(she’s got a smile that it seems to me/ reminds me of childhood memories/ where everything was a fresh as a bright blue sky/ now and then when i see her face/ she takes me away to that special place/ and if i stared too long/ i’d probably break down and cry/ whoa oh, sweet child o’ mine/ whoa, oh, oh, oh, sweet child o’ mine/ guns ‘n roses – sweet child o’ mine)
.
Bermula dari rebutan remot TV dengan
Zaha. Lagi-lagi Zia harus mengalah. Ia harus puas dengan saluran TV nasional di
kamar Papa. Untung saja ia sudah terbiasa dengan itu di tempat tinggal Mas
Imin, Kakek, mau pun teman-temannya. Sudah begitu, Papa sedang main gitar di
sana pula. Papa tidak lantas melarangnya menonton di ruangan yang sama, namun
Zia tahu diri untuk mengecilkan volume TV. Jadi alih-alih mendengar dengung
yang hanya sesekali dapat diterjemahkan jadi kata-kata, telinga Zia lebih
memilih untuk menangkap dentingan gitar Papa. Starry, starry night. Zia
teringat akan sejarah di balik pembuatan lagu tersebut yang ia pernah baca
wikipedia. “Vincent” atau “Starry, starry night” adalah sebuah kisah tentang
seorang Vincent van Gogh. Ia tidak dikenali sebagai seniman sampai kematiannya.
Selama itu, keluarganya yang kaya tidak pernah dapat menerima dan memahaminya.
Dan Van Gogh pun bunuh diri. Zia merasa sedih setiap kali mendengar lagu
tersebut. Ia jadi teringat nasibnya. Meski tidak ada yang dapat benar-benar
mengakomodir wahana terselubungnya, setidaknya ia masih mengingat Penciptanya
lima kali sehari.
Tertidur dalam sendu, terbangun dengan
suara memekakkan telinga. Beginilah jadinya kalau tidur di kamar Papa pada
akhir minggu. Sendu yang sempat lenyap dikubur mimpi, direnggut kembali ke
permukaan. Vokalis Rolling Stones berteriak padanya melalui speaker tape, “YOU
CAN’T ALWAYS GET WHAT YOU WANT.” Zia menukas dengan sebal, “iya, tahu,” sebelum
kemudian membenamkan lagi kepalanya ke dalam bantal. Papa menarik kesadarannya
kembali dengan tepukan pelan di betis. “Us, bangun, Us. Jalan pagi.”
Zia membenamkan erangan penolakannya
makin dalam.
“Jangan males kamu. Ayo, biar nggak
gampang sakit.”
“Aku emang males kok. Nggak berguna.
Nggak bisa apa-apa.” Tidak ada salahnya sesekali membenarkan perkataan
orangtua.
“Heh, jangan ngomong gitu…” Papa menepuk
betis Zia sekali lagi, lalu terdengar langkahnya di atas ubin. Menjauh.
Berteriak, “As, ayo, As!”
Zia mengangkat mukanya dengan suntuk.
Ternyata benar apa yang sekilas dirasanya tadi. Matahari sudah muncul. Ia belum
solat subuh. Apa boleh buat. Mau tak mau ia harus bangun. Dan kalau sudah
begitu, susah lagi mencari alasan untuk menghindarkan diri dari jalan pagi.
Jalan pagi hanyalah satu perubahan
terbaru dalam hidup Papa sepeninggalan Mama. Lainnya adalah mengonsumsi semakin
banyak tembakau, pindah ke perumahan baru dengan ruang terbuka hijau yang lebih
luas, dan mengganti Kijang kotak biru dongkernya dengan Ceria. Zia tidak tahu
apakah mengganti merk mobil memang dapat mempengaruhi suasana hati secara
signifikan. Kijang Papa kini sudah berubah warna jadi setengah biru langit dan
setengah masih dalam pengamplasan dengan kepemilikan beralih pada Mas Imin. Mas
Imin tahunya Kijang tersebut adalah kado ulang tahun ketujuhbelas dari Kakek
untuknya.
Dengan mata setengah terkatup, Zia
mengekor ke manapun Papa dan Zaha menuju. Papa boleh berhasil membuatnya jalan
pagi, tapi ia tidak bisa memaksa Zia mengganti piama belelnya dengan training.
Papa menyerah dan kembali pada ketidakpeduliannya. Zaha pun menjaga jarak dari
Zia selama perjalanan. Begitu sampai di taman komplek, Zaha langsung mencari
spot di mana ia bisa duduk dan mengisi waktu dengan membuat sketsa. Zia
terhenyak karena ia tidak terpikir sama sekali untuk juga membawa sesuatu.
Hanya ada selembar goceng dalam saku piama. Bergabung meregangkan diri di
tengah taman bersama Papa pun, mendadak Zia merasa pakaiannya tidak pantas
untuk itu. Percaya bahwa dirinya tidak kalah kreatif dari Zaha, Zia terilhami
untuk mengakses internet di warung game online 24 jam terdekat.
“Entar kalau dicariin Papa, kasih tau
ya! Awas kalau nggak! Aku mau ke Oasis!” pesan Zia pada adiknya.
“Emangnya kenapa kalau nggak?”
“Pokoknya awas kalau nggak!”
Zia malas berdebat pagi-pagi dengan
Zaha. Ia langsung melesat pergi dengan mengenyahkan pikiran akan risiko
keputusannya ini jauh-jauh. Untung benar, operator warung game online yang ia
masuki mau diajak kompromi.
Begitu duduk di atas bantal, Zia tahu
laman pertama yang harus ia buka. Setelah mengecek Pemberitahuan serta membalas
wall dan komentar-komentar di status terakhirnya, Zia tidak tahu lagi apa yang
harus ia lakukan di Facebook. Jadilah ia menyoroti Beranda. Matanya membesar
kala membaca sekilas kabar terbaru dari Kamal. Sebetulnya sudah lama ia ingin
me-remove nama tersebut dari daftar temannya. Kamal—aksara Jepang—sekarang
berpacaran… dengan…? Zia meng-klik kanan nama berbau Jepang yang membuatnya
penasaran. Bukan karena ia percaya bahwa Kamal berpacaran dengan orang Jepang
betulan. Kalau bukan dengan sesama freak, pasti fiktif. Membaca sekilas Info
yang terpajang, Zia yakin pada opsi kedua. Foto profil si pacar fiktif yang
berupa karakter anime membuat Zia merinding. Boleh jadi memang gambar tersebut
asli buatan Kamal dengan bantuan software—Zia akui kemampuan cowok kucel itu
sudah lebih meningkat—tapi, kacamata berbingkai tebal itu, rambut cepol itu,
kaos berkapucong itu, celana selutut itu, mimik cuek itu, semuanya mengingatkan
Zia pada karakter Zaha dalam komik stripnya. Zia sadar giginya mulai kering
kena udara.
Menurut kriteria Mas Imin cs, tipe orang
semacam Kamal termasuk ke dalam target yang harus didorong memasuki komunitas
tertentu. Tidak lain tidak bukan, tujuannya antara lain adalah untuk memberi
sedikit sentuhan normal pada pembawaan si target. Makanya itu Zia tidak mau
masuk ekskul Jejepangan. Urusan budaya sendiri saja masih terbengkalai, malah
main kabur saja ke budaya orang lain—ini alasan Zia lainnya.
Akhirnya Tata online juga. Zia sudah
tidak sabar untuk melampiaskan amarah.
“Tata jelek!” ketiknya cepat. “Suruh
siapa koar-koar tentang mysisterzia, heeeeh?!” Zia menambah lebih banyak tanda
tanya dan tanda seru sementara Tata tampak sedang mengetik juga.
Kini bukan hanya Kamal sebetulnya, Zia
bersyukur teman-teman lain yang mengetahui hal blog tersebut tidak seheboh
persangkaannya semula. Mereka tidak sampai meledekinya macam-macam, namun tetap
saja Zia harus berkali-kali menerangkan bahwa TV di rumahnya tidak ditaruh di
kamar mandi. Yang paling mengganggu tentu saja respon dari Kamal. Zia langsung
bersembunyi di balik punggung Epay begitu sosok Kamal muncul di ambang pintu
kelasnya. Zia tidak heran kala Kamal mengaku bahwa ia sudah mengakses blog
tersebut sejak lama—siapa lagi biangnya kalau bukan Ardi. Namun Zia tidak bisa
terima saat Kamal minta dikenalkan pada Zaha. “Nggak—nggak! Dia sibuk!” sergah
Zia langsung.
Diceritakan Tata, awalnya Kamal minta
informasi terlebih dulu padanya dan Ardi. Namun meski telah dekat selama
bertahun-tahun, Tata hanya mengetahui hal keluarga Zia dari mulut Zia sendiri.
Dan ia bisa paham apabila Zia tidak menceritakan semuanya. Sedangkan Ardi, ia
tidak dekat dengan sepupunya selain Zia. Ia pun menyuruh Kamal agar langsung
tanya pada Zia. Ketik Tata, “Zaha kayaknya tipe Mr. K banget deh. Pinter
gambar. Kacamataan…”
Belum puas Zia menghantam balasan Tata
dengan kata-kata beringas, wajah sentimen obyek yang sedang Tata bicarakan
muncul di atas kepalanya. “Udah dicari Papa tuh,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar