Refleks Zia berjengit kala menyaksikan
Kang Hilman memiting tubuh Mas Imin sedemikian rupa. Mas Imin tidak bisa
bergerak sama sekali dan sudah sedari tadi ia mengaduh-aduh. Asisten pelatih
masih menyuruh Kang Hilman untuk mencari satu titik kelemahan lagi. Kang Detol
menertawakan kengerian Zia dari kejauhan.
“Yak! Di situ!” sahut asisten pelatih.
Mas Imin berteriak sekencang mungkin dengan sebelah tangan memukul-mukul lantai
semen.
“Argh. Besok gantianlah, Kang. Jangan
saya terus yang jadi korban. Kalau pun saya jadi korban, jangan sama si
Hilman,” keluh Mas Imin pada asisten pelatih seusai Kang Hilman membebaskannya
dari pitingan maut. Mas Imin belum berhenti memijat-mijat pundaknya. Beberapa
anggota ekskul yang cewek masih ramai mencela-celanya.
Mengamati penutupan latihan ekskul PATIN
untuk petang tersebut dari tepi lapangan, Zia tidak habis pikir mengapa latihan
mereka harus sampai sekeras itu. Hanya menonton pemanasannya saja Zia sudah
merasa capek. Tidak cukup hanya dengan meregangkan tubuh, pemanasan mereka pun
diisi dengan lari bolak-balik puluhan kali, roll depan, roll belakang, jalan
kayang, dan semacamnya dari ujung satu ke ujung lain lapangan. Mas Imin yakin,
stamina Zia pun mencukupi untuk melakukan semua itu—secara Zia biasa lari
sprint hampir setiap pagi. Namun Zia berkata ia mampu begitu hanya karena ia
kepepet. Dan rasanya sudah terlambat kalau ia ingin menekuni bidang atletik.
Bukan minatnya pula.
Selepas mengucap salam PATIN
bersama-sama, akhirnya Mas Imin menghampirinya juga. Zia menyeret tubuhnya
sedikit menjauh. “Jangan deket-deket ah. Bau kesang!” Dibilangi begitu, semakin
kumat keusilan Mas Imin untuk mengkontaminasi ranah penciuman Zia. Beberapa
orang memanggil Mas Imin untuk jalan bersama ke kandang mereka. Anggota PATIN
menyebut sekretariat mereka sebagai “kandang.” Zia beranjak mengikuti Mas Imin
yang berbaur lagi bersama mereka. Sengaja ia menunggui Mas Imin sedari tadi.
Mumpung Mas Imin membawa si Bambang ke sekolah karena hendak lanjut bermalam di
rumah temannya, sekalian saja Zia menghemat ongkos pulang.
Rombongan tersebut melewati sebuah kelas
di mana bahana ragam suara yang mereka dengar selama latihan tertangkap semakin
jelas. Mas Imin mendekat ke salah satu kusen jendela lalu menopang kedua belah
lengannya di sana. Zia menyusul. Di balik kusen tersebut, dilihatnya anak-anak
ekskul vocal group alias VG membentuk kelompok-kelompok kecil. Ada juga yang
berupa barisan. Mas Imin menunjuk seseorang di salah satu barisan. “Tuh, si
Salman,” katanya.
“Mana? Mana?” oceh Zia sampai ia
menemukan sosok yang dicari. Sembari menonton usaha Salman meninggikan nada
suaranya, Mas Imin menceritakan antusiasme Salman dalam mengembangkan wahana
terselubungnya. Warbung, begitu Mas Imin menyingkatnya. Istilah yang tak jarang
disebut-sebut pasukan khususnya pula, namun Zia tidak sampai ikut latah
menggunakannya. Mungkin karena ia belum mendapat keyakinan pasti akan apa
warbung sejatinya.
Lanjut Mas Imin, “Dia semangat banget
loh, Zia. Katanya, dia diapresiasi baik banget pas konsernya KOMBAS kemarin
itu. Cuman katanya dia belum minat nge-band, pingin ikutan VG aja.”
Zia mengangguk-angguk. Ia sudah mendapat
keterangan tersebut sewaktu mewawancarai Salman pada malam buta demi
kelengkapan artikel madingnya. Seandainya saja ia punya bakat seperti Salman,
ia tidak akan menampik tawaran untuk membentuk band. Perhatian Zia tersita
sejenak oleh lengkingan tinggi yang ke luar dari mulut seorang cowok berjambul
di sebelah Salman.
“Kamu gimana, Zia?”
“Hah, tau ah. Nggak mau mikirin itu
lagi.” ucap Zia jemu.
“Loh, kenapa?” Nada terkejut dalam suara
Mas Imin.
Zia tidak menjawab. Ia malas mengungkit
kembali rentetan kegagalannya. Ia malas mendengar kata-kata motivasi dari Mas
Imin yang kiranya, dalam kondisinya yang tengah demikian, malah akan semakin
mengiritasinya. Sebelum Mas Imin mengintervensinya dengan saran untuk
menghadiri training motivasi MLM lagi—kegemaran Mas Imin dan pasukan khususnya,
semata untuk mendapatkan motivasi belaka,
bukannya berminat dengan MLM bersangkutan—Zia buru-buru menukas, “Mas
Imin sendiri gimana?”
“Apa?”
“Warbungnya Mas Imin? Aku tuh udah…”
akhirnya Zia ungkit juga apa-apa yang tadinya sudah ia tidak ingin ia gali-gali
lagi dalam ingatan, sebelum kemudian ia ingat bahwa warbung Mas Imin adalah
mengurusi warbung orang lain. Menangkap nyamuk dengan dua jari saja,
sebagaimana Ardi punya keahlian, Mas Imin tidak lihai. Namun Zia terus bicara,
tidak mengindahkan klarifikasi Mas Imin. Pungkasnya untuk mengingatkan apa yang
jadi pikiran Mas Imin saat baru masuk SMA, “Jadinya Mas Imin mau nerusin ke
mana sih entar kuliahnya?”
“Orangtua sih dari dulu pinginnya saya
masuk ITB.”
“Ah, cita-cita pasaran tuh, Mas! Mas
Imin tuh cocoknya kuliah yang ada hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat.
Ngurusin orang lain, bukannya ngurusin benda-benda mati kayak beton, mesin,
integral pangkat tiga, dan lain-lainnya itu. Kan Mas Imin sendiri yang bilang,
orang sering kali takut buat ngembangin warbungnya, jadi aja mereka lebih milih
buat ngikutin persepsi publik buat cari aman.”
“Ah, masak sih saya pernah ngomong
gitu?”
Melihat kerutan di dahi Mas Imin, Zia
jadi memikirkan lagi apakah yang barusan ia katakan itu murni opininya,
campuran dari opini Mas Imin yang ia modifikasi, atau memang Mas Imin pernah
berkata begitu namun kini lupa atau menyangkal. Namun Zia yang sedang tak ingin
mengalah menemukan selintas ingatan yang jadi penguat argumennya. “Iya! Yang
waktu itu Mas Imin bilang, ‘Tuh, kayak si Zaha tuh, berani mutusin nggak ikut
jalur formal…’ Trus ngapain Mas Imin ngikutin Mario Teguh tiap minggu?”
“Yee… Itu mah tontotan favorit setiap
orang!” Mas Imin kelihatan tambah bingung. Zia berdecak. “Ah, ya udahlah…” Zia
terdiam sebentar, hendak mencari topik lain. Yang ia temukan dalam pikirannya
lagi-lagi Zahra. “Gimana kabar si Zahra, Mas?”
“Mm… Kemarin… Saya ketuker manggil nama
dia sama nama kamu. Trus dia ngambek deh,” sahut Mas Imin ringan.
“Ah, nggak heran.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar