Minggu, 19 Desember 2010

dua puluh

(is this the real life? is this just fantasy? caught in the landslide, no escape from reality/ open your eyes, look up to the sky and see/ i’m just a poor boy, i need no sympathy/ because i’m easy come, easy go/ little high, little low/ any way the wind blows/ doesn’t really matter, to me/

too late, my time has come/ sends shivers down my spine, body’s aching all the time/ goodbye, ev’rybody, i’ve got to go/ gotta leave you all behind and face the truth/ mama, ooh i don’t want to die/ i sometimes wish i’d never been born at all/ queen – bohemian rhapsody)

.

Zia merasa harus membuat sesuatu. Suatu terjemah nan konkrit. Tidak boleh lagi ditunda-tunda. Ke lantai ruang tengah rumahnya sendiri, ia lemparkan kardus, setumpuk koran dan majalah, sampah-sampah anorganik yang sejak lama ia timbun di kamar, pernak-pernik kecil yang tak jelas apa kegunaannya, kertas dan spidol bermacam warna, dan seperangkat alat tulis lainnya. Membuat suatu visual yang sedap dijilat mata dan dapat diraba tangan, bukan hanya angan-angan. Yang besar. Yang akan mengingatkannya setiap kali ia menatap. Bukannya ia tak pernah membuat hal semacam, namun yang kali ini haruslah menjadi sesuatu yang benar-benar ia tuju.

Apa, ya?

Zia meraih remot. Ia mencari-cari channel pemutar rupa-rupa video klip. Syukur-syukur ada U2. Klik. Klik. Klik. Baiklah, seadanya saja. Ia hempaskan lagi tubuhnya ke lantai. Bersimpuh. Ia menyibak sebuah koran. Membaca headline demi headline, keterusan sampai kolom-kolom di bawahnya. Segera putus membaca begitu sadar bahwa apa yang ia cari bukan berita, melainkan pencerahan.

Kriminal. Lagi-lagi soal pembunuhan. Mutilasi, hm, hm. Apakah kerja forensik Indonesia macam yang Dr. Temperance Brennan dalam Bones lakukan? Zia mengikuti serial Bones, tapi ia tak yakin akan tahan harus menghadapi pelbagai rupa mayat setiap hari. Tayangan TV memang tidak menampilkan bau, tapi Zia dapat mengira-ngira apa yang harus Bones cs cium setiap hari. Baiklah, kalau begitu tidak mesti forensik tidak apa-apa.

Koran tersibak lagi. Kesehatan. Bagaimana kalau hanya sekedar menjadi dokter? Keren sekali rasanya kalau ia bisa jadi ahli diagnosis macam House. “Dokter Fauzia, bagaimana ini, kita kedatangan pasien berwarna oranye!”, “Ah, nggak usah panik... Paling gara-gara kebanyakan makan wortel...”—Zia malas membayangkan kalau dirinya malah jadi seperti para dokter caur di Scrubs. Ingatlah Zia bahwa ia menjauhi cita-cita dokter, bahkan sejak ia masih TK. Menurutnya, kata “dokter” telah menjadi jawaban wajib bagi anak-anak yang belum mengenal bahwa di dunia ada profesi lain selain dokter. Bagaimana kalau menjadi seperti Nurse Jackie? Perawat keren! Bahkan Indonesia pun sudah sejak dulu mencari perawat yang berdedikasi, lewat lagunya P Project. Ah, mengapa Zia harus memikirkan profesi yang tidak pernah ia minati—seakan ia tidak pernah punya minat lainnya saja!

Kembali ke beberapa halaman sebelumnya, pada foto presiden yang sedang berjabat tangan dengan duta besar dari negara lain. Bagaimana dengan menjadi diplomat, Zia? Bukankah cita-citamu ingin keliling dunia? Tapi bukan dengan begini caranya. Untuk apa ia berpindah-pindah negara kalau pada akhirnya sebagian besar waktunya hanya dihabiskan di ruangan tertutup? Ah, biar aja suamiku yang jadi diplomat, entar kan aku tinggal ngikutin dia! Dia kerja di kantornya, aku jalan-jalan! Juga mengingat kecenderungannya untuk menyakiti hati orang lain, Zia was-was ia malah akan jadi pemicu konflik internasional.

Zia menginginkan pekerjaan keliling dunia yang mengandung unsur petualangan. Seperti Angelina Jolie dalam Tomb Rider, atau Indiana Jones, Kara Ben Nemsi—Tintin! Tapi itu berarti ia harus menjadi wartawan. Zia sudah malas memikirkannya. Halaman koran ia sibakkan lagi. Ah, paus! Zia ingin memberi makan paus, mengelus-elus paus, bermain bersama paus—di samudra. Baiklah, Zia akan kembali mencanangkan cita-cita sebagai aktivis lingkungan hidup! Ia akan mulai tanya-tanya Acil dari sekarang. Tapi seorang aktivis lingkungan hidup tidak hanya mengurusi paus. Bagaimana dengan karbon dan rusaknya terumbu karang? Mata Zia meniti baris demi baris dalam artikel terkait. Wew. Apa yang artikel ini bicarakan? Mengapa tidak bisa seketika menempel di otaknya? Apa itu FSC? Apa itu flagship species? Apa itu Annex I? Apa ini? Apa itu? Aduh, ribet.

Zia menyeret bagian lain koran. Melewati halaman Bisnis—sebisa mungkin ia menjauhi angka-angka, itu mengingatkannya pada nilai-nilai ulangannya yang berakhir pada keputusan sepihak di rapot. Metropolitan. Bagaimana kalau menjadi perencana kota? Ah, ia tidak siap disindir-sindir pemerhati kota bersepeda seperti Salman. Langsung ke halaman belakang. Olahraga. Ia mempertimbangkan ucapan Mas Imin yang menyinggung kemungkinan potensinya di atletik. Tapi Zia menyukai kegiatan yang banyak berpikir. Sesuatu yang kontemplatif. Kalau tidak begitu, buat apa ia menulis puisi? Ia mungkin dapat melakukan kegiatan berpikir sembari mencatat rekor baru di lapangan, tapi, tapi, Zia merasa tidak menginginkan tubuh kekar dan latihan yang menyita waktu bermalas-malasannya.

Halaman demi halaman kembali ia sibak. Humaniora. Seni. Fotografi. Aduh... Ia ingin semua. “Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini, ingin itu, banyak sekali...” Ia malah bernyanyi. “Semua semua semua, dapat dikabulkan. Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib. Aku ingin bisa... apa ya?” Apakah kantong ajaib dapat mengabulkan keinginan yang belum jelas apa juntrungannya?

Sesungguhnya ia ingin untuk bisa melakukan banyak hal—apa pun. Tapi dengan kapasitasnya yang sekarang, Zia merasa itu tidak mungkin. Enam belas tahun hidupnya telah ia habiskan dengan lebih banyak penghiburan berupa membaca buku, mendengarkan musik, menonton TV, bergaya sendiri di depan cermin dengan baju-baju modis tahun 80-an milik Mama, jalan-jalan bersama kawan, dan lain-lain, yang mempersempit waktu pengasahan keterampilan khususnya macam... apa? Cul de sac. Zia malah terpikat dengan gambar-gambar memukau. Produk terbaru Starbucks. Mamalia lucu di rubrik Lingkungan. Close up pembalap MotoGP favoritnya. Karikatur yang ia penasaran apakah Zaha dapat membuat yang semacam itu. Cowok ganteng yang tertangkap lensa wartawan sewaktu sedang mengantri di busway. Oh, artikel tentang coklat ini menarik sekali! Wow, ada berita tentang Temper Trap juga di sini, tumben... Ia menggunting semua dan memutuskan untuk menempelkan itu di atas kardus. Tapi harus terlihat artistik. Ia memotong kardus menjadi beberapa bagian. Sepertinya bagus kalau ditempel dengan koran dulu, lalu HVS di atasnya. Atau sebaliknya. Atau dua-duanya. Ia ingin yang seatraktif neo tim mading LEMPERs buat. Bagaimana kalau pinggiran kardus ini dilubangi? Mungkin ia bisa menggambar sesuatu juga agar makin indah ...nya.

Zia tertegun. Kedua tangannya, masing-masing memegang gunting dan lem, tertahan di udara. Mengapa bukan sketsa peta hidup yang ia buat? Mengapa malah scrapbook setengah jadi yang ada di depan mata? Alih-alih ‘Life Map of Zia’, scrapbook-nya lebih tepat dijuduli ‘Interests of Zia’!

Zia merasa harus membubuhkan krayon. Tangannya kaku ternyata, kalau dipakai untuk menggambar dengan spidol.

Ia berlari ke atas. Di kamarnya, ia mencari-cari di mana ia menaruh krayon. Tak sengaja, beralih matanya ke arah kasur. Sampul sebuah novel tersembul dari gumpalan selimut. Dua pasang kaki berhadapan dengan tulisan ‘Lolita’ di bawahnya. Mendadak, ia jadi lebih ingin menamatkan novel tersebut ketimbang turun lagi ke bawah untuk meneruskan apa yang telah ia kerjakan.

=====

Jam berapa ini?! Zia tersentak. Sehabis menamatkan ‘Lolita’, ia tidak tahan untuk tidak mengistirahatkan diri, yang artinya, siap-siap saja untuk ketiduran. Lima belas menit menuju pukul delapan. Solat maghrib terlewat, hatinya mencelos. Lalu ia ingat pada pekerjaan yang ia tinggalkan di bawah. Malas bergulat dengan dorongan untuk menyelesaikan. Setelah mengangkat dan menurunkan kepala untuk beberapa kali lagi, Zia berguling dan melakukan pendaratan yang tak mulus di karpet. Ia mengacak-acak rambut sebelum dengan gerutu pelan meninggalkan kamar. Perjalanan yang diiringi dengan belasan kali menguap berakhir dengan terkejut. Semua spidolnya telah kembali masuk dalam kotak. Potongan kardus, koran, majalah, hasil guntingan, dan rupa-rupa kertas lain tertumpuk di depan buffet. Digantikan oleh tubuh Zaha dalam posisi miring menghadap TV. Zia tidak melihat di mana letak perkakas lainnya. Ia keburu mencari Asnah yang ia temukan di dapur. Harus berapa kali ia bilang pada mbak-mbak yang satu ini untuk tidak membereskan apa-apa yang ia perbuat? Asnah tak mengaku. Zaha yang melakukannya. Bahkan untuk sekedar menonton TV saja, ruang yang berantakan amat mengusiknya.

Dengan kesal, Zia menuju pada tumpukan di depan buffet. Pekerjaannya harus selesai malam ini juga, jadi mulai besok ia akan sudah punya arahan hidup! Ia tidak memedulikan kehadiran Zaha, sampai cewek itu berdecak keras. “Mau kamu berantakin lagi? Aku udah beresin tadi!”

“Suruh siapa ngeberesin?”

“Tadi tuh berantakan banget, tau nggak? Aku sampai nggak bisa jalan!”

“Ya kan nggak mesti disingkirin semuanya juga, kali!”

“Aduh, jangan diacak-acak lagi dong!“

“Ini kan punya aku! Rewel amat sih!”

“Ya udah, tapi kerjainnya di kamar sendiri aja...”

“Nggak. Aku maunya di sini. Minggir kamu!”

“Nggak, Zia! Yang berantakan di rumah ini cukup kamar kamu aja deh!”

Zia mengeluarkan desah tak sabar. Zaha tak mau menyerah begitu saja. Adu mulut meletus. Membangunkan sang naga dari malam santainya. Papa berhenti memetik gitar. Beberapa langkah menuju ruang tengah dan tanyanya, “Ada apa ini?”

“Itu, Pa, Zia mo ngeberantakin ruang tengah lagi, padahal aku kan udah beresin...”

“Iya, entar pasti aku beresin lagi kok! Nggak usah rewel ah!”

“Hah, ngomong aja bisa! Dilakuin nggak!”

“Mulai sekarang aku nggak bakal gitu lagi! Kenapa sih, kamu nggak biarin aku berkreasi aja?!”

“Ya udah, tapi nggak mesti di sini! Di kamar kamu sendiri aja, kenapa sih?”

“Ah, ya udah, ya udah, Zia kamu ngerjain di kamar kamu aja,” titah Papa, yang membuat Zia berang. Ia tidak mau dikalahkan begitu saja.

“Tapi tadi aku duluan yang di sini!” Zia berteriak. Zaha berteriak. Papa berteriak. Asnah cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingin lekas masuk kamar dan memfokuskan pikirannya pada acara request lagu di radio. Tangannya makin tangkas membilas gelas. Menggosok makin keras agar sabun hilang lekas. Air keran mengguyur deras. Ia menutup pendengarannya dengan benturan-benturan antara perabot yang sudah ia cuci dengan rak. Saat akhirnya ia berhasil masuk ke dalam kamar, masih didengarnya omelan Zaha.

“PAPA JUGA NIH, ABU ROKOK JATUH KE MANA-MANA!”

“MAKANYA PAPA TUH CEPET NIKAH LAGI, BIAR ADA YANG NGURUSIN!”

Pintu kamar Asnah tertutup. Ia tidak mendengar tamparan keras yang mengena di pipi Zia. Namun gelegar yang menyusul kemudian terlalu kuat untuk dapat ditahan dinding kayu.

“JAGA OMONGAN KAMU, ZIA!”

“EMANGNYA AKU BELAJAR NGOMONG GINI DARI SIAPA?!” Zia mengusap denyut pipinya dengan lengan. Ia tidak bisa mencegah agar panas itu tidak sampai merambati seluruh muka, kepala, leher, hingga tubuhnya. Dan sekarang mulutnya terasa asin. Tapi ia tidak ingin lari ke kamar mandi untuk melepehnya, ia menelannya. “PAPA JAHAT! MALAM INI AKU NGGAK TIDUR DI RUMAH!”

Dilewatinya Zaha yang baru menurunkan tangan dari mulut. Zia tahu barang-barang apa saja yang harus ia ambil di kamar. Ransel. Ponsel. Dompet. Pakaian dalam seraupnya. Notes, itu wajib, pulpennya jangan sampai lupa. Buku bacaan—apa saja. Rajutan, ah, mana sempat ia merajut nanti, mentang-mentang ia hendak ke rumah Tata. Ia akan menangis histeris sepanjang malam. Kini ia menanti datangnya momentum untuk itu. Sudah bergelora gejolak dalam dadanya. Nafasnya menggebu-gebu. Terus, hingga ia melewati dua orang itu lagi yang masih dalam posisi semula. Papa mencekal pergelangan tangannya. “Heh, mau ke mana kamu?”

Zia berusaha cengkeraman kokoh itu. Dengan satu tangan tidak berhasil. Dua tangan kalau begitu. “Nginep di rumah Tata aja kok. Ih.. Lepasin! Lepasin!” Zia memukuli sekuat mungkin. Akhirnya bebas juga tangannya. Terasa panas dan perih. Cepat-cepat ia menurunkan ransel, mencari notes dan pulpen, merobek selembar notesnya, dan mengguratkan nomor telepon rumah Tata di situ. “Nih, kalau nggak percaya! Telepon aja setengah jam lagi!” Dengan kasar Zia mencampakkan robekan kertas tersebut. Cepat-cepat ia melangkah ke teras, memasukkan kakinya ke dalam sandal jepit—hanya itu alas kaki yang ia temukan, dan berlari sekencang mungkin menuju pangkalan ojeg, seakan-akan tinggal sepuluh menit yang tersisa sebelum gerbang SMANSON ditutup. Meninggalkan suara keras yang memanggil-manggil namanya. Menepis khilaf akan betapa berantakannya rumah di malam Mama meninggal—Zaha tak bisa hidup tak rapi sejak itu.

=====

Alunan ayat-ayat Quran menelusup masuk ke dalam rongga telinga. Namun Zia tak bisa tenang. Tidak, sampai Tata ke luar dari rumahnya. Zia sudah mengsms sedari ia menaiki angkot, dengan kata-kata yang menggambarkan kondisi jiwanya yang mengenaskan. Ia bertengkar hebat dengan keluarganya. Ia tidak akan pulang ke rumahnya. Ia tidak tahu lagi harus ke mana. Sms balasan dari Tata datang dengan cepat, menyuruh Zia untuk menenangkan diri di rumahnya. Taktik Zia berhasil. Tapi gara-gara itu Tata tidak bilang sedang ada pengajian di rumahnya. Ganjil benar ada pengajian di malam Rabu, biasanya kan malam Minggu!

Zia menyembunyikan diri dari orang-orang di balik gang terdekat dari rumah Tata. Sudah beberapa kali ia men-dial nomor ponsel Tata. Ia juga sudah mengirim sms yang memberitahukan di mana ia berada kini. Rasanya tidak sopan kalau begitu saja masuk ke dalam rumah Tata—meskipun itu yang biasa dilakukannya, ada pengajian pula! Ia ingin Tata yang menggiringnya masuk. Tapi sedari tadi nomor Tata sibuk terus. Pasti sedang telepon-teleponan dengan Ardi!

Zia menghela nafas. Bisa-bisa jadinya ia malah menginap di luar malam ini. Di sini, di balik gang ini, di mana baru saja ia harus memepetkan tubuh ke dinding karena ada orang hendak lewat di depannya, di mana tercium anyir solokan sisa hujan sesorean. “Tata...” rengek Zia pelan. Berharap segera muncul sms Tata yang menyatakan bahwa ia sedang menuju Zia. Atau tahu-tahu saja sosoknya muncul di muka gang. Menghambur-peluknya.

“Ya ampun, Zia, kamu kenapa sih, Say?”

Terhirup bau tubuh Tata. Dalam dekapan Tata, Zia berkata tersendat. “Lagi sedih aja, Tat...”

“Ya udah, masuk dulu yuk. Ceritanya di atas aja...”

Hhh, dari tadi kek! gerutu Zia dalam hati. Zia menunduk sedalam mungkin selama Tata menggamitnya melewati lingkaran pengajian. Kata Tata, memang setiap malam Rabu ada acara belajar tartil di rumahnya. Di kamar Tata, Zia menghempaskan pantat ke atas kasur. Sudah lama rasanya sejak ia terakhir kali terlelap di sana.

“Mau minum apa, Neng?” tegur Tata pada sosok muram Zia.

“Terserah, deh, Tat.” Mulut Zia lekas terkatup rapat lagi. Ia tidak ingin minum. Ia hanya ingin lekas membenamkan diri dalam pelukan Tata lagi. Menumpahkan air mata, air hidung, dan air mulut sejadi-jadinya. Melampiaskan apa yang menyesaki dada sehisteris-histerisnya. Sampai lelah. Sampai mengantuk. Sampai tidur. Sampai besok pagi.

Namun ketika Tata sudah kembali dengan dua gelas susu coklat hangat, duduk di hadapan Zia, dan siap menadahi segala rupa curahan hati, lidah Zia seakan kelu. Ia tidak menemukan kata apa pun dalam kepalanya untuk disampaikan lidah. Jadi ia biarkan hawa nafsunya yang bicara. “Kamu kelamaan sih, Tat, jadi aja aku nggak pingin nangis lagi!”

“Ya maaf, atuh, Zia...” rengek Tata. Mungkin Zia hanya minta dipeluk, ia melakukannya. “Kenapa kamu teh? Berantem lagi sama papa kamu? Atau adik kamu? Atau keingetan sama mama kamu?”

“Nggak, Tata. Urusan sama mama aku mah udah selesai. Udah nggak usah dibahas-bahas lagilah...” keluh Zia lesu. Menikmati hangat Tata di tubuhnya. Hanya Tata temannya yang suka main peluk begini. Hal yang tidak pernah mamanya sendiri lakukan untuknya. Bagus, kini serasa ada gelombang panas menjalari bagian dalam wajahnya, asalnya dari dada. Zia berharap air matanya akan lekas membuncah setelah itu. Atau setitik saja. Tidak ada. Gelombang panas itu tidak sampai ke mata. “Aku nggak bisa nangis, Tata, hwaaaaa....”

Yang bisa Zia lakukan hanya menirukan suara orang menangis, berharap dengan itu kelenjar air matanya sudi berkompromi. Tapi tak kunjung ada basah di mukanya. Jadi ia biarkan saja Tata memeluknya sampai ia merasa jenuh. Tata mengusap punggungnya. “Ya udah, nggak apa-apa. Nggak usah dipaksa kalau nggak bisa nangis mah... Atau mau cerita aja?”

“...nggak...” kata Zia muram, melepaskan pelukan Tata. Mukanya masih berkerut dalam upaya menghasilkan genangan air di pelupuk mata. “Maaf ya, Tat. Aku udah gangguin kamu malem-malem gini. Jadi nggak enak sama keluarga kamu.”

“Ah, ya udah, nggak apa-apa. Yang penting kamu tenang dulu.”

Zia berusaha tersenyum. Hanya pada Tata ia tidak sungkan untuk bercerita tentang keluarganya. Inilah mengapa ia selalu menjadikan Tata persinggahannya kala sendu, meski sejak SMA ia harus membaginya dengan Ardi. Ia jadi tidak ingin memberi banyak kalimat untuk Tata, selain informasi terbatas dengan intonasi datar khas penyiar berita, “Aku berantem sama Papa, sama Zaha. Trus aku ditampar Papa.” Baru juga bulan keempat, ia sudah harus mencoret satu poin dalam resolusinya tahun ini. Tidak lagi ditampar Papa.

Kendati sudah beberapa kali mendengar berita semacam, Tata tetap tercekat. Ia memeluk Zia sekali lagi. Zia lekas melepaskannya. Mendadak ia merasa lelah sekali. Mungkin karena tidur sesorean, kepalanya jadi berat begini. Ia jadi ingin melelapkan diri lagi. Setelah susu coklat bagiannya, berbaringlah Zia di atas kasur Tata. Tata paham untuk tak mengusiknya lagi. Lagipula ia hendak meneruskan obrolan malamnya dengan Ardi—setelah terputus karena ngeh ada sms dan panggilan masuk sedari tadi.

“Jangan bilang apa-apa sama Ardi lo, Tat!”

“Iya, Sayangku... Udah tidur aja kamu...”

Semula Zia pikir kantuknya jadi hilang setelah memperingatkan Tata tadi. Jadi ada hal-hal yang ingin ia pikirkan lagi. Seperti apakah Papa akan memanfaatkan nomor telepon yang ia campakkan untuknya tadi itu. Seingat Zia, ia belum mendengar dering telepon semenjak menginjakkan kaki di rumah Tata. Cakap Tata ia potong untuk pertanyaan apakah sebelum kedatangannya telepon rumah Tata sempat berdering. Tata bilang tidak. Zia mendumel dalam hati. Betapa tidak perhatiannya Papa. Buat apa juga tadi ia sampai memberikan nomor telepon rumah Tata? Konyol sekali jadinya, mau kabur tapi bilang-bilang hendak ke mana! Dan memangnya Papa kenal Tata? Bertemu saja belum pernah! Zia merasa bodoh sekali.

Dalam sisa kesadarannya, Zia menanti-nanti dering telepon, berharap itu dari Papa yang memastikan keberadaannya di rumah Tata. Tapi hanya alunan ayat-ayat Quran yang kemudian jadi pengantar tidurnya. Samar-samar cakap Tata di telepon pun tak terdengar lagi. Berganti jadi kosong dan dalam. Terhunjam ke bawah sadar dan terendam.

“DASAR ANAK MALAS! MAU DIBANGUNIN TERUS SAMPAI KAPAN, HAH?!”

Zia terperanjat. Kontan ia membuka mata dan menarik diri ke belakang. Setelah larut ke dalam alam yang menyenyakkan, lalu direnggut paksa menuju kesadaran, kini dadanya berdebar kencang sekali. Semakin ia merapat pada dinding. Menjauhi sosok Mama, matanya yang nyalang, raut wajahnya yang mengancam. Ya ampun, ternyata Mama masih hidup! Mengapa selama ini ia pikir Mama sudah tiada?

“Iya, Mama, aku udah bangun!” Zia menutupi muka dengan lengan, takut kalau Mama tahu-tahu menghantamnya dengan telapak tangan.

“KAPAN KAMU MAU MULAI BANGUN SENDIRI?!”

Nafas Zia kian memburu. Takut menyerangnya. Sudah lama sekali rasanya kejadian macam ini tidak ia alami, lalu tahu-tahu saja menyambanginya kembali.

“Iya, Mama, mulai sekarang aku bangun sendiri!” jerit Zia. Ia menutup matanya kuat-kuat, sepertinya telapak tangan itu hendak melayang ke arahnya. Andai saja dirinya bisa bersatu dengan bidang dingin di belakang punggungnya. Dan ia tersentak.

=====

Zia kira ia baru saja berlari sprint dari rumah ke sekolah. Ia tak bisa berhenti tersengal untuk beberapa lama, dengan mata yang terbuka lebar. Menatap pintu berwarna hijau toska beberapa meter di hadapannya—bukan pintu kamarnya. Tirai berwarna senada beberapa meter di sampingnya—tidak ada yang seperti itu di kamarnya. Dan dengkur halus Tata mengisi ruangan. Mata Zia terpaku pada enam titik menuju angka empat. Ia meneguk ludahnya berkali-kali, terasa kering tenggorokannya. Ia menggoncang-goncang pelan tubuh Tata. “Ta! Tata! Bangun!”

Tata melenguh. Ia menggeliat sebelum bangkit dengan mata setengah terkatup. “Apa... Zia..?”

“Temenin aku wudhu dong, aku belum solat isya sama maghrib!”

Tata mengucek-ngucek mata. Ia mendahului Zia membuka pintu, menuruni tangga, mengantarnya hingga depan pintu kamar mandi. Zia menunaikan apa yang harus ia lakukan dengan cepat. Sudah tak sabar ia memasuki hawa hangat kamar Tata lagi, meminjam mukena Tata, dan menunaikan kewajiban yang tertinggalkan. Perasaannya jadi sedikit lebih tenang sesudah itu. Usai mengusap muka dengan kedua belah tangan—berdoa untuk ketenangan arwah Mama—ia lihat Tata sedang berguling pelan di atas kasur. Dasar kebo, batin Zia. Ia merasa tak ingin menyusul Tata ke alam mimpi lagi. Sudah cukup yang tadi itu. Baru sekali ia memimpikan Mama sejak Mama meninggal. Langsung ke adegan seram pula. Pikiran Zia jadi resah lagi. Ia mencomot Quran dari atas rak di sampingnya.

Teringat pada suatu malamnya di rumah Kakek. Zia mendapati Mas Imin masih duduk di musola. Berbaju koko dan sarung, mengaji. Di bawah pendar lampu yang hanya menerangi sebidang persegi panjang kecil itu, Zia duduk di tepi. Mengamati sampai Mas Imin menghentikan bacaannya di waqaf.

“Mentang-mentang besok udah mau UN aja, jadi soleh.”

Mas Imin mendengus. Hendak melanjutkan lagi bacaannya, namun ngeh bahwa ia tidak bisa begitu saja mengacuhkan Zia. Ia mengangkat muka dan bertanya dalam mimik.

“Waktu aku bilang aku udah punya peta hidup, aku bukannya boong lo, Mas,” jawab Zia. “Aku bukannya nggak punya keinginan sama sekali buat jadi apa. Banyak yang kupinginin. Itu seperti punya peta, tapi nggak tau mau ke mana. Nggak guna deh petanya.”

“Makanya, belilah peta yang dilengkapi dengan legenda, kode pos, dan arah mata angin.”

Zia menjulurkan lidah. Mas Imin mendengus lagi. Ia kembali menatap Quran bersampul emas di tangannya, yang kemudian ia sodorkan pada Zia. “Mungkin yang kamu cari ada di sini.”

Itu tersimpan jauh di lubuk benak Zia sampai detik ini. Sampai detik di mana dorongan itu begitu kuat untuk membuatnya membuka buku yang paling jarang ia jamah—padahal hobinya membaca buku. Di mana ia menemukan rentetan kata-kata untuknya, dari Penciptanya, yang ia baca sepenggal-sepenggal, secara acak. Dari halaman satu ke halaman lainnya. Kembali ke halaman yang mula. Dari mulai ‘tunjukanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” hingga “...mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”

“...kebenaran...” Zia menggumam pelan. Tercenung. Mendadak ia merasa ingin menulis sesuatu. Ia menggapai ransel, mengeluarkan notes dan pulpen, menggurat beberapa kalimat. Ia bubuhkan tanda silang besar di atasnya. Halaman lain notes ia buka. Ia torehkan lagi beberapa kalimat. Kali ini puting beliung yang menimpa. Halaman baru, kalimat, dan kalimat. Azan subuh menghiasi lanskap suara. “Al Falaq,” gumam Zia. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Kembali menulis dan berhenti lebih cepat dari sang muadzin. Masih ada wudhu-nya. Langsung ia menunaikan solat subuh. Dan bengong. Ia baru menyadari bahwa hari yang baru telah berganti, dan itu bukanlah hari Sabtu atau Minggu. Ia tidak sedang berada di rumahnya sendiri, dan ia tidak membawa seragam sekolah. Terpikir untuk bolos saja.

Ah, bolos sekolah, hanya untuk siswa labil! Padahal salah satu isi resolusi Zia adalah meminimalisir kelabilan. Zia baru ngeh bahwa ia telah menjadikan itu bagian dari resolusi. Dan ia tidak ingin mencoret poin dalam resolusinya lagi, ini kan baru awal bulan keempat.

Zia membangunkan Tata lagi, yang terkesiap karena azan subuh telah lewat. Padahal Tata yakin ia biasa bangun lebih pagi dari sang muadzin. Lebih kaget lagi ia karena tahu-tahu Zia ingin pulang.

“Udah, pinjem baju aku aja!”

“Eh, nggak ah...” sergah Zia. Tata kan berjilbab. Atasannya lengan panjang. Bawahannya rok panjang. Dan hari ini tidak ada mata pelajaran PAI. Dan Zia merasa aneh kalau ia berjilbab hanya untuk hari ini. Itu juga merupakan tindakan labil. Zia mengibas pikiran untuk berjilbab tidak hanya di hari ini saja, tapi juga memantapkan diri untuk seterusnya. Zia menemukan alasan lain yang lebih menguatkan, “Aku juga nggak bawa buku pelajaran, Tat. Masak aku mau pinjem punya kamu juga? Aku juga cuman pake sendal jepit ke sini.”

“Sarapan dulu, nggak?” tanya Tata untuk ke sekian kali saat mengantar Zia sampai pagar rumah, membelakangi keheranan orangtuanya. Sudah mendadak datang malam-malam hanya untuk menumpang tidur, sudah hendak pergi lagi padahal hari masih juga gelap. Orangtua Tata dipaksa maklum bahwa teman Tata yang satu itu adalah seorang Zia—dengan segala cerita Tata mengenai latar belakang dan polahnya.

Zia menolak. Setelah mengucapkan terima kasih, lekas ia berlalu. Angkot-angkot masih kosong pada jam segini. Zia berharap mereka tidak mengetem terlalu lama. Nanti hari keburu terang. Nanti ia tidak keburu sampai sekolah tepat waktu.

Sudah ada semburat oranye pada cakrawala kala Zia sampai di teras rumahnya. Rumahnya tak berpagar, jadi halangan fisik pertama yang ia temui untuk menuju kamarnya adalah pintu depan. Iseng ia putar knop pintu sebelum memencet bel, siapa tahu saja sudah terbuka. Asnah mestinya sudah bangun jam segini.

Terbuka.

Zia merasa panas dingin saat Papa menjadi sosok yang pertama kali ia temui di rumah hari ini. Duduk di salah satu sofa ruang tamu, menatapnya, menghampirinya. Tampangnya galak—tapi memang sudah dari dulu begitu. Zia berusaha tidak terlihat gentar.

“Dari mana kamu?”

“Kan semalem aku udah bilang, ke rumah Tata! Papa tuh nggak pernah dengerin aku.”

“Udah, nggak usah nginep-nginep lagi. Kayak yang nggak punya rumah aja.”

Zia bertekad akan menginap setidaknya sekali seminggu di rumah orang lain, entah rumah Kakek, rumah Tata, atau rumah teman-temannya yang lain. Justru karena Papa tidak pernah melarangnya merokok, Zia berprinsip untuk tidak pernah merokok seumur hidup.

 “...maaf...” ucap Zia, amat pelannya sampai ia tak yakin Papa akan dengar. Ia melanjutkan langkah-langkahnya menuju kamar. Rona gelap di kantung mata Papa, ceceran abu dan  tumpukan puntung rokok di meja ruang tamu—Zia berusaha mengusir pemandangan itu dari dalam kepalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain