi terdengar semakin lirih. “Dan wali kelasnya itu malah nyaranin dia buat ngikutin aja.”

Mata Zia terbelalak. “Siapa wali kelasnya?!”

“Ssst...” Ardi mengangkat telunjuk ke depan mulut. “Nggak cuman wali kelas dia aja. Kata Kang Detol, semua guru dipastikan tahu soal ini. Soalnya, pas simulasi UN, diawasinnya sama guru-guru dari sekolah sendiri kan. Tapi, mereka ngebiarin aja siswa-siswa ngesimulasiin sistem tadi.”

Zia membuang tatapannya ke lantai. Ia tak bisa membayangkan apa yang Ardi ceritakan ini benar-benar terjadi. Ia merasa ngeri dengan semua yang terlibat—orang-orang yang sangat mungkin ia kenal. “...busuk, busuk banget...”

“Kabarnya, si otak pusat itu ngedistribusiin jawaban ke SMA-SMA lain juga. Dan nggak cuman si Kang CP aja yang kena. Semua yang ada di ruangan ini tadi, mau nggak mau harus punya andil buat ngejalanin sistem tadi.”

Muka Zia berkerut. Ia tak percaya. Selama ini ia kira Mas Imin dan kawan-kawannya adalah orang-orang lurus. “Kok mau-maunya sih?”

“Tadi aku kan bilang, mau-nggak-mau,” Ardi menegaskan. “Kang Hilman, dia dipaksa temen-temennya buat jadi otak kelas. Untungnya Mas Imin nggak. Tapi gara-gara dia kebagian duduknya di deket otak kelas, mau nggak mau dia harus ikut ngebantuin buat nyebarin jawaban ke anak-anak lain. Kang Detol, karena dia udah beberapa kali nggak lulus TO, sama wali kelasnya juga didesak buat ikutan aja.” Ardi terdiam sejenak, sebelum melanjutkan, “kalau menolak, ya siap-siap aja menerima perubahan sikap dari yang lain.”

Resah melumat wajah Zia. Matanya berkeliaran tak jelas arah. Desahnya, “Hah... Ya ampun... Aku nggak percaya yang kayak gitu bener-bener terjadi di sebuah SMA negeri di Bandung.” Zia menelan ludah. “Di SMA kita!?”

Ardi ikut-ikutan mendesah. “Yah... Begitulah... Seru kan jadi ide cerita?”

Seru, kalau sampai masuk surat kabar... pikir Zia. “Eh, Di. Emangnya mereka boleh ngasih tau yang kayak gini ke orang lain?”

“Mestinya sih nggak...”

“Trus kok kamu tau sih?” Zia sebal. Ia saja tidak boleh tahu. Apa-apaan sikap menghindar Mas Imin dan kawan-kawan tadi? Sampai menggusahnya pakai serangan upil segala!

Ardi mengangkat kedua tangannya lagi. “Aku nggak tau. Mungkin kalo ke kamu mah mereka males kali ngasih tau.”

Zia melotot. Bibirnya semakin mengerucut. “Berarti orang-orang juga udah pada tau tentang ini dong?” Zia merasa bagai pertapa yang baru ke luar gua setelah sekian abad berlalu.

“Ya nggaklah...” Ardi menarik tubuhnya, seakan menganggap ucapan Zia tadi bodoh sekali. “Trus ngapain mereka ngomonginnya sembunyi-sembunyi tadi? Aku pikir, karena mereka jadi korban aja kali, makanya mereka jadi suka ngomongin ini.”

“Trus kenapa kamu boleh tau, aku nggak dikasih tau?” Iri, Zia jadi mengandaikan dirinya sebagai saudara kandung Mas Imin lagi. Juga dikhianati, ia kira selama ini ia sudah dianggap masuk ke dalam lingkaran pergaulan Mas Imin dengan pasukan warbungnya.

“Tapi bisa juga karena mereka pikir aku nggak bakal berbuat apa-apa kali,” Ardi mengajukan alasan yang ia pikir bisa menghibur Zia. Toh selama ini ia memang tidak suka mencampuri urusan orang lain. Mas Imin tahu benar tabiatnya. Kali ini Ardi mengangkat bahu. “Lagian semuanya juga udah berlalu.”

“Kenapa kamu nggak bakal berbuat apa-apa?!” sentak Zia. Ardi tidak jadi memasang earphone-nya kembali. “Kamu tuh harus berbuat apa-apa!”

Ardi mengerutkan dahi. “Tapi aku emang nggak pingin berbuat apa-apa kok. Lagian kejadiannya juga udah lewat kan? Mau diapain lagi?”

“Tapi... tapi itu tuh nggak bener, Di. Itu tuh curang! Kamu bisa bayangin kalau itu besok kejadian di angkatan kita juga?!”

Ardi berlagak malas mendengar. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah PC lagi. “Percaya sama diri sendiri ajalah...”

“Tapi kebenaran harus disampaikan...” Zia mendesah panjang, teringat akan suatu malam di mana pengalaman spiritualnya melanda. “...meskipun mungkin kamu pikir itu terlambat...” Mata Zia kembali berkeliaran tak jelas arah hingga menemukan tubuh Ardi kembali. “Okelah, kalau kamu cuman sekedar mau ngasih tau aku, trus kamu nggak mau berbuat apa-apa, tapi kamu ngasih tau aku, Ardi, kamu mau aku berbuat apa-apa kan?”

Ardi membuka sedikit mulutnya. Sok berpikir. “...bisa dikatakan begitu?”

Zia menurunkan pundaknya. Tidak pernah benar-benar bisa efektif bicara dengan Ardi ini. Ardi berkata lagi padanya, “Emangnya kamu mau apa-apa kayak gimana?”

Zia tercenung. Ia larikan pikirannya sejenak pada gambaran langit biru dan awan putih. Sesuatu yang melegakan. Burung camar. Samudra luas membentang. Es kelapa muda. Sponge Bob. Dapat. “Itulah gunanya punya komunitas, Di.”

Ardi menoleh lagi. Zia melompat dari bangkunya. “Tunggu bentar! Jangan kabur ke mana-mana!” Ardi mendengus. Tidak butuh waktu lama bagi Zia untuk menyeret ranselnya ke lantai atas. Ia keluarkan notes dan pulpen. Dengan cepat membalik halaman-halaman yang sudah terisi. Pangkal pulpen ia tekan. “Yang namanya berita itu emang yang udah kejadian, Di. Ini bakal jadi kritik yang bagus buat sekolah kita! Nah, Pak Ardian Yogaswara, saya Fauzia dari LEMPERs. Bisakah Anda ulangi keterangan Anda tadi, lengkap dengan siapa bicara apa?”

Sebelah alis Ardi terangkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain