Minggu, 05 Desember 2010

sepuluh

(she’s got a smile that it seems to me/ reminds me of childhood memories/ where everything was a fresh as a bright blue sky/ now and then when i see her face/ she takes me away to that special place/ and if i stared too long/ i’d probably break down and cry/ whoa oh, sweet child o’ mine/ whoa, oh, oh, oh, sweet child o’ mine/ guns ‘n roses – sweet child o’ mine)

.

Bermula dari rebutan remot TV dengan Zaha. Lagi-lagi Zia harus mengalah. Ia harus puas dengan saluran TV nasional di kamar Papa. Untung saja ia sudah terbiasa dengan itu di tempat tinggal Mas Imin, Kakek, mau pun teman-temannya. Sudah begitu, Papa sedang main gitar di sana pula. Papa tidak lantas melarangnya menonton di ruangan yang sama, namun Zia tahu diri untuk mengecilkan volume TV. Jadi alih-alih mendengar dengung yang hanya sesekali dapat diterjemahkan jadi kata-kata, telinga Zia lebih memilih untuk menangkap dentingan gitar Papa. Starry, starry night. Zia teringat akan sejarah di balik pembuatan lagu tersebut yang ia pernah baca wikipedia. “Vincent” atau “Starry, starry night” adalah sebuah kisah tentang seorang Vincent van Gogh. Ia tidak dikenali sebagai seniman sampai kematiannya. Selama itu, keluarganya yang kaya tidak pernah dapat menerima dan memahaminya. Dan Van Gogh pun bunuh diri. Zia merasa sedih setiap kali mendengar lagu tersebut. Ia jadi teringat nasibnya. Meski tidak ada yang dapat benar-benar mengakomodir wahana terselubungnya, setidaknya ia masih mengingat Penciptanya lima kali sehari.

Tertidur dalam sendu, terbangun dengan suara memekakkan telinga. Beginilah jadinya kalau tidur di kamar Papa pada akhir minggu. Sendu yang sempat lenyap dikubur mimpi, direnggut kembali ke permukaan. Vokalis Rolling Stones berteriak padanya melalui speaker tape, “YOU CAN’T ALWAYS GET WHAT YOU WANT.” Zia menukas dengan sebal, “iya, tahu,” sebelum kemudian membenamkan lagi kepalanya ke dalam bantal. Papa menarik kesadarannya kembali dengan tepukan pelan di betis. “Us, bangun, Us. Jalan pagi.”

Zia membenamkan erangan penolakannya makin dalam.

“Jangan males kamu. Ayo, biar nggak gampang sakit.”

“Aku emang males kok. Nggak berguna. Nggak bisa apa-apa.” Tidak ada salahnya sesekali membenarkan perkataan orangtua.

“Heh, jangan ngomong gitu…” Papa menepuk betis Zia sekali lagi, lalu terdengar langkahnya di atas ubin. Menjauh. Berteriak, “As, ayo, As!”

Zia mengangkat mukanya dengan suntuk. Ternyata benar apa yang sekilas dirasanya tadi. Matahari sudah muncul. Ia belum solat subuh. Apa boleh buat. Mau tak mau ia harus bangun. Dan kalau sudah begitu, susah lagi mencari alasan untuk menghindarkan diri dari jalan pagi.

Jalan pagi hanyalah satu perubahan terbaru dalam hidup Papa sepeninggalan Mama. Lainnya adalah mengonsumsi semakin banyak tembakau, pindah ke perumahan baru dengan ruang terbuka hijau yang lebih luas, dan mengganti Kijang kotak biru dongkernya dengan Ceria. Zia tidak tahu apakah mengganti merk mobil memang dapat mempengaruhi suasana hati secara signifikan. Kijang Papa kini sudah berubah warna jadi setengah biru langit dan setengah masih dalam pengamplasan dengan kepemilikan beralih pada Mas Imin. Mas Imin tahunya Kijang tersebut adalah kado ulang tahun ketujuhbelas dari Kakek untuknya.

Dengan mata setengah terkatup, Zia mengekor ke manapun Papa dan Zaha menuju. Papa boleh berhasil membuatnya jalan pagi, tapi ia tidak bisa memaksa Zia mengganti piama belelnya dengan training. Papa menyerah dan kembali pada ketidakpeduliannya. Zaha pun menjaga jarak dari Zia selama perjalanan. Begitu sampai di taman komplek, Zaha langsung mencari spot di mana ia bisa duduk dan mengisi waktu dengan membuat sketsa. Zia terhenyak karena ia tidak terpikir sama sekali untuk juga membawa sesuatu. Hanya ada selembar goceng dalam saku piama. Bergabung meregangkan diri di tengah taman bersama Papa pun, mendadak Zia merasa pakaiannya tidak pantas untuk itu. Percaya bahwa dirinya tidak kalah kreatif dari Zaha, Zia terilhami untuk mengakses internet di warung game online 24 jam terdekat.

“Entar kalau dicariin Papa, kasih tau ya! Awas kalau nggak! Aku mau ke Oasis!” pesan Zia pada adiknya.

“Emangnya kenapa kalau nggak?”

“Pokoknya awas kalau nggak!”

Zia malas berdebat pagi-pagi dengan Zaha. Ia langsung melesat pergi dengan mengenyahkan pikiran akan risiko keputusannya ini jauh-jauh. Untung benar, operator warung game online yang ia masuki mau diajak kompromi.

Begitu duduk di atas bantal, Zia tahu laman pertama yang harus ia buka. Setelah mengecek Pemberitahuan serta membalas wall dan komentar-komentar di status terakhirnya, Zia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan di Facebook. Jadilah ia menyoroti Beranda. Matanya membesar kala membaca sekilas kabar terbaru dari Kamal. Sebetulnya sudah lama ia ingin me-remove nama tersebut dari daftar temannya. Kamal—aksara Jepang—sekarang berpacaran… dengan…? Zia meng-klik kanan nama berbau Jepang yang membuatnya penasaran. Bukan karena ia percaya bahwa Kamal berpacaran dengan orang Jepang betulan. Kalau bukan dengan sesama freak, pasti fiktif. Membaca sekilas Info yang terpajang, Zia yakin pada opsi kedua. Foto profil si pacar fiktif yang berupa karakter anime membuat Zia merinding. Boleh jadi memang gambar tersebut asli buatan Kamal dengan bantuan software—Zia akui kemampuan cowok kucel itu sudah lebih meningkat—tapi, kacamata berbingkai tebal itu, rambut cepol itu, kaos berkapucong itu, celana selutut itu, mimik cuek itu, semuanya mengingatkan Zia pada karakter Zaha dalam komik stripnya. Zia sadar giginya mulai kering kena udara.

Menurut kriteria Mas Imin cs, tipe orang semacam Kamal termasuk ke dalam target yang harus didorong memasuki komunitas tertentu. Tidak lain tidak bukan, tujuannya antara lain adalah untuk memberi sedikit sentuhan normal pada pembawaan si target. Makanya itu Zia tidak mau masuk ekskul Jejepangan. Urusan budaya sendiri saja masih terbengkalai, malah main kabur saja ke budaya orang lain—ini alasan Zia lainnya.

Akhirnya Tata online juga. Zia sudah tidak sabar untuk melampiaskan amarah.

“Tata jelek!” ketiknya cepat. “Suruh siapa koar-koar tentang mysisterzia, heeeeh?!” Zia menambah lebih banyak tanda tanya dan tanda seru sementara Tata tampak sedang mengetik juga.

Kini bukan hanya Kamal sebetulnya, Zia bersyukur teman-teman lain yang mengetahui hal blog tersebut tidak seheboh persangkaannya semula. Mereka tidak sampai meledekinya macam-macam, namun tetap saja Zia harus berkali-kali menerangkan bahwa TV di rumahnya tidak ditaruh di kamar mandi. Yang paling mengganggu tentu saja respon dari Kamal. Zia langsung bersembunyi di balik punggung Epay begitu sosok Kamal muncul di ambang pintu kelasnya. Zia tidak heran kala Kamal mengaku bahwa ia sudah mengakses blog tersebut sejak lama—siapa lagi biangnya kalau bukan Ardi. Namun Zia tidak bisa terima saat Kamal minta dikenalkan pada Zaha. “Nggak—nggak! Dia sibuk!” sergah Zia langsung.

Diceritakan Tata, awalnya Kamal minta informasi terlebih dulu padanya dan Ardi. Namun meski telah dekat selama bertahun-tahun, Tata hanya mengetahui hal keluarga Zia dari mulut Zia sendiri. Dan ia bisa paham apabila Zia tidak menceritakan semuanya. Sedangkan Ardi, ia tidak dekat dengan sepupunya selain Zia. Ia pun menyuruh Kamal agar langsung tanya pada Zia. Ketik Tata, “Zaha kayaknya tipe Mr. K banget deh. Pinter gambar. Kacamataan…”

Belum puas Zia menghantam balasan Tata dengan kata-kata beringas, wajah sentimen obyek yang sedang Tata bicarakan muncul di atas kepalanya. “Udah dicari Papa tuh,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain