(i, i always thought that i knew/ i
always have the right to/ be living in the kingdom of the good and true/ it’s
so long/ now i think i was wrong/ and you were laughing along/ and now i look a
fool for thinking you were on
is it any wonder i don’t know what’s right?/ keane – is it any
wonder)
.
Tur sekolah ke Anyer telah mengembalikan keceriaan masa remajanya, begitu
Zia rasa. Selama dua hari satu malam, tidak terlintas sedikit pun apa-apa yang
selama ini membebani pikirannya. Ia hanya ingat pada momen-momen di mana ia
berkejar-kejaran, basah-basahan, perang pasir, dan berfoto ria dengan
teman-temannya di tepi pantai, menemani Epay mengintai kecengannya—kendati Zia
curiga diam-diam Kamal mengintainya juga, mengganggu Tata dan Ardi yang ingin
punya banyak waktu berdua, juga menjadi tumpahan emosi Regi dan Ega yang harus
ikut mengurusi masalah-masalah yang mengganggu kelancaran tur.
Seharusnya masa remaja diisi oleh senang-senang terus seperti ini, pikir
Zia. Buat apa sudah digundahkan oleh perkara tujuan hidup? Nanti pasti ada
saatnya! Sekarang waktunya menikmati keriaan sepuasnya bersama teman-teman!
Bagaimana dengan pengembangan potensi diri, Zia? Ah, merusak suasana tur saja.
Zia tak mau memikirkannya.
Satu-satunya hal yang sempat mengusik adalah karena ia mengetahui bahwa,
anak-anak seangkatannya yang punggawa LEMPERs aktif, baru saja menghelat rapat
pergantian pengurus sehari sebelum berangkat ke Anyer. “Kok aku nggak dikasih
tau?” protes Zia seketika. Yang dituju hanya menunjukkan ekspresi terkejut dan
mengira bahwa Zia memang sudah tidak mau dilibatkan di LEMPERs lagi. Dan dengan
cepat Zia melupakan ini karena acara hiburan yang dipersembahkan oleh
masing-masing kelas telah dimulai, amat memancing tawanya.
Salman juga sudah tak merundunginya lagi. Sudah berdamai bocah itu dengan
si jambul ikal. Apalagi karena Ipong akhirnya tidak lulus seleksi menjadi
pendamping Sharona di Bazaar—Salman berusaha keras menahan puas karena itu.
Jadilah pada saat Bazaar, yang Zia lihat menjadi kawan duet Sharona adalah
seorang petinggi VG yang seangkatannya. Dan rupanya, pihak manajemen Sharona
batal menjadikan anak SMANSON sebagai kawan duet Sharona yang akan
dipublikasikan secara luas. Mereka sudah menemukan tampang yang lebih menjual.
Duo sejoli Salman-Ipong kini sedang asik menggarap video karaokean mereka
sendiri untuk di-upload di Youtube.
Sepulangnya dari tur dan kembali pada kehidupan sekolah, Zia berusaha
untuk mempertahankan keceriaan masa remajanya. Memang kemalasan sekolah masih
melanda, namun ia coba fokus pada kenikmatan-kenikmatan khas SMA di luar itu.
Membuatnya ingin terus menjadi anak SMA—tapi tanpa gangguan akademis sama
sekali.
Sibuknya anak kelas XII oleh ujian praktek dan UAS membuat Zia sadar bahwa
angkatannya sudah menjadi pihak yang paling berkuasa—kendati senioritas sudah
tidak begitu tren lagi di SMANSON. Lalu ia jadi ingat pada Mas Imin dan pasukan
warbung. Bagaimana ya kabarnya mereka sekarang? Zia merasa beruntung sekali
saat ia pulang ke rumah Kakek dan menemukan motor kawanan Mas Imin terparkir di
luar pagar.
Dengan segelas milkshake di tangan—dari bahan-bahan yang ia temukan di
kulkas, Zahra sudah mengizinkannya, langkah riang Zia mendaki satu per satu
anak tangga menuju ruang tengah lantai dua. Ia tersenyum lebar saat mendapati
raut muka mereka bagai tertangkap basah sedang menonton AV. Sekaligus heran
karena mereka masih memakai putih abu padahal mestinya kegiatan mereka di
sekolah sudah tidak rutin lagi. “Hayo, tadi ngomongin apa?!”
“Ngomongin kamu, Zia,” Kang CP coba bergurau dengan ramah. Zia tak
terkesan. Ia malah terkejut karena menemukan ternyata Ardi juga ada di sana. Di
pojok favoritnya, tempat seperangkat PC berada. Tumben tanpa Tata, pasti lagi
marahan, duga Zia. Earphone menancap di telinga Ardi. Zia terdiam. Jelas saja
kehadiran Ardi sama sekali tak mengusik pembicaraan mereka, pikirnya. Ia tak
menyangka Ardi akan membalas lirikannya.
“...terusin yang tadi aja, Luthfi,” ucap Kang Hilman seraya menatap lagi
pada Mas Imin.
“Sampai mana tadi emangnya?”
“Sampai kamu mau masuk Psikologi,” jawab Kang Detol.
“Ssst...” Mas Imin menunjuk-nunjuk lantai di bawahnya.
Zia bersimpuh di dekat mereka. Katanya dengan mata berbinar dan setengah
berbisik, “Mas Imin jadi mau masuk Psikologi?”
“Nggak,” kata Mas Imin. Ia menyodorkan sepotong kecil karton pada Zia. Zia
membacanya. Tersenyum. Manis sekali, Zahra memberi semangat pada Mas Imin untuk
memasuki Fakultas Psikologi. Zia juga ingin diberi yang semacam ini di
penghujung kelas XII-nya nanti. Tapi oleh siapa? Membayangkan Zaha yang
melakukannya, Zia jadi merinding, meski Zaha akan melengkapinya dengan gambar
artistik sekalipun.
“Lucu, ya?” Zia menyerahkan lagi potongan karton itu pada Mas Imin. Ia
tidak menyangka bahwa Mas Imin benar-benar berhasil berbaikan dengan Zahra.
Padahal dulu mereka hampir tidak pernah berbicara satu sama lain. Kalau pun
iya, itu tidak bisa dikatakan komunikasi yang efektif. “Jadi Mas Imin mau masuk
ke Psikologi? Aku ngedukung-ngedukung aja loh, Mas.”
“Nggak.” Mas Imin ikut mengulangi jawabannya. “Makanya nggak ngerti, kok
Zahra tiba-tiba pingin saya masuk sana.”
Zia tidak akan bilang. Ketika Mas Imin akhirnya berhasil membuat Zahra
menginap di rumahnya, ia mempengaruhi Zahra sedemikian rupa agar Mas Imin tidak
masuk ITB, melainkan memilih jurusan lain yang lebih mengoptimalkan warbungnya.
Zia senang. Ia merasa menemukan kembali potensinya sebagai pengarang cerita.
“Trus emang kenapa kalo Mas masuk Psikologi? Inget loh, Mas, artikelku
yang masuk majalah semesteran itu, yang tentang pengembangan potensi, minat,
bakat, dan semacamnya itu,” sejenak Zia lupa kalau di ruangan itu juga ada Kang
Detol, “itu kan aku bikin dari obrolan kita yang kapan itu. Bukannya waktu itu
Mas penasaran banget ya, sama yang kayak gituan?”
“Ya... Banyak pertimbangannya lah, Zia...” ucap Mas Imin lembut. Zia jadi
tidak enak hati hendak menyerangnya lagi. Sudah berulang kali Mas Imin
memberitahunya. Hal perusahaan papanya yang di ambang ambruk, cita-cita
keluarga sejak lama agar ia masuk ITB, harapan akan kemapanan, konsekuensinya
sebagai sulung laki-laki, keharusannya untuk menjadi sosok yang bisa dicontoh
para adik, persiapan agar ia bisa segera mengambil alih tulang punggung keluarga,
hingga keinginannya untuk sesekali menyenangkan orang tua. Zia tidak bisa
memahami yang terakhir. Selama ini ia melakukan apa pun hanya untuk dirinya
sendiri. Sesekali ia coba mengenyahkan perasaan-perasaan buruk terhadap
orangtuanya, tetapi selalu berujung pada kesimpulan bahwa adalah kesalahan
orangtuanya hingga menghasilkan seseorang sepertinya. Zia jadi merasa dirinya
tidak kalah buruk dari keduanya.
“Mas Imin, Mas Imin kakak yang baik kok.” Zia tersenyum. Tidak peduli pada
pandang terpana kawan-kawan Mas Imin. Kang Detol menggoda-goda Mas Imin yang
bertahan dengan tampang bengong. Tapi tergurat senyum juga di sana.
“Nih, Zia, saya juga punya sesuatu buat kamu.”
Zia hampir saja mendekat, sebelum ngeh pada apa yang Mas Imin lakukan. Mas
Imin baru saja mengorek lubang hidungnya, dan telunjuk yang ia pakai mengorek
lantas didekatkan ke muka Zia. Sontak Zia berteriak, “Hwaaa... Dasar orang
aneh!”
Meledak tawa yang lain, kecuali Ardi, tentu saja. Ia lmemilih untuk tetap
terpaku pada dunia dalam PC. Kang Detol bangkit sembari mengorek lubang
hidungnya juga. “Saya juga mau ah!” Ia mengejar Zia yang menjerit-jerit sampai
lantai bawah. Barulah Ardi menoleh dengan mata terbuka lebar karena menyaksikan
apa yang terjadi. Zia menyelamatkan diri ke paviliun Kakek.
=====
Menemani Kakek menonton infotainment layaknya menonton Piala Dunia. Hampir
tak putus ia berkomentar, sembari mengusap berganti-ganti antara perut buncit
dan kepala botaknya.
“Ck. Cerai lagi...”
“...ah, itu mah udah jelas dia yang melakukan...”
“Wahaha... Udah nikah ternyata...”
“Hah, bohong... bohong...”
Zia menggaruk-garuk kepala. Rasanya sudah hampir mati bosan ia duduk di
samping Kakek. Sofa hitam yang ia duduki berkerenyit-kerenyit, tanda akan
perpindahan posisi duduknya. Gelas milkshake-nya sudah kosong sedari tadi.
Terpikir untuk mengajak Kakek bergitar, tapi Kakek tampak sedang asik sendiri.
Zia malas untuk mengganggu, kendati ia tak takut pada amarah Kakek jika ia
begitu. Kakek jarang memarahinya. Kalau pun Kakek sedang ingin memarahinya, maka
ia akan meminta Papa atau Mama yang melakukan untuknya. Jauh lebih menyeramkan
bagi Zia, Kakek tahu benar itu.
“Kakeeek...”
Zia menoleh ke belakang. Terlihat siluet tubuh Dean di balik jendela kaca
depan. “Ada Dean tuh, Kek.” Zia menoel lengan Kakek. Kakek kontan menoleh,
lagi, ke arah Dean. Teriaknya, “Heeei... Masuk aja!”
Zia terkesiap. Ganjil nian. Mengapa tiba-tiba ada hubungan di antara Kakek
dan Dean?
“Eh, ada Teh Zia! Udah lama nggak ketemu, Teh...”
“Hei,” sapa Zia, diliputi perasaan aneh. Seaneh perasaannya saat Dean dan
Salman memanggil Mas Imin dengan “Suryo” di ruang tengah lantai dua. Kepala Zia
berputar-putar, antara Dean dan Kakek. “Kok kalian bisa kenal sih?”
“Ya, kenalan atuh, Teh...” Dean mendekat untuk menyalami Kakek. Ia masih
bercelana abu, dengan atasan tertutup jumper gelap bermotif spiral ungu. Entah
di mana bocah itu menaruh ranselnya.
Kakek bergeser sedikir agar tersisa ruang cukup lega bagi Dean untuk duduk
di sampingnya. Kakek menepuk-nepukkan tangannya ke situ, menyuruh Dean mendudukinya.
“Sini, sini, Yan...” Dean menurut.
Tak lama Zia dalam kebingungan. Ia teringat akan suatu hal yang mengganjal
pikirannya semula. “Eh, tadi kamu dari sebelah nggak? Temen-temennya Mas Imin
masih ada?”
“Hah? Kayaknya tadi mereka pada baru mau pulang deh...” Bersamaan dengan
jawaban tersebut, terdengar deru motor dari arah sebelah paviliun. Zia beranjak
sembari mengambil gelas bekas milkshake.
“Oke, aku minggat dulu! Baik-baik ya kalian berdua!”
“Sip, coy!” Kakek mengacungkan jempol. Matanya mengiringi pergerakan tubuh
Zia.
“Hah, Kakek, nggak usah aneh-aneh dah!”
=====
Ruang tengah lantai dua tampak lengang. Karpet di tengah ruangan kusut di
beberapa bagian, tanda habis diduduki. Masih ada Ardi di pojokan, sedang
mengetik-ngetik sesuatu. Kamar Mas Imin ada di seberang. Pintunya terbuka.
Dalam perjalanan menuju sana, Zia mendapati ransel Dean tersampir di salah satu
sofa. Ya ampun, tu anak, udah kayak ini
rumahnya sendiri aja.. Mas Imin tidak ada di ruangannya. Zia kecele.
Padahal barusan ia melihat si Bambang ada di garasi. Mungkin Mas Imin ikut
pergi dengan teman-temannya naik motor. Tubuh Zia berbalik ke belakang. Ia
menatap Ardi. Seakan baru menangkap suatu sinyal panggilan, Ardi balas melihat
ke arah Zia. Ardi meminta Zia mendekat dengan isyarat tangan.
Zia menyeret bangku di samping meja PC—bangku yang biasa Tata duduki kala
menemani Ardi terjun ke dunia lain. Mereka saling berhadapan. Ardi mencopot
earphone-nya. Tubuh Ardi yang agak bungkuk, kepalanya semakin menunduk agar
matanya sejajar mata Zia. “Kamu pingin tahu apa yang Mas Imin sama
temen-temennya tadi omongin?”
Zia mengangguk. Ia balas menatap Ardi tajam. “Iya, aku penasaran banget.”
Selagi mengaduk milkshake tadi, Zia duduk di sofa lantai bawah, dekat
tangga. Tak sengaja ia mencuri cakap mereka, dan keterusan. Apa yang mereka
bicarakan, Zia kira, menggugah insting kewartawanannya—jika itu sungguh ada.
Mereka berbicara semakin pelan dan semakin pelan. Semakin pelan pada bagian
tertentu. Lalu biasa lagi. Memelan lagi sesekali. Duduk Zia semakin lama
semakin memberingsut ke arah tangga. Naik, naik, dan terus naik. Ya sudah,
sekalian saja ia memunculkan diri di lantai dua. Sayangnya, itu malah membuat
mereka mengalihkan topik pembicaraan.
“Kalau pun kamu nggak penasaran, aku tetep pingin ngasih tau kamu.”
“Iya, iyaa...” Zia memutar mata.
“Tadi kamu udah denger sampai mana?”
“Mmm...” Dahi Zia berkerut. “Aku nggak denger jelas, Di. Aku cuman denger
ada kata otak, UN, sistem, TO, wali kelas, semacam itulah. Aku pikir ada
kejadian apa gitu pas mereka UN kemarin. Yang nggak beres.”
“Emang ada.” Ardi menyeringai, tampak senang. “Mau dengar ceritanya?”
Zia mengangguk dengan penuh semangat.
“Jadi begini...”
Dua bulan sebelum pelaksanaan UN, di sebuah kelas XII di SMANSON, seorang
anak maju ke depan kelas. Ia menjelaskan suatu sistem yang telah menjadi
kesepakatan seluruh perwakilan dari kelas XII lainnya. Suatu sistem yang akan
dijalankan saat UN. Sistem yang mengajukan tiga anak dengan ranking terbesar di
setiap kelas untuk menjadi tumbal—kendati mereka menyebutnya “otak”. Disebut
otak, karena merekalah yang akan mengerjakan semua soal UN dengan
sebenar-benarnya untuk kemudian didistribusikan pada siapa yang mereka sebut
“otak pusat”. Si otak pusat akan memilah dan memilih jawaban yang benar untuk
didistribusikan lagi pada para otak di masing-masing kelas. Anak-anak yang
duduk di sekitar otak kelas kemudian bertanggung jawab untuk menyalin jawaban
si otak kelas. Mereka harus membiarkan jawaban mereka terlihat oleh anak-anak
lainnya lagi di sekitar mereka. Begitu seterusnya. Seperti jaring laba-laba,
bermula dari satu titik lalu menyebar ke segala arah hingga semua terjamah.
“Kenapa disebut otak? Aku jadi inget otak-otak nih,” cetus Zia.
Ardi mengangkat kedua tangan. “Nggak tau. Mereka nyebutnya gitu.”
“Trus kalo otak kelas itu yang tiga besar di kelas, otak pusatnya siapa?”
“Kalau nggak salah ya... juara umumnya gitu kali ya...” Ardi
menggaruk-garuk dagunya yang ditumbuhi beberapa helai rambut. Matanya
menerawang ke langit-langit.
“Eh, emang nggak bakal ketahuan ya yang kayak gituan?”
“Kalau pengawasnya nggak jujur sih, ya bisa aja.”
Zia diam saja, menunggu Ardi melanjutkan ceritanya.
“Nah, suatu kali, si Kang CP ngedatengin wali kelasnya, ngebocorin soal
sistem ini,” suara Ardi terdengar semakin lirih. “Dan wali kelasnya itu malah
nyaranin dia buat ngikutin aja.”
Mata Zia terbelalak. “Siapa wali kelasnya?!”
“Ssst...” Ardi mengangkat telunjuk ke depan mulut. “Nggak cuman wali kelas
dia aja. Kata Kang Detol, semua guru dipastikan tahu soal ini. Soalnya, pas simulasi
UN, diawasinnya sama guru-guru dari sekolah sendiri kan. Tapi, mereka ngebiarin
aja siswa-siswa ngesimulasiin sistem tadi.”
Zia membuang tatapannya ke lantai. Ia tak bisa membayangkan apa yang Ardi
ceritakan ini benar-benar terjadi. Ia merasa ngeri dengan semua yang
terlibat—orang-orang yang sangat mungkin ia kenal. “...busuk, busuk banget...”
“Kabarnya, si otak pusat itu ngedistribusiin jawaban ke SMA-SMA lain juga.
Dan nggak cuman si Kang CP aja yang kena. Semua yang ada di ruangan ini tadi,
mau nggak mau harus punya andil buat ngejalanin sistem tadi.”
Muka Zia berkerut. Ia tak percaya. Selama ini ia kira Mas Imin dan
kawan-kawannya adalah orang-orang lurus. “Kok mau-maunya sih?”
“Tadi aku kan bilang, mau-nggak-mau,” Ardi menegaskan. “Kang Hilman, dia
dipaksa temen-temennya buat jadi otak kelas. Untungnya Mas Imin nggak. Tapi
gara-gara dia kebagian duduknya di deket otak kelas, mau nggak mau dia harus
ikut ngebantuin buat nyebarin jawaban ke anak-anak lain. Kang Detol, karena dia
udah beberapa kali nggak lulus TO, sama wali kelasnya juga didesak buat ikutan
aja.” Ardi terdiam sejenak, sebelum melanjutkan, “kalau menolak, ya siap-siap
aja menerima perubahan sikap dari yang lain.”
Resah melumat wajah Zia. Matanya berkeliaran tak jelas arah. Desahnya, “Hah...
Ya ampun... Aku nggak percaya yang kayak gitu bener-bener terjadi di sebuah SMA
negeri di Bandung.” Zia menelan ludah. “Di SMA kita!?”
Ardi ikut-ikutan mendesah. “Yah... Begitulah... Seru kan jadi ide cerita?”
Seru, kalau sampai masuk surat kabar... pikir Zia. “Eh, Di. Emangnya mereka boleh ngasih tau yang
kayak gini ke orang lain?”
“Mestinya sih nggak...”
“Trus kok kamu tau sih?” Zia sebal. Ia saja tidak boleh tahu. Apa-apaan
sikap menghindar Mas Imin dan kawan-kawan tadi? Sampai menggusahnya pakai
serangan upil segala!
Ardi mengangkat kedua tangannya lagi. “Aku nggak tau. Mungkin kalo ke kamu
mah mereka males kali ngasih tau.”
Zia melotot. Bibirnya semakin mengerucut. “Berarti orang-orang juga udah
pada tau tentang ini dong?” Zia merasa bagai pertapa yang baru ke luar gua
setelah sekian abad berlalu.
“Ya nggaklah...” Ardi menarik tubuhnya, seakan menganggap ucapan Zia tadi
bodoh sekali. “Trus ngapain mereka ngomonginnya sembunyi-sembunyi tadi? Aku
pikir, karena mereka jadi korban aja kali, makanya mereka jadi suka ngomongin
ini.”
“Trus kenapa kamu boleh tau, aku nggak dikasih tau?” Iri, Zia jadi
mengandaikan dirinya sebagai saudara kandung Mas Imin lagi. Juga dikhianati, ia
kira selama ini ia sudah dianggap masuk ke dalam lingkaran pergaulan Mas Imin
dengan pasukan warbungnya.
“Tapi bisa juga karena mereka pikir aku nggak bakal berbuat apa-apa kali,”
Ardi mengajukan alasan yang ia pikir bisa menghibur Zia. Toh selama ini ia
memang tidak suka mencampuri urusan orang lain. Mas Imin tahu benar tabiatnya.
Kali ini Ardi mengangkat bahu. “Lagian semuanya juga udah berlalu.”
“Kenapa kamu nggak bakal berbuat apa-apa?!” sentak Zia. Ardi tidak jadi
memasang earphone-nya kembali. “Kamu tuh harus berbuat apa-apa!”
Ardi mengerutkan dahi. “Tapi aku emang nggak pingin berbuat apa-apa kok.
Lagian kejadiannya juga udah lewat kan? Mau diapain lagi?”
“Tapi... tapi itu tuh nggak bener, Di. Itu tuh curang! Kamu bisa bayangin
kalau itu besok kejadian di angkatan kita juga?!”
Ardi berlagak malas mendengar. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah PC
lagi. “Percaya sama diri sendiri ajalah...”
“Tapi kebenaran harus disampaikan...” Zia mendesah panjang, teringat akan
suatu malam di mana pengalaman spiritualnya melanda. “...meskipun mungkin kamu
pikir itu terlambat...” Mata Zia kembali berkeliaran tak jelas arah hingga
menemukan tubuh Ardi kembali. “Okelah, kalau kamu cuman sekedar mau ngasih tau
aku, trus kamu nggak mau berbuat apa-apa, tapi kamu ngasih tau aku, Ardi, kamu
mau aku berbuat apa-apa kan?”
Ardi membuka sedikit mulutnya. Sok berpikir. “...bisa dikatakan begitu?”
Zia menurunkan pundaknya. Tidak pernah benar-benar bisa efektif bicara
dengan Ardi ini. Ardi berkata lagi padanya, “Emangnya kamu mau apa-apa kayak
gimana?”
Zia tercenung. Ia larikan pikirannya sejenak pada gambaran langit biru dan
awan putih. Sesuatu yang melegakan. Burung camar. Samudra luas membentang. Es
kelapa muda. Sponge Bob. Dapat. “Itulah gunanya punya komunitas, Di.”
Ardi menoleh lagi. Zia melompat dari bangkunya. “Tunggu bentar! Jangan
kabur ke mana-mana!” Ardi mendengus. Tidak butuh waktu lama bagi Zia untuk
menyeret ranselnya ke lantai atas. Ia keluarkan notes dan pulpen. Dengan cepat
membalik halaman-halaman yang sudah terisi. Pangkal pulpen ia tekan. “Yang
namanya berita itu emang yang udah kejadian, Di. Ini bakal jadi kritik yang
bagus buat sekolah kita! Nah, Pak Ardian Yogaswara, saya Fauzia dari LEMPERs.
Bisakah Anda ulangi keterangan Anda tadi, lengkap dengan siapa bicara apa?”
Sebelah alis Ardi terangkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar